Inovasi Teknologi Budidaya Dalam Rangka Pengembangan Usahatani Jagung di Provinsi Jambi Syafri Edi dan Eva Salvia Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Abstrak Ratarata luas jagung selama 5 tahun terakhir (20052009) di Provinsi Jambi 9.182 ha dengan total produksi 32.474 ton atau produktivitas 3,54 t/ha. Rendahnya produksi tersebut disebabkan teknologi budidaya yang kurang tepat seperti penggunaan benih, pemupukan, proses dan pasca. Secara umum petani di Provinsi Jambi melakukan budidaya tanaman jagung pada : (a) lahan kering baik monokultur maupun sebagai tanaman sela pada tanaman perkebunan karet dan sawit yang masih muda (belum produktif), (b) daerah aliran sungai, dan (c) lahan pasang surut sebagai penyela antara tanaman padi dan palawija. Pengembangan usahatani jagung di Provinsi Jambi dapat ditingkatkan melalui upaya peningkatan produktivitas dan stabilitas lahan secara efisien, dengan Program Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Kata Kunci : Budidaya, jagung, inovasi, teknologi, Jambi, Pendahuluan Jagung merupakan salah satu komoditas palawija yang utama untuk dikembangkan dalam rangka menunjang industri dan ekspor. Permintaan jagung dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat, sesuai dengan perkembangan industri pangan dan pakan dalam negeri maupun permintaan pasar internasional. Produksi jagung nasional pada tahun 2008 sebesar 15,86 juta ton sementara kebutuhan dalam negeri hanya 13 ton. Dengan meningkatnya produksi jagung nasional, maka pada tahun 2009 menghentikan impor jagung menyusul tercapainya swasembada komoditas pangan. Peningkatan produksi jagung dalam negeri masih terbuka lebar baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam, utamanya pada lahan kering. Kegiatan penelitian dan pengembangan tanaman jagung dari berbagai institusi baik pemerintah maupun swasta telah mampu menyediakan produksi jagung dengan tingkat produktivitas 4,58,0 t/ha tergantung pada kondisi lahan dan teknologi budidaya yang dilakukan (Deptan 2004). Areal terluas pertanaman jagung di Indonesia berada pada lahan kering (6575%), dengan tingkat kesuburan yang sangat beragam antara lain dihadapkan pada permasalahan kemasaman tanah, kekurangan air dan konservasi. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2002; Girsang et al., 2007). Lahan kering di Provinsi Jambi di dominasi oleh jenis tanah Ultisol yang dicirikan dengan rendahnya kandungan bahan organik, tingginya kandungan liat sehingga air yang terikat pada poripori mikro sulit digunakan tanaman sehingga air tidak tersedia bagi tanaman, dan horizon argilik dapat merupakan lapisan kedap air akibatnya proses infiltrasi lambat dan aliran permukaan lebih cepat (Hardjowigono, 2003). Arsyad (1989) menyatakan bahwa usaha untuk memperbaiki sifat fisika tanah dapat dilakukan dengan pemberian bahan organik. Hal yang sama dikemu 588
kakan oleh Hakim et al. (1986) bahwa bahan organik merupakan bahan penting dalam menciptakan kesuburan tanah, baik secara fisika, kimia maupun biologi. Selanjutnya dinyatakan bahwa pupuk kandang merupakan salah satu bahan organik yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Varietas unggul merupakan salah satu teknologi inovatif yang handal untuk meningkatkan produktivitas tanaman jagung, baik melalui peningkatan potensi (daya hasil) tanaman, maupun melalui peningkatan toleransi dan ketahanannya terhadap berbagai cekaman lingkungan biotik dan abiotik. Selain