Tanaman bawang sabrang TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi bawang sabrang menurut Gerald (2006) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisio Subdivisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Magnoliophyta : Spermatophyta : Liliopsida : Liliales : Iridaceae : Eleutherine : Eleutherine americana Merr Tanaman bawang sabrang memiliki akar serabut yang berwarna coklat muda. Tanaman ini merupakan herba semusim dengan tinggi 30-40 cm. Batang semu, membentuk rumpun dengan umbi berlapis, bulat telur dan merah. Daun tunggal, berbentuk pipa dengan ujung dan pangkal runcing. Bagian tepi daun rata dan daun berwarna hijau. Bunga majemuk, tumbuh di ujung batang. Panjang tangkai ± 40 cm, bentuk silindris, kelopak terdiri dari dua daun kelopak, hijau kekuningan. Mahkota terdiri dari empat daun mahkota berwarna putih, saling lepas dan panjang ± 5 mm, benang sari empat. Kepala sari berwarna kuning, putik berbentuk jarum dengan panjang ± 4 mm berwarna putih kekuningan (www. warintek.ristek.go.id, 2007). Ciri spesifik dari tanaman ini adalah umbinya yang berwarna merah menyala dengan permukaan yang sangat licin, letak daun berpasangan dengan komposisi daun bersirip ganda dan bunganya berwarna putih. Tipe pertulangan
daunnya sejajar dengan tepi daun licin dan bentuknya seperti pita bergaris. Selain digunakan sebagai tanaman obat, tanaman ini juga bisa digunakan sebagai tanaman hias karena memiliki bunga yang berwarna putih (Galingging 2007). Tanaman ini banyak terdapat pada ketinggian 600-1500 m di atas permukaan laut (Nur, 2011). Bawang sabrang dapat ditanam pada semua jenis tanah. Akan tetapi sebaiknya ditanam pada tanah lempung berliat. Hasil penelitian Yusuf (2009) menunjukkan hasil terbaik bawang sabrang terdapat pada tekstur tanah lempung berliat. Pembelahan Umbi Pada umumnya bawang diperbanyak dengan umbi menanam satu persatu. Tetapi perbanyakan dengan menanam umbi satu persatu memerlukan waktu cukup lama, baik dari segi adanya keterbatasan waktu juga terbatasnya kemampuan dalam membentuk anakan setiap umbinya (Putrasamedja, 1995). Pembelahan umbi selain menghemat pemakaian bibit juga menghasilkan jumlah anakan lebih banyak. Hasil penelitian Priyono dan Djadja (1996) menunjukkan bahwa perbanyakan Amarilis dengan teknik pembelahan umbi lebih baik daripada tanpa pembelahan, karena hasil anakan (bulblet) menunjukkan jumlah yang lebih banyak. Ukuran pembelahan umbi terbaik untuk menghasilkan jumlah anakan terbanyak yaitu pada irisan umbi belah empat. Perbanyakan dengan cara dibelah selain mudah dan murah juga tidak merubah sifat maupun warna dari induknya. Dari satu umbi dapat diperbanyak dua kali lipat apabila dibandingkan dengan perbanyakan biasa. Kalau dengan menanam satu umbi akan menghasilkan rata-rata anakan empat, sedang dengan
cara pembelahan dari satu umbi yang dibelah menjadi delapan, satu belahan mampu membentuk anakan rata-rata dua, juga produksi umbi yang dibelah tidak mengurangi besar umbi (Putrasamedja, 1993). Menurut Kato (1966), penghentian masa dormansi umbi ada korelasinya dengan pertunasan, hal ini disebabkan terjadinya keseimbangan antara zat pengatur tumbuh dengan kandungan karbohidrat dalam umbi selama proses metabolisme umbi itu sendiri. Pembelahan umbi dapat mengurangi cadangan makananan pada umbi tersebut. Semakin banyak belahan maka cadangan makan semakin sedikit. Selain itu umbi yang dibelah sangat peka terhadap lingkungan. Dimana energi yang dihasilkan bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi sebagian energi untuk penyembuhan luka akibat dari pembelahan (Putrasamedja, 1993). Hasil penelitian Putrasamedja (1995) pada perlakuan umbi bawang merah di belah 4 dan 5 menunjukkan persentase tanaman yang hidup cukup baik yaitu 68,63% dan 67,80%. Selain itu juga masih mampu berproduksi dengan masingmasing 284,00 gram dan 333,30 gram per plot. Media Tanam Media tanam merupakan tempat berlangsungnya kegiatan bercocok tanam. Kondisi media tanam yang meliputi sifat fisik, kimia, dan biologi sangat mempengaruhi hasil tanam, baik kualitas maupun kuantitas (Aisyah, 2002) Media tanam dapat diartikan sebagai tempat tumbuhnya tanaman yang dapat mendukung pertumbuhan dan kehidupan manusia. Menurut Dina (1994) media tanam harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Dapat dijadikan tempat tumbuhnya akar
