TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali dan sapi Peranakan Onggol (PO) yang dipelihara petani

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

BAB I PENYERENTAKAN BERAHI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

PERBAIKAN FERTILITAS MELALUI APLIKASI HORMONE GONADOTROPIN PADA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POST-PARTUM DI TIMOR BARAT

HASlL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A.


Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

5 KINERJA REPRODUKSI

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

MATERI DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada peternakan sapi rakyat di Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Anatomi/organ reproduksi wanita

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Folikulogenesis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad

Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Simmental, antara lain warna bulu penutup badan bervariasi mulai dari putih

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

PENGARUH PERLAKUAN SINKRONISASI BERAHI TERHADAP RESPON BERAHI PADA SAPI BALI INDUK PASCA MELAHIRKAN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

TINJAUAN PUSTAKA. Sejarah Perkembangan Kambing PE

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. Hormon dan Perannya dalam Dinamika Ovari

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan fase luteal yang terdiri dari metestrus-diestrus (Toelihere, 1979).

GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

I. PENDAHULUAN. salah satu daya pikat dari ikan lele. Bagi pembudidaya, ikan lele merupakan ikan

BAB V INDUKSI KELAHIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersifat sementara dan dapat pula bersifat menetap (Subroto, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. Gamba. r 1. Beberapa Penyebab Infertilitas pada pasangan suami-istri. Universitas Sumatera Utara

PAPER SINKRONISASI ESTRUS PADA TERNAK

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi asli dan murni

PAPER SINKRONISASI ESTRUS PADA TERNAK

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

BAB II FAAL KELAHIRAN

PENGARUH INJEKSI PGF2α DENGAN HORMON PMSG PADA JUMLAH KORPUS LUTEUM, EMBRIO DAN JUMLAH ANAK KELINCI

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

... Tugas Milik kelompok 8...

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Fisiologi Reproduksi Sapi Bali Sapi Bali dan sapi Peranakan Onggol (PO) yang dipelihara petani mempunyai fungsi ganda, disamping sebagai sumber tenaga kerja juga sebagai penghasil daging yang sangat dibutuhkan. Akan tetapi sampai saat ini sub sektor peternakan belum mampu memenuhi standar minimum kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh salah satu faktor yaitu relatif rendahnya peningkatan populasi ternak, khususnya ternak sapi di Indonesia. Dilihat dari potensi produksi dan reproduksi sapi Bali dan Peranakan Ongole serta daya adaptasi terhadap kondisi tropis maka kedua bangsa sapi tersebut mempunyai peluang besar untuk lebih ditingkatkan produktivitasnya melalui perbaikan manajemen pemeliharaan yang optimal serta penerapan teknologi secara tepat. Siklus estrus merupakan interval antara timbulnya satu periode estrus ke permulaan periode estrus berikutnya. Siklus estrus pada sapi berlangsung selama rata-rata 21 hari, bervariasi antara 18 sampai 24 hari (Partodihardjo, 1992 dan Toelihere, 1985), sedangkan panjang satu siklus estrus tidak selalu sama pada setiap individu sapi. Siklus estrus pada sapi Bali sama dengan ternak lainnya, yang berkisar antara 17 dan 27,4 hari, rata-rata 21,4 hari (Toelihere et al., 1989). Demikian pula yang dilaporkan oleh Fattah (1998) panjang siklus estrus pada sapi bali berkisar antara 17 sampai 24 hari, meskipun ada yang mencapai lebih dari 24 hari. Tingginya persentase jarak siklus estrus panjang pada ternak-ternak menurut Sharma et al. (1984) dalam Fattah (1998), antara lain disebabkan oleh salah satu