itu, pembentukan varietas unggul juga bertujuan untuk meningkatkan mutu dan nilai tambah produk dan upaya meningkatkan nilai ekonomi. Penerapan paket teknologi budidaya jagung mengutamakan pemanfaatan sumberdaya lokal, penerapan teknologi budidaya berdasarkan karakteristik lahan, dan dengan mempertimbangkan kearifan lokal petani (Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Pangan, 1992). Tulisan ini mengemukakan beberapa potensi pengembangan jagung di Provinsi Jambi seperti: Data iklim, luas dan produksi, serta inovasi teknologi budidaya. Dikutip dari beberapa literatur dan hasilhasil penelitian yang tipologi lahan yang agroekosistemnya sama atau relatif sama dengan tipologi lahan di Provinsi Jambi. Peluang Pengembangan Syarat Tumbuh Tanaman jagung berasal dari daerah tropis yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar daerah tersebut. Tanaman jagung dapat dibudidayakan di dataran rendah maupun dataran tinggi, pada lahan sawah atau tegalan. Suhu optimal antara 2134 o C, ph tanah antara 5,67,5. Tanaman jagung membutuhkan air sekitar 100140 mm/bulan. Pada lahan yang tidak beririgasi, pertumbuhan tanaman ini memerlukan curah hujan ideal sekitar 85200 mm/bulan yang tersebar merata sepanjang pertumbuhan tanaman. Pada fase pembungaan dan pengisian biji, tanaman jagung perlu mendapatkan cukup air. Oleh karena itu waktu penanaman harus memperhatikan curah hujan dan penyebarannya. Penanaman dimulai bila curah hujan sudah mencapai 100 mm/bulan. Untuk mengetahui curah hujan perlu pengamatan minimal 5 tahun terakhir agar waktu tanam dapat ditentukan dengan baik dan tepat. Berikut curah hujan dan jumlah hari hujan selama lima tahun di Provinsi Jambi (Tabel 1). Disamping kebutuhan terhadap faktor iklim, jagung menghendaki tanah yang subur untuk dapat berproduksi dengan baik. Hal ini dikarenakan tanaman jagung membutuhkan unsur hara terutama nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K) dalam jumlah yang cukup. Pada umumnya lahan kering di Provinsi Jambi miskin hara dan rendah bahan organik terutama pada lahan kering, sehingga penambahan pupuk N, P dan K serta pupuk organik (kompos/pupuk kandang) sangat diperlukan. Luas Panen dan Produktivitas Jagung 5 Tahun Terakhir Selama lima tahun terakhir (20052009) di Provinsi Jambi, ratarata luas 9.182 ha dengan produksi 32.474 ton atau pro 589
Tabel 1. Rerata curah Hujan (mm/bulan) dan hari hujan (hari/bulan) selama lima tahun di Provinsi Jambi Tahun Bulan 2005 2006 2007 2008 2009 CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH Januari 111.2 13 61.5 9 78.7 10 151.9 14 217.2 14 Februari 93.2 9 89.7 11 33.3 6 102.1 9 211.9 11 Maret 142.8 16 51.6 8 41.2 8 215.1 16 278.9 20 April 86.2 12 70.8 9 75.9 10 157.8 12 202.9 12 Mei 74.2 10 46.7 6 78.3 10 101.9 9 170.6 9 Juni 58.3 9 37.0 6 52.9 7 70.9 8 150.8 11 Juli 80.4 10 56.0 6 28.1 12 76.6 9 97.3 7 Agustus 70.1 11 21.5 3 35.0 10 125.6 10 163.1 10 September 80.2 10 21.2 3 31.0 11 120.9 12 131.6 7 Oktober 92.5 13 16.4 4 61.1 9 176.8 15 148.9 12 November.7 14 43.5 7 101.7 13 154.4 14 237.9 14 Desember 55.7 11 43.7 9 126.3 17 172.5 14 319.8 18 Ket : CH : Curah Hujan HH : Hari Hujan Sumber : Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jambi (data diolah) duktivitas 3,54 t/ha (Tabel 2), yaitu jauh di bawah potensi hasil tanaman jagung (Tabel 3). Potensi hasil terendah pada jagung bersari bebas varietas Anoman 1 dengan potensi hasil 7,0 t/ha dan varietas Sukmaraga 8,4 