BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek

HEALTH & BEAUTY. Oleh Aftiyani. Guardian, The One You Trust

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN BREBES TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2012 di Apotek RSUD Toto

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 284/MENKES/PER/III/2007 TENTANG APOTEK RAKYAT MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) (Menkes, RI., 2014).

KERANGKA ACUAN KERJA / TERM OF REFERENCE KEGIATAN EVALUASI DAN PENGEMBANGAN STANDAR PELAYANAN KESEHATAN TA. 2017

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana

BAB IV. dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. hasilnya memuaskan (keberhasilan terapi) (Rover et al, 2003). 922/MENKES/PER/X/1993 pasal 15, peran apoteker di apotek meliputi :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG BULAN SEPTEMBER TAHUN 2014 LAPORAN HASIL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PUSKESMAS KECAMATAN KEBON JERUK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

KERANGKA ACUAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS CILEDUG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan kesehatan di Indonesia, bertanggung jawab untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

TINJAUAN ASPEK FARMASETIK PADA RESEP RACIKAN DI TIGA APOTEK KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1 Hasil lembar ceklist Puskesmas Helvetia, Medan-Deli dan Belawan Bagian II Nama puskesmas Kegiatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Obat Penyakit Diabetes Metformin Biguanide

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Badan hukum yang dibentuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV PEMBAHASAN. sakit yang berbeda. Hasil karakteristik dapat dilihat pada tabel. Tabel 2. Nama Rumah Sakit dan Tingkatan Rumah Sakit

MAKALAH FARMASI SOSIAL

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG

Lampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek

SOSIALISASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI SARANA KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan

1.1. Keterlaksanaan standar pelayanan kefarmasian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam

BAB III METODE PENELITIAN. cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif, yaitu penelitian yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi

2 Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lemb

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Nega

KAJIAN PENGGUNAAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI PUSKESMAS TEMINDUNG SAMARINDA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral

Transkripsi:

4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari pelayanan obat (drug oriented) menjadi pelayanan pasien (patient oriented) mengacu kepada pharmaceutical care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien (Depkes RI, 2006). 1. Sumber Daya Manusia (SDM) Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multi disipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karir dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Depkes RI, 2006). 2. Sarana dan Prasarana Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan

5 kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Apotek harus memiliki : a. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien. b. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur / materi informasi. c. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien. d. Ruang racikan. e. Tempat pencucian alat (Depkes RI, 2006) 3. Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan lainnya Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi: perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistim FIFO (first in first out)dan FEFO (first expire first out) (Depkes RI, 2006). 4. Administrasi Administrasi umum meliputi: Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. dan administrasi khusus meliputi : Pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat (Depkes RI, 2006). B. Pelayanan Resep 1. Skrining Resep Apoteker melakukan skrining resep meliputi : a. Persyaratan administratif : 1) Nama, SIP dan alamat dokter 2) Tanggal penulisan resep 3) Tanda tangan/paraf dokter penulis resep 4) Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien

6 5) Cara pemakaian yang jelas 6) Informasi lainya. b. Kesesuaian Farmasetik Bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian (Depkes RI, 2006). c. Pertimbangan Klinis Adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan.kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan (Depkes RI, 2006). 2. Penyimpanan Obat a. Peracikan Merupakan kegiatan menyiapkan menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar. b. Etiket Etiket harus jelas dan dapat dibaca. c. Kemasan Obat yang Diserahkan Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya. d. Penyerahan Obat Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien. e. Informasi Obat

7 Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi (Depkes RI, 2006). f. Konseling Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC,asma dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan (Depkes RI, 2006). g. Monitoring Penggunaan Obat Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya (Depkes RI, 2006). C. Pelayanan Informasi Obat Apoteker harus memberikan informasi obat yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: indikasi, cara dan waktu pemakaian obat yang tepat, cara penyimpanan, jangka waktu pengobatan, efek samping, interaksi dan kontraindikasi, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi (Depkes RI, 2006). Memberikan informasi obat kepada pasien berdasarkan resep atau kartu penggobatan pasien (medication record) atau kondisi kesehatan pasien baik lisan maupun tertulis. Prosedur pelayanan informasi obat meliputi :

8 1. Melakukan penelusuran literatur bila diperlukan, secara sistematis untuk memberikan informasi. 2. Menjawab pertanyaan pasien dengan jelas dan mudah dimengerti, tidak bias, etis dan bijaksana baik secara lisan maupun tertulis. 3. Mendisplai brosur, leaflet, poster atau majalah kesehatan untuk informasi pasien. 4. Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat (Depkes RI, 2008). D. Obat Wajib Apotek Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 347/ MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotik yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker kepada pasien di apotik tanpa resep dokter. Bahwa untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan dirasa perlu ditunjang dengan sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional. peningkatan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional dapat dicapai melalui peningkatan penyediaan obat yang dibutuhkan untuk pengobatan sendiri yang sekaligus menjamin penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional. Menurut peraturan mentri kesehatan nomor 919/MENKES/PER/X/1993 tentang kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep yaitu : 1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun. 2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit 3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus ang harus dilakukan olh tenaga kesehatan. 4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.

