PENCEGAHAN PERILAKU BULLYING DI SEKOLAH. Abstrak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah

BAB II TINJUAN PUSTAKA

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,.

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari,

UNTUK PENCEGAHAN KEKERSAN DAN PENYIMPANGAN PERILAKU REMAJA OLEH RR. SUHARTATI, S.H.

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Pustaka

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karena remaja akan berpindah dari anak-anak menuju individu dewasa yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini berbagai masalah tengah melingkupi dunia pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. siswa atau murid di lingkungan sekolahnya. Masalah yang sering muncul

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa masa-masa sekolah adalah masa

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB II LANDASAN TEORI

SOSIALISASI SCHOOL BULLYING SEBAGAI UPAYA PREVENTIF TERJADINYA TINDAK PIDANA KEKERASAN DI SMPN 3 BOJA KABUPATEN KENDAL

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di

BULLYING. I. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

BAB I. Pendahuluan. I.A Latar Belakang. Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan. dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. remaja dihadapkan pada konflik dan tuntutan social yang baru, termasuk. dirinya sesuai dengan perkembangannya masing-masing.

BAB II LANDASAN TEORI. dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II KERANGKA TEORI

BAB I PENDAHULUAN. seorang individu mengalami peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dimasa ini

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

I. PENDAHULUAN. bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku agresi berulang yang

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

Upaya Mengurangi Perundungan melalui Penguatan Bystanders di SMP B Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena

PERAN GURU BK/KONSELOR DALAM MENGENTASKAN PERILAKU BULLYING PARTICIPANT OF THE TEACHERS BK / COUNSELORS TO ALLEVIATE BULLYING BEHAVIOR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak

SOSIALISASI KONSELING ONLINE GEBER SEPTI (GERAKAN BERSAMA SEKOLAH SEMARANG PEDULI DAN TANGGAP BULLYING)

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

KEPRIBADIAN TANGGUH PADA SISWA KORBAN KEKERASAN TEMAN SEBAYA

BAB I PENDAHULUAN. Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

KONDISI EMOSI PELAKU BULLYING (Studi Kasus Pada Siswa Kelas VIII di SMP DIPONEGORO 1 Jakarta)

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ini dibuktikan oleh pernyataan Amrullah, Child Protection Program

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang

Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan Kontrol..., Agam, Fakultas Psikologi 2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang

UPAYA GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM MENCEGAH PERILAKU BULLYING SISWA SMA NEGERI COLOMADU TAHUN PELAJARAN 2015/2016

PENGGUNAAN TEKNIK ROLE PLAYING UNTUK MENGURANGI PERILAKU BULLYING SISWA KELAS XII MIA SMA NEGERI 5 PALU. Rizki Prihatin 1 Abd.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang ringan seperti mencontek saat ujian, sampai pada perkelahian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian. pengertian yang baku hingga saat ini. Bullying berasal dari bahasa inggris,

BAB I PENDAHULUAN. dengan sebutan aksi bullying. Definisi kata kerja to bully dalam Oxford

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. patut di junjung tinggi serta harus mendapatkan hak-haknya tanpa harus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

PENGARUH LAYANAN DISKUSI KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP PERILAKU BULLYING SISWA KELAS XI (Studi di SMA Negeri 5 Sigi )

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Iceu Rochayatiningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

Perilaku Bullying dan Peranan Guru BK/Konselor dalam Pengentasannya (Studi Deskriptif terhadap Siswa SMP Negeri 3 Lubuk Basung)

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Sadar akan hakikatnya, setiap manusia Indonesia di muka bumi ini selalu

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Pengaruh Intensitas Menonton Sinetron terhadap Perilaku Bullying di Kalangan Remaja

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan yang diarahkan pada peningkatan intelektual dan emosional anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

PSYCHOLOGICAL IMPACT ON STUDENTS HIGH SCHOOL BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara berulang-ulang dan dari

