KUALITAS, KUANTITAS DAN PEMASARAN KOPI ARABIKA DARI KEBUN AGROFORESTRI DI KABUPATEN BANTAENG, SULAWESI SELATAN

dokumen-dokumen yang mirip
Dampak Pendampingan Terhadap Penghidupan Petani Agroforestri di Sulawesi Selatan

Dampak Pendampingan Terhadap Penghidupan Petani Agroforestri di Sulawesi Tenggara

PERAN PENYULUHAN AGROFORESTRI DALAM PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PEDESAAN DI SULAWESI TENGGARA

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

Seminar Nasional Agroforestri 5, Ambon, November 2014

PEMBIBITAN SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER PENGHIDUPAN PETANI AGROFORESTRY SULAWESI TENGGARA : POTENSI DAN TANTANGAN

INOVASI METODE PENYULUHAN AGROFORESTRI UNTUK PERBAIKAN KEBUN DI SULAWESI SELATAN

Dairi merupakan salah satu daerah

MOTIVASI PETANI DALAM KEGIATAN PENYULUHAN PENGELOLAAN KEBUN AGROFORESTRY : PEMBELAJARAN DARI KABUPATEN BANTAENG DAN BULUKUMBA, SULAWESI

: Motivasi Petani dalam Kegiatan Penyuluhan Pengelolaan Kebun Agroforestri: Pembelajaran dari Kabupaten Bantaeng dan Bulukumba, Sulawesi Selatan

OLEH HARI SUBAGYO BP3K DOKO PROSES PENGOLAHAN BIJI KOPI

VALUASI PENGGUNAAN LAHAN DALAM PENGEMBANGAN AGROFORESTRI DI SULAWESI SELATAN

Seminar Nasional Agroforestri 5, Ambon, November : Kebun Belajar Agroforestri (KBA): Konsep dan Pembelajaran dari Sulawesi Selatan dan Tenggara

Ir. Khalid. ToT Budidaya Kopi Arabika Gayo Secara Berkelanjutan, Pondok Gajah, 06 s/d 08 Maret Page 1 PENDAHULUAN

KEBUN BELAJAR AGROFORESTRI (KBA) : KONSEP DAN PEMBELAJARAN DARI SULAWESI SELATAN DAN TENGGARA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

I. PENDAHULUAN. Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi

Teknologi Pengolahan Kopi Cara Basah Untuk Meningkatkan Mutu Kopi Ditingkat Petani

Memperkuat Industri Kopi Indonesia melalui Pertanian Kopi Berkelanjutan dan (Pengolahan) Pascapanen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjang peningkatan ekspor nonmigas di Indonesia. Indonesia

KONTRIBUSI AGROFORESTRI DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN DAN PEMERATAAN PENDAPATAN MASYARAKAT PENGELOLA HUTAN KEMASYARAKATAN DI SESAOT LOMBOK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

BAB I PENDAHULUAN. perkebunan besar), kehutanan, peternakan, dan perikanan (Mubyarto, 1977 : 15).

Siswa Magang di Tengah Petani Kopi Bantaeng

Seminar Nasional Mesin dan Industri (SNMI4) 2008

Lampiran 1. Indikator dan Parameter Penilaian SWOT Kopi Mandailing. No Indikator Parameter Skor

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISA RANTAI NILAI DISTRIBUSI KOPI DI KABUPATEN GARUT

Agustus 2013 Upaya Menumbuhkan Semangat Wirausaha pada Petani

BAB I PENDAHULUAN. pertanian yang mampu menghasilkan devisa bagi Negara. Pada tahun 2016

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa , , ,16

UPAYA PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS KOMODITI KOPI JAWA TIMUR GUNA MENUNJANG PASAR NASIONAL DAN INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terkenal dengan sebutan Negara Agraris. Hal ini dapat

BAB I PENDAHULUAN. yaitu: 1) Industri kopi olahan kelas kecil (Home Industri), pada industri ini

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Subsektor perkebunan merupakan salah satu sektor pertanian yang

