EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO. Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E

dokumen-dokumen yang mirip
KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO NOVI TRI AYUNINGRUM

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA DAN KEBUN KELAPA SAWIT, CIKABAYAN KAMPUS IPB RIZKI KURNIA TOHIR E

METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram. Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati

BAB III METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

BAB IV METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

Komunitas Anura (Amphibia) pada Tiga Tipe Habitat Perairan di Kawasan Hutan Harapan Jambi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. rapat dan menutup areal yang cukup luas. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

III. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax)

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

METODOLOGI PENELITIAN

LAPORAN PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF BUNGLON (Bronchochela sp.) Oleh :

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

IV. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

bio.unsoed.ac.id di alternatif usaha budidaya ikan air tawar. Pemeliharaan ikan di sungai memiliki BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA DI PERAIRAN MENGALIR

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan paling tinggi di dunia. Keanekaragaman tumbuhan merupakan

I. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

BAB I PENDAHULUAN. memiliki luas sekitar Ha yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri

SUKSESI AUTEKOLOGI. Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya.

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

POLA PENGGUNAAN RUANG OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

Pemodelan Dinamika Sistem Untuk Pengelolaan Hutan Di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MAKROZOOBENTOS DI PANTAI KARTIKA JAYA KECAMATAN PATEBON KABUPATEN KENDAL

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat

BAB III. METODE PENELITIAN

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA DI KAWASAN TAMBLING WILDLIFE NATURE CONSERVATION (TWNC) TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS) PESISIR BARAT LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

3. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. sumber: ( Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor.

BAB I PENDAHULUAN. B. Rumusan Masalah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir

I. PENDAHULUAN. Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

I. PENDAHULUAN. Burung merupakan salah satu jenis satwa liar yang banyak dimanfaatkan oleh

Konsep Populasi dan Komunitas. Ekologi Perairan Pertemuan Saifullah Jurusan Perikanan Untirta

Sejarah Perkembangan Status, Penggunaan Lahan, dan Keanekaragaman Hayati Kebun Kelapa Sawit Indonesia

Transkripsi:

EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen : Dr Ir Agus Priyono Kartono, M.Si KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

PENDAHULUAN Latar Belakang Keberadaan amfibi sangat dipengaruhi oleh kondisi dan tipe habitatnya. Beberapa jenis amfibi hanya ditemukan di hutan primer dan beberapa jenis lainnya ditemukan di hutan sekunder serta hutan yang telah terdegradasi. Setiap habitat mempunyai karakteristik yang berbeda, baik secara mikro maupun makro. Perbedaan tersebut dapat mempengaruhi keberadaan jenis amfibi. Menurut Iskandar (1998), beberapa jenis amfibi tidak dapat jauh dari sumber air. Terdapat, beberapa jenis yang hanya dijumpai di perairan arus cepat hingga perairan tenang seperti genangan air. Keberadaan amfibi di suatu habitat dapat tergambarkan dari struktur komunitas amfibi yang ada di habitat tersebut. Penggunaan suatu habitat oleh amfibi sangat dipengaruhi oleh struktur komunitasnya. Habitat merupakan suatu kesatuan dari faktor fisik dan biotik yang digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup satwa (Alikodra 2002). Habitat digunakan oleh satwa untuk tempat berkembangbiak, tempat mencari pakan, dan melakukan aktivitas harian lainnya (Inger et al. 1986). Struktur komunitas dan penyebaran spesies sangat tergantung pada faktor fisik, kimia, dan biologi lingkungan. Keberadaan suatu spesies dapat mempengaruhi keberadaan spesies lainnya dalam habitat tersebut. Tujuan Penelitian tentang komunitas amfibi di beberapa sungai pada SM Nantu Provinsi Gorontalo ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi: 1. Komposisi jenis amfibi di beberapa sungai. 2. Pemilihan mikrohabitat oleh jenis-jenis amfibi dominan di sungai. 3. Pola penyebaran amfibi di beberapa sungai. METODE Waktu dan Lokasi Waktu pembuatan makalah selama 1 minggu yang berlokasi di Kampus IPB Dramaga Bogor. Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan adalah laptop, alat tulis, dan kumpulan jurnal dan karya ilmiah Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan merupakan hasil dari studi literatur dari makalah, dan karya ilmiah lainnya.

