HUBUNGAN KEBERADAAN BREEDING PLACES, CONTAINER INDEX DAN PRAKTIK 3M DENGAN KEJADIAN DBD (STUDI DI KOTA SEMARANG WILAYAH BAWAH)

dokumen-dokumen yang mirip
Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah, Keberadaan Breeding Places, Perilaku Penggunaan Insektisida dengan Kejadian DBD Di Kota Semarang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,

BAB I PENDAHULUAN. tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya wabah demam dengue di

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahunnya. Salah satunya Negara Indonesia yang jumlah kasus Demam

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Promotif, Vol.5 No.1, Okt 2015 Hal 09-16

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tropis dan subtropis di seluruh dunia. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado. Kata kunci: Status Tempat Tinggal, Tempat Perindukkan Nyamuk, DBD

Kata kunci: Status Tempat Tinggal, Tempat Perindukkan Nyamuk, DBD, Kota Manado

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

Penyakit DBD merupakan masalah serius di Provinsi Jawa Tengah, daerah yang sudah pernah terjangkit penyakit DBD yaitu 35 Kabupaten/Kota.

BAB I PENDAHULUAN. kejadian luar biasa dengan kematian yang besar. Di Indonesia nyamuk penular

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

PERILAKU 3M, ABATISASI DAN KEBERADAAN JENTIK AEDES HUBUNGANNYA DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara serta Pasifik Barat (Ginanjar, 2008). Berdasarkan catatan World

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

BAB 1 PENDAHULUAN UKDW. kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) dan ditularkan oleh nyamuk

BAB 1 PENDAHULUAN. selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus. Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dalam pasal 152

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TANAWANGKO

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN PERILAKU PSN DENGAN KEBERADAAN JENTIK Aedes aegypti DI DESA NGESREP KECAMATAN NGEMPLAK KABUPATEN BOYOLALI

HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I

Fajarina Lathu INTISARI

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. perjalanan penyakit yang cepat, dan dapat menyebabkan. kematian dalam waktu yang singkat (Depkes R.I., 2005). Selama kurun waktu

BAB I PENDAHULUAN. dewasa (Widoyono, 2005). Berdasarkan catatan World Health Organization. diperkirakan meninggal dunia (Mufidah, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. banyak penyakit yang menyerang seperti dengue hemoragic fever.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma

INFORMASI UMUM DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB I PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran epidemiologi..., Lila Kesuma Hairani, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Chikungunya merupakan penyakit re-emerging disease yaitu penyakit

Keyword : PSN, Dengue hemorrhagic fever.

BAB I PENDAHULUAN. virus dengue yang ditularkan dari gigitan nyamuk Aedes aegypti sebagai

Public Health Perspective Journal

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional, yaitu peneliti akan

BAB I PENDAHULUAN. penyebarannya semakin meluas. DBD disebabkan oleh virus Dengue dan

BAB I PENDAHULUAN. 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

HUBUNGAN SIKAP DAN UPAYA PENCEGAHAN IBU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GUNTUNG PAYUNG

Al Ulum Vol.54 No.4 Oktober 2012 halaman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Gambaran Umum Padukuhan VI Sonosewu

Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Semarang

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod Borne Virus, genus

Sitti Badrah, Nurul Hidayah Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman 1) ABSTRACT

SKRIPSI PERBEDAAN PENGETAHUAN DAN SIKAP JUMANTIK KECIL SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN PELATIHAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI MIN KETITANG

HUBUNGAN KEBERADAAN JENTIK PADA TEMPAT PENAMPUNGAN AIR DAN PRAKTIK 3M PLUS DENGAN KEJADIAN DBD DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GENUK SEMARANG TAHUN 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi dan dalam waktu yang relatif singkat. Penyakit jenis ini masih

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk demam berdarah (Aedes

BAB I PENDAHULUAN. telah menjadi masalah kesehatan internasional yang terjadi pada daerah tropis dan