I. PENDAHULUAN. penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena

nilai ekonomis cukup tinggi dalam dunia perdagangan (Ruaw, 2011). Kelapa merupakan komoditi strategis karena perannya yang besar sebagai sumber

Strategi mata pencaharian dan dinamika sistem penggunaan lahan di Sulawesi Selatan

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki berbagai jenis tanaman yang dapat tumbuh subur di

II. TINJAUAN PUSTAKA. rasanya dibanding jenis kopi yang lain, tanda-tandanya adalah biji picak dan daun

BAB I PENDAHULUAN. kumpulan dari kebun-kebun sempit milik petani yang menjadi salah satu pilar

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

POTENSI LIMBAH KULIT KOPI SEBAGAI PAKAN AYAM

IBM KELOMPOK USAHA (UKM) JAGUNG DI KABUPATEN GOWA

Pembuatan Pembibitan Tanaman

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

PENINGKATAN KUALITAS HASIL PANEN KOPI KELOMPOK TANI, DESA BANYUKUNING, KABUPATEN SEMARANG

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

BAB I PENDAHULUAN. Sektor perkebunan merupakan sektor yang berperan sebagai penghasil devisa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

POTENSI DAN PELUANG EKSPOR PRODUK PERKEBUNAN UNGGULAN DI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman

BAB I PENDAHULUAN. penghasil devisa negara, penyedia lapangan kerja serta mendorong pengembangan

I. PENDAHULUAN. menyerap tenaga kerja, menghasilkan devisa negara, dan berfungsi dalam

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan

Enggar Paramita, Endri Martini, James M. Roshetko World Agroforestry Centre (ICRAF) ABSTRACT I.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Magelang merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menghasilkan kopi.

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan secara nasional adalah kakao (Sufri, 2007; Faisal Assad dkk.,

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

NILAI TAMBAH PROSES PENGOLAHAN KOPI ARABIKA SECARA BASAH (WEST INDISCHEE BEREDING)

Rekomendasi untuk peningkatan produksi kakao bagi petani skala kecil. Abstract

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan komoditi perkebunan yang masuk dalam kategori komoditi

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

DINAMIKA DAN RISIKO KINERJA TEBU SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI GULA DI INDONESIA

sebagai bahan baku pembuatan minyak kelapa mentah (Cruide Coconut Oil) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Way Kanan merupakan salah satu wilayah pemekaran dari wilayah

I B M KELOMPOK TANI KOPI RAKYAT

VALUE CHAIN ANALYSIS (ANALISIS RANTAI PASOK) UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI KOPI PADA INDUSTRI KOPI BIJI RAKYAT DI KABUPATEN JEMBER ABSTRAK

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu hasil dari berbagai tanaman perkebunan yang dapat

pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, oleh sektor

PENDAHULUAN PENGOLAHAN METE 1

I. PENDAHULUAN. penghidupan bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Secara umum, pengertian

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang gencargencarnya

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas penting di dalam perdagangan dunia.

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

Gambar 1. Pembibitan Perkebunan Tanaman Kopi di Kec. Sukamakmur

PENDAHULUAN Latar Belakang

Penanganan Pascapanen dan Pemasaran Kakao di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Diany Faila Sophia Hartatri 1)

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimiliki daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya

I. PENDAHULUAN. Gaya hidup pada zaman modern ini menuntun masyarakat untuk mengkonsumsi

BAB I PENDAHULUAN. termasuk dalam famili Rubiaceae dan genus Coffea. Tanaman kopi. merupakan tanaman unggulan yang sudah dikembangkan dan juga menjadi

BAB I PENDAHULUAN. kopi, dan kakao. Pada tahun 2012, volume perusahaan pemerintah pada

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yaitu dimana sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian.