atau kombinasi dari faktor-faktor berikut ini : estrus yang tidak terdeteksi, gangguan ketidakseimbangan hormonal dan faktor makanan. Menurut Partodihardjo (1992) panjang siklus estrus disebabkan oleh bermacam-macam hal, namun keadaan ini hampir selalu mempunyai hubungan dengan kelainan fbngsi hormonal. Estrus adalah suatu kegiatan fisiologik pada hewan betina yang dimanifestasikan dengan memperlihatkan keinginan kawin dan penerimaan jantan oleh hewan betina dewasa yang berlangsung dalarn suatu periode yang terbatas, atau merupakan periode seksual pada ternak yang dikarakteristikkan dengan keinginan untuk kiiwin. Estrus adalah bagian dari siklus berahi dimana pada kondisi ini hewan betina mau menerima jantan untuk aktivitas reproduksi (Partodihardjo, 1992). Dikatakan pula bahwa estrus merupakan periode dimana sapi menerima aktivitas seksual dan ditandai dengan diam bila dinaiki sapi lain, baik jantan maupun betina (Philips, 1993 dalam Gordon, 1994). Lama periode estrus pada sapi bervariasi berdasarkan bangsa, manajemen dan berbagai faktor lingkungan, yaitu berkisar antara tiga sampai 28 jam dengan rataan selama 12 sampai 16 jam (Allrich, 1993). Payne dan Rollinson (1973) dm Mulyono (1977) menyatakan bahwa, lama estrus pada sapi Bali dan banteng liar berada pada kisaran 18 sampai 48 jam. Sedangkan Toelihere et al. (1989) menemukan lama estrus sapi Bali di pulau Timor rata-rata 22,96 jam. Selanjutnya hasil penelitian Darmadja (1980) menunjukkan lama estrus pada sapi Bali di pulau Bali rata-rata 25,58 jam. Pada penelitian lainnya diperoleh lama periode estrus yang hampir sama dan tidak dipengaruhi oleh musim (Toelihere et al., 1990). Hasil pengamatan tersebut

menunjukkan bahwa lama estrus pada musim kemarau (19,85 jam) relatif lebih singkat daripada musim hujan atau akhir musim hujan (21,38 jam), walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Di daerah beriklim sedang tern& sapi estrus 15 sampai 18 jam (Hammond dm Marshall, 1958; Lesley et al, 1961 ; Esslemont dm Bryant, 1976 dalam Fattah, 1998). Dibandingkan dengan bangsa sapi di daerah beriklim sedang, estrus pada sapi Bali cukup lama. Menurut Partodihardjo (1992) lama estrus pada sapi Ongole dan PO diperkirakan lebih pendek daripada sapi Bali. Umumnya ovulasi terjadi 10 sampai 12 jam setelah akhir estrus yang dinyatakan sebagai hari kesatu dari siklus estrus. Ovulasi adalah proses pelepasan sel telur dari folikel matang atau folikel de Graaf. Hafez (1987) menjelaskan, bahwa secara morfologik proses ovulasi terjadi akibat menipisnya dinding folikel karena semakin bertambahnya cairan folikel sehingga tidak terjadi vaskularisasi pada bagian yang semakin menipis, dan dinding folikel pada bagian tersebut pecah. Keadaan ini dimanfaatkan oleh cairan antrum folikel untuk menyusup masuk menggantilcan tempat rupturnya sel-sel granulosa. Akibat tekanan yang makin hat, dinding folikel pecah sehingga cairan antrum bersama ovum akan terlontar keluar, dan peristiwa ini disebut ovulasi,. Disamping proses mekanik terjadi pula proses kirniawi dalam ovulasi. Proses kimiawi ini terjadi pada folikel de Graaf sewaktu mensekresikan estrogen yang bekerja memberi umpan balik positif kepada hipofisis melalui hipotalamus untuk melepaskan GnRH-LH yang menstimulasi sekresi LH. Luteinizing hormon (LH) membebaskan histamin yang menyebabkan hiperemia pada ovarium.

