BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK, LPKA, HAK-HAK ANAK DALAM LPKA DAN PROSES PEMBINAAN ANAK DALAM LPKA

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PEDOMAN PERLAKUAN ANAK DI LEMBAGA PENEMPATAN ANAK SEMENTARA (LPAS) BAB I PENDAHULUAN

PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM PROSES PERADILAN ANAK DI KOTA JAYAPURA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOmor 11 TAHUN 2012

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

PEDOMAN PERLAKUAN ANAK DI BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) BAB I PENDAHULUAN

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Institute for Criminal Justice Reform

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata

1 dari 8 26/09/ :15

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian Anak dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Institute for Criminal Justice Reform

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TENTANG PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana Undang-

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Institute for Criminal Justice Reform

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

2015, No Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pe

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE. Oleh : Dheny Wahyudhi 1. Abstrak

STANDAR PELAYANAN PERKARA PIDANA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

: PAS-HM : PKS LPSWX/2015

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016. PENANGANAN ANAK GUNA KEPENTINGAN PENYIDIKAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA 1 Oleh : Fernando Reba 2

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

- - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN Jalan Veteran No. 11 Jakarta

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAPAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

PERAN KANWIL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM JAWA TENGAH DALAM PEMENUHAN HAM ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM (ABH)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2017, No Mengingat : 1. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tam

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 ayat (1), Bangsa

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3547), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 tent

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK, LPKA, HAK-HAK ANAK DALAM LPKA DAN PROSES PEMBINAAN ANAK DALAM LPKA 2.1. Anak 2.1.1. Pengertian Anak Di Indonesia, apa yang dimaksud dengan anak tidak ada kesatuan pengertian. Hal ini disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepentingan anak, masing-masing memberikan pengertiannya sesuai dengan maksud dikeluarkannya peraturan perundang-undangan tersebut. Sebagai contoh dapat dilihat di bawah ini. 1 a. Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2 UU No. 4 Tahun 1979 menentukan : Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin Berdasarkan pengertian anak sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 2 UU No. 4 tahun 1979 tersebut dapat diketahui bahwa seseorang dapat disebut anak jika memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan 2. Belum pernah kawin Jakarta, h. 10. 1 R. Wiyono, 2016, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Cetakan I, Sinar Grafika, 33

34 Oleh penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak disebutkan bahwa batas umur genap 21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbanganpertimbangan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Sementara itu, yang dimaksud dengan frasa belum pernah kawin dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak adalah belum pernah kawin atau mengadakan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2 b. Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan : Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan Dari pengertian anak sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tersebut dapat diketahui bahwa seseorang dapat disebut anak jika memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun; 2. Termasuk anak yang masih dalam kandungan. Frasa berusia 18 (delapan belas) tahun dalam pasal tersebut sama dengan frasa di bawah umur 18 (delapan belas) tahun dalam pasal 1 Konvensi tentang Hak-Hak Anak yang telah diratifikasi dengan 2 Ibid., h. 12.

35 UU No. 5 Tahun 1998. Sedangkan frasa termasuk anak yang masih dalam kandungan, dikaitkan dengan pasal 2 KUH Perdata yang menentukan bahwa : Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Dalam hak ini, yang dianggap kepentingan si anak menghendaki dalam Pasal 2 KUH Perdata, misalnya adalah berkaitan dengan masalah pewarisan atau dengan perkataan lain masalah pengoperan hak-hak (kewajiban-kewajiban) pewarisnya. 3 c. Menurut Konvensi Tentang Hak-Hak Anak Pasal 1 Konvensi tentang Hak-Hak Anak menentukan : Untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, seorang anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Resolusi Nomor 109 Tahun 1990 yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 1990 dijadikan salah satu pertimbangan dibentuknya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjabarkan Pasal 1 Konvensi tersebut dengan menentukan bahwa yang disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) 3 J. Satrio, 1999, Hukum Pribadi, Bagian Persoon Alamiah, Cetakan II, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 21.

