TINJAUAN YURIDIS KESAKSIAN PALSU DALAM TINDAK PIDANA. Oleh : Islah, S.H., M.H.

dokumen-dokumen yang mirip
KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. Pangemanan, SH, MH; M.G. Nainggolan, SH, MH, DEA. 2. Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM,

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

I. PENDAHULUAN. saling mempengaruhi satu sama lain. Hukum merupakan pelindung bagi

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

Kata kunci: Perintah, Jabatan, Tanpa Wewenang

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

PENJATUHAN PIDANA PENJARA BAGI TERDAKWA PENYALAHGUNAAN NARKOBA

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA)

BAB III PENUTUP. maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

DAFTAR PUSTAKA. Grafika, Jakarta Grafika, Anton M.Moelijono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

PENGGUNAAN KEKERASAN SECARA BERSAMA DALAM PASAL 170 DAN PASAL 358 KUHP 1 Oleh : Soterio E. M. Maudoma 2

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

DAFTAR PUSTAKA. A. Buku-Buku Adami Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta, Raja Grafindo Persada

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

Transkripsi:

TINJAUAN YURIDIS KESAKSIAN PALSU DALAM TINDAK PIDANA Oleh : Islah, S.H., M.H. Abstract Lembaga peradilan berperan penting karena satu-satunya institusi formal dalam mengelolah permasalahan hukum dari setiap warga yang mengalami kesulitan dan menjadi andalan serta tumpuan harapan masyarakat dalam mencari keadilan.penegakan hukum melalui peradilan menggunakan hukum formil atau hukum acara.tujuan hukum formil adalah menegakkan hukum materiil.untuk mencari kebenaran hukum materiil diperlukan suatu pembuktian menurut hukum formil.ditinjau dari perspektif hukum formil atau hukum acara dalam sistem peradilan, maka pembuktian merupakan hal yang sangat penting bagi para pihak.keterangan saksi dalam perkara pidana merupakan salah satu alat bukti penting dalam pembuktian.alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana.keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk mengetahui apakah memang telah terjadi suatu perbuatan pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.posisi saksi yang demikian penting nampaknya sangat jauh dari perhatian masyarakat maupun penegak hukum.dalam lapangan hukum pidana terutama untuk penegakkannya tidak semudah yang dibayangkan masyarakat, terlebih dalam mendapatkan keterangan saksi. Kata Kunci : Kesaksian Palsu, Tindak Pidana A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat dan melindungi segenap komponen dalam masyarakat.menurut P.AF. LamintangHukum yang mengatur masyarakat mengenai suatu sistem norma-norma mana (hal yang melakuka sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di mana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut disebut hukum pidana 1. Dalam konsideranundang-undang Republik Indonesia No.8 tahun 1981 butir C tentang hukum acara pidana, disebutkan bahwa Pembangunan Nasional di bidang hukum acara pidana dimaksudkan agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan Islah, SH, MH. adalah Dosen Tetap PS. Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Batanghari Jambi. 1 P.AF. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.Citra Aditya Bakti.Bandung. 1997. hal. 3 30

sikap para penegak hukum keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 2. Salah satu hak yang paling mendasar bagi manusia menurut Resti Siti Aningsihadalah : Hak atas rasa aman dari bahaya yang mengancam keselamatan dirinya,hak tersebut merupakan hak yang paling asasi yang harus dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang,dengan demikian mereka merasa aman melaksanakan kewajiban tanpa diliputi rasa takut. Apabila hak tersebut telah diperoleh maka masyarakat akan merasa harkat dan martabatnya sebagai manusia dihormati, mereka akan lebih leluasa melaksanakan kewajibannya sebagai Warga Negara terutama demi tegaknya hukum. Keberhasilan penegakan hukum dalam suatu negara akan ditentukan oleh kesadaran hukum masyarakat itu sendiri, dalam arti masyarakat secara suka rela mematuhi hukum Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan Menurut Sabto Budoyobahwa : Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu 3 Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana.boleh dikatakan, tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi, Menjadi saksi dalam persidangan merupakan suatu kewajiban bagi setiap warga negara.kesadaran orang menjadi saksi merupakan tanda bahwa orang tersebut telah taat dan sadar hukum. Dalam pandangan hukum yang dogmatis, penyelenggaraan negara berpuncak dan dipusatkan pada instansi pengadilan yang dianggap mampu mengkonkritkan penerapan hukum. 4 2Andi Hamzah, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2006,hal. 227 3Sabto Budoyo, Perlindungan Hukum Bagi saksi dalam Proses Peradilan Pidana,Universitas Diponegoro Semarang. 2008. hal. 12 4Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Edisi pertama, Cetakan pertama, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal.13 31

