PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Polemik terkait kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara dalam penanganan kasus korupsi masih terus bergulir, meskipun telah diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 yang menyatakan, frasa kata "dapat" dalam rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang No 31/1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi juncto UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan konstitusi sehingga "tidak mengikatnya" kata "dapat" menjadikan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor menjadi delik materiil. Terlepas dari polemik di atas, putusan-putusan MK terkait pembaruan hukum pidana yang salah satunya membahas kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi memang menimbulkan pro dan kontra. Namun, dibalik semua perdebatan tersebut, upaya pemberantasan korupsi tetap harus didukung oleh semua elemen masyarakat. B. MAKSUD & TUJUAN Maksud: Diskusi ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif terkait dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya menyangkut efektivitas dan efisiensi kewenangan lembaga audit dalam perhitungan dan penetapan kerugian keuangan negara. Selain itu, diskusi ini juga bertujuan untuk mendalami landasan filosofis dan yuridis atas Putusan MK serta arah kebijakan politik parlemen dalam menyikapi polemik Putusan MK tersebut. Tujuan: Memberikan pemahaman yang komprehensif terkait dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya menyangkut efektivitas dan efisiensi kewenangan lembaga audit dalam perhitungan dan penetapan kerugian keuangan negara. 1
Dengan adanya putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 yang menyatakan diperlukannya perhitungan kerugian negara oleh BPK terlebih dahulu sebelum KPK dapat menangkap dan menetapkan seseorang sebagai tersangka. Maka kemudian muncul pertanyaan manakah yang lebih efisien dalam pengoptimalan pengembalian keuangan negara. Apakah lebih efektif ketika KPK dapat menangkap seseorang dan menyatakan sebagai tersangka tanpa harus menunggu hasil perhitungan kerugian negara dari BPK/BPKP ataukah KPK harus menunggu hasil perhitungan kerugian negara dari BPK/BPKP. Mendalami landasan filosofis dan yuridis atas Putusan MK. Sebagai bahan pertimbangan arah kebijakan politik parlemen dalam menyikapi polemik Putusan MK tersebut. C. TEMPAT, WAKTU DAN NARA SUMBER Kegiatan workshop yang dimaksud akan dilaksanakan pada: Hari/Tanggal : Kamis, 16 Februari 2017 Waktu : Pukul 09.00 selesai Tempat : Ruang MKD, Gedung DPR RI Peserta : (daftar peserta terlampir) Moderator : Drs. Helmizar (Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara) Narasumber : - K. Johnson Rajagukguk, S.H., M.Hum. (Kepala Badan Keahlian DPR RI) - Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si (Anggota Komisi III DPR RI) Arah Kebijakan Politik Parlemen Dalam Menyikapi Polemik Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 - Supriyono Hadi, S.H., M.Si.(Kasubdit. Kepaniteraan Kerugian Negara Daerah, BPK RI) dan Tri Heriadi, S.H., M.M. (Kadit. Konsultasi Hukum Keuangan Negara, BPK RI) Efektivitas dan Efisiensi Kewenangan BPK Dalam Perhitungan dan Penetapan Kerugian Keuangan Negara. 2
PROSES KEGIATAN 3
A. RINGKASAN DAN PROSES KEGIATAN Diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 memunculkan polemik terkait siapa yang memiliki kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara dalam penanganan kasus korupsi. Pada dasarnya, berdasarkan amanat UUD 1945 Pasal 23E dan Undang Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK, menyatakan bahwa pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri, yakni BPK. Lebih lanjut, pasal 6 Undang Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Keppres No. 103 tahun 2001 menyebutkan bahwa BPKP diperbolehkan menghitung dan mengaudit kerugian negara. Sebelumnya, MK dalam putusan No. 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012, menegaskan bahwa dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPK dan BPKP, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri diluar temuan BPK dan BPKP. Artinya, ada tidaknya perhitungan kerugian negara oleh auditor tidak menjadi tolak ukur (KPK dapat membuktikan sendiri), atau serta merta dapat menggugurkan/membatalkan kasus tipikor yang telah diputus oleh pengadilan. Kemudian, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU- XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 mengabulkan gugatan pemohon untuk menghapus kata dapat rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 Undangundang No 31/1999 jo. UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berbunyi : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana... 4