Diduga hiperemia ini mungkin menstimulir enzim proteolitik seperti kolagenase yang akan mengadakan pemisahan kumulus dari sekeliling folikel. Dengan demikian kerja enzim-enzim proteolitik melemahkan dinding folikel dan terjadi suatu daerah vaskuler untuk stigma dan ovulasi pada daerah penonjolan superfisial dimana dinding folikel tidak didukung oleh stroma folikel dan terjadi ovulasi. Setelah ovulasi terbentuk corpus luteum (CL) pada bekas folikel yang telah pecah dan mulai mensekresikan progesteron. CL terbentuk dari diferensiasi sel-sel folikel preovulatoris setelah lonjakan pelepasan LH ( Davis et al., 1996 ), Toelihere (1985) mengatakan bahwa penyerentakan estrus dan ovulasi dimaksudkan untuk mempertinggi kemungkinan pertemuan ovum dengan sperma dalam proses pembuahan untuk memulai pertumbuhan dan perkembangan individu baru. Lama estrus pada sapi Bali berlangsung 18-48 jam, lebih lama daripada ternak sapi di daerah beriklim sedang. Kemungkinan ha1 ini ada hubungannya dengan angka kesuburan yang cukup tinggi. Selain itu sapi Bali mempunyai kemampuan adaptasi yang sangat baik dan sanggup tumbuh subur pada tingkat pakan yang jelek (Payne, 1970), serta toleransi terhadap kondisi panas yang cukup tinggi, sesuai dengan pendapat Atmadilaga (1959) dalam Fattah (1998). Pane (1991) melaporkan angka kesuburan sapi Bali mencapai 88 %. Demikian halnya dengan laporan Darmadja (1980) yang memberikan hasil 85,85%. Nilai ini nyata lebih tinggi daripada angka kesuburan bangsa sapi lainnya. Andrews (1972) dan Daniel et al. (1972) dalam Fattah (1998) menyatakan angka kesuburan pada Bos Taurus berkisar antara 50 sampai 70 %. Tingginya fertilitas sapi Bali ini mungkin erat berhubungan dengan panjangnya

lama berahi, ha1 ini diperkuat oleh Austin dan Bhisholp (1957) dalam Fattah (1998) yang menyatakan, pada jenis mamalia yang mempunyai lama berahi panjang akan lebih fertil dibandingkan yang mempunyai lama berahi pendek. Estrus Pertama Pasca Melahirkan Segera setelah terjadi kelahiran, estrus akan timbul kembali sesuai dengan siklus estrus dan involusi uteri. Hafez (1987) menyatakan bahwa segera setelah kelahiran akan terjadi fase anestrus. Lamanya fase anestrus tersebut dipengaruhi oleh laju involusi uteri, laju perkembangan folikel dalam ovarium, konsentrasi gonadotropin hipofisial dan periferal, level estrogen dan progesteron periferal serta perubahan dalam bobot tubuh dan intake energi (Stevenson dan Britt, 1980 dalam Darodjah, 1991). Umumnya kasus anestrus diakibatkan oleh serangkaian folikel dominan yang gaga1 berowlasi karena penurunan konsentrasi estradiol yang diproduksi selsel granulosa di dalam ovarium untuk menstimulasi lonjakan LH. Kondisi ini mengakibatkan tidak terjadinya fertilisasi sehingga ternak dapat memperlihatkan estrus kembali dan sebagai konsekuensinya te rjadi perpanjangan interval antar kelahiran (Roche et al., 1992). Rataan jarak dari beranak sampai estrus kembali pada sapi, umurnnya adalah 61 hari. Hal ini dipengamhi oleh keadaan induk yang sedang menyusui, dan tingkat pakan sebelum dan sesudah beranak (Warnick, 1955 dalam Liwa, 1990). Sementara Liwa (1990) mengutip Wiltbank (1970), menyatakan sapi beranak dipengaruhi oleh umur induk saat beranak. Pane (1979) dalam pengamatannya pada sapi Bali melaporkan persentase dari sapi yang diteliti