Analisis Data Data yang telah diperoleh dianalisis secara deskriptif. Kesamaan komunitas berdasarkan penelitian Ayuningrum (2015) dianalisis sebagai berikut : Kesamaan komunitas amfibi antar sungai Indeks kesamaan komunitas jenis amfibi digunakan untuk mengidentifikasi kesamaan komposisi jenis amfibi di setiap sungai. Kesamaan komunitas jenis amfibi dianalisis menggunakan software minitab 16 dengan Ward s Linkage Clustering berdasarkan nilai kehadiran jenis amfibi. Pemilihan mikrohabitat oleh jenis amfibi Kecenderungan pemilihan karakteristik mikrohabitat oleh jenis amfibi dianalisis menggunakan software CANOCO dengan metode Canonical Corespondence Analysis (CCA). Mikrohabitat yang dianalisis meliputi kedalaman sungai, kecepatan arus sungai, lebar sungai, tutupan kanopi, dan jenis substrat. Pola penyebaran amfibi Pola penyebaran amfibi dianalisis dengan menggunakan indeks dispersi. Untuk mengurangi kemungkinan bias, hanya jenis yang memiliki jumlah individu lebih dari lima ekor yang dianalisis pola penyebarannya. Persamaan indeks dispersi merupakan rasio antara nilai varian dan nilai rata-rata contoh (Ludwig dan Reynolds 1988): ID = S2 x Keterangan: ID : Indeks dispersi S2 : Ragam contoh x : Rata-rata Jika contoh mengikuti sebaran poisson, maka varian contoh akan sebanding dengan rata-rata contoh dan selanjutnya nilai ID yang diharapkan = 1, yang menunjukkan bahwa populasi mengikuti pola sebaran acak. Jika varian < 1 (mendekati 0) menunjukkan pola sebaran seragam dan jika varian > 1 maka menunjukkan pola sebaran mengelompok. Selanjutnya untuk menguji indeks dispersi dengan ukuran N < 30 digunakan uji chi-square dengan persamaan sebagai berikut: χ2 = ID (N-1) Keterangan: χ2 : Nilai chi-square ID : Indeks dispersi N : Jumlah transek Jika komunitas komunitas menyebar seragam χ2 < χ0.9752 ; jika menyebar mengelompok maka nilai χ2 > χ0.0252 dan jika menyebar acak maka χ0.9752 < χ2 < χ0.9752.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kesamaan komunitas amfibi Berdasarkan hasil kajian dari penelitian Ayuningrum (2015) bahwa amfibi di sungai pada hutan primer dan hutan sekunder membentuk satu komunitas dan memiliki kesamaan komunitas amfibi paling tinggi (86.6%). Dendrogram kesamaan komunitas amfibi disajikan pada Gambar 3. Tingginya kesamaan tersebut karena karakteristik kedua sungai hampir sama yaitu memiliki tingkat gangguan rendah, jauh dari pemukiman dan aktivitas manusia, di tepi kanan dan kiri sungai terdapat pepohonan, tumbuhan bawah, serta serasah yang hampir menutupi tanah di tepi sungai, dengan tutupan kanopi tergolong sangat rapat (81%). Hal ini menyebabkan hampir semua jenis amfibi yang ditemukan di sungai pada hutan primer dapat ditemukan di sungai pada hutan sekunder, kecuali jenis R. monticola yang hanya ditemukan di sungai pada hutan primer. Hasil ini sama dengan Wanger et al. (2009) yang menemukan komposisi jenis amfibi di hutan sekunder sama dengan komposisi amfibi di hutan primer. Sumber : Ayuningrum (2015) Komunitas amfibi yang menempati sungai pada kebun jagung dan sungai daerah ekoton mengelompok dan membentuk komunitas dengan nilai kesamaan komunitas amfibi sebesar 67.1%. Kesamaan komunitas ini terbentuk karena karakteristik sungai pada kebun jagung yang hampir sama dengan sungai pada daerah ekoton yaitu lokasi kedua sungai berdekat dengan ladang dan kebun tetapi jauh dari pemukiman, memiliki bentuk habitat dan penyusun vegetasi yang hampir sama. Meskipun berada di kebun jagung namun di tepi kanan dan kiri sungai terdapat pepohonan dan tumbuhan bawah yang rapat dengan serasah yang hampir menutupi tanah. Selain itu lokasi sungai pada daerah ekoton lebih dekat dengan sungai pada kebun jagung menyebabkan komposisi jenis amfibi di kedua lokasi hampir sama. Hasil tersebut sama dengan Khairunnisa (2014) yang menemukan habitat yang jauh dari pemukiman tetapi dekat dengan kebun dan ladang memiliki