Pembuktian merupakan faktor yang sangat menentukan bagi hakim dalam membuat putusan, menurut Munir Fuadyhukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, dan guna mengetahui fakta di persidangan 5. Pembuktian dalam pengertian hukum acara pidana adalah ketentuan dan tata cara serta penilaian alat bukti yang telah ditentukan oleh undangundang. Hukum acara yang digunakan adalah Undang-Undang No.8 Tahun 1981 atau dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sistem pembuktian dalam KUHAP adalah pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatif wettelijk bewisjttheorie). 6 Dalam Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah :Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Kekuatan pembuktian alat bukti bersifat limitatif dimana hakim, penuntut umum dan penasihat hukum terikat dan hanya mempergunakan alat bukti yang telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Saksi dibutuhkan dalam membuat terang suatu perkara.dalam memberi keterangan, saksi harus memberi keterangan yang sebenarbenarnya.agar keterangan saksi dianggap sah harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam KUHAP. Salah satu syarat dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP menentukan bahwa : Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing bahwa ia memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada sebenarnya. Keterangan saksi yang tidak disumpah, tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 ayat (7) KUHAP.Suatu keterangan yang diberikan di atas sumpah dimana isinya bertentangan dengan kebenaran baik dalam arti positif yaitu memberi keterangan tidak benar (merekayasa) maupun dalam arti negatif yaitu menyembunyikan kebenaran, disebut juga sumpah palsu. Menurut Adami Chazawibahwa :Kepercayaan akan kebenaran isi keterangan yang diletakkan di atas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah, didasarkan pada 2 (dua) alasan yang bersifat psikologis, yaitu: Pertama, sebagai bangsa yang religius, adanya kepercayaan terhadap sanksi dosa dan kutukan dari Tuhan kepada orang yang dengan sengaja melanggar sumpah.kedua, adanya sanksi hukum pidana yang menentukan sanksi pidana maksimum 7 (tujuh) sampai 9 (sembilan) tahun penjara bagi 5Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), PT. Citra Adytia Bakti, Bandung, 2006, hal.1-2 6Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, cetakan kedua, 2008, hal 254 32

yang orang yang memberi keterangan palsu di atas sumpah sebagaimana diatur dalam Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).Begitu sakralnya perkara sumpah ini, sehingga seseorang tidak boleh main-main dalam bersumpah, apalagi berdusta atau sumpah palsu. 7 Berdasarkan uraian diatas bahwa keterangan saksi tersebut sangat penting sekali dalam proses peradilan pidana dan setiap saksi harus memberikan keterangan yang benar dan apabila keterangan saksi tersebut tidak benar atau berbohong pada saat pemeriksaan di depan pengadilan hakim berhak untuk memerintahkan agar dilakukan penahanan terhadap saksi tersebut.dalamhal tersebut perlu untuk dibahas untuk tegaknya hukum acara pidana yang melindungi kepentingan umum tetapi sekaligus juga melindungan hak asasi terdakwa. Berdasarkan uraian diatas yang telah penulis paparkan ini, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menulis hasil dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul : Tinjauan Yuridis Kesaksian Palsu Dalam Tindak Pidana B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana tinjauan yuridis kesaksian palsu dalam tindak pidana? 2. Bagaimana prosedur penangan kesaksian palsu di depan pengadilan? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini guna untuk memberikan apa yang menjadi tujuan penelitian ini : a. Untuk tinjauan yuridis kesaksian palsu dalam tindak pidana. b. Untuk mengetahui Bagaimana prosedur penangan kesaksian palsu di depan pengadilan. D. Metode Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum normatif, atau yang sering disebut penelitian hukum kepustakaan. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan dan sejarah hukum. 8 Pendekatan yuridis normatif diambil sebagai pendekatan utama dalam penelitian ini karena yang menjadi perhatian utama adalah kesaksian palsu dalam tindak pidana 7Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni, Bandung, 2006, hal.50-51 8Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1985, hal.15 33

