TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus : Animalia : Arthopoda : Insekta : Lepidoptera : Plutellidae : Plutella Spesies : Plutella xylostella L. Telur berbentuk oval (agak pipih), berukuran 0,49 x 0,26 mm. Telur diletakkan secara satu-persatu atau dua-dua, tiga-tiga pada permukaan bawah daun. Warna telur mula-mula kuning kemudian menjadi coklat sebelum menetas (Sudarwohadi 1975). Kupu-kupu P. xylostella meletakkan telurnya dibawah daun kol yang terbuka. Telurnya ditempatkan secara kelompok sebanyak 2-3 butir, kapasitas produksi tidak lebih dari 320 butir telur (Rismunandar, 1993). Gambar 1 :Telur P. Xylostella L. Sumber : Foto Langsung
Larva terdiri dari empat instar, yaitu : Instar-1. Tubuh larva instar 1 berwarna putih kekuningan dan kepala berwarna hitam. Panjang tubuh berkisar antara 0,75 1,05 mm dan lebarnya 0,15 0,19 mm. Larva instar-1 ini hanya mengorok daun tanaman inangnya. Instar-2. Tubuh larva instar 2 berwarna kekuningan, rambut pendek dan kepala berwarna hitam. Panjang tubuh berkisar antara 1,73 2,93 mm dan lebarnya 0,31 0,51 mm. Tubuh larva instar-3 berwarna hijau, rambut hitam dan kepala berbercak coklat. Panjang tubuh berkisar antara 3,00 4,43 mm dan lebarnya 0,44 0,68 mm. Instar-4. Tubuh larva instar- 4 berwarna hijau mirip dengan instar-3, hanya lebih besar ukurannya yaitu dengan panjang tubuh berkisar antara 6,45 7,79 mm dan lebarnya 0,83 1,20 mm. Larva instar terakhir ini dapat memakan seluruh jaringan daun sehingga yang tersisa hanya tulang daunnya saja. Tingkat populasi larva P. xylostella umumnya meningkat semenjak tanaman kubis berumur 5 minggu sampai 9 minggu setelah tanam (Sudarwohadi, 1975). Gambar 2 : Larva P. xylostella Sumber : Foto Langsung Pupa terbungkus oleh kokon yang panjang kira-kira 9 mm. Stadia pupa berlangsung antara 5-10 hari, kemudian keluar ngengat yang panjang kira-kira 6 mm dengan rentang sayap kira-kira 5 mm (Natawigena, 1991).
Pupa yang sudah tua berwarna hijau tua. Pupa P. xylostella berada dalam kokon yang tebal dari benang-benang halus berwarna yang dikeluarkan pada masa fase prepupa. Pupa mulanya berwarna kuning kehijauan, setelah satu atau dua hari warnanya berangsur-angsur berubah menjadi kecoklatan sampai coklat gelap, lamanya hidup pupa dipengaruhi oleh suhu. Semakin tinggi suhu, maka masa pupa akan semakin singkat (Rukmana dan Sugandi, 1997). Gambar 3: Pupa P. xylostella Sumber : Foto Langsung Imago. Ngengat P. xylostella berwarna coklat keabu-abuan dengan panjang rentang sayap ngengat jantan ± 1,97 mm dan yang betina ± 13,6. Pada sayap depannya terdapat tiga bentuk indulasi yang memanjang dibagian tepi sayapnya. Dalam keadaan istirahat, toga bentuk indulasi tersebut akan membentuk pola yang menyerupai berlian, sehingga dengan adanya ciri-ciri ini maka P. xylostella dinamakan Diamond Back Moth. Ngengat aktif pada senja atau malam hari (Susniatih dkk, 2002).
Gambar 4: Imago P. xylostella Sumber : Foto Langsung
Klasifikasi dan Biologi Agensia Hayati Beauveria bassiana Jamur B. bassiana merupakan spesies jamur yang sering digunakan untuk mengendalikan serangga. B. bassiana diaplikasikan dalam bentuk konidia yang dapat menginfeksi serangga melalui kulit kutikula, mulut dan ruas-ruas yang terdapat pada tubuh serangga. Jamur ini ternyata memiliki spectrum yang luas dan dapat mengendalikan banyak serangga sebagai hama tanaman (Dinata, 2006). B. bassiana masuk ketubuh serangga melalui kulit diantara ruas-ruas tubuh. Penetrasinya dimulai dengan pertumbuhan spora dan kutikula. Hifa fungi mengeluarkan enzim kitinase, lipase dan protemase yang mampu menguraikan komponen penyusun kutikula serangga. Di dalam tubuh serangga, hifa berkembang dan masuk kedalam pembuluh darah. Di samping itu B. bassiana juga menghasilkan toksin seperti beauverisin, beauverolit, bassianalit, isorolit dan asam oksalat yang menyebabkan terjadinya kenaikan ph, penggumpalan dan terhentinya peredaran darah serta merusak saluran pencernaan, otot, sistem syaraf dan pernapasan yang pada akhirnya menyebabkan kematian (Mahr, 2003). B. bassiana secara alami terdapat di dalam tanah sebagai jamur saprofit. Pertumbuhan jamur di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, seperti kandungan bahan organik, suhu, kelembaban, kebiasaan makan serangga, adanya pestisida sintesis, dan waktu aplikasi (Dinata, 2006).