kesamaan sebesar 78.39%. Hal ini karena kedua lokasi memiliki bentuk habitat dan penyusun vegetasi yang sama. Komunitas amfibi yang menempati sungai pada kebun jagung dan daerah ekoton mengelompok dan membentuk komunitas dengan amfibi yang menempati sungai pada kebun tebu sebesar 54.3%. Hal ini dikarenakan kondisi sungai pada kebun tebu hampir sama dengan sungai pada kebun jagung yaitu berada di daerah perkebunan, terdapat batuan besar dan kecil di tepi kanan dan kiri sungai. Oleh karena itu komposisi jenis amfibi di kedua sungai memiliki kemiripan. Komunitas amfibi tersebut kemudian mengelompok dengan komunitas amfibi di sungai pada hutan primer dan sungai pada hutan sekunder dengan nilai kesamaan sebesar 29.9%. Hal ini dikarenakan kondisi sungai pada kebun tebu memiliki tutupan kanopi agak terbuka (39.3%), di tepi kanan dan kiri sungai hampir tidak ada vegetasi hanya terdapat batuan. Selain itu sungai memiliki gangguan yang tinggi karena berdekatan dengan pemukiman dan aktivitas manusia. Hal ini menyebabkan komunitas amfibi di sungai pada kebun tebu berbeda dengan komunitas amfibi di daerah berhutan yang jauh dari pemukiman dan aktivitas manusia. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Wanger et al. (2009) bahwa komposisi jenis amfibi di daerah terganggu berbeda dengan komposisi di hutan yang masih alami. Pemilihan Mikrohabitat oleh Jenis-jenis Amfibi Penelitian Ayuningrum (2015) menyebutkan bahwa Jenis R. monticola, H. celebensis, dan O. semipalmata tidak dimasukkan dalam analisis pemilihan mikrohabitat karena jumlah individu yang ditemukan masing-masing hanya satu individu. L. larvaepartus, F. cancrivora, dan D. melanostictus merupakan amfibi yang cenderung memilih sungai dengan arus lambat, substrat tanah liat dan lumpur. Iskandar (1998) menyatakan bahwa habitat F. cancrivora berada di daerah terganggu yaitu sawah. Mikrohabitat yang dipilih F.cancrivora hampir sama dengan kondisi sawah yang memiliki substrat berupa lumpur dengan aliran air yang lambat bahkan cenderung tidak mengalir. Jenis D. melanostictus termasuk dalam famili Bufonidae yang hidupnya cenderung terestrial, namun beberapa tahapan hidupnya setengah akuatik (Iskandar 1998), sehingga cenderung memilih sungai dengan kecepatan arus lambat dan substrat tanah. Jenis L. larvaepartu merupakan jenis yang baru teridentifikasi, sehingga dapat dipastikan kondisi mikrohabitat yang disukainya. F. limnocharis cenderung memilih habitat yang memiliki tutupan kanopi terbuka pada sungai yang sangat lebar. Menurut Iskandar (1998), F. Limnocharis termasuk jenis katak yang menyukai daerah sawah dan padang rumput. Kondisi mikrohabitat yang dipilih F. limnocharis hampir sama dengan kondisi sawah dan padang rumput yaitu memiliki tutupan kanopi tergolong terbuka. O. Celebensis cenderung memilih sungai dengan arus sedang pada sungai yang sangat sempit. Pemilihan mikrohabitat diduga dipengaruhi oleh perilaku O. celebensis yang termasuk dalam marga Occidozyga, dimana hidupnya selalu berada di dalam air. Menurut Iskandar (1998), marga Occidozyga terdiri atas jenis-jenis yang berukuran kecil sehingga memerlukan kecepatan arus yang tergolong sedang agar tidak terbawa oleh aliran air. R. georgii cenderung memilih substrat batang pohon dan ranting. Hal ini berhubungan dengan peletakan busa telur R. georgii, dimana saat pengamatan