menunjukkan estrus kembali setelah beranak dalam waktu dua sampai dengan enam bulan. Tingkat reproduksi pada ternak merupakan faktor penting dan merupakan potensi yang dimiliki oleh ternak yang bersangkutan. Besarnya potensi tersebut dapat berbeda pada individu yang sama. Nilai tingkat reproduksi sangat terkait dengan kemampuan reproduksi yang juga berhubungan langsung dengan efisiensi reproduksi. Peters dan Ball (1987) menyatakan bahwa tingkat reproduksi ini merupakan faktor penting dalam menetapkan efisiensi reproduksi ternak. Selanjutnya dinyatakan bahwa sebaiknya temak sapi betina melahirkan sekali dalam setahun. Hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan jarak kelahiran. Jarak kelahiran dapat dibagi dalam dua komponen 1) interval antara kelahiran dan konsepsi dan 2) periode kebuntingan. Komponen pertama merupakan interval waktu dari terjadinya kelahiran hingga terjadinya kebuntingan berikutnya. Komponen ini merupakan faktor pokok yang menentukan jarak kelahiran dan selanjutnya merupakan parameter yang biasa digunakan untuk memanipulasi jarak kelahiran. Komponen kedua merupakan periode kebuntingan yang secara normal terjadi antara 280-285 hari pada ternak sapi dan akan bervariasi tergantung pada pengaruh genetik tetuanya, dan hanya dapat diperpendek dengan induksi kelahiran (Peters dan Ball, 1987). Untuk dapat menghasilkan anak setiap tahun atau sekitar 12 bulan, induk harus dikawinkan paling lambat 85 hari setelah beranak ; dengan kata lain interval antara kelahiran dan konsepsi harus tidak lebih dari 85 hari. Dalam ha1 ini harus diperhatikan dua ha1 yakni ; 1) interval antara kelahiran dengan perkawinan pertama dan 2) antara perkawinan pertama dengan konsepsi. Betina-betina yang

dapat dikawinkan hanyalah betina yang sedang berahi dan untuk mengetahui ha1 tersebut hams dilakukan pengamatan antara 40-60 hari sesudah induk beranak (Barret dan Larkin, 1974). Devendra et al. (1979) melaporkan sapi Bali di Malaysia berahi kembali 182,4 k 10,3 hari, sedangkan Darmadja (1980) melaporkan bahwa di pulau Bali sapi Bali berahi kembali setelah beranak dipengaruhi oleh pola tanam. Penelitian ini akan menekankan manipulasi dengan induksi berahi pada interval antara kelahiran dengan perkawinan pertama hingga terjadinya konsepsi. Pelaksanaan perkawinan dilakukan dengan metode inseminasi buatan. Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) Pregnant Mare Serum Gonadotropin adalah hormon gonadotropin yang terdapat di dalam serum kuda bunting. PMSG akhir-akhir ini lebih dikenal dengan sebutan Equine Chorionic Gonadotropin atau ecg (Jainudeen dan Hafez, 1987). Tujuan penggunaan hormon gonadotropin adalah untuk menginduksi pematangan folikel, estrus dan ovulasi. Menurut Hendrics dan Hill (1978) PMSG dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah folikel de Graaf dan jumlah ovulasi. Walaupun demikian terdapat variasi individu ternak terhadap keragaman respons. Cole dan Hart (1930) dalam McDonald (1980) melaporkan bahwa sumber PMSG adalah mangkok endometrium kuda bunting pada umur kebuntingan 40 sampai 140 hari. Kadar PMSG di dalam serum darah mencapai puncaknya pada umur kebuntingan 60 sampai 110 hari, sedang Allen dan Stewart (1978) mengemukakan bahwa kadar tertinggi tercapai pada kebuntingan hari ke 55 sampai hari ke 75.

Menurut Reeves (1987) secara kimiawi PMSG mempunyai struktur yang mirip dengan FSH dan LH. PMSG merupakan hormon glikoprotein dengan berat molekul60.000 Dalton yang terdiri atas dua sub unit, yaitu sub unit a dan sub unit p. PMSG memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi terutama pada gugus asam sialat. Konsentrasi asam sialat yang tinggi ini diduga menyebabkan masa paruh PMSG cukup panjang bila dibandingkan dengan hormon gonadotropin yang lainnya. Alfbraiji et al. (1993) dan Moore (1984) menyatakan bahwa keuntungan menggunakan PMSG untuk merangsang peningkatan pertumbuhan folikel preovulatoris adalah, tersedia dalam jumlah yang besar dengan harga murah dan penggunaannya cukup hanya diberikan satu kali saja karena memiliki masa paruh yang panjang. Waktu paruh PMSG menurut Papkoff (1978) dan Reeves (1987) berkisar antara 6 sampai 7 hari. Peranan Hormon Progesteron dan Penggunaannya Progesteron dihasilkan oleh sel-sel luteal pada corpus luteum, plasenta dan kelenjar adrenal (Hafez, 1987). Selanjutnya dikatakan bahwa, pada level yang tinggi di dalam darah progesteron akan rnenghambat terjadinya estrus dan peiepasan LH. Progesteron penting dalam pengaturan hormonal pada siklus estrus. Adanya progesteron dapat memperlambat kontraksi uterus oleh pengaruh estrogen Partodihardjo (1992) menerangkan bahwa progesteron termasuk progestagen yaitu kelompok steroid yang terdiri atas 21 atom karbon, dan hanya progesteronlah yang mempunyai khasiat jauh melebihi progestagen yang lain. Lebih lanjut dinyatakan progesteron mempunyai tiga pengaruh nyata pada uterus