Perwakilan Pemerintah Kanada Menyaksikan Perkembangan AgFor Sulawesi

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan hasil utama sebagian besar penduduk Lampung Barat secara

Transkripsi:

KUALITAS, KUANTITAS DAN PEMASARAN KOPI ARABIKA DARI KEBUN AGROFORESTRI DI KABUPATEN BANTAENG, SULAWESI SELATAN Syarfiah Zainuddin 1, Endri Martini 1, Aulia Perdana 1, James M. Roshetko 1 World Agroforestry Centre (ICRAF), Jl. CIFOR Situgede, Sindang barang, Bogor, 16115 Email korespondensi : s.zainuddin@cgiar.org ABSTRAK Kopi arabika merupakan komoditas ekspor yang menyumbangkan devisa bagi negara. Di dunia, kopi arabika Indonesia sudah cukup punya nama, akan tetapi pengelolaannya masih terbatas terutama karena sekitar 96% kopi arabika Indonesia diproduksi oleh petani agroforest skala kecil. Peningkatan kualitas, kuantitas dan pemasaran kopi dapat meningkatkan penghidupan petani penghasil kopi. Studi ini dilakukan untuk mengetahui kondisi sekarang dan potensi perbaikan kualitas, kuantitas dan pemasaran kopi para petani agroforestri di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Data untuk studi ini dikumpulkan melalui wawancara dengan 30 petani binaan, 10 orang pedagang, dan perwakilan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Informasi yang dikumpulkan adalah perubahan kuantitas, kualitas dan pemasaran kopi setelah 2 tahun pendampingan oleh pemerintah daerah dan lembaga swasta. Hasil menunjukkan bahwa pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan lembaga swasta dapat meningkatkan kualitas kopi dari yang sebelumnya panen hijau menjadi panen merah, dan melakukan perbaikan paska panen yang menghasilkan kopi dengan kualitas lebih baik dan harga lebih tinggi. Tapi dari segi kuantitas belum mencukupi karena kopi belum menjadi komoditas utama yang diprioritaskan di tingkat petani, terutama karena harganya yang fluktuatif dan lebih rendah dari komoditas agroforest lainnya seperti kakao dan cengkeh, sehingga petani tidak secara intensif mengelola kebunnya. Dari sisi pemasaran, perlu adanya pemutusan rantai penjualan kopi dengan menghubungkan petani langsung dengan pasarnya di Makassar dengan melakukan pemasaran berkelompok. Dukungan dari pemerintah daerah diperlukan untuk memastikan adanya pendampingan yang intensif bagi para petani kopi arabika di Bantaeng dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas kopinya agar dapat bersaing dengan kopi dari daerah lainnya misalnya kopi Toraja. Kata kunci: panen merah, harga, AgFor, pendampingan pemerintah I. PENDAHULUAN Kopi arabika merupakan komoditas ekspor yang menyumbangkan devisa bagi negara. Di dunia, kopi arabika Indonesia sudah cukup punya nama, akan tetapi pengelolaannya masih terbatas terutama karena sekitar 96% kopi arabika Indonesia diproduksi oleh petani agroforest skala kecil (AEKI, 2014) dengan pengelolaan ekstensif. Kebutuhan dunia akan kopi arabika yang terus meningkat seharusnya dapat meningkatkan potensi peningkatan penghidupan petani penghasil kopi melalui peningkatan kualitas, kuantitas dan pemasaran kopi (Kustiari, 2007). Sulawesi Selatan termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang menghasilkan kopi arabika dalam jumlah besar. Di Bantaeng, salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, kopi arabika termasuk ke dalam salah satu komoditas unggulan perkebunan yang berkontribusi terhadap penghidupan masyarakatnya. Secara umum, berdasarkan data dari kementerian pertanian di tahun 2014, di Bantaeng terdapat sekitar 970 ha kebun agroforest kopi arabika, dengan produksi 420 ton kopi beras per tahun. Rendahnya produksi kopi di Bantaeng terkendala dari segi harganya yang rendah sehingga kurang memotivasi petani untuk mengelola kebunnya, dan teknik pengelolaan paska panennya yang masih sederhana (Khususiyah et al., 2012). Pada tingkat rumah tangga, produksi kopi per ha di Bantaeng sekitar 778 kg/ha/thn untuk kebun monokultur dan 313 kg/ha/thn untuk kebun agroforest (Rahmanulloh et al., 2012). Jika dibandingkan dengan tipe penggunaan lahan lainnya di Bantaeng, kebun campur kopi memiliki profitabilitas yang terendah, ini yang menyebabkan banyak petani di Bantaeng mulai beralih ke jenis 562 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