36 tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Untuk dapat disebut anak menurut Pasal 1 Konvensi tersebut, tidak perlu mempermasalahkan apakah anak tersebut sudah kawin atau belum kawin. d. Menurut UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Berdasarkan pasal 1 angka 3 UU SPPA, anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.perlu ditekankan bahwa apa yang disebut anak menurut UU SPPA adalah anak menurut pengertian hukum, khusus hanya berlaku untuk UU SPPA saja. Hal ini yang mungkin berlainan dengan pengertian sehari-hari tentang anak atau pengertian yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lain selain UU SPPA. Dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan anak menurut UU SPPA, tidak tergantung apakah anak sudah (pernah) kawin atau belum. Akibatnya, anak yang sudah (pernah) kawin sebelum berumur 12 (dua belas) tahun, bahkan mungkin sudah mempunyai keturunan, anak tersebut masih tetap bukan anak menurut pengertian UU SPPA. Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis menggunakan dasar hukum UU SPPA sebagai batasan umur Anak. Penelitian ini berbicara tentang LPKA yang merupakan lembaga/tempat bagi Anak menjalani masa

37 pidana. Anak yang dibina tentu bukanlah anak-anak biasa pada umumnya, tetapi anak-anak yang bermasalah. Sehingga pengertian Anak merujuk pada UU SPPA yang memiliki kriteria berbeda dengan pengertian anak pada undang-undang lainnya. Batas usia Anak dalam hal ini adalah telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun. 2.1.2. Anak yang Berhadapan dengan Hukum Jika diperhatikan pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 UU No. 11 Tahun 2012, maka dapat diketahui bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 adalah sistem mengenai proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Anak yang berhadapan dengan hukum yang dimaksud oleh UU SPPA, menurut pasal 1 angka 2 terdiri atas : 1. Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. (Pasal 1 angka 3) 2. Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. (Pasal 1 angka 4) 3. Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut sebagai anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

38 penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang di dengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. (Pasal 1 angka 5) 2.2. Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) 2.2.1. Pengertian LPKA Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana penjara ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Anak sebagaimana dimaksud berhak memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan pendampingan serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Istilah lembaga pemasyarakatan anak (lapas anak) kini sudah tidak dikenal dalam UU SPPA sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Berdasarkan pasal 1 angka 20 UU SPPA, LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya. Setiap Lapas Anak harus melakukan perubahan sistem menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), sesuai dengan undang-undang ini paling lama 3 (tiga) tahun. Dalam melaksanakan hal sebagaimana dimaksud, petugas di LPKA wajib mengedepankan asas Sistem Peradilan Pidana Anak yang meliputi: 1. Perlindungan 2. Keadilan 3. Non diskriminasi 4. Kepentingan terbaik Anak

39 5. Penghargaan terhadap pendapat Anak 6. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak 7. Pembinaan dan pembimbingan Anak 8. Proporsional 9. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir 10. Penghindaran pembalasan 2.2.2. Hak-Hak Anak dalam LPKA Wujud dari suatu keadilan adalah dimana pelaksanaan hak dan kewajiban seimbang. Hak dan kewajiban bagi anak yang melakukan tindak pidana perlu mendapat bantuan dan perlindungan agar seimbang dan manusiawi. Kewajiban bagi anak harus diperlakukan sesuai dengan situasi, kondisi mental dan fisik, keadaan sosial dengan kemampuannya pada usia tertentu. 4 Kedudukan anak dalam proses peradilan pidana sangat penting, oleh karena itu perlu diatur tentang hak dan kewajibannya. Anak berhak mengetahui tentang tindak pidana yang disangkakan dan berhak didampingi ole penasihat hukum pada setiap tahap peradilan pidana. Penanganan kasus-kasus anak cenderung membekaskan stigma atas diri anak, mulai dari tahap penyidikan (tersangka), penuntutan (terdakwa), persidangan sampai pada pelaksanaan pidana (terpidana). Hal ini sangat merugikan anak. Pasal 85 ayat (2) menyatakan bahwa : Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak memperoleh pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 4 Wagiati Sutedjo, op.cit., h. 70.