E. Pembahasan a. Tinjauan Yuridis Tentang Kesaksian Palsu Dalam Tindak Pidana Buku II Bab IX KUHPidana yang berjudul Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu 3 atau Keterangan palsu di bawah sumpah dan keterangan palsu,4 semula terdiri dari dua pasal, yaitu Pasal 242 dan Pasal 243. Tetapi dengan Staatsblad 1931 No. 240, Pasal 243 KUHPidana ditiadakan.dengan demikian yang masih berlaku tinggal Pasal 242 KUHPidana saja.pasal ini menjadi satu-satunya pasal dalam Buku I Bab IX tersebut. Pasal 242 KUHPidana ini diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional sebagai berikut : 1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 2) Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. 3) Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah. 4) Pidana pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1-4 dapat dijatuhkan. Terjemahan yang dibuat oleh P.A.F. Lamintang dan C.D. Samosir, yaitu : 1) Barangsiapa di dalam hal-hal di mana peraturan undang-undang menghendaki suatu keterangan diberikan diberikan di bawah sumpah atau yang padanya diikatkan akibat-akibat hukum, telah dengan sengaja memberi keterangan palsu di bawah sumpah, baik secara lisan maupun tulisan, baik oleh orang itu sendiri ataupun oleh seorang kuasa yang secara khusus dikuasakan untuk itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun. 2) Apabila keterangan palsu yang diberikan di bawah sumpah itu di dalam suatu perkara pidana telah merugikan orang yang diadukan atau orang yang dituduh, maka orang yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun. 3) Dipersamakan dengan sumpah adalah janji atau pembenaran, yang diminta berdasarkan peraturan-peraturan umum atau yang diminta untuk menggantikan sumpah. 4) Hukuman berupa pencabutan hak-hak seperti yang diatur di dalam pasal 35 No. 1-4 dapat dijatuhkan 9 9P.A.F. Lamintang dan C.D. Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1983, hal.103. 34

Tindak pidana pokok dalam Pasal 242 KUHPidana adalah tindak pidana yang dirumuskan dalam ayat (1). Dalam ayat (2) diatur mengenai pemberatan pidana, dalam ayat (3) diatur mengenai apa yang disamakan dengan sumpah, sedangkan dalam ayat (4) diatur mengenai pidana tambahan. Mengenai tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 242 KUHPidana ini diberikan keterangan oleh S.R. Sianturi antara lain sebagai berikut, Nama dari kejahatan ini disebut sumpah palsu. Intinya ialah, seseorang memberikan suatu keterangan palsu di atas sumpah (ia bersumpah lebih dahulu baru dikuatkan dengan sumpah) atau di bawah sumpah (ia memberikan keterangan lebih dahulubaru dikuatkan dengan sumpah). 10 Oleh Sianturi tindak pidana ini dinamakan tindak pidana (kejahatan) sumpah palsu. Nama ini untuk memperjelas bahwa di dalam peristiwa itu tersangkut sumpah dan ada sesuatu yang palsu di dalam peristiwa itu.jika tindak pidana ini dinamakan tindak pidana keterangan palsu, orang tidak dapat langsung paham bahwa di dalam peristiwa itu tersangkut suatu sumpah.juga tindak pidana ini tidak dapat dinamakan tindak pidana kesaksian palsu sebab kesaksian palsu hanyalah salah satu peristiwa yang tercakup di bahwa tindak pidana ini, yaitu berkenaan dengan pengucapan sumpah pada waktu hendak memberikan kesaksian.walaupun demikian, sebagaimana yang dapat dibaca dari kutipan di atas, yang palsu sebenarnya bukanlah sumpah itu melainkan keterangan yang diberikanlah yang palsu.dengan demikian, untuk keperluan praktis tindak pidana tersebut dapat dinamakan tindak pidana sumpah palsu. Mengenai pembedaan istilah di atas sumpah dan di bawah sumpah sebagaimana yang digunakan oleh Sianturi, pembedaan seperti itu dapat membingungkan orang. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional menggunakan terjemahan di atas sumpah sedangkan Lamintang dan Samosir menggunakan terjemahan di bawah sumpah. Penerjemah-penerjemah ini sudah tentu tidak bermaksud untuk membatasi pengertiannya sebagaimana pembedaan yang dilakukan oleh S.R. Sianturi. Dilihatdari terjemahan Lamintang dan Samosir dapat digunakan istilah keterangan palsu di bawah sumpah sebagai istilah umum yang mencakup pengambilan sumpah sebelum maupun sesudah diberikan keterangan. Unsur-unsur dari tindak pidana sumpah palsu dalam Pasal 242 ayat (1) KUHPidana, yang diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, adalah sebagai berikut: 1. Dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas/di bawah sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian; 10S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1983, hal. 124. 35