Gambar 5 :Beauveria bassiana (Balsomo) vuillemin. Sumber :www.mycology.adelaide.edu.au/.../beauveria1.htm Jamur B.bassiana mempunyai percabangan yang pendek. Dalam 32 jam tabung kecambah dapat mencapai panjang 80 mikron. Bila konidia terbentuk banyak, konidia tersusun rapat pada konidiofor, hifa utama memiliki percabangan pendek kesamping dan sering kali berupa sudut siku-siku terhadap poros. Strainstrain pada periode yang sangat lemah diketahui mampu mempertahankan virulensinya (Sweetman, 1963). Efektifitas cendawan B. Bassiana tersebut sangat tergantung pada keadaan patogen, inang dan faktor lingkungan yang selalu bervariasi. Hasilnya akan memuaskan bila epizotiknya terjadi pada populasi serangga yang tinggi. Penularan cendawan dapat melalui saluran eksternal, integumen dan penularan oleh serangga betina melalui telur atau pada permukaan telur dan infeksi cendawan ini sangat dipengaruhi oleh sinar matahari, suhu, kelembaban, dan derajat keasaman (ph) (Saranga dan Daud, 1993).
2. Bacillus thuringiensis Ciri khas yang terdapat pada B. thuringiensis adalah kemampuannya membentuk kristal protein bersamaan dengan pembentukan spora yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komplek protein yang mengandung toksin yang terbentuk di dalam sel 2-3 jam setelah akhir fase eksponensial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolysis setelah sporulasi sempurna (Bajwa dan Kogan, 2001). Gambar 6 :Bacillus thuringiensis Sumber : www.people.uleth.ca. Bila larva muda atau larva tua terkena B. thuringiensis dapat kita lihat adanya reaksi pertama yang cepat seperti kesakitan, kemudian dalam beberapa waktu larva tidak mau makan dan tidak aktif. Tubuh kemudian menjadi lunak dan lembek. Kematian larva dapat terjadi dalam kurun waktu beberapa jam sampai 2-5 hari setelah infeksi pertama (Novizan, 2002). Tahap selanjutnya tubuh ulat akan tampak mulai menghitam, lembek, berair (mengeluarkan cairan) dan berbau busuk karena terjadi paralisis di saluran makanan. Gejala ini terjadi akibat dari telah masuk dan bekerjanya toksin B. thuringiensis di dalam tubuh ulat (saluran pencernaan), spora spora bakteri
terdiri dari satu atau lebih protein insektisida dalam bentuk Kristal yang dikenal dengan delta endotoksin (Bajwa dan Kogan, 2001). Insektisida biologi ini memiliki spora yang hidup dari B. thuringiensis yang menyebabkan penyakit pada serangga sehingga dapat dipakai untuk mengendalikan serangga hama. Insektisida biologi ini bekerja sebagai racun lambung yang menginfeksi melalui mulut dan tidak melalui pernapasan ataupun kulit, warnanya kuning kecoklatan, dan bersifat selektif untuk mengendalikan hama (Sastroutomo, 1992). B. thuringiensis merupakan salah satu bakteri pathogen pada serangga (entomopatogen). Dalam klasifikasi, bakteri ini tergolong ke dalam kelas Schizomycetes, ordo Eubacteriales, family Bacillaceae. B. thuringiensis adalah bakteri yang mempunyai sel vegetatif berbentuk batang dengan ukuran panjang 3-5 μm dan lebar 1,0-1,2 μm, mempunyai flagel dan membentuk spora. Sel-sel vegetatif dapat membentuk suatu rantai yang terdiri dari lima sampai enam sel. Sifat-sifat bakteri ini adalah gram positif, aerob tetapi umumnya anaerob fakultatif, dapat tumbuh pada media buatan dan suhu untuk pertumbuhan antara 15-40 C (Tarumingkeng, 2001). Menurut Huffaker dan Messenger (1989), apabila biakan biakan B. thuringiensis yang telah mengalami sporulasi diberikan kepada serangga, satu di antara tiga akibat utamanya akan terjadi, tergantung terserang dan tergantung juga kepada besarnya dosis.