40 Selanjutnya pasal 85 ayat (3) menyatakan bahwa : LPKA wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, pembinaan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Dalam menjalankan tugas dan fungsinya petugas LPKA wajib memperhatikan hak setiap anak dalam proses peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana yang meliputi: 1. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya 2. Dipisahkan dari orang dewasa 3. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif 4. Melakukan kegiatan rekreasional 5. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya 6. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup 7. Tidak ditangkap, ditahan atau dipenjara kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat 8. Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tindak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum 9. Tidak dipublikasikan identitasnya 10. Memperoleh pendampingan orang tua/wali/pengasuh dan orang yang dipercaya oleh Anak

41 11. Memperoleh advokasi sosial 12. Memperoleh kehidupan pribadi 13. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi Anak cacat 14. Memperoleh pendidikan 15. Memperoleh pelayanan kesehatan 16. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Petugas LPKA harus pula memperhatikan hak anak yang sedang menjalani pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang meliputi: 1. Mendapat pengurangan masa pidana 2. Memperoleh asimilasi 3. Memperoleh cuti mengunjungi keluarga 4. Memperoleh pembebasan bersyarat 5. Memperoleh cuti menjelang bebas 6. Memperoleh cuti bersyarat 7. Memperoleh hak hak lain sesuai ketentuan 2.3. Proses Pembinaan Anak dalam LPKA Berdasarkan Penjelasan Undang-undang SPPA, Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana.

42 2.3.1. Tahapan Proses Pembinaan Awal. a. Tahap Pembinaan Awal Tahap Pembinaan Awal dimulai sejak anak baru diterima di LPKA hingga 1/3 masa pidana atau batas waktu yang ditentukan berdasarkan hasil Litmas. Tahap pembinaan awal dimulai dengan proses registrasi yang terdiri dari kegiatan penerimaan, pendaftaran dan penempatan serta pengenalan lingkungan sebagaimana telah diuraikan dalam proses registrasi sebelumnya. Setelah dilakukan registrasi, masih dalam proses tahapan pembinaan awal dilakukan langkah-langkah sebagai berikut; 5 1) Penelitian Kemasyarakatan dan Asesmen. Penelitian Kemasyarakatan disusun oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Setiap anak wajib dilakukan penelitian kemasyarakatan. Penelitian Kemasyarakatan di LPKA dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Hasil Penelitian Kemasyarakatan berupa rekomendasi pembinaan atau perlakuan untuk Anak selama di LPKA yang akan disampaikan kepada Kepala LPKA. Penelitian Kemasyarakatan merupakan proses pengumpulan data dan informasi yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Penelitian Kemasyarakatan didalamnya mencakup juga hasil 5 Direktorat Bimkemas dan Pengentasan Anak, tanpa tahun terbit, Pedoman Perlakuan Anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Jakarta, h. 18

43 profiling dan assesmen yang dilakukan oleh assessor yang didalamnya ada rekomendasi kepada Kepala LPKA untuk disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan (PK) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen penelitian kemasyarakatan (LITMAS) untuk menentukan program pembinaan Anak. Hasil Penelitian Kemasyarakatan juga disampaikan kepada Wali/pengasuh untuk dipelajari dalam rangka persiapan sidang TPP. Sebelum Penelitian Kemasyarakatan dilakukan, petugas Pembimbing Kemasyarakatan harus melakukan persiapan yang meliputi beberapa hal, yaitu: a. Penelitian Kemasyarakatan ditujukan kepada Anak yang baru masuk LPKA. b. Penelitian Kemasyarakatan dilakukan pada saat Anak berada di Blok Admisi Orientasi dan selambat-lambatnya 24 jam setelah Anak diterima di LPKA. c. Dalam persiapan pelaksanaan Penelitian Kemasyarakatan, petugas Pembimbing Kemasyarakatan wajib mengumpulkan dan mempelajari data pendukung berupa berkas Litmas proses peradilan, proses diversi (risalah diversi), berkas penahanan, petikan/ putusan pengadilan, hasil profiling, assessment danlain sebagainya.

44 Dalam pelaksanaan Penelitian Kemasyarakatan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan wajib memperhatikan hal-hal berikut: a. Surat Permintaan atau pemberitahuan permintaan Litmas dari kepala LPKA. b. Pembimbing Kemasyarakatan melakukan wawancara kepada Anak dan mencatat hasilnya kedalam format Litmas. c. Pembimbing Kemasyarakatan melakukan verifikasi melalui berkas/dokumen pendukung dan sumber informasi lainnya d. Pembimbing Kemasyarakatan melakukan analisa secara menyeluruh terhadap hasil wawancara dan verifikasi dokumen pendukung serta sumber rujukan teori yang mendukung. e. Pembimbing Kemasyarakatan mempelajari hasil profiling dan assessment yang dilakukan oleh assessor. f. Pembimbing Kemasyarakatan Membuat rekomendasi sebagai dasar untuk menentukan program pembinaan Anak. Asesmen di LPKA yang dilakukan oleh assessor. merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen penelitian kemasyarakatan (LITMAS) untuk menentukan program pembinaan. Sebelum asesmen dilakukan, petugas LPKA harus melakukan persiapan yang meliputi beberapa hal, yaitu:

45 a. Asesmen dilakukan pada saat Anak berada di Blok Admisi Orientasi dan selambat-lambatnya 24 jam setelah Anak diterima di LPKA. b. Dalam persiapan pelaksanaan asesmen, petugas asesor wajib mengumpulkan dan mempelajari data pendukung berupa berkas Litmas proses peradilan, proses diversi (risalah diversi), berkas penahanan,.petikan/ putusan pengadilan danlain sebagainya. c. Instrumen yang digunakan dalam penyusunan asesmen terdiri dari form asesmen risiko dan kebutuhan Anak serta form isian data diri Anak. Asesmen risiko dan kebutuhan wajib dilakukan secara cermat dan teliti dengan memperhatikan hal-hal berikut: a. Sebelum asesmen risiko dan kebutuhan dilaksanakan, petugas LPKA wajib mendapatkan persetujuan dari Anak yang dibuktikan dengan formulir persetujuan asesmen b. Petugas melakukan wawancara dan mencatat hasilnya dalam form data diri anak c. Petugas melakukan verifikasi melalui berkas/dokumen pendukung dan sumber informasi lainnya d. Petugas melakukan analisa secara menyeluruh terhadap hasil wawancara dan verifikasi dokumen pendukung

46 e. Petugas melakukan penilaian dengan menggunakan instrumen asesmen risiko dan kebutuhan f. Hasil asesmen risiko dan hal-hal penting dari verifikasi data Anak wajib dimasukkan ke dalam catatan kasus. Catatan akan selalu dibuat dan dikembangkan selama masa pidana Anak untuk melihat perkembangan perilaku dan program yang diberikan bagi Anak. g. Pelaksanaan asesmen risiko dan kebutuhan dilakukan paling lama 5 (lima) hari dan selama proses berlangsung Anak diizinkan untuk keluar dan berpartisipasi dalam kegiatan yang bersifat rekreatif. h. Hasil asesmen risiko dan kebutuhan yang dilakukan di LPAS wajib dijadikan pertimbangan di LPKA agar dapat diketahui perkembangan kebutuhan Anak untuk menentukan program pembinaan yang tepat baginya. i. Rekomendasi hasil asesmen sekurang-kurangnya harus menjelaskan rekomendasi program yang disarankan serta alasan yang mencakup risiko, kebutuhan, kondisi psikososial, kondisi kesehatan fisik dan psikologis serta daya responsivity Anak. 2) Klasifikasi (Penempatan dan Intensivitas Pengawasan) Untuk kepentingan pemberian program pembinaan selanjutnya, pada saat masa pengamatan dan pengenalan lingkungan paling

47 lama 1 (satu) bulan, maka Anak wajib dipindahkan ke dalam kamarnya masing-masing. Penempatan Anak sebagaimana dimaksud harus memperhatikan: a) Rekomendasi litmas, (asesmen risiko dan kebutuhan) b) penggolongan usia, jenis kelamin, status penahanan, tindak pidana, lama penahanan, pengulangan tindak pidana dan kewarganegaraan c) dalam hal terdapat kondisi khusus, maka penempatan Anak memperhatikan ketentuan berikut: (1) Anak yang sakit menular atau berbahaya dan dalam keadaan khusus wajib ditempatkan secara terpisah (2) Anak yang memiliki gangguan kejiwaan harus dikonsultasikan dengan dokter jiwa dan dilaporkan kepada instansi yang menahan untuk mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya. (3) Anak yang sakit dapat dirawat di klinik LPKA (4) Anak yang sakit keras dapat dirawat di rumah sakit di luar LPKA setelah melalui pertimbangan dokter LPKA setelah dilakukan pemeriksaan secara teliti dengan seizin instansi yang menahan. (5) Anak yang dianggap dapat membahayakan dirinya atau Anak lain sehingga membahayakan ketertiban di LPKA dapat ditempatkan secara terpisah

