KAJIAN PEMANFAATAN LIMBAH SAWIT SEBAGAI SUMBER PAKAN SAPI POTONG HASNELLY. Z., NURAINI dan ISSUKINDARSYAH Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung Jl. Mentok Km. 4, Pangkalpinang 33134 ABSTRAK Komoditas perkebunan seperti kelapa sawit di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terus meningkat dan berpotensi sebagai salah satu alternatif sumber pakan bagi ternak. Populasi ternak belum berkembang dengan baik sehingga masih mendatangkan dari daerah lain. Rendahnya perkembangan ternak terutama disebabkan oleh teknologi budidaya masih tradisional, merupakan usaha sampingan dan budaya sosial yang kurang mendukung. Peningkatan produktivitas per satuan ternak perlu didukung sistem pemberian pakan yang lebih baik yakni pakan tambahan sebagai supply energi dan protein. Hasil olahan kelapa sawit akan menghasilkan 3 jenis limbah yang dapat digunakan sebagai sumber pakan ternak yaitu bungkil inti sawit, lumpur kelapa sawit sebagai sumber protein dan energi yang harganya cukup murah dan daun kelapa sawit sebagai pengganti sumber hijauan. Dari hasil yang sudah didapatkan, ternyata pemberian bungkil inti sawit 20% dan lumpur kelapa sawit 15% melalui teknologi introduksi dapat meningkatkan ADG pada jantan (0,49 vs 0,53 kg) dan induk (0,34 vs 0,37 kg). Kata kunci : Kelapa sawit, pakan, ternak sapi PENDAHULUAN Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan provinsi baru. Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam pembangunan dalam hal ini terlihat dari kontribusi sektor pertanian mencapai sekitar 20% terhadap PDRB (BPS KEPULAUAN BABEL, 2004). Sektor ini hanya disaingi oleh sektor industri (terutama industri tambang timah) yang juga menjadi andalan perekonomian rakyat. Sebagai provinsi yang baru upaya memperkuat sektor pertanian merupakan salah satu strategi pembangunan Pemda Provinsi Bangka Belitung. Saat ini pembangunan sektor perkebunan dan peternakan terus dipacu dalam rangka mengantisipasi peran sektor industri (terutama industri tambang timah) yang depositnya makin berkurang. Sektor perkebunan terutama kelapa sawit telah berkembang dan menjadi primadona penghasil devisa setelah timah untuk meningkatkan PAD di Pemda Provinsi Bangka Belitung. Oleh karena itu, kedepan diperlukan penanganan dan pengelolaan yang efektif guna meningkatkan produktifitas. Minyak kelapa sawit (palm oil) merupakan produk utama kelapa sawit, sedangkan produk samping. tandan kosong, serat perasan, lumpur sawit, dan bungkil inti sawit sangat potensial untuk bahan pakan ternak (JALALUDIN et al., 1991) Sehingga peluang untuk meningkatkan produksi ternak melalui pengelolaan perkebunan kelapa sawit dengan mengintegrasikan usaha peternakan khususnya ternak sapi sangat dimungkinkan. Kebutuhan pakan ternak dapat dipenuhi dengan memanfaatkan vegetasi dan hasil samping industri perkebunan kelapa sawit. Dengan pendekatan konsep LEISA (Low eksternal input system agriculture) antara tnaman perkebunan dan ternak dapat saling memberikan keuntungan. MATERI DAN METODE Pengkajian dilaksanakan dilahan petani (on farm research) dengan melibatkan 8 orang petani kooperator dan 16 ekor sapi di dua desa yaitu Desa Sangku dan Desa Maras Senang, Kecamatan Tempilang Kabupaten Bangka Barat. Pengkajian menggunakan sapi jenis Bali berumur antara 2-2,5 tahun dengan bobot hidup antara 250-300 kg. Komponen teknologi yang diintroduksikan dalam pengkajian seperti pada Tabel 1. 184