tanaman lain untuk penghidupannya. Rendahnya harga juga menyebabkan petani hampir tidak memupuk kebunnya, padahal produksi kebun masih bisa meningkat jika petani memupuk dan memelihara pohon kopi di kebunnya. Dari sisi kondisi lingkungan di Bantaeng, sebenarnya sangat mendukung untuk produksi kopi arabika dengan jumlah dan mutu yang lebih baik dari yang saat ini dihasilkan di Bantaeng. Akan tetapi kendala-kendala yang saat ini ada di Bantaeng menjadikan komoditas kopi semakin tidak diminati oleh petani. Oleh karena itu studi ini dilakukan untuk untuk mengetahui kondisi sekarang dan potensi perbaikan kualitas, kuantitas dan pemasaran kopi para petani agroforestri di Bantaeng. Harapannya hasil penelitian ini bisa dijadikan acuan bagi pemerintah daerah dalam merancan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan produksi kopi arabika di daerah Bantaeng dan juga meningkatkan pendapatan petani kopi arabika petani di Bantaeng. II. METODE PENGAMBILAN DATA Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 hingga Mei 2015 di 4 desa di Kabupaten Bantaeng, yaitu Desa Pattanetean Desa Bontotappalang dan Kelurahan Campaga. Pemilihan desa ditentukan berdasarkan desa yang paling banyak memproduksi kopi arabika dan merupakan binaan ICRAF melalui program AgFor. Data untuk studi ini dikumpulkan melalui wawancara dengan 30 petani binaan ICRAF-AgFor, 10 orang pedagang, dan perwakilan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Informasi yang dikumpulkan adalah perubahan kuantitas (persentase perubahan jumlah produksi kopi), kualitas (jumlah responden yang petik peco, pengolahan paska panen) dan pemasaran kopi (jalur pemasaran dan harga yang diterima) setelah 2 tahun pendampingan hasil kerjasama antara pemerintah daerah dan lembaga swasta (ICRAF melalui program AgFor). Data dianalisa dengan deskriptif statistik dan kualitatif. Pendampingan yang dilakukan diantaranya mengajarkan tentang cara budidaya kopi, pemanenan kopi, paska panen kopi (penjemuran hingga penggorengan kopi) dan juga pemasaran kopi. Pendampingan dilakukan dengan cara melakukan kunjungan ke petani setiap 2 minggu dan memberikan pelatihan melalui sekolah lapang pengelolaan kebun, mengirim beberapa petani ke pusat penelitian kopi dan kakao di Jember untuk belajar tentang pengolahan paska panen kopi, dan menghubungkan serta memfasilitasi penjualan kopi petani dengan pelaku pasar di Makassar. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Secara Umum tentang Produksi Kopi di Bantaeng Produksi kopi di Bantaeng rata-rata sekitar 300 liter peco kering (depulped coffee)/ha/tahun, dengan rata-rata luas lahan perkebun kopi 0,5 ha. Dengan total luas kebun kopi di Bantaeng sekitar 400 ha, sehingga Bantaeng memiliki potensi produksi kopi arabika per tahun sebanyak 120 ton peco kering kopi. Rendahnya produksi kopi di Bantaeng karena beberapa hal yang kurang diperhatikan petani dalam budidaya, maupun pengelolaan paska panen kopi. Kurangnya perhatian petani disebabkan oleh kurangnya penyuluhan tentang kopi diberikan kepada petani sehingga pengetahuannya tentang cara pengelolaan kopi menjadi minim, selain itu juga karena harga kopi yang memiliki fluktuasi yang cukup tinggi dengan nilai yang cukup rendah, terkadang dapat mencapai sekitar Rp 2000/kg peco. Kopi arabika yang dipelihara petani di Bantaeng baru ditanam sekitaran 1980-an ketika ada program bantuan dari pemerintah. Sebelumnya kopi yang dikembangkan di Bantaeng adalah kopi robusta, tapi karena harga kopi robusta yang rendah dan juga produksinya yang lebih rendah dari kopi arabika, maka kopi robusta hanya sedikit yang masih dipelihara untuk keperluan keluarga sehari-hari. Petani di Bantaeng rata-rata menanam kopi arabika dari bibit kopi cabutan yang diperoleh di sekitar indukannya. Walaupun di beberapa lokasi seperti di Pabumbungan, ada bantuan dari Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 563