48 3) Perencanaan Program a) Untuk kepentingan perencanaan program, PK menyusun rekomendasi berdasarkan hasil litmas. b) Rekomendasi Litmas berupa klasifikasi dan perencanaan program pembinaan. c) Rekomendasi perencanaan program yang dibuat oleh PK disampaikan kepada kepala LPKA untuk sidang TPP. d) Sidang TPP wajib mempertimbangkan rekomendasi Litmas mengenai hal-hal yang terdiri dari rencana klasifikasi, rencana penempatan lanjutan, rencana program pembinaan dan rencana pemberian asimilasi jika telah memenuhi persyaratan asimilasi e) Prioritas kebutuhan program bagi Anak. Jika Anak berdasarkan hasil asesmen kebutuhan dan persetujuan direkomendasikan untuk mengikuti kegiatan pendidikan dan pembinaan keterampilan maka: (1) dapat diberikan kedua-duanya (2) dipilih salah satunya berdasarkan prioritas si Anak. f) Anak wajib diupayakan dan dipastikan untuk mendapat program pendidikan dengan memperhatikan kesediaan dan kemampuan Anak untuk mengikuti program. Apabila Anak tidak memiliki minat pada program pendidikan maka Anak wajib diarahkan kepada program pembinaan kemandirian.

49 g) Penghargaan terhadap hak dan pendapat Anak. h) Perencanaan program di dalamnya harus meliputi tujuan yang akan dicapai, jenis program dan kegiatan, saran kebutuhan program yang sesuai dengan Anak, dan waktu pelaksanaan program. 4) Sidang TPP Salah satu tugas Tim Pengamat Pemasyarakatan di LPKA adalah memberi saran dan pertimbangan kepada Kepala LPKA mengenai bentuk dan program bagi Anak. Dalam melakukan tugas tersebut, TPP mempunyai fungsi untuk melakukan sidang TPP. Rekomendasi hasil perencanaan program yang sudah dibuat sebelumnya wajib dijadikan bahan pertimbangan oleh TPP untuk memutuskan program yang tepat bagi Anak. Dalam pelaksanaan sidang TPP perlu diperhatikan mengenai: a. Susunan keanggotaan TPP di LPKA terdiri dari : (1) Ketua adalah pejabat struktural di bidang pembinaan (2) Sekretaris adalah pejabat struktural satu tingkat di bawah pejabat bidang pembinaan atau salah satu jabatan fungsional umum di bidang pembinaan (3) Anggota adalah: (a) Pejabat struktural bidang lainnya di LPKA (b) Pembimbing kemasyarakatan

50 (c) Jabatan fungsional lainnya di bidang pembinaan yang ditunjuk oleh Kepala LPKA (d) Wali/pengasuh Anak b. Berkas Anak untuk sidang TPP meliputi : (1) Litmas Anak (2) Perencanaan program Anak, c. Sidang TPP terdiri dari: (1) Sidang Rutin yaitu sidang TPP yang dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) bulan untuk membahas perkembangan Anak (2) Sidang Khusus yaitu sidang TPP yang dilaksanakan dan berlangsung setiap waktu sesuai kebutuhan Anak dan membahas persoalan-persoalan yang menyangkut pelaksanan teknis pelayanan, pendidikan dan pelatihan keterampilan maupun penegakan disiplin yang memerlukan penyelesaian cepat. d. Pengambilan keputusan dalam sidang TPP didasarkan atas musyawarah dan mufakat. Dalam hal musyawarah dan mufakat tidak tercapai, maka pengambilan keputusan dilakukan dengan cara pemilihan suara terbanyak dengan ketentuan bahwa keputusan diambil lebih dari setengah ditambah 1 (satu).

51 e. Selama persidangan berlangsung, proses pembahasan dan masalah yang berkembang dalam sidang TPP harus dicatat agar dapat diketahui dasar pengambilan keputusan dalam penentuan program pendidikan Anak. f. Ketentuan lebih rinci mengenai pelaksanaan sidang TPP merujuk pada Keputusan Menteri Hukum dan Perundang- Undangan Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan. 5) Pelaksanaan Program Pembinaan a) Berdasarkan hasil keputusan sidang TPP yang telah disetujui oleh Ka. LPKA maka program pembinaan anak dapat dilaksanakan. b) Pelaksanaan program harus memperhatikan manajemen operasional program yang terdiri dari kesiapan anggaran, ketersediaan anak yang akan mengikuti program pembinaan, kesiapan petugas pemasyarakatan dan tenaga instruktur yang telah memenuhi kompetensi dan kualifikasi, sarana dan prasarana pembinaan, dan jadwal program. c) Dalam hal program dilaksanakan dengan mitra kerjasama, petugas LPKA terlebih dahulu dapat membuat daftar mitra kerjasama, baik pemerintah maupun swasta, yang dapat diajak bekerja sama dalam menyelenggarakan program pendidikan