Tabel 1. Komponen teknologi introduksi pengkajian No. Jenis kegiatan Teknologi Ukuran/dosis penggunaan 1. Perbibitan sapi Kandang : Ukuran sesuai jumlah ternak potong dengan bentuk kandang kelompok yang dipelihara sumber pakan Induk : 1,5 m x 2 m limbah kelapa Anak : 1,5 m x 0,5 m sawit 2. Pakan untuk Pakan : Komposisi pakan 60% meningkatkan Daun sawit/rumput lapang 15% kelahiran dan Lumpur sawit 20% memperpendek Bungkil sawit 5% jarak beranak Dedak 0,4 Mineral mix (% dari jumlah pakan) 0,1 Garam (% dari jumlah pakan) adlibitum Air minum 0,1 kg diberikan I kali Probitik Bioplus sebelum musim kemarau Pakanjlushing : Komposisi sama dengan Diberikan 1 bulan sebelum dikawinkan pakan pada hari biasa 2 bulan sebelum melahirkan dan 3 bulan I dosis/ekor pada awal : selama menyusui 3. Pengendalian Pengendalian penyakit 6 bulan sekali penyakit - Memandikan temak 1 kali 1 minggu - Kebersihan dan sanitasi kandang yang baik - Mengamati keadaan temak secara rutin - Pemberian obat cacing pada awal kegiatan kegiatan kemudian diulangi Keterangan Pakan diberikan 2 kali sehari pagi dan sore Selama masa flusing diberikan adlibitum Pengendalian cacing dengan memutus siklus hidup cacing yaitu melalui manajemen pakan dan temak dikandangkan. 4. Pengelolaan limbah temak menjadi kompos Komposisi (bahan) : Feces sapi + campuran sisa pakan 1 ton Probiotik Kapur TSP Abu sekam 100 kg Campurkan kotoran + Sisa pakan, probiotik, kapur dan TSP jadi satu lalu tumpuk dengan ketebalan I m, tempatkan pada tempat yang tidak terkena sinar matahari dan air hujan, diam kan selama 1-3 minggu balikkan setiap minggu agar proses fermentasi sempuma. Setelah 3 minggu proses fermentasi selesai lalu tambahkan CaCo3 dan abu sekam, keringkan dengan sinar matahari. Kompos siap digunakan HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot hidup dan pertambahan bobot hidup Dari hasil pengamatan selama kegiatan pengkajian berlangsung dengan melakukan penimbangan pada masing-masing ternak setiap bulan maka diperoleh rata-rata bobot hidup dan pertambahan bobot hidup per ekor per hari seperti yang disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis pada Tabel 2 rata-rata bobot hidup awal jantan (263,75 + 25,10 vs 270,00 ± 16,26) dan induk (301,4 + 21,97 vs 407,5 ± 18,64). Pada akhir pengamatan diperoleh ratarata bobot hidup jantan (381, 5 + 4,24 vs 397,7 + 12,02) dan induk (386,9 + 20,67 vs 407,5 + 18,64) dengan kenaikan bobot hidup harian (ADG) per ekor jantan (0,49 vs 0,53) lebih tinggi dari kenaikan bobot hidup induk/betina (0,37 vs 0,34). Perbedaan bobot hidup jantan dan betina di pengaruhi jenis kelamin. Jantan mempunyai hormon testosteron yang dihasilkan testis. Hormon tersebut berfungsi merangsang anabolisme protein yang berakibat jantan tumbuh lebih cepat dibandingkan betina. Didalam kegiatan pengkajian, bobot hidup jantan juga didukung, faktor umur dimana ratarata jantan masih berumur dibawah 2 tahun, sedangkan induk rata-rata berumur 2,5 tahun. Faktor umur juga akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan. 1 8 5