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak,

UPAYA MENGURANGI PERILAKU BULLYING DI SEKOLAH DENGAN MENGGUNAKAN LAYANAN KONSELING KELOMPOK

BAB I PENDAHULUAN. pengaruh antara pendidik dengan yang di didik (Sukmadinata, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB III METODE PENELITIAN. pola asuh otoriter) dan variabel terikat (perilaku bullying) sehingga

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan kekerasan, terutama pada remaja. Sekolah seharusnya menjadi

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kebaikan dan perilaku yang terpuji. Akan tetapi, banyak kita

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB II KEKERASAN YANG DI LAKUKAN OLEH GURU TERHADAP ANAK DI LINGKUNGAN SEKOLAH. A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Kekerasan di lingkungan Sekolah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terhadap pihak yang lebih lemah. Di sekolah bullying lebih dikenal dengan istilahistilah

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan kasus bullying (tindak kekerasan) di sekolah-sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kegiatan belajar dengan aman dan nyaman. Hal tersebut dapat terjadi, karena adanya

Pengertian tersebut didukung oleh Coloroso (2006: 44-45) yang mengemukakan bahwa bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut;

Transkripsi:

PENCEGAHAN PERILAKU BULLYING DI SEKOLAH Oleh: Tita Novitasari Mahasiswi Hukum Ekonomi Syariah novitasaritita@gmail.com Abstrak Perilaku bullying pada faktanya banyak terjadi di dunia pendidikan kita. Berdasarkan hal tersebut, penulis akan mencoba menguraikan bagaimana pencegahan perilaku bullying yang paling efektif dengan mengidentifikasi terlebih dahulu definisi, karakter, penyebab, mitos, dan fakta dari perilaku bullying. Pencegahan perilaku bullying pada akhirnya harus dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi. Kerjasama antara pihak sekolah dan orangtua murid juga mutlak untuk dilakukan. Kata kunci: Bullying, sekolah, dan pencegahan perilaku bullying. A. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus dari suatu bangsa, sehingga diperlukan pendidikan dan pertumbuhan yang baik bagi seorang anak agar anak dapat menjadi penerus yang baik bagi Indonesia. Oleh karena itu, melindungi hak-hak anak dari segenap tindakan-tindakan buruk yang dapat merugikan serta menyakiti fisik maupun psikis dari seorang anak ialah urgensi bagi setiap penduduk Indonesia. Berbicara mengenai perlindungan anak, Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Perlindungan Anak adalah: Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Salah satu bentuk perlindungan anak ialah perlindungan terhadap kekerasan yang seringkali dialami oleh anak. Anak kian menjadi sosok yang terancam oleh orang

dewasa, kakak tingkat di sekolah, dan bahkan oleh teman sebayanya sendiri. Menurut Sanford Kadish, kekerasan atau violence itu mengarah pada tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang serta memiliki akibat-akibat baik berupa kerusakan fisik maupun kerusakan harta benda atau kematian seseorang (Romli Atmasasmita, 1992: 55). Aksi kekerasan terhadap anak yang saat ini sedang sangat marak terjadi ialah bullying (perundungan). Sebagai tindakan yang dapat membahayakan kondisi mental dan fisik anak, bullying tidak hanya menjadi permasalahan bagi Indonesia, tetapi juga dunia. Berdasarkan data dari Josephson Institute, anak dan remaja yang terlibat dalam perilaku bullying, baik itu terlibat sebagai korban, pelaku, maupun hanya sebagai pihak yang menyaksikan atau penonton (bystander), bahkan sampai mencapai 75% (Josephson Institute, 2010). Hymel mengatakan bahwa angka perilaku bullying bervariasi di berbagai Negara, 9-37% pelajar melaporkan pernah melakukan bullying (pelaku) terhadap pelajar lain dan 2-36% lainnya pernah menjadi korban bullying (Smokowski & Kopasz, 2010). Di Indonesia, penelitian Yayasan Semai Jiwa Amini di 3 kota besar, yaitu kota Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta, mencatat perilaku bullying pada 67,9% siswa/i SMA dan 66,1% SMP dengan kategori tertinggi kekerasan psikologis yaitu pengucilan dan kategori tertinggi kedua adalah kekerasan verbal (mengejek) dan fisik atau memukul (Yayasan Semai Jiwa Amini, 2008). Jumlah anak yang terlibat dalam aksi bullying di Indonesia sendiri tidaklah semakin berkurang, tetapi justru semakin meningkat setiap tahunnya. Data yang diperoleh dari website resmi Komisi Perlindungan Anak (KPAI) menunjukan bahwa perilaku bullying di sekolah masih kerapkali terjadi, bahkan sampai memakan korban. Pada tahun 2011, jumlah korban bullying berjumlah 56 orang. Jumlah 56 korban tersebut meningkat di tahun berikutnya, yakni mencapai angka 130 orang di tahun 2012. Pada tahun 2013, jumlah korban bullying berkurang sampai mencapai angka 96, namun angka ini masih lebih besar dari angka (baca: jumlah korban) di tahun 2011. Korban bullying yang sudah berkurang di tahun 2013 tersebut sayangnya meningkat pesat di tahun berikutnya. Tahun 2014 sampai 2015, korban bullying di sekolah berjumlah kurang lebih 313 orang, 159 korban di tahun 2014 dan 154 korban di tahun 2015