yaitu, (1) menghambat kontraksi myometrium, (2) merangsang tumbuhnya kelenjar-kelenjar susu uterus pada endometrium, dan (3) pada spesies tertentu implantasi setelah diikuti oleh proses perkembangan sel-sel permukaan endometrium yang menerima blastosis yang disebut deciduom. Progesteron merubah hngsi ovarium pada sapi dan dalam dosis yang cukup akan menghambat ovulasi. Progesteron eksogen diberikan untuk menginduksi konsentrasi yang lebih rendah, sama atau lebih besar daripada level fisiologik. Tergantung pada dosisnya, progesteron eksogen akan menghambat perkembangan folikel dominan apabila diberikan selama fase pertumbuhan (Adams, 1994). Pembentukan maupun regresi corpus luteum diinterpretasikan dengan turun naiknya kadar progesteron dalam plasma darah, dan perubahan kadar progesteron tidak selalu diikuti oleh tampakan tanda-tanda estrus secara klinis, karena estrus ditentukan oleh tingginya kadar estrogen di dalam darah. Keduanya mengatur kejadian siklus estrus di dalam keseimbangannya (Wijono, 1998). Selanjutnya dikatakan bahwa hormon progesteron selama periode siklus estrus menunjukkan fluktuasi yang teratur, merupakan manifestasi adanya aktivitas ovarium. Kadar progesteron mempunyai variasi tingkatan kandungan, pada saat kurang dari 1 ng/ml dapat digunakan untuk pendugaan terjadinya estrus, dan kadar progesteron lebih dari 3 ng/ml mengarah terjadinya kebuntingan atau pembentukan corpus luteum. Menurut Toelihere (1985) pemberian progesteron yang dimasukkan ke dalam vagina dengan bantuan spons atau sejenisnya akan terjadi penyerapan progesteron ke dalam aliran darah dari epitel vagina sehingga menghambat

ovulasi, dan pada waktu spons tersebut dicabut kembali maka betina tersebut akan berahi beberapa hari kemudian. Pemberian progesteron pada sapi yang diovariektomi menekan keluarnya LH (Beak et al., 1976 dalam Kinder et al., 1996). Mann dan Lamming (1995) menyatakan bahwa progesteron bertanggung jawab untuk menstimulir beberapa faktor yang berhubungan dengan produksi PGF2a dan menekan perkembangan reseptor oksitosin di dalam uterus. Beberapa cara pemberian progesteron yaitu secara oral melalui pakan, injeksi setiap hari, spiral vagina dan implan subkutan. Selanjutnya digunakan Progesterone Releasing Intravagnal Device (PRID) clan akhir-akhir ini dikembangkan lagi Controlled Internal Drug Release (OR) yang berisi progesteron alami (Macmillan and Peterson, 1993). Selanjutnya Revah dan Butler (1996) melaporkan bahwa preparat progesteron seperti Melangestrol asetate (MGA), Controlled Internal Drug Release Bovine Device (CIDR-B), Progesterone Releasing Intravaginal Device (PRID) dan Norgestomet Implant (Syncro-Mate B) telah digunakan untuk kegiatan sinkronisasi estrus pada ternak sapi. Bersamaan dengan metode pemberian implan intravaginal maupun implan subkutan pada telinga, periode pemberian juga dipersingkat, dari sekitar 14 hari menjadi hang dari 10 hari (Jochle, 1993) Beberapa peneliti melaporkan penggunaan progestin selarna lebih dari tujuh hari menghasilkan sinkronisasi yang bagus tetapi mempunyai daya fertilisasi yang rendah setelah di IB pada estrus pertama (Stock dan Fortune, 1993). Sedangkan implan tepat pada tujuh hari memperlihatkan respons estrus 60 sampai 70 %. Penggunaan CIDR selama 3,4 dan 5 hari dimulai pada hari pertama siklus estrus menyebabkan kejadian luteolisis prematur. Sedangkan perlakuan CIDR