Kepadatan Jentik Nyamuk Aedes sp. (House Index) sebagai Indikator Surveilans Vektor Demam Berdarah Denguedi Kota Semarang

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN PERILAKU PSN DENGAN KEBERADAAN JENTIK Aedes aegypti DI DESA NGESREP KECAMATAN NGEMPLAK KABUPATEN BOYOLALI

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever

HUBUNGAN BREEDING PLACE DAN PERILAKU MASYARAKAT DENGAN KEBERADAAN JENTIK VEKTOR DBD DI DESA GAGAK SIPAT KECAMATAN NGEMPLAK KABUPATEN BOYOLALI

KEPADATAN JENTIK Aedes aegypti sp. DAN INTERVENSI PENGENDALIAN RISIKO PENULARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA PADANG TAHUN 2015

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU KELUARGA TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI KELURAHAN PANCORAN MAS ABSTRAK

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN PANDAN WANGI (Pandanus amaryllifolius Roxb.) DALAM MEMBUNUH LARVA Aedes aegypti

SARANG NYAMUK DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DI DESA KLIWONAN MASARAN SRAGEN

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes

FAKTOR KEBERADAAN BREEDING PLACE DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan. salah satu masalah kesehatan lingkungan yang cenderung

: Environmental factors, Behavior of the family in the prevention, Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Volume VIII Nomor 1, Januari 2017 ISSN (p) -- ISSN (e)

BAB I PENDAHULUAN. dengue, yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini ditemukan di daerah

HUBUNGAN PERILAKU 3M DENGAN KEBERADAAN JENTIK NYAMUK DI DUSUN TEGAL TANDAN, KECAMATAN BANGUNTAPAN, KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes spp.

I. PENDAHULUAN. Diantara kota di Indonesia, Kota Bandar Lampung merupakan salah satu daerah

NASKAH PUBLIKASI. Disusun Oleh: INDRIANI KUSWANDARI

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. dan di 436 kabupaten/kota dari 497 kabupaten/kota sebesar 88%. Angka kesakitan

Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina yang telah membawa virus Dengue dari penderita lainnya. Nyamuk ini biasanya aktif

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata-1 kedokteran umum

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Aedes,misalnya Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit DBD dapat

BAB I PENDAHULUAN. penghujan disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan ke manusia melalui vektor nyamuk

HUBUNGAN ANTARA TINDAKAN PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK (PSN) DENGAN KEBERADAAN JENTIK NYAMUK AEDES

HUBUNGAN ANTARA MEMASANG KAWAT KASA, MENGGANTUNG PAKAIAN DI DALAM RUMAH, DAN KEMAMPUAN MENGAMATI JENTIK DENGAN KEJADIAN DBD

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

Transkripsi:

HUBUNGAN KEBERADAAN BREEDING PLACES, CONTAINER INDEX DAN PRAKTIK 3M DENGAN KEJADIAN DBD (STUDI DI KOTA SEMARANG WILAYAH BAWAH) Widya Gian Argintha *), Nur Endah Wahyuningsih **), Dharminto ***) *)Mahasiswa Peminatan Kesehatan Lingkungan FKM UNDIP **)Dosen Bagian Kesehatan Lingkungan FKM UNDIP ***)Dosen Bagian Biostatistik FKM UNDIP Email : gianargintha33@gmail.com Abstrak Demam Berdarah Dengue adalah salah satu masalah kesehatan di Indonesia yang cenderung meningkat jumlah pasiennya dan semakin meluas penyebarannya serta dapat menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). IR DBD di Kota Semarang tahun 2014 sebesar 92,43/100.000 penduduk sedangkan target nasional IR DBD yaitu <20 per 100.000 penduduk. DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Keberadaan breeding places dapat meningkatkan vektor penularan DBD, semakin banyak tempat perindukan nyamuk maka semakin padat populasi vektor DBD. Tujuan penelitian adalah menganalisis hubungan keberadaan breeding places, container index dan praktik 3M dengan kejadian DBD di Kota Semarang Bawah. Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan desain penelitian case control. Sampel dalam penelitian ini sebesar 35 responden kasus dan 35 responden kontrol. Analisis data menggunakan analisis univariat dan bivariat dengan uji Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara breeding places (p= 0,412;OR= 1,833), container index (p= 0,393;OR= 1,933) dan praktik 3M (p= 1,000;OR= 1) dengan kejadian DBD di Kota Semarang Wilayah Bawah. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara keberadaan breeding places, container index dan praktik 3M dengan kejadian DBD di Semarang Wilayah Bawah. Kata kunci : DBD, Breeding places, Container index, Praktik 3M PENDAHULUAN Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu masalah kesehatan di Indonesia yang cenderung meningkat jumlah pasiennya dan semakin meluas penyebarannya serta dapat menimbulkan kejadian luar biasa. Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub tropis di Indonesia. Host alami DBD adalah manusia, agentnya yaitu virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus. Virus dengue terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 220