t/ha. Potensi hasil jagung hibrida varietas Bima 1 sebesar 9,0 t/ha dan varietas Bima 4 sebesar 11,4 t/ha. Rendahnya produksi tersebut disebabkan oleh penanganan budidaya yang kurang tepat seperti: persiapan lahan, penggunaan benih, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, proses dan pasca. Produktivitas jagung dapat ditingkatkan dari 3,54 t/ha menjadi 5.31 t/ha atau meningkat 50% maka dengan luas tanam 9.182 ha, akan diperoleh produksi sebesar 48.711 ton Tabel 2. Ratarata luas (ha), Produksi (ton) dan Produktivitas (ton/ha) Jagung selama lima tahun di Propinsi Jambi Tahun Luas Panen Produksi Produktivitas (ha) (ton) (ton/ha) 2005 8.874 29.679 3.34 2006 8.637 29.288 3.39 2007 8.655 30.028 3.47 2008 9.522 34.616 3.64 2009 10.221 38.760 3.79 Ratarata 9.182 32.474 3.54 Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi (2009) 590
atau. Prediksi ini masih jauh di bawah potensi hasil jagung yang sebenarnya, dimana untuk jagung bersari bebas kisaran hasil 7,08,4 t/ha dan jagung hibrida 9,011,7 t/ha (Tabel 3). Hal ini dapat dilakukan dengan program Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), salah satu komponen teknologi PTT yang mudah diadopsi oleh petani adalah penggunaan varietas unggul baru (VUB) jagung yang memiliki beberapa keunggulan dari jagung varietas lokal yang dibudidayakan petani. Secara umum petani di Provinsi Jambi melakukan budidaya tanaman jagung pada lahan kering baik monokultur maupun sebagai tanaman sela pada tanaman perkebunan karet dan sawit yang masih muda ynng belum berproduksi, pada daerah aliran sungai serta pada lahan pasang surut sebagai penyela antara tanaman padi dan palawija. Benih yang digunakan merupakan turunan dari tanaman sebelumnya yang dibudidayakan tidak sesuai dengan anjuran, sehingga hasil yang diperoleh belum maksimal. Inovasi Teknologi Budidaya Potensi jagung pada lahan marginal dapat ditingkatkan melalui upaya peningkatan produktivitas dan stabilitas lahan secara efisien dengan penggunaan varietas unggul, pemupukan dan pengelolaan budidaya yang tepat (Zubachtirodin dan Subandi, 2008). Untuk meningkatkan produksi dapat dilakukan dengan program intensifikasi dan ekstensifikasi, mengubah cara lama yang biasa dikem bangkan petani dengan teknologi budidaya yang tepat dan benar. Budiarti et al., (1999) mengemukakan bahwa rendahnya produksi jagung disebabkan antara lain belum berkembangnya penggunaan varietas unggul yang hanya 6070% digunakan petani, berkurangnya lahanlahan produktif dan teknologi petani yang rendah. Beberapa varietas jagung telah dilepas baik komposit (bersari bebas) maupun hibrida, namun varietas tersebut belum begitu berkembang di tingkat petani dan relatif tidak tersedia di lapangan. Petani secara umum menggunakan jagung komposit secara turuntemurun yang telah mengalami detereorasi (kemunduran mutu benih) sehingga hasil yang diperoleh semakin lama makin rendah ditambah lagi dengan masa simpan benih jagung yang pendek. Tabel 3, menyajikan varietas unggul baru jagung bersari bebas dan hibrida dengan keunggulan spesifik masingmasing varietas. Ditinjau dari sumber daya dan potensi yang dimiliki, serta dukungan pemerintah baik kabupaten maupun provinsi pengembangan usahatani jagung di Provinsi Jambi, dapat ditingkatkan melalui upaya peningkatan produktivitas dan stabilitas lahan secara efisien melalui penggunaan varietas unggul, pemupukan dan pengelolaan budidaya yang tepat, dengan program pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Tujuan utama penerapan PTT adalah untuk meningkatkan pendapatan petani dan menjaga kelestarian lingkungan. Prinsip utama penerapan PTT adalah : (1). Partisipatif, petani berperan aktif memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat, dan meningkatkan kemampuan melalui proses pembelajaran di Laboratorium Lapang, (2). Spesifik lokasi, memperhatikan teknologi dengan lingkungan fisik, sosialbudaya dan ekonomi petani setempat, (3). Terpadu, sumber daya tanaman, tanah dan air dikelola dengan baik secara terpadu, (4). Sinergis atau serasi, pemanfaatan teknologi terbaik, memperhatikan keterkaitan antar 591
Tabel 3. Varietas unggul baru jagung bersari bebas dan hibrida Varietas Potensi Hasil (t/ ha) Umur (Hari) Ketahanan Penyakit bulai Keunggulan Spesifik Bersari bebas Lagaligo Gumarang Kresna Lamuru Palakka Sukmaraga Srikandi Kuning 1 Srikandi Putih 1 Anoman 1 Hibrida Bima 1 7,5 8,0 7,0 7,6 8,0 8,4 7,9 8,1 7,0 9,0 90 82 90 105 110 110 97 Rentan Toleran kekeringan Umur genjah Umur genjah Toleran kekeringan Toleran tanah masam Mutu protein tinggi Mutu protein tinggi Toleran kekeringan, rasa pulen Biomas tinggi Bima 2 Bantimurung Bima 3 Bantimurung Bima 4 Bima 5 Bima 6 11,0 10,0 11,7 11,4 10,6 96 90 Sumber : Anonim (2009) komponen teknologi yang saling mendukung dan (5). Dinamis, penerapan teknologi selalu disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan IPTEK serta kondisi sosial ekonomi masyarakat (Anonim, 2009). Pada PTT jagung, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah: (1). Pemberian pupuk berbeda antar lokasi, pola tanam, jenis jagung yang dibudidayakan, hibrid atau komposit dan pengelolaan tanaman, (2). Kebutuhan hara N tanaman dapat diketahui dengan cara mengukur tingkat kehijauan daun jagung dengan Bagan Warna Daun (BWD), sedangkan kebutuhan hara P dan K dengan Perangkat Uji Tanah Kering (PUTK), (3). Pupuk N diberikan dua kali, yaitu 710 HST dan 3035 HST, (4). BWD digunakan pada 4045 hari setelah tanam untuk mendeteksi kecukupan N bagi tanaman, (5). Pada lahan kering, pemberian pupuk P dan K mengacu pada PUTK, (6). Pada lahan sawah, pemupukan P dan K dapat juga dilakukan berdasarkan peta status hara P dan K skala 1 : 50.000 dan (7). Selain dengan cara di atas, kebutuhan pupuk tanaman jagung juga dapat diketahui melalui uji petak omisi (tanpa 592
satu unsur). Pengujian langsung di lahan dengan petak perlakuan NPK (lengkap), NP (minus K), NK (minus P) dan PK (minus N). HasilHasil Penelitian Beberapa hasil penelitian telah ditemukan, baik oleh pemerintah, swasta maupun perguruan tinggi dan telah banyak yang bersifat spesifik lokasi seperti pada lahan pasang surut, lahan kering, lahan tadah hujan dan daerah aliran sungai. Berikut disajikan beberapa hasil penelitian yang agroekosistemya relatif sama dengan lahan di Provinsi Jambi. Hutami et al. (2000), menyatakan pada lahan marginal terdapat interaksi yang nyata antara varietas dan pengapuran terhadap pertumbuhan tanaman. Selanjutnya ditambahkan bahwa varietas jagung Antasena merupakan varietas yang mempunyai daya adaptasi yang lebih baik dibanding varietas yang dicoba dan dapat dikembangkan pada lahan kering marginal. Penelitian Edi et al., (2005), pada lahan sulfat masam di Kuala Tungkal Provinsi Jambi menghasilkan tiga galur diantaranya mampu memberikan hasil di atas 5 t/ha, dan lebih tinggi dari 3 varietas unggul nasional dan varietas lokal. Tujuh galur memberikan hasil di