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak Tabe12. Rata-rata berat badan dan pertambahan berat badan sapi potong per ekor per hari Sangku Maras Senang Rata-rata bobot hidup awal (kg) Jantan 263,75 + 25,10 270,00 + 16,26 Induk 301,4 ± 21,97 325,7 ± 20,45 Rata-rata bobot hidup akhir (kg) Jantan 381,5+4,24 397,7 + 12,02 Induk 386,9 ± 20,67 407,5 + 18,64 Rata-rata pertambahan bobot hidup dalam 1 bulan (kg) Jantan 14,72 15,96 Induk 10,69 10,23 PBB per ekor (kg/hari) Jantan 0,49 0,53 Induk 0,37 0,34 Tingginya pertambahan bobot hidup yang dicapai pada pakan pemanfaatan limbah sawit juga didukung dengan penambahan pemberian bioplus yang dapat meningkatkan daya cerna dari serat kasar. Bioplus yang mengandung mikrobia pencerna serat kasar apabila diberikan pada ternak akan berintegrasi positif dengan mikrobia rumen sehingga dapat meningkatkan efisiensi pakan (WIDIAWATI, 1996). Konsumsi pakan Pakan merupakan faktor penentu dan utama dalam pemeliharaan ternak karena akan sangat mempengaruhi produksi dan produktivitasnya. Konsumsi pakan dari seekor ternak merupakan jumlah pakan yang diberikan dikurangi jumlah sisa pakan yang dihasilkan (KAMAL, 1997). Konsumsi pakan atau jumlah pakan yang dihabiskan oleh seekor ternak dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menentukan penampilan ternak. Tabel 3. Konsumsi pakan per ekor pada 2 lokasi pengkajian Sangku Maras Senang Konsumsi pakan selama I bulan pengamatan (kg): - Jantan 310,21 338,12 - Induk 344,32 304,41 Konsumsi pakan ratarata per ekor per hari : -Jantan 10,34 11,27 - Induk 11,48 10,13 Pada Tabel 3 diperoleh rata-rata konsumsi induk 1 bulan sebesar (344,32 vs 304, 41) dan jantan sebesar (310,21 vs 338,12), sedangkan rata-rata konsumsi harian induk sebesar (11,48 vs 10,13) dan jantan sebesar (10,34 vs 11,27). Pakan yang dikonsumsi oleh temak adalah untuk memenuhi kebutuhan akan zat-zat yang terkandung dalam makanan. Menurut KAMAL (1997), setiap ternak mempunyai kebutuhan nutrisi yang berbeda, hal ini tergantung pada fungsi produksinya. Lebih lanjut dijelaskan ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan pada ternak antara lain adalah bobot hidup, kecepatan pertumbuhan, dan kandungan zat-zat makanan dalam pakan. Perkembangan produksi Perkembangan produksi ternak dalam 2 tahun kegiatan pengkajian disajikan pada Tabel 4. Pada Tabel 4 ditinjau dari penerapan teknologi limbah kelapa sawit sebagai sumber pakan dan penambahan probiotik pada waktu pre-kawin dapat meningkatkan persentase kebuntingan dan jumlah kelahiran atau calfcrop sebesar (67,3% vs 80%). Calving interval (jarak beranak dari satu kelahiran ke kelahiran berikutnya) berkisar (14 bulan vs 15 bulan). WINUGROHO et al. (1994) menyatakan pemanfaatan isi rumen yang mengandung mikrobia terpilih dan pemberian pakan tambahan mampu memperpendek jarak beranak pada sapi Bali dari 15 bulan menjadi 13 bulan. Panjangnya jarak beranak dengan penerapan teknologi pemanfaatan limbah sawit disebabkan keterbatasan kemampuan petani 1 8 6
dalam mendeteksi birahi dan keterlambatan penyapihan pada pedet. ASTUTI et al. (1983) melaporkan bahwa jarak beranak dipengaruhi oleh jarak perkawinan pertama kali sesudah beranak, service conception dan umur penyapihan pedet cenderung memperpanjang jarak beranak karena sapi menyusui pedet lebih lama akan cenderung menunda perkawinan. Tabel 4. Rata-rata perkembangan temak sapi di dua lokasi pengkajian Sangku Maras Senang Jumlah induk pra kawin : -ekor 2 4 - % 22,2% 50% Jumlah induk bunting pertama : -ekor 3 3 -% 33,3% 37,5% Jumlah induk bunting ke dua : -ekor 