ditemukan busa telur R. georgii menggantung di batang pohon yang dibawahnya terdapat aliran air. Penemuan tersebut sama dengan hasil penelitian Gillespie et al. (2007) yang menemukan busa telur R. georgii melekat secara vertikal pada permukaan batang pohon dengan jarak 1-3 m di atas permukaan air. L. heinrichi, L.cf modestus, H. mocquardii, H. macrops dan I. celebensis menunjukkan posisi jenis-jenis tersebut mendekati titik pusat, menandakan jenis tersebut semakin tidak selektif. Hasil analisis tersebut sesuai dengan Gillespie et al. (2004) yang menemukan beberapa individu I. celebensis di berbagai jenis substrat seperti tumbuhan, batang pohon, log kayu, bebatuan, dan tanah atau pasir di pinggir sungai. Menurut Iskandar dan Mumpuni (2004) di dalam IUCN Red List L. heinrichi hidup di aliran berarus sedang sampai cepat di sungai dalam hutan. Pola Penyebaran Jenis Amfibi Di Sungai Pola penyebaran amfibi di lokasi penelitian Ayuningrum (2015) umumnya bersifat mengelompok. Hal ini terjadi karena adanya keseragaman habitat sehingga satwa cenderung mengelompok di tempat yang terdapat banyak pakan (Tarumingkeng 1994). Pakan amfibi adalah serangga, cacing, dan larva serangga yang berukuran kecil, semua amfibi termasuk dalam kelompok karnivora (Iskandar 1998). Keragaman serangga di hutan dipengaruhi oleh kerapatan pohon, tumbuhan bawah, dan tutupan kanopi. Umumnya keragaman serangga di hutan primer lebih tinggi karena hutan primer memiliki kerapatan tajuk dan vegetasi yang tinggi (Haneda 2004). Hal ini sesuai dengan kondisi sungai di SM Nantu yang memiliki tutupan kanopi rata-rata tergolong rapat (72.2%) dengan tepi kanan dan kiri sungai terdapat vegetasi serta serasah yang hampir menutupi tanah dan batuan di tepi sungai. Kondisi ini membuat amfibi cenderung mengelompok di daerah bervegetasi yang terdapat serangga sebagai pakan. Penyebaran acak ditemukan pada jenis F. limnocharis di sungai pada kebun jagung. Hal ini sesuai dengan pendapat Odum (1971) yang menyatakan bahwa penyebaran acak paling jarang ditemukan. Penyebaran seragam ditemukan pada beberapa jenis yaitu F. limnocharis di sungai pada kebun tebu, L. heinrichi di sungai pada kebun jagung, dan L. cf modestus di sungai pada hutan primer. Terdapat keseragaman dalam lingkungan hidup spesies tersebut (Tarumingkeng 1994). Selain itu Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa keseragaman terjadi karena adanya pengaruh negatif dari persaingan pakan atau sumberdaya lainnya. Keseragaman lingkungan hidup terlihat dari kondisi sungai pada kebun jagung di tepi kanan dan kiri sungai terdapat pepohonan, tumbuhan bawah, serasah, dan tutupan kanopi yang rapat (79.7%). Hal ini menyebabkan F. limnocharis memencar secara acak untuk mencari daerah yang terbuka, sesuai dengan habitat F. limnocharis hidup di daerah terbuka (Iskandar 1998). Sungai di kebun tebu memiliki tutupan kanopi agak terbuka (39.3%) kondisi tersebut sesuai dengan habitat F. limnocharis. Kesamaan kebutuhan ruang yang terbuka ini menyebabkan persaingan antar individu F. limnocharis sehingga tersebar seragam (Odum 1993). L. heinrichi menyebar seragam di sungai pada kebun jagung diduga karena kondisi vegetasi di sungai ini tidak serapat di sungai yang berada di hutan. Hal ini dapat berpengaruh pada keberadaan serangga sebagai pakan amfibi yang menyukai daerah yang memiliki kerapatan pohon tinggi (Haneda 2004), diduga serangga di sungai pada kebun jagung menyebar merata sesuai kondisi vegetasi sehingga L. heinrichi menyebar seragam untuk mendapatkan pakan. L. cf modestus menyebar