dan Den-4, 1 Penyakit DBD umumnya menyerang pada usia anak-anak umur kurang dari 15 tahun dan juga bisa menyerang pada orang dewasa. 2 Di Indonesia penyakit DBD pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968 dan terus mengalami peningkatan jumlah kasus DBD. Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014, Pada tahun 2014 jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 100.347 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 907 orang (Incidence Rate = 39,8 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,9%). 3 Kasus DBD di Jawa Tengah berdasarkan data Profil Kesehatan Jawa Tengah, penyakit DBD masih merupakan permasalahan serius di Provinsi Jawa Tengah. Angka kesakitan/incidence Rate (IR) DBD di Jawa Tengah pada tahun 2014 sebesar 32,95/100.000 penduduk. Sedangkan target nasional yaitu < 20/100.000 penduduk. Angka kematian/case Fatality Rate (CFR) DBD tahun 2014 sbesar 1,44% dengan target nasional <1%. 4 Kasus DBD di Kota Semarang Tahun 2014 jumlah kasus DBD sejumlah 1.628 kasus. Jumlah kematian pada tahun 2014 sebesar 27 kasus. CFR DBD tahun 2014 sebesar 1,66 %. IR DBD tahun 2014 yaitu sebesar 92,43. Sedangkan target nasional Incident Rate DBD yaitu < 20 per 100.000 penduduk dan CFR DBD < 1% yang berarti Kota Semarang belum mencapai target nasional. 5 Menurut teori trias epidemiologi, ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit. Ketiga faktor tersebut adalah host, agent, dan environment. 6 Kejadian DBD erat kaitannya dengan faktor lingkungan yang menyebabkan tersedianya tempat perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti seperti Breeding pleces. Breeding places adalah wadah perkembangbiakan nyamuk yang merupakan tempat nyamuk meletakkan telurnya. Breeding places mendukung meningkatnya vektor penular DBD, semakin banyak breeding places yang menampung air yang berada di dalam maupun disekitar rumah maka semakin banyak tempat bagi nyamuk untuk bertelur dan berkembangbiak maka semakin meningkat pula risiko kejadian DBD. Sampai saat ini belum ada vaksin untuk pencegahan penyakit DBD ataupun untuk penyembuhannya, dengan demikian pengendalian DBD tergantung pada pemberantasan nyamuk Aedes aegypti. Tindakan pencegahan dan pemberantasan akan lebih efektif bila masyarakat dapat menerapkan praktik 3M, yaitu menguras, menutup, mendaur ulang, ditambah dengan mengenakan pakaian pelindung, obat nyamuk, tirai dan kelambu. 7 Keterlibatan masyarakat dalam pencegahan DBD sangat diperlukan karena sangat mustahil dapat memutus rantai penularan jika masyarakat tidak terlibat sama sekali. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang hubungan keberadaan breeding places, container index dan praktik 3M dengan kejadian DBD di Kota Bawah. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian observasional analitik dengan desain penelitian case control dengan pendekatan retrospective. Populasi kasus dalam penelitian ini adalah seluruh penderita diagnosis positif DBD di Kota Semarang yang tercatat di 221