2. Dengan sengaja; 3. Memberi keterangan palsu di atas/di bawah sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu. Dalam unsur-unsur Pasal 242 ayat (1) KUHPidana tersebut akan dibahas satu demi satu berikut ini. 1. Dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian. Oleh S.R. Sianturi diberikan contoh-contoh dari peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seseorang harus mengucapkan sumpah sebagai berikut : a. Pasal 147 HIR untuk perkara perdata yang berbunyi: Jika tidak diminta mengundurkan diri atau kalau permintaan itu ditentukan tidak beralasan, maka saksi itu, sebelum memberi keterangan disumpah dahulu menurut agamanya. b. Pasal 1911 KUHPerdata: Saksi wajib bersumpah atau berjanji sesuai dengan agama yang dianutnya, bahwa mereka akan menerangkan yang sebenarnya. c. Pasal 115 (2) Undang-undang Kepailitan: ataupun menuntut supaya siberpiutang menguatkan dengan sumpah kebenaran piutangnya. d. Pasal 160 (3) dan (4) KUHAP di bidang perkara pidana yang berbunyi: sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing bahwa ia akan memberi keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya ; (4) Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu memberi keterangan. Periksalah juga pasal 116 dan 120 KUHAP mengenai pengangkatan sumpah atau pengucapan janji oleh saksi atau ahli pada kegiatan penyidikan. 11 Penjelasan yang diberikan oleh S.R. Sianturi menunjukkan bahwa tindak pidana sumpah palsu dalam Pasal 242 ayat (1) KUHPidana tersebut dapat terjadi dalam berbagai bidang hukum, di antaranya bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana. 1. Dengan Sengaja Unsur dengan sengaja merupakan bagian dari unsur kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Dalam doktrin (pendapat ahli hukum) dan yurisprudensi sekarang ini sudah umum dikenal adanya tiga macam kesengajaan, yaitu: a. sengaja sebagai maksud; b. sengaja dengan kesadaran tentang keharusan; dan, c. sengaja dengan kesadaran tentang kemungkinan. 11Ibid, hal. 126-127. 36

Pengertian dengan sengaja dalam Pasal 242 ayat (1) KUHPidana mencakup ketiga macam kesengajaan tersebut.sebagai contoh, jika pada seseorang terdapat sengaja dengan kesadaran tentang kemungkinan maka hal tersebut telah memenuhi unsur dengan sengaja dari tindak pidana sumpah palsu. Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa unsur dengan sengaja ini ditempatkan di tengah-tengah rumusan pasal, yaitu sesudah unsur dalam keadaan di mana undangundang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian.jadi, unsur tersebut tidak tercakup oleh unsur dengan sengaja.dengan demikian, pelaku tidak perlu mengetahui bahwa keterangan yang diberikannya itu memang harus dikuatkan dengan suatu sumpah atau janji. Unsur yang diliputi oleh unsur dengan sengaja ini adalah unsur yang ditempatkan sesudah unsur dengan sengaja, yaitu unsur memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu. 2. Memberi keterangan palsu di atas/di bawah sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu. Dalam Pasal 242 ayat (3) KUHPidana ditentukan bahwa disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah. Beberapa putusan pengadilan yang dikemukakan oleh Lamintang dan Samosir berkenaan dengan unsur ini adalah sebagai berikut: a. Putusan Hoge Raad 25 Juni 1928, di mana diberikan pertimbangan bahwa, suatu keterangan itu adalah palsu, jika sebahagian dari keterangan itu adalah tidak benar, walaupun yang sebagian ini mempunyai arti yang tidak demikian pentingnya. 12 b. Putusan Hoge Raad, 4 April 1938, di mana diberikan pertimbangan bahwa, juga apabila beberapa bagian dari suatu keterangan itu adalah tidak palsu, Hakim dapat menganggap keterangan itu sebagai satu kesatuan dan menyatakan terrbukti, bahwa keterangan itu adalah palsu tanpa pembebasan untuk sebagian 13 Dua putusan yang dikutipkan di atas menunjukkan bahwa jika sebagian atau beberapa bagian dari keterangan yang diberikan itu tidak benar (palsu), sekalipun sebenarnya bagian yang tidak benar (palsu) itu tidak begitu penting, perbuatan itu sudah termasuk ke dalam pengertian sumpah palsu. 12Lamintang dan Samosir, Op.cit., hal. 104. 13Ibid. hal 105 37