52 bagi Anak di LPKA. Penentuan mitra kerjasama wajib mempertimbangkan prinsip-prinsip kepentingan terbaik bagi Anak. d) Kesepakatan kerjasama dengan pihak ketika wajib mengatur mengenai hubungan kerjasama, jangka waktu kerjasama, tata cara kerjasama peran masing-masing pihak dalam pelaksanaan kerjasama. e) Tugas LPKA dalam pelaksanaan program pendidikan lebih bersifat fasilitatif yaitu menyiapkan sarana prasarana serta peserta didik. Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar yang harus diperhatikan adalah petugas LPKA tidak memberikan pembelajaran kecuali petugas tersebut merupakan tenaga fungsional guru/tutor. f) Dalam pelaksanaan program, petugas LPKA wajib melakukan monitoring dan evaluasi program pendidikan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan program terhadap perkembangan perilaku Anak. 6) Pengasuh Pemasyarakatan a) Disetiap lembaga harus ditunjuk beberapa Wali/pengasuh yang terlatih secara khusus petugas dari bagian pembinaan, diangkat oleh kepala untuk mengurus anak-anak dan memberikan dukungan pelaksanaan rencana program pembinaan dan perawatan yang disiapkan oleh manajer kasus

53 untuk individualisasi perawatan Anak. Lebih mungkin jika memiliki latar belakang pendidikan psikologi atau pekerja sosial. b) Peran Wali/pengasuh membantu Anak untuk mengidentifikasi dan memenuhi tujuan yang ditetapkan dalam rencana manajemen kasus, dan juga dalam mengajukan permohonan cuti atau untuk proses keluhan, pembebasan lebih awal, dan untuk membantu Anak pada umumnya untuk setiap kebutuhan yang dapat diidentifikasi. c) Wali/pengasuh harus diangkat dengan rasio wajar untuk jumlah anak-anak, setidaknya satu Wali/pengasuh per 10 anak-anak. Selain itu, harus ada setidaknya dua Wali/pengasuh secara penuh waktu di LPKA (Shift) untuk melayani kebutuhan perawatan anak-anak dalam waktu 24 jam). d) Wali/pengasuh harus memeriksa masing-masing anak-anak mereka dan membuat catatan atas kemajuan masing-masing Anak setiap minggunya dalam berkas Anak. Catatan ini adalah untuk ditinjau ulang pada pertemuan bulanan yang dilakukan Wali/pengasuh e) Wali/pengasuh diawasi oleh pejabat pada bagian pembinaan dan bertanggung jawab kepada kepala LPKA. 7) Pelaporan Pelaksanaan Program Pembinaan. a) program dilakukan terhadap:

54 (1) Manajemen penyelenggaraan program secara keseluruhan meliputi evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaan program. (a) Evaluasi manajemen operasional pelaksanaan program terdiri dari pengguna anggaran, jumlah dan kualifikasi anak yang telah mengikuti program pembinaan, kompetensi dan kualifikasi petugas pemasyarakatan dan tenaga instruktur, sarana dan prasarana pembinaan, dan jadwal program. (b) Terkait evaluasi tersebut maka perlu dibuat laporan pelaksanaan program yang dibuat oleh pelaksana program (c) Laporan sebagaimana dimaksud merupakan kompilasi catatan pelaksanaan masing-masing program dan hasil evaluasinya yang dibuat oleh penanggung jawab setiap bulannya. (2) Efektivitas program terhadap perkembangan perilaku Anak yang meliputi evaluasi terhadap tujuan/capaian program, hambatan dan kendala dalam pencapaian tujuan serta rekomendasi tindak lanjut. (a) Terkait evaluasi tersebut, perlu dibuat laporan perkembangan Anak yang dibuat oleh Pengasuh. Laporan sebagaimana dimaksud merupakan