pada metestrus selama 12 hari menghasilkan luteolisis prematur sebanyak 5 % sapi dasa. Menurut InterAg (1996), pada sapi potong penggunaan CIDR sebaiknya tidak kurang dari 9 hari dan respons estrus yang dicapai adalah 80 sampai 90 %. Macmillan dan Peterson (1993) mengemukakan bahwa konsentrasi atau kandungan hormon progesteron di dalam kemasan CIDR adalah sebesar 1,9 gram. Hal ini berarti bahwa penggunaan progesteron dalam kemasan ini jika dilakukan dalam waktu relatif singkat (lima sampai sembilan hari) akan memberikan efisiensi yang lebih tinggi karena progesteron pada kemasan ini dapat digunakan lagi dalam kegiatan sinkronisasi berikut baik pada ternak yang sama maupun pada ternak lain. Penggunaan ulang CIDR dalam kegiatan sinkronisasi telah dibuktikan pula oleh Macmillan et al. (1991 dan 1993) dan Bo et al. (1995). Kombinasi Progesteron dan PMSG dalam Akselerasi Estrus Post-partum. Gonadotropin adalah hormon yang mempengaruhi gonad, Ada beberapa macam hormon gonadotropin diantaranya adalah pregnant mare serum gonadotropin (PMSG). PMSG sering digunakan setelah pemberian progesteron untuk menstimulasi estrus dan ovulasi pada sapi anestrus. Dari beberapa hasil penelitian penggunaan tunggal hormon progesteron dalam sinkronisasi estrus memberi respons estrus yang tinggi jika dilakukan dalam waktu yang panjang sesuai umur corpus luteum, namun angka konsepsi yang dicapai umurnnya rendah ( Jochle, 1993 ; Savio et al., 1993 ; Stock & Fortune, 1993 dan Wehrman et al., 1993). Sedangkan pemberian progesteron bersama Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) pada sapi kurang dari 60 hari setelah beranak lebih meningkatkan angka kebuntingan dibandingkan hanya

perlakuan progesteron (Roche et al., 1992). Secara fisiologis PMSG sangat aktif menyebabkan pertumbuhan folikel dan sedikit luteinisasi (Toelihere,1985). Pemakaian PMSG telah digunakan untuk sapi penderita anestrus yang disebabkan oleh hipofbngsi ovarium, 55 % sapi mengalami kesembuhan setelah pemberian PMSG dengan dosis 1500 sarnpai 2000 IU (Suardi, 1989). Pemanfaatan hormon gonadotropin telah digunakan untuk melihat pengaruh pembatasan energi pada respons penyerentakan berahi setelah beranak pada sapi Charolais dengan memberikan implan Norgestomet dan 600 IU PMSG (Cronogest PMSG ND). Hasil penelitian memperlihatkan tidak ada pengaruh pembatasan sumber energi antara kelompok sapi yang diberi pakan sumber energi standar (100 %) dan kelompok sapi yang diberi pakan sumber energi yang dikurangi (70 %). Semua sapi menunjukkan puncak LH dan ovulasi setelah perlakuan yang diperlihatkan oleh puncak progesteron, dan setelah IB hanya satu ekor sapi dari masing-masing kelompok yang tidak bunting (Grimard et al., 1994). Untuk mengatasi masalah anestrus serta untuk sinkronisasi estrus periode post partum telah dicoba penggunaan PRID (progesterone intrmagrnal releasing device), baik yang diberikan secara sendiri maupun yang diberikan bersama dengan oestradiol benzoat. Murphy et al. (1989) dalam Roche et al. (1992) melaporkan bahwa pemberian PRlD merangsang timbulnya estrus lebih awal (21 f 4 hari) dibanding dengan kontrol (35 f 24 hari) periode post partum. Dengan demikian, pemberian PRID nyata mempercepat munculnya estrus serta ovulasi periode post partum pada sapi perah.

