BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin meningkatnya arus globalisasi di segala bidang, perkembangan teknologi dan industri telah banyak membawa perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat, serta situasi lingkungan misalnya perubahan pola konsumsi makanan, berkurangnya aktivitas fisik dan meningkatnya polusi lingkungan. Perubahan tersebut tanpa disadari telah mempengaruhi terhadap terjadinya transisi epidemiologi dengan semakin meningkatnya kasus-kasus penyakit tidak menular. Berdasarkan data Depkes RI (2005) gagal ginjal merupakan salah satu 10 penyebab kematian terbanyak penyakit tidak menular yaitu urutan ke 4 (3,16 %), stroke (4,87%), perdarahan intrakranial (3,71%), septisemia (3,18%), jantung (2,67%), diabetes mellitus (2,16%), hipoksia intrauterus (1,95%), radang susunan saraf (1,86%), gagal jantung (1,77%) dan hipertensi (1,62%) (Depkes RI, 2007). Penyebab terjadinya gagal ginjal 40% oleh karena diabetes mellitus dan gaya hidup menyebabkan 1-2% penderita gagal ginjal meningkat setiap tahunnya (Setyawati, 2007). Terutama pada masyarakat perkotaan saat ini cenderung tidak sehat seperti kurang olah raga, merokok, minum-minuman keras, makanmakanan berlemak, dan berkolesterol tinggi (Nugraha, 2008). Selain itu meningkatnya usia dan penyakit kronis yang diderita seseorang seperti hipertensi atau diabetes mellitus, ginjal cenderung akan menjadi rusak dan tidak dapat dipulihkan kembali. Keracunan gula akibat diabetes akan menyebabkan kerusakan nefron, yang disebut diabetic nephropaty. Sedangkan tekanan darah tinggi pada penderita hipertensi dapat merusak jaringan pembuluh darah ginjal. Kemunduran peran nefron secara bertahap dapat menjadi semakin parah bila mengkonsumsi obat-obatan untuk mengatasi penyakit kronis tersebut dalam jangka panjang, sehingga dapat memberikan efek samping pada ginjal dan mengakibatkan gagal ginjal (Alam & Hadibroto, 2008). 1
2 Penanganan gagal ginjal dengan jenis terapi tertentu seperti transplantasi atau hemodialisis, Berat ringannya gejala tergantung kerusakan ginjal yang terjadi (Nugraha, 2008). Kondisi kenapa dilakukan terapi tersebut salah satunya untuk mencegah terjadinya asidosis metabolik. Berdasarkan estimasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), secara global lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik. Sekitar 1,5 juta orang harus menjalani hidup bergantung pada cuci darah. Berdasarkan data dari Indonesia Renal Regestry pada tahun 2008 jumlah pasien hemodialisis 2260 orang dari 2148 orang pada tahun 2007 (Rachmat, 2009). Dari data PT Askes tahun 2009 menunjukkan insidensi gagal ginjal di Indonesia mencapai 350 per 1 juta penduduk, saat ini terdapat sekitar 70.000 penderita gagal ginjal kronik yang memerlukan cuci darah (Siswono, 2008). Kasus gagal ginjal di Jawa Tengah tahun 2009 dengan tindakan hemodialisis yang berjumlah sekitar 32010 tindakan. Kasus gagal ginjal di Pekalongan pada tahun 2008 menduduki urutan 4 dari 10 besar penyakit tidak menular dengan jumlah pasien 270 orang, sedangkan tahun 2009 meskipun kasus gagal ginjal terjadi penurunan angka dari tahun sebelumnya tapi masih merupakan 10 besar penyakit terbanyak di pekalongan dengan jumlah pasien 139 orang. Terapi gagal ginjal kronik dengan hemodialisis mengakibatkan beberapa dampak yaitu secara fisik antara lain tekanan darah menurun, anemia, kram otot, detak jantung tidak teratur, sakit kepala, dan infeksi (Haven, 2005). Dampak finansial karena pasien harus menjalani cuci darah (hemodialisa) sebagai salah satu cara pengobatannya. Pasien harus mengeluarkan biaya sangat besar Rp 750.000-Rp 944.000 untuk satu kali cuci darah. Pasien harus menjalaninya sepanjang hidup, paling sedikit 3 kali seminggu dengan lama terapi 3-4 jam per kali terapi (Smeltzer, 2002), Sehingga banyak biaya yang sangat besar yang harus dikeluarkan pasien untuk satu kali cuci darah. Dari masalah finansial ini bisa juga menjadi penyebab dari beberapa masalah psikologi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis anatara lain berupa prilaku penolakan, marah,