Setelah Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016, menjadi : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana... Pemohon beranggapan bahwa frasa kata dapat menimbulkan ketidakpastian penegakan hukum karena dalam praktiknya, penegak hukum dapat menjerat siapa saja dengan UU Tipikor tanpa adanya perhitungan kerugian negara yang nyata. Secara yuridis, implikasi dari keputusan tersebut adalah bahwa setiap upaya penegakan hukum tipikor sudah harus memiliki perhitungan kerugian negara oleh BPK sebelum dilakukan penetapan tersangka. Notulensi: Kepala Badan Keahlian DPR RI Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bertujuan bukan semata mata untuk memenjarakan pelaku korupsi tetapi bagaimana mengembalikan kerugian negara sehingga tujuan penyelenggaraan negara guna mensejahterakan rakyat dapat tercapai. Perdebatan ini muncul setelah ketetapan MK No. 25/PUU-VI/2016 dimana frase dapat dalam pasal 2 dan 3 UU 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001 dinyatakan bertentangan dengan konsesi yang kemudian menjadikan pasal 2 dan 3 delik materil dan dalam pembuktiannya, maka BPK menjadi pihak yang ditetapkan untuk menghitung kerugian negara. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 terhadap Politik Hukum Penegakan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia oleh Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si (Anggota Komisi III DPR RI) Rezim putusan MK tahun 2006 memandang ketentuan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor sebagai delik pidana yang bersifat formil, bahwa perbuatan yang 5
akan dituntut di pengadilan bukan hanya perbuatan yang telah mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata (actual loss), tetapi sekalipun hanya sifat perbuatan tersebut berpotensi mengakibatkan kerugian negara, maka seseorang dapat dituntut di Pengadilan asalkan unsur lain dalam Pasal 2 dan 3 dapat dibuktikan di Pengadilan. Hal ini jelas berbeda dengan rezim putusan MK tahun 2017 yang memaknai frasa dapat merugikan keuangan negara sebagai suatu unsur yang harus dibuktikan nyata terjadi (actual loss) untuk dapat naik ke tahap penyidikan. Hal ini tentunya memiliki implikasi hukum dalam hal pembuktian, dimana perhitungan jumlah kerugian negara menjadi unsur yang harus dibuktikan sejak tahap penyelidikan. Dengan dikeluarkannya putusan MK rezim 2017, maka menimbulkan dualisme penafsiran. Hal ini dikarenakan putusan MK bersifat akhir dan mengikat (final dan binding) sehingga putusan MK rezim 2017 tidak dapat membatalkan atau menganulir putusan MK sebelumnya selama belum dilakukannya revisi atas UU Tipikor Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi para penegak hukum, polisi, jaksa, KPK untuk membuktikan semua unsur yang ada dalam Pasal 2 an 3 UU tipikor. Langkah awal kebijakan parlemen harus konsisten dengan TAP MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi dan Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Menurut Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si (2017), jika dibandingkan dengan arah kebijakan dalam TAP MPR No. VIII Tahun 2001 maka putusan MK rezim 2006 lebih memudahkan dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Tetapi yang perlu diperhatikan bukanlah perihal mudah atau sulit, melainkan bagaimana konsep pemberantasan korupsi itu berjalan konstitusional dan tidak melanggar hukum. Hal ini merupakan tantangan yang perlu diatur dalam merumuskan revisi UU Tipikor ke depan. Efektivitas dan Efisiensi Kewenangan BPK dalam Perhitungan dan Penetapan Kerugian Negara Oleh Tri Heriadi (Kadit. Konsultasi Hukum Keuangan Negara, BPK RI) &Supriyono Hadi (Kasubdit. Kepanitraan Kerugian Negara Daerah, BPK RI) 6