2. Mampu mengikat air dan unsur hara 3. Mempunyai drainase dan aerase yang baik 4. Dapat mempertahankan kelembaban disekitar akar tanaman 5. Tidak menjadi sumber penyakit Tanah merupakan medium yang dinamis tempat tanaman dan mikroorganisme hidup bersama dan saling berhubungan satu sama lain. Tanah yang berkembang baik dan tidak terganggu mempunyai sifat dan ciri penampang yang khas. Lapisan atas atau olah atau disebut juga top soil suatu penampang tanah yang kedalamannya ±10-20 cm biasanya mengandung banyak bahan organik dan berwarna gelap karena akumulasi bahan organik. Lapisan ini juga merupakan daerah utama bagi pertumbuhan perakaran, dan banyak mengandung unsur hara dan air tersedia bagi tanaman. Lapisan di bawah lapisan olah dikenal dengan lapisan bawah yang kedalamannya lebih dari 20 cm, dimana kandungan bahan organik, unsur hara, dan air tersedia menurun dengan kedalaman tanah. Dengan demikian, hilangnya top soil dapat mengakibatkan solum tanah sebagai media tumbuh tanaman tidak dapat menunjang pertumbuhan tanaman secara normal sehingga tanah tidak produktif (Nadila, 2009). Prioritas utama yang perlu diperhatikan untuk memperoleh pertumbuhan bibit yang baik adalah ketersediaan tanah yang subur sebagai media tanam. Standar umum tanah yang digunakan adalah tanah lapisan atas (top soil) yang umumnya cukup subur dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Menurut Hasym (1987), komposisi tanah yang berstruktur baik dan subur biasanya dipakai sebagai media tumbuh untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang optimal di pembibitan. Oleh karena itu media tumbuh yang baik untuk pembibitan harus
dapat menyediakan air, oksigen dan unsur hara yang cukup optimal sesuai kebutuhan tanaman selama pertumbuhan tanaman. Dengan keseimbangan kesuburan fisik dan khemis dalam tanah akan menjamin dan mendukung proses pembentukan akar dan pertumbuhan bibit selama pertumbuhannya (Follet et al., 1981). Kompos Jerami Padi Kompos merupakan semua bahan organik yang telah mengalami degradasi/ penguraian/ pengomposan sehingga berubah bentuk dan sudah tidak dikenali bentuk aslinya, berwarna kehitam-hitaman dan tidak berbau (Indriani, 2008). Kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah (Isroi, 2008). Limbah jerami padi, brangkasan jagung dan tongkol jagung merupakan sumber bahan organik yang potensial untuk meningkatkan kesuburan tanah. Limbah tersebut selama ini belum dimanfaatkan secara optimal karena proses dekomposisinya membutuhkan waktu yang lama, sehingga petani sering membakar limbah tersebut untuk mempercepat pengolahan tanah (Sisworo, 2000). Kendala utama jerami padi maupun brangkasan jagung sebagai bahan organik adalah tingginya kadar selulosa sehingga pelapukannya memerlukan waktu yang lama. Komposisi kima jerami padi rata-rata adalah 6,86% protein, 30,2% serat dan 7,7% lignin (Tangendjaja, 1991). Oleh karena itu diperlukan
adanya mikroorganisme yang mampu mendekomposisi bahan yang mengandung selulosa dan lignin tinggi dengan cepat (Sisworo, 2000) Jerami adalah bahan organik yang banyak tersedia dari kegiatan budidaya padi sawah (Doberman dan Fairhurst, 2002). Jerami memiliki kandungan kalium yang sangat baik untuk kesuburan tanah. Pemberian jerami ke tanah secara terus menerus dapat memperbaiki dan meningkatkan kesuburan tanah. Kandungan kalium yang terdapat pada 5 ton jerami setara dengan 50 kg pupuk KCL (BPTP, 2010). Sutanto (2002) menambahkan bahwa jerami merupakan sumber hara makro yang baik karena tersedia langsung di lahan usahatani dimana 1,5 ton jerami sama dengan 1 ton gabah kering dan mengandung 9 kg N, 2 kg P dan S, 25 kg Si, 6 kg Ca dan 2 kg Mg. Untuk mempercepat hilangnya limbah jerami, petani sering membakar jerami tersebut (BPTP, 2010), ataupun membawa jerami keluar lahan usaha untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar, makanan ternak, bahan dasar biogas, media jamur merang maupun dijual untuk bahan basah industri kertas (Sutanto, 2002). Pembakaran jerami menyebabkan hilangnya seluruh kandungan unsur Natrium, 25 % unsur Fosfor, 20 % unsur Kalium, 5-60 % unsur Sulfur (Doberman dan Fairhurst, 2002). Suriadikarta dan Adimiharja (2001) menyatakan bahwa jerami padi dapat menjadi sumber K yang murah dan mudah tersedia, karena setiap 5 ton jerami minimum mengandung 90 Kg KCl. Pembakaran jerami akan mengakibatkan kehilangan hara C sebanyak 94%, P 45%, K 75%, C 70%, Ca 30% dan Mg 20% dari total kandungan unsur hara tersebut dalam jerami.
Bila pengaruh-pengaruh sederhana suatu faktor berbeda lebih besar daripada yang dapat ditimbulkan oleh faktor kebetulan, beda respon ini disebut interaksi antara kedua faktor itu. Bila interaksinya tidak nyata, maka disimpulkan bahwa faktor-faktornya bertindak bebas satu sama lain, pengaruh sederhana suatu faktor sama pada semua taraf faktor lainya dalam batas-batas keragaman acak (Steel and Torrie, 1993).