pemerintah daerah untuk pengembangan kopi arabika berupa bibit unggul yang didatangkan dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember, Jawa Timur. Untuk pemeliharaannya, petani memupuk kopinya sekali setahun, dan memangkas berat kopinya setelah panen dilakukan (satu kali setahun). Adapun pangkas ringan dilakukan tiap kali dibutuhkan yakni memangkas ranting yang mereka anggap tidak produktif lagi misalnya tunas air. Panen kopi dilakukan oleh petani satu kali dalam setahun, yaitu antara April hingga Juni. Pemanenan umumnya dilakukan dengan sistem dipetik yang ada yang sudah matang saja, tanpa membedakan yang sudah merah ataupun yang masih hijau. Cara ini dilakukan karena lebih cepat pengerjaannya. Setelah itu kopi yang sudah dipanen dibawa ke rumah untuk dikupas kulitnya dengan alat depulper, setelah kulitnya dikupas biasanya kopi direndam satu malam, kemudian besoknya dicuci sampai bersih gunanya membersihkan sisa lendir yang masih menempel di kulit tanduk kopi di dalam ember atau bak. Setelah itu, kopi dijemur selama 3 jam jika cuaca memungkinkan, apabila tidak bisa lebih dari 3 jam sebelum dijual petani menyortir kopi dengan cara memilih kopi yang bagus dan cacat setelah itu siap untuk dijual dengan nama kopi peco. Karena tidak memisahkan kopi merah dengan kopi hijau, sehingga ketika sudah kering banyak biji yang cacat, rusak dan bahkan berjamur. Hal ini menyebabkan kualitas kopi berkurang dari sisi aroma dan rasanya. Sementara beberapa petani yang memetik campur ada juga yang memisahkan buah merah dengan hijau, buah yang hijau disimpan dahulu dalam karung selama 3 hari sebelum diolah untuk dikupas kulitnya dan dijemur. Tapi tidak terlalu banyak petani yang melakukan ini karena dinilai banyak menghabiskan waktu dengan menyortir buah berdasarkan kematangannya. Beberapa istilah yang lazim digunakan di Bantaeng terkait dengan produk kopi adalah kopi peco, kopi beras dan kopi bubuk. Kopi peco adalah kopi yang baru diolah satu kali melalui proses depulping atau pengupasan daging buah. Setelah menjadi kopi peco biasanya akan dijemur lagi untuk kemudian diolah dengan mesin untuk memisahkan kulit ari biji kopi dengan bji kopinya. Produk kopi yang sudah dikupas kulit ari bijinya dinamakan kopi beras. Sedangkan kopi bubuk adalah kopi beras yang sudah digoreng dan ditumbuk menjadi bubuk dan siap untuk disajikan. B. Hasil Pendampingan Pemasaran Kopi yang Dilakukan di Kabupaten Bantaeng Secara kuantitas, hanya 17% dari total responden yang jumlah hasil kopinya meningkat dengan melakukan perbaikan pemangkasan pohon kopi yang produktif dengan umur lebih dari 10 tahun. Kopi yang dihasilkan meningkat sekitar 300-600 liter peco kopi/ ha. Dan hanya ada 1 orang yang mengaku menerapkan pemupukan seperti yang disarankan dan mendapatkan peningkatan hasil sebanyak 200 liter peco kopi/ha. Tidak banyaknya responden yang meningkat hasil kopinya terutama karena responden tidak terlalu memfokuskan pemeliharaan kebunnya terhadap tanaman kopi, terutama karena harga kopi yang fluktuatif dan cenderung lebih rendah jika dibandingkan tanaman kakao ataupun cengkeh. Untuk pengelolaan paska panen, setelah 2 tahun pendampingan, sekitar 10% dari responden masih menjual gelondongan, sedangkan 83% lainnya sudah mulai menjual peco, dan ada sekitar 7% yang menjual dalam bentuk beras. Sebelum pendampingan dilakukan biasanya petani menjual gelondongan. Motivasi petani diantaranya karena harga yang lebih menguntungkan jika mereka menjual peco, walaupun secara waktu akan lebih banyak tenaga kerja dikeluarkan jika membuat kopi peco. Harga yang diterima oleh petani jika menjual peco adalah lebih mahal sekitar 50% dari ketika mereka menjual gelondongan. Perbandingan harga yang diterima oleh petani jika menjual gelondongan sekitar Rp 2000/liter, jika menjual peco sekitar Rp 9500/liter, dan jika menjual beras sekitar Rp 14000/kg. Sekitar 46,7% dari petani binaan sudah mulai memetik kopi yang merah, walaupun masih ada sekitar 53,3% yang masih memetik campur. Petani yang memetik merah karena mereka juga yang biasanya mengolah kopinya menjadi peco, dan menurut mereka jika tidak dipisahkan antara yang merah dan hijau maka kualitas kopinya akan mudah rusak sehingga pedagang akan menghargainya dengan harga yang termurah. Petani yang masih mempraktekkan petik campur rata- 564 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