Distribusi LHP tersebut kepada K/L terbagi menjadi tiga tergantung pada sifat dari informasi yang diberikan. Bila ada temuan, maka LHP tersebut terbuka untuk umum dan bisa diakses. Bila ada unsur pidana, maka Informasi tersebut dilimpahkan kepada pihak yang berwenang (Kepolisian, Kejaksaan, KPK) untuk dilakukan penyelidikan dan BPK dihadirkan sebagai saksi ahli. Lalu, apabila mengandung rahasia negara informasi tersebut hanya disampaikan terbatas. Kewenangan BPK terkait kerugian negara terbatas pada pemberian keterangan ahli di persidangan, penetapan kerugian, pemantauan penyelesaian kerugian dan melakukan pemeriksaan investigatif. Keterangan ahli yang dapat diberikan BPK harus berdasarkan LHP atau hasil penilaian kerugian negara yang sudah dihitung. Peran strategis BPK dalam pemberantasan korupsi melalui pemeriksaan atas laporan keuangan tersebut merupakan salah satu bentuk tindakan preventif. Setelah adanya putusan MK No.25/PUU-XIV/2016 yang mengubah pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 menjadi delik materiil dan Surat Edaran Mahkamah Agung No.4 Tahun 2016, menjadi tantangan tersendiri bagi BPK dimana BPK menjadi instansi yang berwenang dalam melakukan penghitungan kerugian negara atas permintaan Aparat Penegak Hukum (APH) sebelum APH menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam kasus Tipikor (putusan MK No.25/PUU-XIV/2016) dan juga sebagai instansi yang berwenang dalam mendeklarasikan kerugian negara yang telah dihitung oleh BPKP, Inspektorat dan SKPD (SEMA No. 4 tahun 2016). BPK kemudian melakukan laporan investigatif berdasarkan laporan masyarakat atau penegak hukum untuk dijadikan bahan dalam melakukan penyidikan dan sebagai bahan bukti penuntutan di pengadilan. Total ada 446 temuan dengan kerugian 44,62 triliun yang sudah diserahkan kepada penegak hukum dan 420 diantaranya sudah ditindaklanjuti. 7
B. KESIMPULAN Semua keputusan MK bersifat final, tidak bisa saling menganulir antar putusan. Untuk itu kedepannya, bisa jadi aparat penegak hukum akan menggunakan semua putusan MK baik putusan rezim 2006 ataupun putusan MK rezim 2017, meskipun akan menjadi kompleks pada prakteknya. Untuk masalah penegakan hukum, masalah kembali atau tidaknya uang negara merupakan masalah strategis, dan hal ini merupakan domainnya kejaksaan dan KPK. Dalam rapat dengan kejaksaan dan KPK, DPR juga selalu mempertanyakan bagaimana persoalan pengembalian uang negara tersebut, karena banyak kritik yang ditujukan kepada KPK yang mengeluarkan biaya sangat tinggi yaitu senilai Rp 400.000.000,- per kasus, sementara pengembalian uang negara tidak terlalu besar. Berbeda dengan kasus yang diselesaikan oleh Kejaksaan, di Kejaksaan penanganannya lebih efektif dengan anggaran yang lebih rendah. Sesuai dengan keputusan MK tahun 2017, sudah seharusnya kita lebih berhati-hati dan mempersiapkan diri dengan tingkat komplikasinya yang akan datang. Adapun DPR berpendapat bahwa hal ini bukan masuk ke persoalan politik. Kita seharusnya berpegang kepada putusan MK yang terakhir sesuai dengan konstitusi kita, karena ini merupakan masalah penegakan hukum. Mungkin saja kedua putusan tersebut benar, dan kita harus siap menghadapinya. Hal yang dapat kita lakukan adalah melakukan evaluasi lebih lanjut atas putusan terakhir MK, apakah kita akan melakukan revisi atau amandemen terhadap pasal tersebut. Dalam hal ini, DPR berpendapat bahwa KPK tidak akan mengindahkan putusan MK yang terakhir, dan kita akan melihat bagaimana jika KPK tidak mau mengindahkan dan diputuskan berdasarkan pasal ini, dimana KPK boleh melakukan penyidikan dan penyelidikan berdasarkan dengan tetap ada frasa dapat nya. 8
C. JADWAL ACARA DAN PESERTA Workshop dilaksanakan selama 1 hari dengan susunan acara sebagai berikut: Hari/ Tanggal Kamis, 16 Feb 2017 Waktu Materi Keterangan 09.00-09.30 Pembukaan K. Johnson Rajagukguk, S.H., M.Hum. (Kepala Badan Keahlian DPR RI) 09.30-10.15 Arah Kebijakan Politik Parlemen Dalam Menyikapi Polemik Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU- XIV/2016 Efektivitas dan Efisiensi Kewenangan BPK Dalam Perhitungan dan Penetapan Kerugian Keuangan Negara. 10.15-11.00 11.00-13.00 Pemaparan Diskusi dan Tanya Jawab Sesi 1 Sesi 2 Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si (Anggota Komisi III DPR RI) Supriyono Hadi, S.H., M.Si. (Kasubdit. Kepaniteraan Kerugian Negara Daerah, BPK RI) Tri Heriadi, S.H., M.M. (Kadit. Konsultasi Hukum Keuangan Negara, BPK RI) Peserta workshop berasal dari dalam lingkungan DPR RI, yaitu para Analis, Tenaga Ahli, Assisten, Staf dan para Pegawai Setjen dan Badan Keahlian DPR RI. 9
D. DOKUMENTASI KEGIATAN Pembicara dalam workshop BKD kiri ke kanan: Tri Heriadi dan Supriyono Hadi (BPK); Taufiqulhadi (Anggota DPR RI); K. Johnson Rajagukguk (Kepala BKD); Helmizar (Kelapa Pusat AKN) 10
Forum diskusi Perhitungan dan Penetapan Kerugian Negara Forum diskusi Perhitungan dan Penetapan Kerugian Negara 11
MAKALAH DAN MATERI NARASUMBER 12