(KPAI, 2016). Jumlah korban bullying yang fluktuatif namun cenderung meningkat tersebut tentu tidak akan dibiarkan begitu saja tanpa ada usaha untuk menguranginya. Berbeda dengan jumlah korban yang mencapai angka ratusan, jumlah pelaku bullying yang tercatat dalam data KPAI nyatanya tidak sampai seratus orang. Tetapi hanya sampai 93 orang di tahun 2016, namun jumlah pelaku bullying ini selalu meningkat dari tahun 2011 sampai 2016. Ada sebanyak 48 pelaku bullying di tahun 2011, 66 orang di tahun 2012, 63 di tahun 2013, 67 di tahun 2014, 93 di tahun 2015, dan 93 di tahun 2016 (KPAI, 2016). Jumlah korban dan pelaku bullying tersebut di atas ialah yang tercatat di KPAI, yang tidak tercatat oleh KPAI mungkin saja jauh lebih banyak dari data KPAI. Sebab aksi bullying ini merupakan aksi yang seringkali sulit dideteksi, yakni korban cenderung enggan menceritakan pengalamannya kepada guru dan orangtua (Anis Widiyawati, 2014: 2). Oleh karenanya, pada faktanya ada banyak jumlah aksi bullying yang tidak sampai terungkap oleh guru atau orangtua anak, bahkan oleh KPAI. Satu hal yang pasti ialah: aksi bullying merupakan aksi yang sangat sering terjadi di sekolah, juga di luar sekolah. Data anak yang menjadi pelaku tindakan kekerasan fisik (pengeroyokan, penganiayaan, perkelahian, dan sebagainya) dan anak pelaku kekerasan psikis (ancaman, intimidasi, dan sebagainya) ialah terpisah dari data anak pelaku dan korban bullying. Anak yang tercatat sebagai pelaku kekerasan fisik di tahun 2011 sampai tahun 2016 berjumlah 423 anak, sedangkan pelaku kekerasan psikis sebanyak 119 (KPAI, 2016). Berdasarkan uraian tersebut di atas, anak yang terlibat dalam aksi bullying menghadapi risiko yang serius untuk masa depannya. Kekerasan (bullying) seolah-olah sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak. Oleh karenanya, perlu dicarikan jalan atau cara yang dapat ditempuh untuk mencegah kekerasan yang tiada habis-habisnya. Tentunya semua pihak memiliki tanggung jawab atas kelangsungan hidup anak, karena anak-anak juga memiliki hak yang harus dipenuhi oleh negara, orang tua, guru, dan masyarakat. Diperlukan komitmen bersama dan langkah nyata untuk mecegah kekerasan (bullying) di sekolah.