c. Putusan Hoge Raad, 17 Juni 1889, di mana diberikan pertimbangan bahwa,suatu keterangan saksi itu dianggap belum ada, sebelum pemeriksaan saksi di sidang pengadilan itu selesai, juga apabila kesaksian itu adalah palsu. Apabila seorang saksi mencabut kembali keterangannya sebelum pemeriksaannya itu selesai, maka bagian yang dicabut kembali itu bukanlah merupakan bagian dari keterangannya, walaupun seandainya benar bahwa pencabutan kembali itu adalah sebagai akibat dari adanya peringatan bahwa ia dapat dikenakan penahanan karena memberikan keterangan di bawah sumpah secara palsu 14 Berdasarkan pertimbangan tersebut, akan ada tindak pidana sumpah palsu apabila pemeriksaan terhadap saksi yang bersangkutan telah selesai. Selama saksi itu masih diperiksa, saksi tersebut masih dapat menarik kembali keterangannya.jika saksi itu menarik kembali keterangannya sebelum pemeriksaan terhadap dirinya sebagai saksi belum selesai, maka belum terjadi tindak pidana sumpah palsu yang dapat dipidana berdasarkan Pasal 242 KUHPidana. Pasal-pasal dalam KUHAP yang berkenaan dengan tindak pidana sumpah palsu adalah Pasal 163 dan 174.Dalam Pasal 163 KUHAP ditentukan bahwa, Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acâra pemeriksaan sidang. 15 Selanjutnya ditentukan dalam Pasal 174 ayat (1) KUHAP bahwa, Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu. 16 Apabila setelah peringatan-peringatan sebagaimana dimaksud dalam kedua pasal tersebut diberikan oleh hakim, tetapi saksi tetap mempertahankan keterangannya sampai pemeriksaan saksi itu selesai, barulah terjadi suatu tindak pidana sumpah palsu. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, kesaksian palsu di sidang pengadilan hanya mungkin terjadi dalam hal suatu perkara diperiksa dengan menggunakan: a. Acara pemeriksaan biasa; b. Acara pemeriksaan singkat; c. Acara pemeriksaan 14Ibid., hal. 106. 15Abdul Hakim G. Nusantara, et al, KUHAP dan Peraturan-peraturan Pelaksana, Djambatan, Jakarta, 1986, hal.57. 16Ibid., hal. 59. 38

tindak pidana ringan, tetapi hanya apabila Hakim memerintahkan saksi yang bersangkutan untuk disumpah, karena saksi dalam acara pemeriksaan ini umumnya tidak disumpah. Dalam hal seseorang telah disumpah atau mengucapkan janji sebagai saksi tetapi kesaksian atau keterangan yang diberikannya sebagai saksi disangka palsu, maka hakim berwenang memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.wewenang hakim ini didasarkan pada ketentuan Pasal 174 ayat (2) KUHAP. Rumusan selengkapnya dari Pasal 174 KUHAP adalah sebagai berikut : a. Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu. b. Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu. c. Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undangundang ini. d. Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai 17 Berdasarkan bahasan mengenai tindak pidana sumpah palsu (Pasal 242 KUHPidana) dalam sub bab sebelumnya serta rumusan Pasal 163 dan 174 KUHAP, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum Hakim melaksanakan wewenangnya tersebut, yaitu: Keterangan saksi disangka palsu. Bagaimana sehingga Hakim dapat sampai pada sangkaan bahwa keterangan yang diberikan oleh seorang saksi merupakan keterangan palsu Salah satu dasar untuk sampai pada sangkaan sedemikian telah dikemukakan dalam Pasal 163 KUHAP.Dalam Pasal 163 KUHAP ditentukan bahwa jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acâra pemeriksaan sidang. 17Ibid.hal 60 39

