BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hampir seluruh kegiatan ekonomi berpusat di Pulau Jawa. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, Pulau Jawa memiliki keunggulan dibandingkan dengan pulau lain di Indonesia dengan adanya dukungan fasilitas infrastruktur, sumberdaya manusia, teknologi serta fasilitas penunjang lainnya. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik jumlah nilai PDRB keenam provinsi di Pulau Jawa sebesar Rp. 5.250.551 Milyar atau senilai 58.13% nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Salah satu sektor yang menjadi andalan perekonomian di Pulau Jawa adalah sektor Pertanian. Pertanian di Pulau Jawa masih menjadi sektor yang dominan dilihat dari sumbangan terhadap total PDB maupun dari serapan tenaga kerja yang bekerja di bidang pertanian. Bila dilihat dari sumbangan PDB sektor pertanian di Indonesia, maka sektor pertanian menyumbang sebesar Rp. 441.601.433,4 (Milyar) atau setara dengan 36,50% dari total PDB sektor pertanian di Indonesia. Peranan sektor pertanian di dalam pembangunan ekonomi sangat penting karena sebagian anggota masyarakat di negara-negara miskin menggantungkan hidupnya pada sektor tersebut. Jika para perencana bersungguh-sungguh memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya, maka satusatunya cara adalah dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya yang hidup di sektor pertanian. Caranya dapat melalui peningkatan produksi tanaman pangan dan tanaman perdagangan dan atau meningkatkan harga yang mereka terima atas produk-produk yang dihasilkan (Arsyad, 2012, cit. Rompas, et.al., 2015). Selain dilihat dari kontribusinya terhadap nilai PDB sektor pertanian, bukti pentingnya peran sektor pertanian di Pulau Jawa terhadap Indonesia dapat dilihat berdasarkan serapan tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian. Apabila dilihat dari penyerapan tenaga kerja dari sektor pertanian maka pada tahun 2015 di Pulau Jawa sebanyak 15.973.060 jiwa bekerja di sektor pertanian dari total nasional sebanyak 37.748.228 jiwa atau setara dengan 42,31% dari total tenaga kerja di sektor pertanian berasal dari Pulau Jawa. Masih banyaknya masyarakat di Pulau Jawa yang bekerja di sektor pertanian dikarenakan bekerja 1
di sektor pertanian tidak memerlukan keahlian khusus atau tingkat pendidikan yang tinggi sehingga banyak masyarakat yang berkecimpung di sektor ini terutama masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah. Hal yang perlu diperhatikan dalam visi misi Kementerian Pertanian Republik Indonesia yaitu Terwujudnya Sistem Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan yang Menghasilkan Beragam Pangan Sehat dan Produk Bernilai Tambah Tinggi Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani. Selanjutnya salah satu pokok visi tersebut adalah sifat berkelanjutan yang melihat aspek kelestarian daya dukung lahan maupun lingkungan dan pengetahuan lokal sebagai faktor penting dalam penghitungan efisiensi. Berkaitan dengan hal tersebut tantangan yang dihadapi pemerintah adalah dengan mempertahankan kinerja pembangunan ekonomi sebagaimana telah diperlihatkan dalam capaian makro ekonomi. Aspek keberlanjutan menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertanian pada masa sekarang merupakan kelanjutan dari kebijakan masa sebelumnya dan tidak menghilangkan kepentingan pembangunan ekonomi khususnya sektor pertanian pada masa yang akan datang. Pemanfaatan dan pengembangan seluruh potensi ekonomi menjadi prioritas utama untuk dikembangkan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi daerah secara berkelanjutan (Ars yad, 2010). Selain itu Arsyad (2002) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi daerah adalah sebuah proses, artinya kegiatan pembangunan ekonomi daerah harus dilaksanakan secara berlanjut dan berkesinambungan, tidak berhenti pada titik periode tertentu. Salah satu aspek keberhasilan kebijakan pertanian ini adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal yang perlu diperhitungkan dalam melihat aspek kesejahteraan adalah aspek eksternalitas dalam kegiatan ekonomi. Salah satu eksternalitas yang mudah untuk diperhitungkan dan diamati adalah eksternalitas lingkungan, yaitu dampak yang diterima oleh lingkungan dari suatu kegiatan ekonomi. Pada sektor pertanian lingkungan merupakan modal utama karena menyediakan lahan, air, udara, penyerap polusi udara yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian khusunya. Sehingga apabila kualitas lingkungan menurun akan memberikan dampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat khususnya yang bekerja di sektor pertanian. 2