B. Pembahasan 1. Bullying (Kekerasan) di Sekolah Bullying merupakan suatu aksi atau serangkaian aksi negatif yang seringkali agresif dan manipulatif, dilakukan oleh satu atau lebih orang terhadap orang lain atau beberapa orang selama kurun waktu tertentu, bermuatan kekerasan baik verbal maupun fisik, dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan. Pelaku biasanya mencuri-curi kesempatan dalam melakukan aksinya, dan bermaksud membuat orang lain merasa tidak nyaman atau terganggu, sedangkan korban biasanya juga menyadari bahwa aksi itu akan berulang menimpanya (Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron, 2015). Yayasan SEJIWA mengidentifikasi jenis dan wujud bullying secara umum dapat dikelompokan ke dalam tiga kategori (Yayasan Semai Sejiwa, 2008: 2), yaitu: a. Bullying Fisik, meliputi tindakan: menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, menghukum dengan berlari keliling lapangan dan menghukum dengan cara push up. b. Bullying Verbal, terdeteksi karena tertangkap oleh indera pendengaran, seperti memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memalukan di depan umum, menuduh, menyoraki, menebar gosip, memfitnah dan menolak. c. Bullying Mental/Psikologis, merupakan jenis bullying yang paling berbahaya karena tidak tertangkap mata. Praktik ini terjadi secara diam-diam dan di luar pemantauan si korban. Contohnya adalah: memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan di depan umum, mendiamkan, mengucilkan, mempermalukan, meneror lewat pesan sms, memandang yang merendahkan, memelototi, dan mencibir. 2. Faktor Penyebab dan Dampak Bullying di Sekolah Dalam aksi bullying terdapat beberapa murid yang memegang peran masingmasing, yakni peran sebagai pelaku, korban, penonton (bystander), dan sebagai murid yang tidak terlibat. Selain korban yang merasakan dan mengalami kerugian akibat dari

perilaku bullying, dalam beberapa kasus, pelaku pun dapat menjadi pelaku sekaligus korban dari bullying yang dilakukan oleh pelaku lain. Pihak yang tidak terlibat dalam aksi bullying di sekolah dasar misalnya, bisa saja pihak tersebut malah menjadi korban bullying yang serius di sekolah menengah pertama (SMP) atau di SMA, begitu pula dengan bystander (Paige Lembeck, dkk., 2016: 1). Setiap anak dan remaja yang terlibat secara langsung (pelaku dan korban), tidak langsung, dan yang tidak terlibat sekali pun, berpotensi mengalami bullying. Salah satu alasan dari banyaknya tindakan bullying yang terjadi di kalangan anak dan remaja dapat diurai berdasarkan hasil survei, bahwa sebagian besar korban enggan menceritakan pengalaman mereka kepada pihak-pihak yang mempunyai kekuatan untuk mengubah cara berpikir mereka dan menghentikan siklus ini, yaitu pihak sekolah dan orang tua. Korban biasanya merahasiakan bullying yang mereka derita karena takut pelaku akan semakin mengintensifkan bullying mereka (Anies Widiyawati, 2014: 2). Oleh karena keengganan atau ketakutan korban untuk menceritakan perilaku bullying tersebut, pencegahan bullying ini pun menjadi terhambat. Pada akhirnya, pihak sekolah dan keluarga tidak akan mengetahui persoalan bullying yang terjadi di antara siswa, sampai bullying tersebut menjadi semakin intensif, atau sampai perilaku itu tercium (teridentifikasi) oleh pihak sekolah dan keluarga. Dalam skema kognitif korban, korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena dia dulu pernah diperlakukan sama (menurut korban laki-laki), ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan), dan iri hati (menurut korban perempuan), Adapun korban juga mempersiapkan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena berpendapat bahwa aksi bullying dilakukan karena penampilan menyolok, tidak berperilaku dengan sesuai, perilaku dianggap tidak sopan, dan karena tradisi (Anies Widiyawati, 2014: 2). Menurut Coloroso (2006), perilaku bullying akan selalu melibatkan adanya ketidakseimbangan kekuatan, niat untuk mencederai, ancaman agresi lebih lanjut, dan teror. Bullying merupakan salah satu bentuk perilaku agresi. Ejekan, hinaan, dan