RSUD Tugu, RSUP Kariadi, RSUD Kota Semarang, dan RS Tlogorejo pada bulan Maret-Mei tahun 2016 di Kota Semarang wilayah Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara, Semarang Tengah, Semarang Selatan, Semarang Timur, Pedurungan, Genuk, Gayamsari (Semarang Bawah). Sedangkan populasi kontrol dalam penelitian ini adalah seluruh orang yang tidak menderita DBD yang bertempat tinggal di Kota Semarang wilayah Semarang Bawah. Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan menggunakan teknik total sampling dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria Inklusi kasus meliputi : penderita yang didiagnosis positif penyakit DBD oleh dokter serta tercatat dalam catatan medik RSUD Tugu, RSUP Kariadi, RSUD Kota Semarang, dan RS Telogorejo bulan Maret-Mei tahun 2016, menyetujui lembar Informed Consent penelitian, responden yang diwawancarai meliputi semua umur, apabila umur < 15 tahun maka yang diwawancarai adalah orang tuanya. Dan bertempat tinggal di Kota Semarang wilayah Semarang Bawah. Kriteria eksklusi meliputi : subyek tidak bersedia untuk dijadikan responden dalam penelitian, responden telah pindah ke luar kota Semarang wilayah bawah saat penelitian berlangsung dan alamat tidak ditemukan. Kriteria kontrol inklusi meliputi : kontrol ysitu tetangga/rumah dekat dengan jumlah ± 10 rumah atau radius ± 100 meter dari penderita DBD, responden tidak pernah dirawat di rumah sakit dengan suspek DBD, responden menyetujui lembar Informed Consent penelitian. Kriteria eksklusi kontrol meliputi : tidak bersedia untuk dijadikan responden dalam penelitian, responden sering berpindah-pindah tempat. Serta dilakukan matching antara sampel kasus dan sampel kontrol, yaitu pada variabel umur, jenis kelamin dan pendidikan. Jumlah sampel sebanyak 70 responden yang terbagi menjadi 35 responden kasus dan 35 responden kontrol. Pengumpulan data dengan melakukan wawancara dan observasi atau pengamatan. Pengolahan data dilakukan menggunakan perangkat lunak pengolah data. Tahapan pengolahan data adalah editing, coding, entry data dan tabulating. Sedangkan analisis data dengan analisis univariat dan bivariat dengan menggunakan uji yaitu uji Chi Square dengan nilai keyakinan yang digunakan 95% dan level of significant (α) 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur Responden Kasus DBD Berdasarkan Wilayah di Semarang Bagian Bawah Bulan Maret-Mei 2016 yang Tercatat di 4 Rumah Sakit Umur Jumlah Responden (%) Balita (0-5) 7 10,0% Kanak-kanak (6-32 45,7% 11) Remaja Awal 16 22,9% (12-16) Remaja Akhir 6 8,6% (17-25) Dewasa Awal 5 7,1% (26-35) Dewasa Akhir 3 4,3% (36-45) Lansia Awal (46-0 0,0% 55) Lansia Akhir 1 1,4% (56-65) Manula (65-0 0,0% keatas) Jumlah 70 100% Tabel 1 menunjukkan bahwa proporsi umur responden yang 222