Salah satu kendala dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat di sektor pertanian khususnya di Pulau Jawa adalah eksternalitas lingkungan yang selalu ada dalam setiap aktivitas ekonomi dan harus dihadapi dalam pembangunan ekonomi dengan peningkatan kinerja pembangunan sektor pertanian. Realitanya eksternalitas lingkungan yang ada di sektor pertanian masih jarang diperhitungkan khususnya di Indonesia, sehingga eksternalitas lingkungan masih belum biasa dimasukkan dalam perhitungan biaya usaha pertanian. Eksternalitas lingkungan sendiri didefinisikan sebagai manfaat dan biaya yang ditunjukkan oleh perubahan lingkungan secara fisik hayati (Owen, 2004). Emisi CO 2 atau emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi termasuk ke dalam eksternalitas lingkungan negatif, sedangkan eksternalitas positif dari lingkungan adalah wisata alam, keanekaragaman hayati, penahan erosi dan abrasi dan lain-lain. Salah satu eksternalitas lingkungan dari kegiatan pertanian adalah berupa emisi gas rumah kaca yang sudah mendapatkan perhatian serius dari dunia internasional. Oleh karena itu dibentuklah lembaga internasional yang bertugas untuk menghitung dan mengawasi perubahan iklim baik dari segi teknis maupun dari segi sosial ekonominya, lembaga ini dinamakan IPCC ( Intergovernmental Panel on Climate Change). IPCC dalam hal ini telah memberikan pedoman dalam penghitungan inventarisasi emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian (Wirakusuma, 2015). Sektor pertanian secara langsung berkaitan dengan isu perubahan iklim dalam aspek lingkungan, ekonomi dan sosial dan dianggap sebagai sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim itu sendiri. Di satu sisi kegiatan adaptasi adalah kunci keberhasilan sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim dan mempertahankan keamanan pangan, baik pada skala global, nasional, maupun daerah. Disisi lain pertanian menyumbangkan emisi gas rumah kaca (GRK) sekitar 14% pada skala global dan 7% pada skala nasional (Kementerian Lingkungan Hidup, 2010). Kementerian Lingkungan Hidup (2010), menyatakan bahwa secara sektoral, pertanian berada pada urutan keempat dalam penyumbang emisi gas rumah kaca, setelah sektor kehutanan, energi, dan limbah. Sektor pertanian setidaknya menyumbang 5% dari keseluruhan emisi gas rumah kaca. Setidaknya ada 5 (lima) kegiatan dalam sektor pertanian yang menjadi sumber 3
gas rumah kaca yaitu peternakan, budidaya padi sawah, pembakaran padang sabana, pembakaran limbah pertanian, tanah pertanian ( Intergovernmental Panel on Climate Change, 1994). Berdasarkan data dari Food and Agriculture Organization (FAO) sumber emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian di Indonesia didominasi selama tahun 1984-2014 dari kegiatan budiaya tanaman padi yakni sebanyak 37%, atau setara dengan 51.337.443,32 ton setara CO 2. Di sisi lain Pulau Jawa juga merupakan sentra pertanian tanaman pangan terutama padi, hal ini terbukti dari nilai luas lahan sawah, luas panen padi serta produksi padi di Pulau Jawa yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap nasional. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik luas lahan sawah di Pulau Jawa pada tahun 2014 sebesar 3.248.394 hektar atau setara dengan 40,03% dari total lahan sawah yang ada di Indonesia. Selain itu khusus untuk luas panen padi di Pulau Jawa pada tahun 2015 sebesar 6.429.140 hektar atau setara dengan 45,54% dari total luas panen padi yang ada di Indonesia. Fakta ini menunjukkan bahwa Pulau Jawa masih menjadi sumber utama pemenuhan kebutuhan pangan terutama padi di Indonesia, akan tetapi disisi lain kegiatan pertanian tanaman pangan ini juga menimbulkan masalah lain yaitu sebagai penghasil emisi gas rumah kaca. Sebagai sektor kunci dalam pemenuhan kebutuhan pangan, emisi yang di dihasilkan dari sektor pertanian diperkirakan akan terus meningkat sampai tahun 2030 seiring dengan peningkatan kebutuhan pangan. Untuk mengatasi hal ini Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020. Target untuk sektor pertanian adalah sebesar 8Gg CO 2 e. (Ariani et.al., 2016). Sehingga perlunya monitoring atau pengawasan terhadap keberhasilan kinerja