3 perasaan takut, ganguan kecemasan, rasa tidak berdaya, depresi, putus asa bahkan bunuh diri (Soewadi, 1997). Gangguan kecemasan yang dialami penderita gagal ginjal kronis mulai dari ringan,sedang, dan berat. Kecemasan berat di tandai dengan persepsi yang sangat sempit, pusat perhatiannya pada detail yang kecil (spesifik) dan tidak dapat berpikir tentang hal-hal yang lain berbeda dengan kecemasan ringan penderita masih waspada serta lapang persepsinya meluas (Suliswati, 2005). Persepsi dikemukakan karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman individu yang tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus mungkin akan berbeda antara individu satu dengan individu lain. Persepsi itu bersifat individual ( Regers, 1965; David. H, 1981) dalam (Walgito, 2004). Berdasarkan fenomena di RSUD Kraton Pekalongan hemodialisis di rasakan masih kurang dalam memberikan informasi tindakan hemodialisis dilihat belum adanya protap tindakan hemodialisis yang selain berisi tentang persetujuan tindakan perlu sekali adanya protap telah dilakukan informasi tentang hemodialisis baik apa tujuan,manfaat, dan akibat dari tindakan hemodialisis sehingga diharapkan tidak adanya persepsi yang salah di masyarakat. Dari fenomena tersebut sehingga peneliti tertarik melakukan penelitian tentang Persepsi mengenai hemodialisis dengan tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa persepsi seseorang tentang hemodialisis dan penyakit gagal ginjal dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam memilih dan membuat keputusan sesuai dengan kondisinya dengan pengambilan keputusan yang tepat ketaatan pasien dalam menjalani terapi hemodialisis dapat di pertahankan.
4 Kecemasan merupakan reaksi emosional terhadap persepsi adanya bahaya baik yang nyata baik yang hanya bayangan, pengalaman cemas seseorang tidak sama, salah satu hal yang dapat menimbulkan kecemasan adalah ancaman terhadap keselamatan diri sehinga mengakibatkan tingkat kecemasan dan persepsi yang berbeda. Berdasarkan survei pendahuluan terhadap 5 pasien yang menjalani terapi hemodialisis di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan, didapatkan hasil 4 pasien mengatakan cemas dengan persepsi bahwa hemodialisis merupakan pengobatan yang terakhir penyakitnya, didapatkan 1 pasien mengatakan bahwa dengan cuci darah dapat bertahan hidup bertahun-tahun. Maka timbul pertanyaan dari peneliti Adakah hubungan persepsi terapi hemodialisis dengan tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut : 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan persepsi terapi hemodialisis dengan tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. 2. Tujuan Khusus a. Mendiskripsikan persepsi terapi hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. b. Mendiskripsikan tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. c. Menganalisis hubungan persepsi terapi hemodialisis dengan tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan.
5 D. Manfaat Penelitian Diharapkan penelitian ini akan dapat memberikan manfaat berupa masukan untuk berbagai pihak antara lain : 1. Bagi RSUD Kraton Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pihak manejemen rumah sakit sebagai bahan evaluasi atas kegiatan pelayanan terapi hemodialisis sehingga dapat memberikan perhatian kepada pasien yang sedang menjalani terapi hemodalisis agar dapat mengurangi kecemasan. 2. Bagi Perguruan Tinggi Diharapkan dapat memberikan informasi dan kontribusi yang berarti bagi mahasiswa FIKKES Universitas Muhammadiyah Semarang serta dapat menambah kepustakaan. 3. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan data-data bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian sejenis. E. Bidang Ilmu Penelitian ini terkait dengan bidang ilmu keperawatan medikal bedah dan ilmu keperawatan jiwa