paling banyak yaitu kelompok umur kanak-kanak (6-11 tahun) yaitu sebanyak 32 responden (45,7%). Dari hasil analisis Mann Whitney diperoleh nilai p value=0,931 (p>0,05), maka Ho diterima, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian demam berdarah dengue di Kota Semarang wilayah Semarang bagian bawah. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden di Kota Bagian Bawah yang Tercatat di 4 Rumah Sakit Bulan Maret-Mei Tahun 2016 Jenis Kelamin Status Kasus % Kontrol % Laki-laki 13 37,1 13 37,1 Perempuan 22 62,9 22 62,9 Total 35 100 35 100 Tabel 2 menunjukkan bahwa proporsi jenis kelamin pada kelompok responden kasus dan kontrol di Semarang bagian bawah bulan Maret-Mei tahun 2016 adalah sama, perempuan lebih banyak yaitu 62,9% daripada laki-laki yaitu sebanyak 37,1% untuk kelompok responden kasus dan kontrol. Dari hasil analisis Mann Whitney diperoleh nilai p value=1,000 (p>0,05), maka Ho diterima, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian demam berdarah dengue di Kota Semarang wilayah Semarang bagian bawah. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden di Kota Bagian Bawah Bulan Maret-Mei Tahun 2016 Tabel 3 menunjukkan bahwa proporsi pendidikan responden yang Pendidikan Status Kasus % Kontrol % Tidak Tamat SD 1 2,9 0 0,0 Tamat SD 5 14,3 4 11,4 Tamat SMP 9 25,7 12 34,3 Tamat SMA 18 51,4 13 37,1 Tamat D3/S1 2 5,7 6 17,1 Total 35 100 35 100 paling banyak adalah tamat SMA untuk kelompok responden kasus yaitu sebanyak 51,4% sedangkan kelompok responden kontrol sebanyak 37,1%. Dari hasil analisis Mann Whitney diperoleh nilai p value=0,587 (p>0,05), maka Ho diterima, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan kejadian demam berdarah dengue di Kota Semarang wilayah Semarang bagian bawah. Tabel 4 Distribusi Frekuensi Keberadaan Breeding Places di Kota Semarang Wilayah Semarang Bawah Bulan Maret-Mei 2016 Breeding Places f % Mean SD Ada 18 25,7 Tidak Ada 52 74,3 1,74 0,440 Jumlah 70 100 Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa proporsi responden yang memiliki keberadaan breeding places secara keseluruhan menunjukkan bahwa yang tidak ada jentiknya yaitu sebesar 74,3% dibandingkan yang ada jentiknya yaitu sebesar 25,7%. Tabel 5. Distribusi Frekuensi Container Index di Kota Semarang Wilayah Semarang Bawah Bulan Maret-Mei 2016 223

Containe r Index f % Mea n SD 1 22, Padat 6 9 0,42 1,77 Tidak 5 77, 2 padat 4 1 7 Jumlah 100 0 Tabel 5 menunjukkan bahwa proporsi container index yang padat sebesar 22,9% sedangkan yang tidak padat sebesar 77,1%. Tabel 6. Tingkat Kepadatan Jentik Berdasarkan Container Index Tingkat Kepada tan Jentik Kasus Kontrol Total f % f % f % Tinggi 0 0,0 1 2,9 1 1,4 Sedang 10 28,6 5 14,3 15 21,4 Rendah 1 2,9 1 2,9 2 2,9 Tidak padat 24 68,6 28 80,0 52 74,3 Jumlah 35 100 35 100 70 100 Tabel 6 menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol memiliki tingkat kepadatan jentik tinggi lebih besar 2,9% dari pada kelompok kasus 0,0%. Tingkat kepadatan jentik tidak padat pada kelompok kontrol lebih besar 80,0% dibandingkan dengan kelompok kasus 68,6%. Tabel 7. Distribusi Frekuensi Praktik 3M di Kota Semarang Wilayah Semarang bagian Bawah Bulan Maret-Mei 2016 Praktik 3M f % Mean SD Kurang 22 31,4 Baik 1,68 0,467 Baik 48 68,6 Jumlah 70 100 Tabel 7 menunjukkan bahwa proporsi responden yang melakukan praktik 3M yang baik yaitu sebesar 68,6% dibandingkan yang kurang baik yaitu sebesar 31,4%. Tabel 8. Hubungan antara Keberadaan Seluruh Breeding Places dengan Kejadian DBD di Kota Semarang Wilayah Semarang Bagian Bawah Breedin g places Kasus Kontrol f % f % p OR Ada 11 31,4 7 20 0,412 1,833 Tidak Ada 24 68,6 28 80 Jumlah 35 35 Tabel 8 menunjukkan bahwa proporsi subyek penelitian dengan keberadaan seluruh breeding places yang ada jentik pada kelompok kasus sebesar 31,4% dan pada kelompok kontrol yaitu sebesar 20,0%. Nilai p value = 0,412 (p>0,05), maka Ho diterima, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara keberadaan breeding places dengan kejadian DBD di Kota Semarang wilayah Semarang bagian bawah. Nilai Odd Ratio (OR) = 1,833 (95% CI = 0,614-5,471) menunjukkan bahwa subyek penelitian yang mempunyai breeding places belum tentu benar faktor risiko terjadinya DBD di Kota Semarang wilayah Semarang bagian bawah. Tabel 9. Hubungan Antara Container Index dengan Kejadian DBD di Kota Semarang Wilayah Semarang Bagian Bawah Conta iner Index Kasus Kontrol f % f % Padat 10 28,6 6 17,1 0,393 Tidak padat Jumla h 25 71,4 29 82,9 35 35 95% CI 0,614-5,471 p OR 95% CI 1,93 3 Dari tabel 9 menunjukkan bahwa proporsi subjek penelitian 0,615-6,074 224