Dari rumusan pasal ini dapat diketahui bahwa salah satu dasar untuk sampai pada sangkaan kesaksian palsu adalah jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara. Kemungkinan dasar lainnya, yang tidak disinggung dalam KUHAP, yaitu apabila keterangan saksi itu berbeda dengan keterangan dari saksi atau saksi-saksi lain. Apabila beberapa saksi lain memberikan keterangan yang sama di antara mereka, sedangkan keterangan mereka itu berbeda dengan keterangan seorang saksi, dapat muncul sangkaan bahwa keterangan saksi yang satu ini merupakan keterangan palsu. 3. Hakim telah memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu. Di atas telah dikemukakan ketentuan Pasal 163 KUHAP bahwa jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu. Juga di atas telah dikutipkan Pasal 174 ayat (1) KUHAP bahwa jika keterangan saksi disangka palsu, maka Hakim harus: a. memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepada saksi itu supaya memberikan keterangan yang sebenarnya; dan, b. mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu. KUHAP hanya mengatakan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya. Dalam hal ini Hakim seharusnya dengan jelas menunjuk pada Pasal 242 KUHPidana, yaitu membacakan kepada saksi Pasal 242 KUHPidana dan memberi penegasan tentang ancaman pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun, atau dalam hal keterangan palsu itu diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, dapat dikenakan Pasal 242 ayat (2) KUHPidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. Rumusan pasal dan ancaman-ancaman pidana ini harus dengan tegas dan jelas dibacakan dan diterangkan oleh Hakim kepada saksi agar saksi benar-benar mengetahui akan konsekuensi dari keterangannya itu. Hal ini perlu dilakukan karena tidak semua saksi adalah orang yang berpendidikan, dan apabila saksi berpendidikan juga belum tentu langsung memahami apa yang dimaksudkan dalam rumusan-rumusan undang-undang. 4. Saksi yang bersangkutan telah selesai diperiksa. Sebagaimana telah dibahas dalam sub bab sebelumnya, menurut yurisprudensi, nanti terjadi tindak pidana sumpah palsu apabila pemeriksaan terhadap saksi telah selesai. Dapat menjadi pertanyaan, kapan pemeriksaan terhadap seorang saksi telah selesai. 40

Dalam Pasal 167 KUHAP ditentukan bahwa setelah saksi memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkannya. Prosedur ini adalah setelah saksi selesai menjalani pemeriksaan, yaitu setelah Hakim ketua sidang menyatakan kepada saksi bahwa pemeriksaan terhadap saksi telah selesai dan saksi dipersilahkan untuk meninggalkan tempat duduknya sebagai saksi. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 164 KUHAP, selesainya pemeriksaan terhadap seorang saksi adalah: a. setelah saksi memberikan keterangan atau jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hakim, dan, b. kemudian telah diberikan kesempatan kepada terdakwa untuk memberikan pendapatnya terhadap keterangan saksi; dan selanjutnya, c. kepada penuntut umum dan penasihat hukum telah diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi. 5. Hakim karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa, sudah cukup yakin bahwa saksi memberikan keterangan palsu. Dalam Pasal 174 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu. Berdasarkan ketentuan ini maka dilaksanakannya wewenang hakim itu adalah berdasarkan pada: (1) pertimbangan hakim sendiri karena jabatannya, atau (2) atas permintaan dari penuntut umum, atau (3) atas permintaan terdakwa. Tetapi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 174 ayat (2) KUHAP, Hakim dapat memberikan perintah penahanan.ini menunjukkan bahwa Hakim tidak wajib untuk memerintahkan penahanan saksi sekalipun ada sangkaan memberikan keterangan palsu.dilaksanakan atau tidaknya wewenang Hakim ini diserahkan pada pertimbangan Hakim ketua sidang yang bersangkutan. Berdasarkan uraian diatas dapat di simpulkan bahwa tidaklah mudah bagi Hakim untuk sampai pada putusan bahwa saksi perlu untuk ditahan dan didakwa atas kesaksian palsu. Bagaimanapun juga, seorang Hakim hanya akan mengambil putusan sedemikian jika Hakim itu sudah cukup yakin bahwa saksi memberikan keterangan tidak benar (palsu). Sekalipun adanya keyakinan Hakim hanya disyaratkan untuk menjatuhkan putusan menghukum, tetapi perintah Hakim untuk menahan dan mendakwa saksi cenderung menunjukkan bahwa Hakim sudah cukup yakin atas kesalahan saksi. Berbagai pertimbangan dapat membuat Hakim tidak memerintahkan penahanan terhadap saksi untuk didakwa. Sekalipun keterangan saksi di sidang pengadilan berbeda dengan keterangan dalam berita acara penyidikan, ada kemungkinan bahwa keterangan yang diberikan di depan sidang pengadilan merupakan keterangan 41