ancaman seringkali merupakan pancingan yang dapat mengarah ke agresi. Rasa sakit dan kekecewaan yang ditimbulkan oleh penghinaan akan mengundang reaksi siswa untuk membalas. Penghinaan muncul dengan tiga keunggulan psikologis yang jelas, yang memungkinkan anak melukai tanpa merasa empati, iba, ataupun malu, yaitu: a. Perasaan berhak, menyangkut keistimewaan dan hak untuk mengendalikan, mengatur, menaklukkan, dan menyiksa orang lain. b. Fanatisme terhadap perbedaan, perbedaan dipandang sebagai kelemahan, dan karenanya tidak layak untuk memperoleh penghargaan. c. Suatu kemerdekaan untuk mengecualikan, melakukan tindakan-tindakan yang membatasi, mengisolasi dan memisahkan seseorang yang dianggap tidak layak untuk mendapatkan penghargaan. Ken Rigby (2012) berpendapat dalam penelitiannya bahwa mengidentifikasi hasrat (desire) para pelaku bullying dalam mencegah perilaku bullying ialah cara yang seharusnya lebih diutamakan daripada menghukum atau memberi sanksi untuk para pelaku tersebut. Beberapa faktor dari perilaku bullying yang telah teridentifikasi antara lain ialah (Ken Rigby, 2012: 344): a. pelaku bully sedang merasa sedih (feeling aggrieved) dan merasa dibolehkan melampiaskan perasaan sedih atau depresinya tersebut kepada orang lain; b. pelaku bully melihat korban yang berada di bawah tekanan sebagai sesuatu yang menyenangkan (seeking fun at another's discomfiture); c. pelaku bullying berpikir bahwa kelompoknya akan semakin menerima dan mengakui keberadaannya jika ia berani mem-bully orang lain (gaining or retaining group support); d. pelaku bullying bisa saja memang seseorang yang senang menyakiti dan melihat orang lain dalam keadaan sulit, atau dengan kata lain alasan seseorang mem-bully bisa saja ialah karena alasan yang sifatnya sadistic (extortion and sadism). Matraisa Bara Asi Tumon (2014) dalam simpulan penelitiannya menyatakan bahwa faktor keluarga, teman sebaya, dan sekolah dapat membentuk perilaku bullying pada remaja, saat ketiga faktor tersebut berjalan dengan tidak kondusif maka remaja

cenderung akan melampiaskan gejolak emosinya dalam hal yang negatif, dalam hal ini salah satunya ialah bullying. Perilaku bullying tentu memiliki efek yang sangat berbahaya, perilaku ini dapat menimbulkan dampak traumatik luar biasa. Bullying menyebabkan anak dan remaja enggan untuk masuk sekolah (membolos), menurunkan nilai rapor dan peringkat anak di sekolah, dan mengganggu kesehatan mental anak antara lain membuat anak dan remaja mengalami stress, depresi, gelisah dan khawatir, bahkan bullying dapat mendorong anak dan remaja untuk melakukan bunuh diri (Paige Lembeck, dkk., 2016: 1-2). Salah satu dampak dari bullying yang paling jelas terlihat adalah kesehatan fisik. Beberapa dampak fisik yang biasanya ditimbulkan bullying adalah sakit kepala, sakit tenggorokan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan sakit dada (Anis Widiyawati, 2014: 3). Bahkan dalam kasus-kasus yang ekstrim seperti insiden yang terjadi di SMA 3 Jakarta (Kompas, 2014), dampak fisik ini bisa mengakibatkan kematian. 3. Mencegah Bullying di Sekolah Program pencegahan bullying yang bisa dikatakan sukses biasanya mengandung beberapa sifat yang sama antara lain (Nadia S. Ansary, dkk., 2015: 31-33): a. Menciptakan Budaya Anti-Bullying di Sekolah Untuk menciptakan budaya anti-bullying di sekolah, pihak sekolah dapat membentuk program pencegahan bullying yang fokus pada pengembangan karakter dan budaya di sekolah secara komprehensif dan menyeluruh. Seluruh guru, murid, bahkan sampai bagian kebersihan sekolah mesti mengetahui apa itu bullying dan bagaimana menghentikan perilaku bullying yang tertangkap tangan. Sekolah dapat memberikan edukasi mengenai bullying tersebut melalui kegiatan belajar mengajar di sekolah, jadi ketika guru mengajar, guru tersebut semestinya mensosialisasikan persoalan bullying kepada murid. Memberikan pemahaman kepada murid bahwa bullying ialah perilaku yang tidak patut dan melanggar norma ialah penting. Lebih jauh lagi, sekolah