dengan container index yang memiliki kepadatan jentik padat pada kelompok kasus yaitu sebesar 28,6% sedangkan pada kelompok kontrol yaitu sebesar 17,1%. Hasil uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p value=0,393 (p>0,05), maka Ho diterima, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara Container index dengan kejadian DBD di Kota Semarang wilayah Semarang bagian bawah. Nilai Odd Ratio (OR) = 1,933 (95% CI = 0, 615-6,074) menunjukkan bahwa container index yang diteliti belum tentu benar sebagai faktor risiko terjadinya DBD dengue di Kota Semarang wilayah Semarang bagian bawah. Tabel 10. Hubungan antara Praktik 3M dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Bagian Bawah Praktik 3M Kurang Baik Kasus Kontrol f % f % p OR 11 31,4 11 31,4 1,000 1 Baik 24 68,6 24 68,6 Jumlah 35 35 Berdasarkan Tabel 10 menunjukkan proporsi subyek penelitian praktik 3M yang memiliki kebiasaan kurang baik dalam melakukan praktik 3M pada kelompok kasus sebesar 31,4% dan kelompok kontrol sebesar 31,4%. Dari hasil uji statistik Chi- Square diperoleh nilai p value= 1,000 (p>0,05), maka Ho diterima, hal tersebut berarti menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara praktik 3M dengan kejadian DBD di Kota Semarang wilayah Semarang bagian bawah. Nilai Odd Ratio (OR) = 1 (95% CI = 0,364-2,744) menunjukkan bahwa subyek penelitian yang melakukan praktik 3M bukan merupakan faktor risiko terjadinya DBD di Kota Semarang wilayah Semarang bagian bawah. Hubungan Keberadaan Breeding Places dengan Kejadian DBD di Kota Semarang Wilayah Semarang Bagian Bawah Bulan Maret-Mei 2016 Dari hasil uji statistik Chi Square didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara keberadaan breeding places dengan kejadian DBD di Kota Semarang wilayah Semarang bagian bawah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2009) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tempat perindukan nyamuk dengan keberadaan jentik Aedes aegypti. 8 Tidak adanya hubungan antara keberadaan breeding places dengan kejadian DBD pada penelitian ini karena kurangnya 95% CI variasi hasil penelitian keberadaan breeding places antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Menurut hasil pengamatan dan wawancara, responden pada kelompok kasus yang mempunyai breeding places tidak jauh berbeda dengan responden kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan tempat tinggal antara kasus dan kontrol mempunyai karakteristik yang hampir sama. Selain itu breeding places yang terjadi sekarang ini tidak mencerminkan kejadian DBD dimasa lampau sehingga pada saat responden mengalami penyakit DBD, pada saat itu kemungkinan besar breeding places tinggi. Untuk menjadi DBD tidak hanya dipengaruhi oleh breeding place saja, tetapi ada faktor lainnya yang dimungkinkan 0,364-2,744 225