9 5. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggung jawabkan untuk pengobatan sendiri (Kepmenkes, 1990) Telah terdapat berbagai peraturan serta undang-undang yang mengatur mengenai obat keras, yaitu Stablat Ordonansi Obat Keras yaitu St No. 419 tahun 1949, Kepmenkes No. 633/Ph/62/b Tahun 1962 Tentang Daftar Obat Keras, Kepmenkes No. 347/Menkes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotik, Permenkes No. 919/Menkes/Per/X/1993 Tentang Kriteria Obat Yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep, Kepmenkes No. 924/Menkes/Per/X/1993 Tentang Daftar Obat Wajib Apotik No. 2, Permenkes No. 925 /Menkes/Per/X/1993 Tentang Perubahan Golongan Obat Wajib Apotik No.1, Kepmenkes No. 1176/Menkes/SK/X/1999 Tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 3, UU No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, dan PP No. 51 tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Obat-obat yang termasuk dalam obat keras, seperti antibiotika, antidiabetes, hormon dan antihipertensi menurut undang-undang tidak dapat diberikan tanpa resep dokter (Gunawan, 2010). E. Agen Antidiabetik Oral 1. Insulin secretagogue Sulfonilurea Kerja utama dari sulfonylurea adalah meningkatkan rilis insulin dari pancreas. Sulfonilurea berikatan dengan suatu reseptor sulfonylurea yang berbeda afinitas tinggi 140kDa yang dihubungkan dengan suatu kanal kalium yang sensitive ATP yang menyebabkan aliran dalam sel B. Dengan meningkat suatu sulfonylurea berarti menghambat aliran ion kalium keluar melalui kanal yang menyebabkan depolarisasi. Sebaliknya, Depolarisasi membuka kanal kalsium yang di buka oleh voltase dan menyebabkan aliran kalsium ke dalam dan terjadi rilis insulin. Golongan sulfonylurea digolongkan ke dalam dua generasi, yaitu : a. Sulfonilurea generasi Pertama b. Sulfonilurea generasi KeduaBiguanide

10 Kerja dari biguanide untuk menurunkan glukosa darah tidak tergantung pada adanya fungsi pankreatik sel sel B. Glukosa tidak menurun pada subjek normal setelah puasa satu malam, tetapi kadar glukosa darah pasca prandial mereka menurun selama pemberian biguanide. Mekanisme yang di usulkan baru baru ini meliputi (1) stimulasi glikolisis secara langsung dalam jaringan, dengan peningkatan eliminasi glukosa dari darah; (2)penurunan glukoneogenesis hati; (3)melambatkan absorpsi glukosa dari saluran cerna dengan peningkatan perubahan glukosa menjadi laktat oleh enterosit; (4)penurunan kadar glucagon plasma (Katzung dan Bertram, 2002). 2. Biguanide Kerja dari biguanide untuk menurunkan glukosa darah tidak tergantung pada adanya fungsi pankreatik sel sel B. Metformin memiliki waktu paruh 1,5 3 jam, dan tidak terikat pada protein plasma, tidak dimetabolisme, dan di ekskresikan oleh ginjal sebagai senyawa aktif.pada pasien dengan insufisiensi ginjal, terjadi akumulasi biguanide sehingga meningkatkan resiko asidosis laktat, yang diduga merupakan komplikasi yang terjadi berhubungan dengan dosis (Katzung dan Bertram, 2002). 3. Tiazolidinedione Tiazolidinedione merupakan golongan obat antidiabetik oral yang baru baru ini dikenal yang meningkatkan sensitifitas insulin terhadap jaringan sasaran. Dua obat golongan Tiazolidinedione yang tersedia di pasaran adalah rosiglitazone dan pioglitazone. Troglitazone merupakan Tiazolidinedione yang pertama di stujui dan sekarag digunakan oleh lebih dari 1,6 juta orang di dunia. Akan tetapi tidak lama setelah pemasaran dimulai, troglitazone terbukti menyebabkan kerusakan hati idionsinkratis yang rendah tetapi bermakna. Rosiglitazone dan pioglitazone disetujui pada 1999. Pemelitian klinis membuktikan efikasi yang serupa dengan

11 troglitazone tetapi tidak terbukti terjadinya hepatotoksik (Katzung dan Bertram, 2002). 4. Glucosidase-alfa Senyawa-senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim-enzim α-glukosidase (maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida, pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada penderita diabetes. Senyawa inhibitor α-glukosidase juga menghambat enzim α-amilase pankreas yang bekerja menghidrolisis polisakarida di dalam lumen usus halus. Obat ini merupakan obat oral yang biasanya diberikan dengan dosis 150-600 mg/hari. Obat ini efektif bagi 46 penderita dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180 mg/dl. (Soegondo, 2004).

12 F. Kerangka Konsep Penelitian Pelayana informasi antidiabetik oral di Apotek Dengan resep PIO : Cara pakai, Cara penyimpanan, Jangka waktu pengobatan, ESO terutama kejadian hipoglikemia, interaksi dan indikasi, aktivitas serta Makanan dan minuman yang harus di hindari (Depkes RI, 2006). Tanpa Resep Kesesuaian dengan ketentuan OWA. (Kepmenkes, 1990) Gambar 1. Kerangka konsep penelitian