selanjutnya mesti membuat sebuah kebijakan atau aturan tentang larangan bullying di sekolah dan di luar sekolah dengan jelas dan tegas. Penegakan kebijakan atau aturan sekolah tentang bullying tersebut harus dilakukan secara konsisten oleh semua pihak di sekolah, utamanya murid, sehingga budaya antibullying di sekolah pun dapat terbentuk. Program pencegahan bullying ini juga perlu disosialisasikan kepada pihak keluarga murid pelaku bullying dan korban bullying, sebab keluarga murid tentu memegang peran yang penting dalam mencegah. Langkah yang dapat dilakukan misalnya adalah dengan mengadakan pertemuan dengan keluarga atau wali murid, melakukan kampanye melalui media sosial, mengirim berita tentang program pencegahan bullying atau tentang tindakan bullying kepada keluarga atau wali murid, dan sebagainya. Kerjasama antara pihak sekolah dan keluarga murid untuk menolong anak baik yang menjadi pelaku maupun korban bullying ini sangatlah penting, sebab seringkali persoalan anak yang menjadi pelaku bullying ialah berawal dari persoalan keluarga (Thomas dan Kevin, 2010). Ketika fungsi keluarga, teman, dan sekolah berjalan dengan baik dan kondusif maka perilaku bullying dapat dicegah dan dikurangi (Matraisa Bara Asie Tumon, 2014: 13). Pada intinya semua pihak mesti dilibatkan dalam program pencegahan bullying dengan memberikan pemahaman mengenai bullying secara komprehensif. b. Komitmen Komitmen lebih ditekankan untuk dimiliki oleh semua guru di sekolah. Guru seharusnya memiliki komitmen untuk mencegah bullying. Tidak hanya mengetahui secara pasti seperti apa tindakan bullying yang biasa terjadi di antara siswanya, tetapi juga guru mesti mengetahui bagaimana semestinya ia bertindak ketika tindakan bullying tersebut terjadi. Bahkan seorang guru mestinya dapat melihat bullying yang terjadi di luar sekolah, kemudian melakukan pencegahan terhadapnya. Sebab bullying dapat berpindah ke tempat di luar sekolah, seperti ke dunia maya, sehingga semua tempat harus dapat dimonitor oleh seorang guru.