seragam di sungai pada hutan primer diduga karena kondisi sungai pada hutan primer didominasi oleh substrat pasir, menyebabkan L. cf modestus bersaing untuk mendapatkan daerah yang lebih tinggi dari permukaan air. Hal ini didukung dengan Gillespie et al. (2004) menemukan L. cf modestus di substrat batu yang berjarak 15 cm dari permukaan tanah tidak berada di dalam air. KESIMPULAN Ditemukan 15 jenis dari empat famili dengan total individu 490 ekor. L. Cf modestus jenis yang paling melimpah (519 individu/ha) di sungai pada hutan sekunder. Komunitas amfibi di sungai pada hutan primer dengan sungai pada hutan sekunder memiliki kesamaan komunitas amfibi paling tinggi (86.6%), sedangkan komunitas amfibi di sungai pada kebun tebu dengan komunitas amfibi yang menempati sungai pada hutan primer dan sungai pada hutan sekunder memiliki kesamaan komunitas amfibi paling rendah (29.9%). Amfibi memerlukan habitat yang spesifik, keberadaan mikrohabitat tertentu bisa menjadi indikator untuk menemukan jenis tertentu. Pola penyebaran amfibi di sungai didominasi oleh penyebaran mengelompok DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor (ID): Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Ayuningrum N T. 2015. Komunitas amfibi di beberapa sungai pada Suaka Margasatwa Nantu Provinsi Gorontalo. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Haneda NF. 2004. Insect communities in the three different forest habitats of Sungai Lalang forest reserve with emphasis on selected order of insect [tesis]. Selangor (MY): Universiti Putra Malaysia. Iskandar DT, Tjan KN. 1996. The amphibians and reptiles of Sulawesi, with notes on the distribution and chromosomal number of frogs. In: Kitchener DJ. Khairunnisa LR. 2014. Keanekaragaman jenis dan sebaran spasial amfibi di Suaka Margasatwa Nantu Gorontalo [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi Edisi ketiga. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta (ID): Pustaka Sinar Harapan. Wanger TC, Iskandar DT, Motzke I, Brook BW, Sodhi NS, Clough Y, Tscharntke T. 2009. Effect of land-use change on community composition of tripical amphibians and reptiles in Sulawesi. Indonesia. Conservation Biology. DOI: 10.1111/j.1523-1739.2009.01434.