Disamping penggunaan PRID, CIDR juga telah digunakan secara luas. Macmillan dan Day (1987) dalam Roche et al. (1992) melaporkan bahwa sapi perah yang anestrus pada periode post partum setelah diberikan CIDR 48% memperlihatkan pola-pola yang sama dengan pemberian PRID dan diinseminasi dalam tujuh hari setelah pencabutan CIDR. Sedangkan injeksi 400 atau 800 IU PMSG dapat meningkatkan respons estrus 70 dan 85 % setelah pencabutan CIDR. Data ini juga menunjukkan bahwa sapi-sapi yang anestrus pada awal post partum dalam kondisi tubuh yang jelek lebih tepat diinjeksi dengan PMSG yang diberikan bersama dengan 7 sampai 12 hari pemberian progesteron. Macmillan (1989) dalam Macmillan dan Peterson (1993) menyatakan bahwa persentase estrus pada sapi potong menyusui yang timbul dalam waktu 96 jam setelah pencabutan CIDR yang diimplan selama 14 atau 21 hari dan pada sapi yang diinjeksi dengan 400 IU PMSG saat pencabutan CIDR, masing-masing 88 dan 93 persen. Manajemen Reproduksi Nutrisi merupakan salah satu faktor yang terlibat dalam pengaturm sekresi GnRH dan mendorong peningkatan ftekuensi pulsa LH. Kebutuhan energi nampaknya menjadi ha1 yang sangat penting disamping protein dalam mempertahankan fbngsi reproduksi. Periode anestrus post-partum yang panjang pada sapi yang menyusui dapat diatasi dengan peningkatan suplai bahan pakan yang mengandung banyak energi. Kebutuhan energi yang seimbang akan mendorong peningkatan fiekuensi pulsa LH periode post-parhxm (Canfield and Butler, 1990).

Peningkatan suplai energi pada induk sapi yang bunting menentukan percepatan aktivitas kembali siklus ovarium periode post-partum. Rendahnya konsumsi energi pada periode sebelum dan pada saat post-partum akan memperpanjang periode tidak estrus, level progesteron yang rendah dan tingkat konsepsi yang rendah. Stagg et al. (1995) melaporkan bahwa rata-rata interval dari melahirkan sampai ovulasi pertama pada induk sapi yang menyusui dan mendapat suplai energi 80 MJ perhari adalah 25 hari lebih panjang dibanding dengan yang mendapatkan 120 MJ perhari. Namun demikian, kebutuhan akan sumber nutrien yang lain seperti vitamin dan mineral, juga sangat penting di dalam menunjang aktivitas reproduksi ternak. Sebab, defisiensi vitamin dan mineral akan mempengaruhi fertilitas ternak. Terkait dengan kebutuhan energi pada sapi, lemak sebagai sumber energi yang besar dapat menjamin kontinuitas penyediaan energi dalam menunjang aktivitas reproduksi ternak. Suplementasi lemak pada pakan sapi telah dilaporkan dapat merubah sirkulasi hormon dan konsentrasi metabolit dan perkembangan folikel ovariua. Suplementasi lemak meningkatkan konsentrasi progesteron, dan konsentrasi kolesterol cairan folikel dalam sel-sel luteal kecil dan besar (Hawkins et al., 1995). Suplementasi lemak untuk sapi dalam periode post-partum juga meningkatkan konsentrasi progesteron setelah ovulasi pertama post-partum dan meningkatkan aktivitas luteolitik sampai dengan 1 8 %. Sedangkan laporan Lammoglia et al. (1996) menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan 5,20 % lemak pada induk sapi sebelum dan sesudah melahirkan meningkatkan ukuran folikel ovarium periode post-partum.