pemerintah dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca khususnya yang bersumber dari sektor pertanian dapat dilakukan dengan melihat existing conditition emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian saat ini dan melakukan prediksi jumlah emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian pada beberapa tahun kedepan apakah kecenderungannya akan semakin meningkat atau sudah menurun. Sektor pertanian memiliki peran yang sangat besar dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, karena banyak kegiatan dalam pertanian yang mampu menyerap gas CO 2 dari atmosfer yaitu melalui proses fotosintesis (Kartikawati, R. dan Nursyamsi, D. 2013). Akan tetapi menurut Kementerian Lingkungan hidup 4
(2010) ternyata subsektor padi sawah dan peternakan merupakan kontributor utama dalam meningkatkan jumlah emisi gas rumah kaca dari pertanian. Tanaman padi mempunyai peranan penting dalam peningkatan emisi gas rumah kaca karena tanaman padi di lahan sawah menjadi perantara dalam pelepasan CH 4 di udara. Di sisi lain menurut Martin et.al. (2010) distribusi dan jumlah air yang masuk ke lahan sawah akan berpengaruh dalam proses denitrifikasi karena hal tersebut akan mempengaruhi kondisi tanah. Kondisi tanah anaerob (tergenang) yang kemudian diikuti aerob (drainase) dapat menurunkan emisi CH 4. Dengan demikian seharusnya program mitigasi yang berdasarkan pada karakteristik masing-masing faktor peningkat emisi atau pereduksi emisi menjadi salah satu metode dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian. Hubungan antara kerusakan lingkungan dengan pendapatan perkapita telah dirumuskan oleh Kuznets yang menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa hubungan keduanya akan berbentuk kurva yang biasa disebut EKC (Enviromental Kuznets Curve). Secara umum kurva ini menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi yang dihitung melalui pendapatan perkapita terhadap tingkat kerusakan lingkungan dan akan menghasilkan kurva dengan bentuk U terbalik. Menurut kurva ini degradasi lingkungan akan meningkat seiring dengan bertambahnya pendapatan per kapita, akan tetapi setelah mencapai titik tertentu atau titik balik tertentu ( turning point) maka kerusakan lingkungan akan menurun meskipun pendapatan perkapita naik. Kondisi ini akan dicapai apabila pendapatan masyarakat telah mencukupi, sehingga sebagian pendapatan masyarakat tersebut dialokasikan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan. Rumus atau postulat ini dapat diadopsi sebagai alat evaluasi pelaku sektor pertanian di Indonesia dalam hal kesadaran pertanian berkelanjutan yang tetap berusaha menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan (Wirakusuma, 2015). 1.2. Perumusan Masalah Sebagaimana yang ada dalam visi misi Kementerian Pertanian yaitu Terwujudnya Sistem Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan yang Menghasilkan Beragam Pangan Sehat dan Produk Bernilai Tambah Tinggi Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani, maka 5
dapat diketahui bahwa salah satu pokok visi tersebut adalah sifat berkelanjutan yang melihat aspek kelestarian daya dukung lahan maupun lingkungan dan pengetahuan lokal sebagai faktor penting dalam penghitungan efisiensi. Kebijakan ini akan berdampak pada usaha peningkatan kualitas dan kuantitas tanaman pangan strategis serta komoditas peternakan oleh masayarakat di Pulau Jawa yang merupakan bagian usaha untuk mencapai kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani sebagaimana tercantum pada visi-misi Kementerian Pertanian diatas. Usaha peningkatan kualitas dan kuantitas komoditas pangan tersebut akan memberikan implikasi pada meningkatnya penggunaan input pertanian, teknologi pertanian, penggunaan lahan pertanian yang nantinya akan berdampak pada produksi komoditas pertanian, populasi ternak, dan lain-lain. Seiring berjalannya usaha meningkatkan produksi pangan itu tentu saja lingkungan akan menjadi modal utama untuk menyokong program tersebut. Padahal manajemen pengelolaan pertanian, penggunaan input berlebihan, serta pengelolaan ternak yang tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan akan memicu terjadinya degradasi lingkungan dan degradasi lingkungan ini akan mengancam keberlanjutan lingkungan pertanian dan keberlanjutan mata pencaharian pelaku usahatani. Oleh karena itu kegiatan pelaku usaha tani akan memberikan konsekuensi