atas 4 t/ha yang sama dengan hasil 3 varietas unggul, sedangkan varietas lokal hanya memberikan hasil 3,87 t/ha. Terjadinya perbedaan hasil antara galur dan varietas disebabkan oleh sifat genetik dan respon tanaman terhadap lingkungan tempat tumbuh (Tabel 4). Hasil penelitian Mawardi et al. (2007) pada lahan Andisols Pasaman Barat, pemberian pupuk anorganik (Urea, SP36, dan KCl) dan pupuk kandang tidak konsisten pengaruhnya terhadap tinggi tanaman dan tinggi Tabel 4. Berat 100 biji dan hasil. penampilan sifat agronomis beberapa Galur harapan dan varietas jagung pada lahan sulfat masam Galur/varietas SATP2 (S2) C6 SA4 (S1) C1 BK (S1) C1 BK (HS) C1 AMATL (HS) C2 AMATL (S1) C3 MSKH (S1) C2 MSJIC5 Bisma (S1) C1 Bisma (S2) C1 Antasena Bisma Lamuru Lokal setempat Angkaangka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0,05 DMRT. Sumber : Edi et al., (2005) Bobot 100 biji (g) 28,52 ab 29,50 a 28,47 ab 28,75 ab 28,12 abc 28,25 ab 27,77 bc 28,40 ab 28,25 ab 27,67 bc 28,40 ab 28,15 abc 26,59 c 27,40 bc Hasil KA 15 % (t/ha) 4,22 bc 4,39 bc 5,03 ab 4,99 ab 4,65 bc 4,67 bc 4,45 bc 5,74 a 5,06 ab 4,77 abc 4,45 bc 4,74 abc 4,43 bc 3,87 c KK (%) 13,65 tongkol tanaman jagung Sukmaraga (Tabel 5). Hal yang sama terlihat pada perlakuan populasi tanaman dimana kerapatan tanaman sampai 264.000 batang/ha tidak mempengaruhi tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol. Dalam konteks pertumbuhan tanaman, faktor genetik nampaknya lebih besar pengaruhnya dibandingkan perubahan lingkungan melalui pemupukan dan perubahan populasi tanaman. Pada Tabel 6, hasil penelitian Azwir et al. (2007) di lahan bergambut Pasaman Barat Provinsi Sumatera Barat, dihasilkan beberapa varietas jagung yang terbaik pada perlakuan pemupukan rekomendasi jagung hibrida Pioner21 dan NK22 dengan hasil pipilan kering masingmasing 8,7 dan 9,6 t/ha. Hasil jagung terbaik pada perlakuan paket pemupukan introduksi varietas NK22, Pioner 21, NK 33, Bisi2, dan Bisi9 dengan hasil pipilan 593
Tabel 5. Pengaruh pemupukan dan populasi tanaman terhadap hasil biji dan biomas jagung varietas Sukmaraga di lahan Andisols Pasaman Barat, MH 2006 Paket pemupukan (ha) Populasi tanaman (batang/ha) Hasil biji (t/ha) Hasil biomas (t/ha) A (200 kg Urea+100 kg SP36 +100 kg KCl) 66.000 132.000 264.000 4,9 5,0 4,4 28,5 36,8 B (300 kg urea+150 kg SP36+150 kg KC) 66.000 132.000 264.000 6,0 4,8 4,1 27,7 35,0 C (200 kg urea+100 kg SP36+100 kg KCl+200 kg dolomit+1 ton pukan) 66.000 132.000 264.000 6,2 5,2 4,6 28,2 39,7 Sumber : Mawardi et al (2007) Tabel 6. Produksi (t/ha) beberapa genotipe jagung pada tiga paket pemupukan di lahan bergambus Varietas Paket Pemupukan Rekomendasi Introduksi Cara Petani C7 C9 Bisi2 Bisi9 Pionir12 Pionir21 NK22 NK33 Sukmaraga Bisma 7,5 b 7,7 b 7,7 b 8,3 b 7,9 b 8,7 ab 9,6 a 7,6 b 6,2 c 5,7 c 6,9 bc 6,9 bc 7,9 ab 7,8 ab 7,4 b 7,8 ab 8,9 a 7,9 ab 6,6 bc 5,8 c 4,8 a 5,9 a 5,3 a 5,7 a 5,1 a 5,4 a 5,2 a 5,2 a 4,8 a 4,7 a Ratarata 7,7 7,4 5,2 Angkaangka yang diikuti oleh huruf dan huruf besar yang sama berbeda tidak nyata menurut DNMRT 5% Sumber : Azwir et al. (2009) kering masingmasing 8,9, 7,8, 7,9, 7,9, dan 7,8 t/ha. Secara umum beberapa varietas jagung hibrida cukup adaptif pada lahan gambut Pasaman Barat dan berpeluang untuk dikembangkan pada lahan gambut lainnya. Sedangkan varietas jagung komposit Sukmaraga dan Bisma yang direkomendasikan pada lahan gambut hasilnya lebih rendah dibanding jagung hibrida. 594