IMPLIKASI PUTUSAN MK NO 25/PUU-XIV/2016 TERHADAP POLITIK HUKUM PENEGAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Oleh : Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si. (Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Nasdem) A. Pendahuluan 1. Pada 25 Januari 2017 Pada 25 Januari 2017 MK telah memutuskan perkara tentang pengujian terhadap UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU TPK) sebagaimana diubah dalam UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. 2. Dalam pengujian tersebut, MK diminta oleh para pemohon untuk menguji konsitusionalitas serta menafsirkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) 1 dan Pasal 3 2 UU TPK, khususnya mengenai frasa dapat, dan frasa orang lain atau suatu korporasi. 3. Sebenarnya, secara historis MK juga telah memutus perkara 1 Pasal 2 ayat (1) UU TPK menyebutkan bahwa, Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 2 Pasal 3 UU TPK menyebutkan bahwa, Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 13
pengujian yang sama, yaitu terkait dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK dalam putusannya No. 003/PUU-IV/2006 yang putusannya dibacakan tanggal 25 Juli 2006. 4. Namun, perbedaan antara putusan MK tahun 2017 dengan putusan MK tahun 2006 tentang Pengujian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU TPK hanyalah perbedaan tentang dasar uji konstitusionalitasnya. 5. Jika pada tahun 2006, MK menguji Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK berdasarkan 28 D ayat (1) UUD 1945, sedangkan dalam putusan MK tahun 2017, Para pemohon ingin menguji konstitusionalitas Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK dengan menggunakan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 G ayat (1), 28 I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945. 6. Sekalipun batu uji konstitusionalitasnya berbeda atau norma dalam UUD 1945 yang digunakan untuk mengujinya berbeda, tetapi secara substansi maksud yang hendak diuji sama yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 dan berimplikasi sama, yaitu keberlakuan dan penafsiran terhadap keberlakuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK dalam penegakan hukum. 7. Jika pada putusannya pada tahun 2006, MK menyatakan dalam putusannya, Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK dinyatakan konstitusional bersyarat, sepanjang ditafsirkan bahwa, unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun digunakan sebagai perkiraan (potential loss) ataupun belum terjadi. 8. Dengan perkataan lain, rezim putusan MK Tahun 2006 memahami dan memaknai frasa dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dengan pemahaman bahwa, perbuatan yang akan dituntut di Pengadilan bukan hanya perbuatan tersebut telah mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata (actual loss), tetapi sekalipun hanya sifat perbutan tersebut berpontensi atau kemungkinan mengakibatkan kerugian negara (potential loss), maka seseorang dapat dituntut di Pengadilan asalkan unsur lain dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dapat dibuktikan di Pengadilan. 9. Artinya bahwa, rezim putusan MK Tahun 2006 memandang ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK sebagai suatu delik pidana yang bersifat formil bukan delik materiil. 14
10. Hal ini jelas berbeda dengan rezim putusan MK tahun 2017 yang memaknai frasa dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagai sesuatu unsur yang harus dibuktikan ada secara nyata (actual loss) sejak proses penyelidikan untuk dapat naik ke tahap penyidikan. Sehingga dengan demikian, potential loss (kemungkinan kerugian negara) tidak dapat lagi dijadikan acuan dalam penegakan hukum tipikor. 11. Oleh karena harus ada kerugian keuangan negara secara nyata sejak tahap penyelidikan, maka aparat penegak hukum sudah harus punya bukti perbuatan tersebut telah merugikan keuangan negara berdasarkan hasil audit investigatif lembaga yang berwenang. 12. Dengan cara pandang yang demikian, maka sebenarnya rezim putusan MK Tahun 2017, mencoba untuk merubah paradigma kualifikasi delik formil dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK menjadi ketentuan delik materiil. Pilihan tersebut tentu mempunya implikasi hukum yang jelas khususnya dalam pembuktian. B. Implikasi Putusan MK Tahun 2017 1. Dengan adanya putusan MK Tahun 2017, sesungguhnya menjadikan aspek kepastian hukum dari Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK semakin tidak jelas dan mengakibatkan dualisme penafsiran, mengingat pada tahun 2006 MK juga telah menafsirkan ketentuan tersebut. 