terhadap lingkungan pertanian di Pulau Jawa. Ditambah dengan tingginya intensitas kegiatan usahatani di Pulau Jawa akan menambah resiko kerusakan lahan pertanian ini. Sebagaimana yang dipaparkan di latar belakang, salah satu dampak kerusakan lingkungan yang di akibatkan oleh kegiatan pertanian adalah emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu inventarisasi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sektor pertanian menjadi sangat penting karena melalui data inventarisasi emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian dapat digunakan agar pijakan dalam menerapkan kebijakan terakit aksi penurunan emisi gas rumah kaca itu berdasarkan pada data yang tepat. Selain itu emisi yang di dihasilkan dari sektor pertanian diperkirakan akan terus meningkat sampai tahun 2030 seiring dengan peningkatan kebutuhan pangan dan pemerintah melalui peraturan presiden tahun no.61 tahun 2011 mengenai aksi penurunan emisi gas rumah kaca maka dibutuhkan prediksi jumlah emisi gas rumah kaca khusunya dari sektor pertanian di Pulau Jawa untuk melihat keberhasilan program pemerintah dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca. 6
Keberhasilan pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian selain harus didukung data yang akurat juga berdasarkan pada karakteristik masing-masing komponen penghasil emisi atau pereduksi emisi di sektor pertanian. Karena sebagaimana yang diketahui bahwa sektor pertanian memiliki peran ganda dalam hal ini, yaitu selain sebagai penghasil emisi juga mampu berperan sebagai penyerap emisi gas rumah kaca. Secara lebih khusus lagi keberhasilan pembangunan ekonomi di sektor pertanian dalam hal ini diwujudkan dengan pendapatan perkapita petani memiliki hubungan dengan degradasi lingkungan dalam hal ini adalah emisi gas rumah kaca, telah dijelaskan dalam postulat Environmental Kuznets Curve (EKC). Postulat EKC menyebutkan bahwa degradasi lingkungan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan perkapita penduduk, akan tetapi setelah mencapai titik tertentu ( turning point) akan turun seiring dengan terus bertambahnya pendapatan perkapita penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat pendapatan tertentu maka masayarakat akan menyisihkan sebagian pendapatannya untuk membayar kerusakan lingkungan yang telah diakibatkan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: 1. Berapa emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sektor pertanian di Pulau Jawa? 2. Berapa besaran emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian di Pulau Jawa pada hingga tahun 2025? 3. Faktor apa saja yang mempengaruhi besaran emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian di Pulau Jawa? 4. Berapa nilai PDRB sektor pertanian per tenaga kerja pertanian ketika mencapai titik balik (ketika tenaga kerja pertanian mulai mengkompensasikan sebagian pendapatnnya untuk memperbaiki lingkungan) berdasarkan postulat Environmental Kuznets Curve? 7
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengestimasi perkembangan emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian di Pulau Jawa 2. Memprediksi emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian di Pulau Jawa hingga tahun 2025 3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian di Pulau Jawa. 4. Mengetahui nilai PDRB sektor pertanian per tenaga kerja sektor pertanian ketika mencapai titik balik ( ketika tenaga kerja pertanian mulai mengkompensasikan sebagian pendapatnnya untuk memperbaiki lingkungan) berdasarkan postulat Environmental Kuznets Curve. 1.4. Kegunaan Penelitian 1. Bagi penulis, penelitian ini sebagai pemenuhan syarat untuk mendapatkan predikat Master of Science (M.Sc.) di Program Studi Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana Fakultas Pertanian, Univesitas Gadjah Mada. 2. Bagi pemerintah daerah di Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi, Jawa Tengah, Provinsi DI. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Timur sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan dan evaluasi untuk membangun sektor pertanian yang berkelanjutan. 3. Bagi pelaku usaha di sektor pertanian, penelitian ini dapat dijadikan rujukan dan pertimbangan untuk pengelolaan pertanian yang berkelanjutan. 4. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat dijadikan petunjuk untuk melakukan penelitian di bidang ilmu ekonomi, pertanian dan lingkungan. 8