Kesimpulan 1. Di Provinsi Jambi budidaya tanaman jagung dilakukan pada lahan kering baik monokultur maupun sebagai tanaman sela, pada tanaman perkebunan karet dan sawit yang masih muda yang belum berproduksi, pada daerah aliran sungai serta pada lahan pasang surut sebagai penyela antara tanaman padi dan palawija. 2. Usahatani jagung di Provinsi Jambi dapat dikembangkan melalui upaya peningkatan produktivitas dan stabilitas lahan secara efisien melalui penggunaan varietas unggul, pemupukan dan pengelolaan budidaya yang tepat, dengan melaksanakan program pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Daftar Pustaka Anonim, 2009. Pedoman PTT Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Arsyad, S. 1989. Pengawetan Tanah Dan Air. Departemen Ilmu Tanah. Bogor. Azwir, Edy Mawardi dan S. Edi. 2009. Penampilan sifat agronomis beberapa varietas unggul jagung pada tiga paket pemupukan di lahan bergambut Pasaman Barat. Prosiding Seminar Nasional dan Workshop. Inovasi Teknologi Pertanian yang Berkelanjutan Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri di Pedesaan. Palu 1011 November 2009. Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. 2009. Provinsi Jambi Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi Kerjasama Sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Jambi. Budiarti, S.G., Sutoro, dan Hadiatmi. 1999. Ketersediaan plasma nutfah jagung dan sayur untuk menunjang perbaikan varietas. Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan. Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Bogor, 2224 November 1999. Deptan. 2004. Pengelolaan hara N, P dan K spesifik lokasi pada tanaman jagung di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Edi S., F. Kasim, Adri dan Firdaus. 2005. Penampilan sifat agronomis galur harapan dan varietas jagung pada lahan sulfat masam di Kuala Tungkal Tanjung Jabung Barat, Jambi. Jurnal Stigma Vol. 8 (3) JuliSptember 2005. Girsang S.S., H. Sembiring dan D. R. Siagian. 2007. Pengaruh jenis pupuk terhadap pertumbuhan dan produksi jagung (Zea mays L.) di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo. Prosiding Seminar Nasional dan Alih Teknologi Spesifik Lokasi Mendukung Revitalisasi Pertanian. BBP2TP Medan 5 Juni 2007. Hakim N., M. Y. Nyakpa, A. M. Lubis, S. G. Nugroho, M. R. Saul, M. A. Diha. G. B. Hong, H. Bailey. 1986. Dasardasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung. Hardjowigeno. 2003. Ilmu Tanah dan Pedogenesis. Mediyatama Sarana Prakarsa. Jakarta. Hutami S., Murtado dan A. K. Makarim. 2000. Adaptasi varietas jagung pada lahan kering marginal. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan. 19(2). Mawardi E., Erdiman dan Edi. 2007. Pengaruh paket pemupukan terhadap produksi biji dan biomas jagung pada beberapa tingkat populasi tanaman. Prosiding Lokakarya Percepatan Penerapan IPTEK Inovasi Teknologi Mendukung Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pembangunan Pertanian. Jambi 1112 Desember 2007. 5
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 1992. Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2002. Peta Potensi lahan pengembangan jagung di Indonesia. Bahan Pameran Pada Festival Jagung Pangan Pokok Alternatif, Bogor 26 27April 2002. Zubachtirodin dan Subandi. 2008. Peningkatan efisiensi pupuk N, P, K dan produktivitas jagung pada lahan Ultisol Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan. Vol. 27. No. 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. 596