55 kompilasi catatan perkembangan Anak yang dibuat setiap harinya. b) Terkait dengan fungsi pengawasan Balai Pemasyarakatan, laporan hasil evaluasi program dan laporan perkembangan Anak dikirimkan kepada Kepala Kanwil cq Kepala Divisi Pemasyarakatan dan PK Bapas 8). Pengawasan Program Pembinaan Anak. Pengawasan Program Pembinaan dilakukan oleh Wali/pengasuh, pejabat atasan langsung di LPKA dan Pembimbing Kemasyarakatan. a. Pengawasan oleh Wali/pengasuh. Wali/pengasuh secara intensif melakukan pengawasan langsung terhadap anak selama mengikuti kegiatan pembinaan. Wali/pengasuh mencatat hasil perkembangan pembinaan dan melaporkan kepada atasan pada bagian pembinaan minimal sekali dalam sebulan atau sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. b. Pengawasan oleh Pejabat atasan langsung. Pejabat pada bagian pembinaan melakukan pengawasan terhadap keseluruhan penyelenggaraan program dan melaporkan kepada kepala LPKA. Kepala LPKA juga

56 berkewajiban melakukan pengawasan secara langsung terhadap pelaksanaan program. c. Pengawasan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program pembinaan untuk memastikan rekomendasi dan perencanaan program yang diberikan kepada anak. Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan hasil pengawasan kepada LPKA untuk dijadikan sebagai bahan evaluasi. 2.3.2. Tahap Pembinaan Lanjutan 6 1) Tahap pembinaan lanjutan dan Asimilasi dilakukan melalui kegiatan membaurkan anak dengan keluarga, masyarakat dan lingkungan lain di Luar LPKA. 2) Tahapan pembinaan lanjutan dihitung dari 1/3 sampai dengan 1/2 masa pidana. 3) Dalam hal belum mencapai 1/3 masa pidana namun berdasarkan hasil pengawasan PK dan penelitian kemasyarakatan anak sudah menunjukkan perubahan perilaku maka anak didik dapat diberikan asimilasi. 4) Penghitungan ½ masa pidana diberikan selama anak masih berusia di bawah 18 tahun 6 Ibid., h. 25.

57 5) Asimilasi terdiri dari asimilasi dalam dan asimilasi luar. Asimilasi dalam adalah program pembauran yang melibatkan masyarakat dari luar untuk melakukan kegiatan didalam LPKA. Asimilasi luar adalah membaurkan anak dengan melakukan kegiatan bersama masyarakat di Luar LPKA. 6) Jika asimilasi diberikan dalam bentuk pelatihan kerja, lamanya tidak boleh melebihi dari 3 jam per hari. 7) Proses pelaksanaan tahap pembinaan lanjutan, dimulai dengan melakukan Litmas, dan melakukan evaluasi pelaksanaan progam pembinaan tahap awal, selanjutnya menyusun Perencanaan Program Lanjutan, menyusun Pelaksanaan Program Lanjutan (jenis program yang diberikan dan dapat diberikan assimilasi) dan terakhir menyusun Evaluasi untuk Program Lanjutan 8) Mekanisme pelaksanaan litmas dan assesmen, perencanaan program lanjutan, pelaksanaan program lanjutan dan evaluasi program lanjutan mengacu kepada pedoman penyusunan litmas dan assesmen, perencanaan program, pelaksanaan program dan evaluasi program pada tahap pembinaan lanjutan dengan memperhatikan jenis dan bentuk serta tujuan program tahap akhir. 2.3.3. Jenis Pembinaan Anak Pembinaan anak terdiri dari Pembinaan Kepribadian, Pembinaan Ketrampilan dan Pendidikan.

58 a. Pembinaan Kepribadian terdiri dari kegiatan Pembinaan kerohanian, kesadaran hukum, jasmani, kesadaran berbangsa dan bernegara dan kegiatan lainnya b. Pembinaan Keterampilan terdiri dari kegiatan pembinaan pertanian, peternakan, pertukangan, kesenian dan Teknologi Informasi (IT), dan kegiatan lainnya c. Pendidikan anak yang diselenggarakan di LPKA terdiri dari Pendidikan Formal dan Non Formal. Pendidikan Formal terdiri dari pendidikan wajib belajar 9 tahun/ SD, SMP dan SMA, sedangkan Pendidikan Non Formal mencakup Kejar Paket A untuk tingkat SD, Paket B untuk tingkat SMP dan Paket C untuk tingkat SMA.

59