rata karena kebun kopinya cukup luas sehingga tidak dapat melakukan penyortiran, dan biasanya mereka juga adalah yang menjual kopi dalam bentuk gelondongan ke pedagang. Pengelolaan paska panen kopi yang dipilih oleh petani hanya sampai pada produksi kopi beras. Untuk produksi kopi bubuk belum dilakukan diantaranya karena pasarnya belum jelas dan juga peralatan yang diperlukan untuk menghasilkan kopi bubuk masih belum tersedia di desa-desa, dan harga peralatannya cukup mahal jika harus dibeli. Setelah 2 tahun pendampingan oleh AgFor bekerja sama dengan pemerintah daerah Kabupaten Bantaeng dan perusahaan kopi di Makassar, terjadi perubahan rantai pemasaran yang dulunya petani menjual produk kopi arabika dalam bentuk peco ke pedagang pengumpul desa dengan sistem pembayaran setelah panen berakhir dan bahkan setahun setelah panen petani baru menerima uang hasil jual kopi, sekarang petani petani mulai menjual langsung kopinya ke pedagang besar dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang ada di desa. Meskipun ketika membawa kopi ke pedagang di provinsi, petani harus mengeluarkan modal untuk biaya transportasi, oleh karena itu biasanya hal ini hanya dilakukan oleh petani-petani binaan AgFor yang memiliki modal tinggi. Bagusnya petani binaan AgFor yang bermodal tinggi ini juga membantu petani binaan AgFor lainnya yang berada dalam satu kelompok belajar AgFor untuk menjual hasil kopinya ke pedagang di Makassar dengan syarat hanya komoditas yang dipetik merah dan memiliki kualitas yang baik. C. Potensi Pengembangan Produksi Kopi Arabika di Bantaeng Berdasarkan hasil diskusi dengan perwakilan pemerintah daerah dan pedagang kopi di Bantaeng, beberapa tantangan dalam produksi di Bantaeng terkait dengan: 1) Mutu kopi yang masih rendah sebagai akibat dari belum dilakukannya teknik budidaya dan paska panen yang dianjurkan; dan 2) Praktek ijon masih banyak dijumpai dimana kebanyakan petani biasanya sebelum panen sudah mengambil uang dari pedagang, hal ini mempersulit pemutusan rantai pemasaran untuk mendapatkan harga yang lebih baik. Berbeda dengan perspektif dari petani yang mengetengahkan pentingnya harga kopi untuk memotivasi mereka melakukan teknik budidaya dan paska panen kopi yang baik, para pedagang dan perwakilan pemerintah daerah berpendapat bahwa harga kopi tidak termasuk kendala untuk mendukung produktivitas kebun kopi, yang paling utama adalah kualitas kopinya. Jika kualitasnya baik, pasti banyak pedagang yang berani bayar mahal untuk mendapatkan kopi berkualitas tersebut. Kerjasama antara Pemerintah Daerah Bantaeng dengan pihak swasta untuk pemasaran kopi arabika belum dilakukan karena belum ada pengusaha ataupun pedagang yang berani menanamkan modalnya untuk pemasaran kopi di Bantaeng. Kebanyakan pedagang lebih banyak berinvestasi untuk penjualan kopi Toraja yang sudah memiliki nama di dunia dan juga digolongkan sebagai salah satu dari 8 kopi specialty yang ada di Indonesia. Berdasarkan test pasar yang sudah dilakukan oleh tim ICRAF AgFor dalam memasarkan kopi Bantaeng, banyak konsumen yang tertarik dengan rasa kopi arabika Bantaeng yang dinilai ringan dan memiliki rasa yang khas dengan rasa rempah. Dari segi kualitas, kopi arabika Bantaeng yang diproses dengan teknik yang dipelajari dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, memiliki kualitas lolos persyaratan SNI. Sehingga pendampingan pada petani kopi arabika perlu dilakukan secara intensif melalui kerjasama antara pihak pemerintah daerah dengan pihak-pihak terkait agar kopi arabika Bantaeng dapat dipasarkan secara luas. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan kuantitas, kualitas dan jalur pemasaran dapat terjadi dengan adanya pendampingan yang intensif yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan pihak-pihak lain yang relevan. Walaupun untuk pengembangan di Bantaeng yang kondisi alamnya memungkinkan untuk melakukan penanaman jenis-jenis tanaman selain kopi, harga kopi yang kalah bersaing dengan jenis tanaman lain seperti kakao dan cengkeh menyebabkan kopi tidak menjadi tanaman yang diprioritaskan. Pada daerah-daerah yang berketinggian tempat di atas 1000 mdpl, Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 565