berpengaruh dalam kejadian tersebut. Hubungan Container Index dengan Kejadian DBD di Kota Bagian Bawah Bulan Maret-Mei 2016 Pada penelitian ini container index dan kasus DBD menghasilkan hubungan yang tidak signifikan. Sejalan dengan penelitian dari Astika Fardani (2011) dalam penelitian yang berjudul hubungan kepadatan jentik dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kelurahan Sendangmulyo Kota Semarang melalui pendekatan analisis spasial menyatakan bahwa container index (p= 0,573) dengan kejadian DBD tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya indeks kepadatan jentik tidak mempengaruhi jumlah kasus DBD. Sesuai dengan penelitian oleh Kamanie Puti (2008) di Jakarta Timur yang menyatakan bahwa kepadatan jentik tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan IR DBD. 9 Menurut hasil pengamatan, Container index (CI) tidak berhubungan secara statistik dalam penelitian ini dengan kejadian DBD. Biasanya CI dihitung pada unit analisis penelitian yang lebih luas seperti desa atau kecamatan. Proporsi kontainer positif yang dilihat adalah proporsi secara keseluruhan. Dalam penelitian ini, CI yang diperoleh adalah CI tiap rumah responden, sehingga unit analisis adalah individu. Menurut WHO semakin tinggi nilai kepadatan vektor maka akan meningkatkan risiko penularan penyakit DBD. 10 Tingginya kepadatan vektor akan mempengaruhi distribusi penyebaran penyakit DBD dan dikhawatirkan akan mempercepat penularan kasus DBD. Penyebaran penyakit DBD dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan PSN serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk yang sejalan dengan semakin membaiknya sarana transportasi. 11 Hubungan Praktik 3M dengan Kejadian DBD di Kota Semarang Wilayah Semarang Bagian Bawah Bulan Maret-Mei 2016 Praktik 3M terdiri dari praktik menutup tempat penampungan air, menguras tempat penampungan air dan mengubur atau mendaur ulang barang-barang bekas yang tidak terpakai. Selain itu ada kegiatan tambahan lainnya seperti mengganti air vas bunga atau tempat minum hewan, menutup lubang pohon, menaburkan larvasida, memelihara ikan pemakan jentik, memasang kawat kasa, menggunakan kelambu, dll. Pada penelitian ini praktik 3M dan kasus DBD menghasilkan hubungan yang tidak signifikan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ariyati (2015) tentang hubungan antara perilaku PSN dengan (3M Plus) dan kemampuan mengamati jentik dengan kejadian penyakit DBD di Kelurahan Tembalang, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. Dalam penelitian tersebut diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara menguras TPA, menutup TPA, menyingkirkan atau mendaur ulang barang-barang bekas, memelihara ikan pemakan jentik, kebiasaan tidur menggunakan kelambu dan menggunakan obat anti nyamuk. 226