c. Respons yang Jelas terhadap Tindakan Bullying Perlakuan terhadap anak yang menjadi korban dan pelaku bullying dapat dibuat secara efektif dan efisien. Pelaku bullying tidak semestinya hanya diberikan sanksi, tetapi juga guru mesti memberikan bimbingan yang tepat untuk siswa pelaku bullying, seperti dengan mengajak siswa tersebut berbincang atau membuat siswa merefleksikan perbuatannya dan membuatnya memahami bahwa bullying yang ia lakukan adalah perbuatan yang tidak baik. Mempermalukan siswa pelaku bullying dengan memarahinya di depan umum atau dengan langsung menghukum siswa tersebut adalah cara yang dinilai kurang efektif untuk mencegah bullying. Siswa pelaku bullying bisa saja akan melakukan aksinya kembali sesudah ia menyelesaikan hukumannya. C. Simpulan Kekerasan (bullying) terhadap anak di sekolah merupakan pelanggaran terhadap hak anak. Bullying bukanlah suatu tindakan yang begitu saja terjadi secara kebetulan, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor sosial, ekonomi, budaya, dan faktor psikologis dari orang-orang yang terlibat dalam bullying. Semua pihak perlu bercermin (melakukan refleksi diri) berdasarkan fenomena kian menguatnya intensitas kekerasan tersebut. Selanjutnya perlu dicari upaya nyata untuk mencegah bullying melalui berbagai program yang terintegrasi di sekolah itu sendiri, serta melalui kolaborasi atau kerjasama dengan orangtua siswa. Lebih lanjut, kerjasama dapat dilakukan dengan masyarakat dan pemerintah. Daftar Pustaka Abdul-Wahid, Salwa SH., dkk. Emotional and Behavioral Problems Among School Children. International Journal of Development Research, Volume 4, Issue 5, (May 2014).

Efianingrum, Ariefa. 2009. Mengurai Akar Kekerasan (Bullying) di Sekolah. Jurnal Dinamika. Atmasasmita, Romli. 1992. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: Erasco. Ansary, Nadia S., dkk. Best Practice to Adress (Reduce) Bullying in School. The Phi Delta Kappan, Vol. 97, No. 2 (October 2015), pp. 30-35. Coloroso, Barbara. 2006. Penindas, Tertindas, dan Penonton. Resep Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah Hingga SMU. Jakarta: Serambi. http://entertainment.kompas.com/read/2014/06/25/0850308/alumnus.sma.3.jakarta.a ddie.ms.kecam.dugaan.bullying.dalam.kematian.arfiand diakses pada hari Rabu, 19 April 2017. http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-per-tahun/rincian-data-kasusberdasarkan-klaster-perlindungan-anak-2011-2016 diakses pada hari Rabu, 19 April 2017. http://lbhmawarsaron.or.id/home/publikasi/materi-seminar-dan-penyuluhan/149- bullying-pada-institusi-pendidikan-ditinjau-dari-sudut-pandang-hukum diakses pada hari Rabu, 19 April 2017 Institute, Josephson. 2010. Installment 1: Bullying and violence: The ethics of American youth: CHARACTER COUNTS!. Diakses dari http://charactercounts.org /programs/reportcard/2010/installment01_reportcard_bullying-youth violence.html. Lembeck, Paige., dkk. 2016. Bullying Prevention & Intervention. University of Nebraska-Lincoln: Strategy Brief, January. Muhammad. Aspek Perlindungan Anak dalam Tindak Kekerasan (Bullying) terhadap Siswa Korban Kekerasan di Sekolah: Studi Kasus di SMK Kabupaten Banyumas. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 9 No. 3 September 2009. Rigby, Ken. 2012. Bullying in School: Adressing Desire Not Only Behaviors. Educational Psychology Review, Vol. 24, No. 2 (June 2012), pp. 339-348.

Smokowski, Kopasz. 2010. Bullying in school: an overview of types, effects, famiy characteristics, and intervention strategies, Children School Journal. Surilena. 2016. Perilaku Bullying (Perundungan) pada Anak dan Remaja, CDK 35-236/ vol. 43 no. 1. Tumon, Matriasa Bara Asie. Studi Deskriptif Perilaku Bullying Terhadap Remaja. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, Volume 3, Nomor 1, 2014. Widyawati, Anis. Sosialisasi School Bullying Sebagai Upaya Preventif terjadinya Tindak Pidana Kekerasan di SMPN 3 Boja Kabupaten Kendal. ABDIMAS Vol. 18 No. 1, Juni 2014. Yayasan Semai Jiwa Amini (SELIWA). 2008. Bullying: Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: Grasindo.