5 2 - % 55,6% 25% Jumlah kelahiran anak hidup (calf-crop) pertama -ekor 4 3 -% 80% 67,3% Rata-rata calving interval 14 15 (bulan) Rata-rata berat lahir (kg) 14,5 13,5 Rata-rata berat sapih (kg) Mortalitas : - Jantan - Induk - Anak 1 1 Pengelolaan limbah ternak menjadi kompos Kotoran ternak sapi sangat potensial untuk dijadikan bahan organik dalam mengupayakan kesuburan lahan. Kondisi agroklimat Kepulauan Bangka Belitung sebagian besar berupa dataran rendah, lembah dan sebagian kecil perbukitan. Secara umum kondisi lahan di Kepulauan Bangka Belitung bersifat masam dengan ph tanah dibawah 5. Banyaknya lahan bekas galian timah yang menjadi cekungcekung berisi air yang tidak beraturan dan tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk tanaman. Kondisi lahan seperti ini perlu rehabilitasi, diantaranya dengan pemberian kapur dan pemberian pupuk organik yang cukup tinggi. Bahan organik yang diperlukan adalah pupuk kandang/kompos dari ternak sapi. Dengan penerapan kandang kelompok dalam kegiatan pengkajian sehingga kotorannya mudah ditampung dan dikumpulkan pada saung tersendiri. Sehingga kotoran ternak yang terkumpul dapat dijadikan sebagai bahan buku untuk pembuatan pupuk organik. Dari basil pengamatan rata-rata produksi kotoran ternak sapi sebanyak 8-10 kg/ekor/hari basah. Atau setara dengan 4 ton/ekor/tahun, Jumlah ini lebih rendah dari pendapat DIWYANTO el al. (1996), bahwa usaha ternak sapi Bali dewasa dapat menghasilkan kotoran sapi sebanyak 15-17 kg/ekor/hari atau setara dengan 6 ton/ekor/ tahun. KESIMPULAN 1. Melalui teknologi introduksi limbah kelapa sawit sebagai pakan dan penambahan probiotik pada saat prekawin, pre-partus dan postpartus dapat meningkatkan pertambahan bobot hidup, meningkatkan persentase kebuntingan dan memperpendek calving interval. 2. Pengelolaan limbah peternakan berupa kotoran ternak dapat dibuat sebagai bahan organik/kompos untuk meningkatkan kesuburan lahan di Kepulauan Bangka Belitung yang kondisi tanahnya miskin hara. DAFTAR PUSTAKA BADAN PUSAT STATISTIK KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. 2005. Kepulauan Bangka Belitung dalam Angka 2004. DIWYANTO, K. A. PRIYANTI dan D. ZAINUDDIN. 1996. Pengembangan ternak berwawasan agribisnis di pedesaan dengan pemanfaatan limbah pertanian dan pemilihan bibit yang tepat. Jurnal Litbang Pertanian 15 (1), Bogor. JALALUDIN, S., Z.A. JELAN, N. ABDULLAii and Y.W. Ho. 1991. Recent developments in the oil palm by product based ruminant feeding system MSAP, Penang, Malaysia pp. 35-44. KAMAL, M. 1997. Kontrol kualitas pakan ternak. hand out. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 1 8 7
KAMAL, M. 1997. Bahan pakan dan ransum temak. hand out. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. MARIA, A., W. HARJDOSUBROTO dan LEBDOSOE1cAYO. 1983. Analisa jarak beranak sapi peranakan Ongole di Kecamatan Cangkringan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pros. Peternakan Ilmiah Ruminansia Besar. Puslitbang Petemakan, Bogor. WIDIAWATI, Y. 1996. Bioplus produk probiotik untuk meningkatkan produktivitas trnak di musim kemarau. Buletin PPSKI No. 43. Tahun IX-April-Juni 1994. Hlm. 11-13. WINUGROHO, M. SABRANI dan E. SUHARYA. 1997. Pedoman teknis penyiapan induk sapi penghasil bakalan lokal. Balai Penelitian Temak dan Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. 1 8 8