yang benar sedangkan keterangan dalam berita acara merupakan keterangan palsu. Dalam hal ini sudah tentu tidak ada sumpah palsu, sebab keterangan yang diberikan dengan sumpah di depan pengadilan itu justru merupakan keterangan yang benar. Juga apabila keterangan seorang saksi itu berbeda dengan keterangan dari saksi atau beberapa saksi lain, selalu masih ada kemungkinan bahwa keterangan satu orang saksi ini justru merupakan keterangan yang benar sedangkan saksi-saksi lain telah bersepakat untuk memberikan keterangan yang tidak benar. b. Prosedur Penanganan Kesaksian Palsu Di Depan Pengadilan Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 174 KUHAP, prosedur penanganan sumpah palsu di depan pengadilan adalah sebagai berikut: 1. Hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu. Berdasarkan ketentuan Pasal 174 ayat (2) KUHAP, diterbitkannya perintah tersebut adalah: a. berdasarkan pertimbangan dari Hakim ketua sidang karena jabatannya; atau, b. atas permintaan penuntut umum; atau, c. atas permintaan terdakwa. Perintah Hakim itu adalah perintah supaya: a. saksi itu ditahan; dan b. untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu. 2. Oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera. Pembuatan berita acara seperti ini ditentukan dalam Pasal 174 ayat (3) KUHAP.Jadi, berita acara tidak lagi dibuat oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana penyidikan tindak pidana pada umumnya. Untuk kasus kesaksian palsu di depan pengadilan, berita acara langsung dibuat oleh Panitera kemudian ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan panitera. 3. Berita acara itu segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini. Hal ini juga telah ditentukan dalam Pasal 174 ayat (3) KUHAP.Oleh karena berita acara telah dibuat oleh Panitera, maka prosedur selanjutnya adalah tinggal tahap penuntutan.karenanya, berita acara yang dibuat oleh Panitera itu langsung diserahkan kepada penuntut umum. Dengan demikian, prosedur untuk penanganan kesaksian palsu di depan pengadilan untuk didakwa sebagai sumpah palsu, merupakan 42