Tidak adanya hubungan antara praktik 3M dengan kejadian DBD di Kota Semarang bawah pada penelitian ini adalah karena keadaan masyarakat yang homogen dan tinggal dalam lingkungan yang tidak jauh berbeda sehingga kemungkinan menyebabkan perilaku masyarakat antara kelompok kasus dan kontrol hampir sama. Selain itu kejujuran dari masyarakat yang kurang sehingga pada saat wawancara mengenai keadaan mereka jawaban dari responden terkesan dibuat bagus. Mengingat obat dan vaksin pencegah penyakit DBD hingga kini belum tersedia maka upaya pengendalian penyakit DBD dititik beratkan pada pemutusan mata rantai siklus hidupnya. Upaya pengendalian nyamuk Aedes aegypti dianggap sebagai cara yang paling tepat untuk menurunkan kejadian penyakit DBD yaitu dengan program 3M, yaitu menguras, menutup, dan mengubur tempat penampungan air serta tambahan seperti menggunakan kelambu, memelihara ikan pemakan jentik dan sebagainya adalah satu cara yang dianjurkan pemerintah saat ini. Upaya lain pengendalian vektor penyakit DBD ialah dengan penggunaan bahan kimiawi maupun biologis. Tapi yang paling penting yaitu meningkatkan kesadaan masyarakat agar mau memperhatikan kebersihan lingkungannya dan memahami mekanisme penularan DBD sehingga dapat berperan aktif menanggulangi penyakit DBD. KESIMPULAN 1. Proporsi umur responden yang paling banyak yaitu kelompok umur kanak-kanak (6-11 tahun) yaitu sebanyak 32 responden (45,7%). Sedangkan proporsi jenis kelamin pada kelompok responden kasus dan kontrol adalah sama, perempuan lebih banyak yaitu 22 responden (62,9%) daripada laki-laki yaitu sebanyak 13 responden (37,1%). Proporsi pendidikan responden yang paling banyak adalah adalah tamat SMA untuk kelompok responden kasus yaitu sebanyak 18 responden (51,4%) sedangkan kelompok responden kontrol sebanyak 13 responden (37,1%). 2. Tidak ada hubungan antara keberadaan breeding places dengan kejadian demam berdarah dengue di Kota Semarang wilayah Semarang bagian bawah dengan nilai p= 0,412; OR= 1,833; CI= 0,614-5,471 3. Tidak ada hubungan antara container index dengan kejadian demam berdarah dengue di Kota Semarang wilayah Semarang bagian bawah dengan nilai p = 0,393; OR = 1,933; CI = 0,615-6,074 4. Tidak ada hubungan antara praktik 3M dengan kejadian demam berdarah dengue di Kota Semarang wilayah Semarang bagian bawah dengan nilai p = 1,000; OR =1; CI = 0,364-2,744 SARAN 1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Semarang Memberikan program rutin mengenai DBD dengan menyertakan masyarakat didalamnya 2. Masyarakat Masyarakat lebih memperhatikan lingkungan tempat tinggalnya dan menjaga agar lingkungan tersebut terhindar dari penyakit DBD seperti memberantas objek yang berpotensi untuk menjadi sarang 227

nyamuk. Masyarakat lebih meningkatkan kegiatan preventif seperti gerakan 3M Plus secara serentak dan berkala. 3. Peneliti Lain Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk variabel breeding places, container index, dan praktik 3M. Variabel yang tidak berhubungan pada penelitian ini perlu diteliti kembali untuk memastikan dan lebih mengetahui faktor lain yang berhubungan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue. Selain itu sebaiknya dalam pemilihan sampel untuk kelompok kontrol lebih di spesifikasikan lagi sehingga ada variasi data antara kelompok kasus dan kontrol. DAFTAR PUSTAKA 1. Kurane I. Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on Immunopathogenesis. Comparative Immunology, Microbiology & Infectious Disease.; 2007. 2. Widoyono. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya. Erlangga Med Ser (EMS) Semarang. 2005. 3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2015. 4. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Buku Saku Kesehatan Tahun 2014. Semarang: Dinkesprov Jateng; 2015. 5. Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2014. Semarang: Dinkes Kota Semarang; 2015. 6. Bustan, M.N. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Cetakan Ke-2. Jakarta: Rineka Cipta; 2007. 7. Depkes RI. Pedoman Penanggulangan Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Depkes RI; 2008. 8. FS N. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Jentik Aedes Aegypti Di RW IV Desa Ketitang Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. 9. Putri M. Analisis Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Per Kecamatan Di Kotamadya Jakarta Timur Tahun 2005-2007. Skrpsi Tidak Diterbitkan. Depok: Fakuktas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2008. 10. WHO. Panduan lengkap: Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran, EGC. 2004. 11. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. Buletin Jendel Epidemiologi Topik Utama Demam Berdarah Dengue. In: Volume 2. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2010. 228