maka kopi arabika termasuk komoditas yang paling baik untuk ditanam dan dikembangkan. Jika harganya baik, maka petani akan mau menginvestasikan waktunya untuk melakukan perbaikan produksi dan kualitas, yang tentunya akan berdampak pada perbaikan harga yang diterimanya. Jalur pemasaran kopi arabika yang terlalu panjang dapat diputus dengan menghubungkan petani langsung ke pedagang besar atau mencoba merubah sistem ijon yang umum ada di antara petani dengan pedagang kopi. Dukungan dari pemerintah daerah diperlukan untuk memastikan adanya pendampingan yang intensif bagi para petani kopi arabika di Bantaeng dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas kopinya agar dapat bersaing dengan kopi dari daerah lainnya misalnya kopi Toraja. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dilakukan atas dukungan dari program Agroforestry and Forestry: Linking Knowledge to Action (AgFor) project (Contribution Arrangement No.7056890) yang didanai oleh Department of Foreign Affairs, Trade, and Development (DFATD) Canada. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para petani, pedagang dan pemerintah daerah di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan atas kerjasamanya dalam proses pengumpulan data. DAFTAR PUSTAKA BPS. 2012. Statistik Daerah Kabupaten Bantaeng. Bantaeng, Indonesia: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantaeng. Khususiyah N, Janudianto, Isnurdiansyah, Suyanto and Roshetko JM.2012. Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Livelihood strategies and land use system dynamics in South Sulawesi. Working paper 155. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program. 47p. DOI: 10.5716/WP12054.PDF. Kustiari, R. 2007. Perkembangan pasar kopi dunia dan implikasinya bagi Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi 25(1): 43-55. Perdana A, Roshetko JM. 2012. Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Rapid market appraisal of agricultural, plantation and forestry commodities in South and Southeast Sulawesi. Working paper 160. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program. 17p. DOI: 10.5716/WP12059.PDF. Rahmanulloh A, Sofiyudin M, Suyanto. 2012. Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Profitability and land-use systems in South and Southeast Sulawesi. Working paper 157. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program. 16p. DOI: 10.5716/WP12056.PDF. 566 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015