prosedur khusus yang menyimpang dari prosedur penyidikan tindak pidana pada umumnya. Dalam hal Hakim di sidang pengadilan memerintahkan untuk menahan saksi yang diduga memberikan keterangan palsu, maka berita acara dibuat oleh hakim, sehingga tahap berikutnya adalah penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum.Dalam hal ini, Polisi sebagai Penyidik tidak lagi memiliki peran.tetapi apabila Hakim tidak memberikan perintah seperti itu, maka Polisi memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan atas dugaan melakukan tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 242 KUHP.Ini karena apabila Hakim tidak memberikan perintah seperti itu, bukanlah berarti bahwa saksi tidak melakukan tindak pidana dalam Pasal 242 KUHP. Polisi sebagai Penyidik pada dasarnya memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap semua dugaan tindak pidana, termasuk juga tindak pidana dalam hal seorang saksi di depan pengadilan memberikan keterangan palsu atau tidak benar. Walaupun demikian, bagaimanapun juga Polisi memiliki kewajiban untuk menghormati tata tertib dalam hal suatu persidangan sedang berlangsung. Hal ini telah diatur secara tegas dalam KUHAP, yaitu pada Pasal 218 KUHAP di mana ditentukan bahwa, (1) Dalam ruang sidang siapapun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan. (2) Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak mentaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintahnya yang bersangkutan di keluarkan dari ruang sidang. (3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat suatu tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya. 18 Dengan demikian, Polisi perlu melakukan pemanggilan terhadap saksi itu untuk diperiksa sebagai tersangka tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 242 KUHP atau melakukan penangkapan pada saat tersangka yang bersangkutan telah ke luar dari ruang sidang pengadilan. F. Kesimpulan Kesimpulan Berdasrkan uraian bab-bab terdahulu di atas maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut : 1. Hakim memiliki wewenang memerintahkan penahanan saksi yang diduga memberikan keterangan palsu apabila keterangan saksi disangka palsu berdasarkan alasan yang kuat, antara lain jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara dan Hakim harus memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepada 18 Nusantara et al, Op.cit., hal. 73. 43

saksi itu supaya memberikan keterangan yang sebenarnya serta mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu, dalam hal ini ancaman pidana dalam Pasal 242 KUHP. 2. Prosedur penanganan kesaksian palsu di sidang pengadilan adalah: a. Hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu. b. Panitera segera membuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera. c. Berita acara itu segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini. Apabila Hakim telah memberikan perintah penahanan untuk dituntut terhadap saksi yang diduga memberikan kesaksian palsu, Polisi tidak lagi memiliki peran dalam perkara itu.tetapi apabila Hakim tidak memberikan perintah seperti itu, Polisi tetap memiliki kewenangan melakukan penyidikan atas dugaan tindak pidana Pasal 242 KUHP. Saran 1. Dalam rumusan Pasal 242 ayat (1) KUHP perlu ditambahkan unsur tentang mempertegas permasalahan tempat di mana pelaku melakukan perbuatan memberikan keterangan palsu, baik di depan pengadilan maupun di luar pengadilan. 2. Pasal 174 ayat (1) KUHAP perlu dipertegas dengan mewajibkan Hakim membacakan pasal dalam KUHP yang dapat dijadikan dasar penuntutan (Pasal 242 KUHP) dan ancaman pidana maksimum yang ditentukan dalam pasal tersebut. G. Daftar Pustaka Abdul Hakim G. Nusantara, et al, KUHAP dan Peraturan-peraturan Pelaksana, Djambatan, Jakarta, 1986. Andi Hamzah, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2006,Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, cetakan kedua, 2008, Hukum Acara Pidana, Edisi Kedua Jakarta, PT Sinar Gafika Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni, Bandung, 2006 Aloysius Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana, Bekasi: PT.Galaxy Puspa Mega. 2002 Benyamin Asri, Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa dalam Penyidikan, Penuntutan dan Peradilan, Bandung: Tarsito, 1989 Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Edisi pertama, Cetakan pertama, Liberty, Yogyakarta, 1988 44

, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982 Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001 Darwan prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta : Djambatan, 1989, hal 108. EY Kanter dan SR Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta : Alumni AHM-PTHM,1982 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Yayasan Badan Peerbit Gajah Mada, Jogyakarta, 195, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, 2015, Hukum Pidana II.. Bina Aksara, Jakarta:, tahun 1995 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), PT. Citra Adytia Bakti, Bandung, 2006 Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Yogyakarta, Sinar Grafika, 2011, M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta : Sinar Grafika, 2007, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pustaka Kartini, Jilid I, 1988 P.AF. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.Citra Aditya Bakti.Bandung. 1997, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1979, Hukum Pidana Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1983 Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2010, Pompe Dalam Buku Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta :Ghalia Indonesia, 2004 Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, tahun 2000 Sabto Budoyo, Perlindungan Hukum Bagi saksi dalam Proses Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro Semarang. 2008 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Serta Komentarnya.1995 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2006 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1985 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1981 Simons Dalam Buku Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Yogyakarta : Balai Lektur Mahasiswa, 2001 S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHM- PTHM, Jakarta, 1983 45

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung, Aditama, 2003 Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-undang Hukum Pidana 46