2. Mengapa disebut terjadi dualisme penafsiran? Sebab sifat dari putusan MK adalah tidak dapat membatalkan atau menganulir putusan sebelumnya, sehingga putusan MK harus dimaknai sama, yaitu terakhir dan mengikat (final dan binding). 3. Bahayanya, selama tidak ada revisi UU TPK tersebut, para penegak hukum dapat memilih tafsir rezim putusan MK Tahun 2006 ataukah rezim putusan MK Tahun 2017. 4. Dengan kata lain, penegak hukum boleh saja memahami Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK sebagai suatu delik formil dan tidak memerlukan atau membuktikan kerugian yang nyata (actual loss) dalam proses penyelidikan dari lembaga yang berwenang selama ada keyakinan berpotensi merugikan keuangan negara sebagaimana rezim putusan 15
MK Tahun 2006. 5. Di lain pihak, penegakan hukum juga boleh saja menerapkan putusan MK Tahun 2017 dengan pemahaman terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK sebagai suatu delik materiil dan mengangap penting dan menjadikannya syarat adanya kerugian negara secara nyata sejak tahap penyelidikan kasus tindak pidana korupsi. 6. Di sisi lain, putusan MK Tahun 2017 juga akan lebih rumit dalam proses penegakan hukum tipikor, sebab harus ada kerugian negara yang nyata dan pernyataan tersebut harus bersumber pada lembaga yang berwenang. Permasalahannya adalah lembaga yang berwenang untuk melakukan audit investigatif ada dua, yaitu BPK dan BPKP. Bagaimana jika kedua lembaga tersebut berbeda penafsiran? Maka jelas dugaan tindak pidana korupsi tidak boleh diteruskan ke tahap penyidikan. 7. Selain itu, implikasi putusan MK tahun 2017 yang menafsirkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK sebagai suatu delik materiil, maka penegakan kasus tindak pidana korupsi tidak lagi ditekankan pada aspek perbuatannnya, melainkan juga menganggap penting dan lebih menekankan terhadap adanya akibat yang ditimbulkan. Sehingga dalam praktik dan berdasarkan beberapa pandangan pakar hukum pidana, misalnya Prof Moeljatno mengatakan delik-delik pidana yang bersifat materiil jauh lebih sulit dalam proses pembuktian dibandingkan dengan jenis kualifikasi delik pidana yang bersifat formil. 8. Mengapa demikian, karena kualifikasi delik materiil membebankan kepada penegak hukum, Polisi, Jaksa, KPK untuk membuktikan semua unsur yang ada dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK. 9. Berbeda halnya dengan pemahaman delik formil dalam rezim putusan MK tahun 2006 yang menekankan pada perbuatan, sehingga penegak hukum cukup hanya membuktikan unsur-unsur perbuatan yang dilarang tanpa membuktikan akibat yang ditimbulkan. 16
C. Ideal arah Politik Kebijakan Parlemen Terhadap Polemik Putusan MK Tahun 2017. 1. Langkah awal kebijakan parlemen harus konsisten dengan TAP MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi dan Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 2. Sebagaimana salah satu poin arah kebijakan pemberantasan KKN yang harus dijadikan politik hukum pemberantasan KKN adalah, mencabut, mengubah, atau mengganti semua peraturan perundangundangan serta keputusan- keputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadinya KKN. Lantas pertanyaannya adalah rezim putusan MK yang manakah yang lebih mengarah pada arah kebijakan TAP MPR tersebut? Apakah putusan MK Tahun 2006 ataukah putusan MK Tahun 2017? 3. Menurut pandangan saya, jelas putusan MK tahun 2006 lebih memudahkan dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Tetapi yang perlu diperhatikan bukan masalah mudah ataupun sulit, melainkan bagaimana konsep pemberantasan korupsi itu berjalan konstitusional dan tidak melanggar hukum yang perlu diatur dalam revisi UU TPK kedepan. 4. Di sisi lain, penting kiranya kebijakan parlemen kedepan merumuskan dan menentukan lembaga manakah yang paling berwenang untuk melakukan audit investigatif terhadap adanya kerugian negara, sehingga tidak terjadi konflik antar lembaga negara, seperti yang terjadi saat ini antara BPK dan BPKP yang sering berbeda pendapat tentang adanya kerugian negara ataukah tidak. 5. Dengan adanya kejelasan lembaga yang berwenang dalam melakukan audit investigatif sangat menentukan suksesnya dan tidaknya pemberatasan korupsi pasca putusan MK Tahun 2017 yang lebih menekankan pada aspek akibat yang dilarang, yaitu adanya unsur kerugian negara yang nyata. 17
MATERI BPK RI 18
Oleh: 1. Supriyono Hadi, S.H., M.Si. Kasudit Kepaniteraan Kerugian Negara Daerah, BPK RI 2. Tri Heriadi, S.H., M.M. Kadit Konsultasi Hukum Keuangan Negara, BPK RI 19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34