BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama lebih dari tiga dasawarsa, Indonesia telah melaksanakan berbagai upaya dalam rangka meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Departemen Kesehatan telah menyelenggarakan serangkaian reformasi di bidang kesehatan guna meningkatkan pelayanan kesehatan dan menjadikannya lebih efisien, efektif serta terjangkau oleh masyarakat. Visi Indonesia Sehat 2010 menggambarkan bahwa pada tahun 2010 bangsa Indonesia hidup dalam lingkungan yang sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat serta mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata sehingga memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Depkes RI, 2003). Sejak dicanangkannya Visi Indonesia Sehat 2010 telah banyak kemajuan yang dicapai, akan tetapi kemajuan-kemajuan itu tampaknya masih jauh dari target yang ingin dicapai. Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, keadaan kesehatan masyarakat Indonesia masih tertinggal (Depkes RI, 2003). Derajat kesehatan yang optimal dapat dilihat dari unsur kualitas hidup serta unsur mortalitas yang mempengaruhinya yaitu morbiditas dan status gizi masyarakat. Indikator-indikator kesehatan yang dapat digunakan untuk mengetahui derajat kesehatan salah satunya angka kematian balita (AKABA) (Dinkes Kabupaten Demak, 2009). Terjadinya angka kematian yang tinggi pada usia balita dikarenakan pada saat itu balita rentan terhadap penyakit, data statistik menunjukkan bahwa lebih dari 70% kematian balita salah satunya disebabkan karena penyakit diare (Depkes RI, 2008). Tingginya angka kesakitan dan kematian akibat diare masih menjadi masalah kesehatan dunia terutama di Negara berkembang. Di Indonesia, diare masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat 1
2 utama. Hal ini disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan dan kematian terutama pada bayi dan balita (Depkes RI, 2002). Angka kejadian diare di Indonesia diperkirakan sebesar 40-50% penduduk pertahun, dimana 70-80% diantaranya terjadi pada usia balita, dengan episode diare satu atau dua kali setiap tahun dan merupakan salah satu penyebab kematian kedua terbesar pada balita yaitu sekitar 162 ribu balita meninggal setiap tahun (Riskesdas, 2007). Sedangkan data dari profil kesehatan Indonesia tahun 2008, dilaporkan tejadinya KLB diare di 15 provensi dengan jumlah penderita sebanyak 8.443 kasus diare dengan jumlah kematian sebanyak 209 orang meninggal, dan Case Fatality Rate (CFR) 2,48% (Depkes RI, 2008). Kejadian diare di Provinsi Jawa Tengah sendiri mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 tercatat sebesar 47.8% cakupan penemuan diare (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2008). Data selama empat tahun terakhir menunjukkan bahwa cakupan penemuan diare masih sangat jauh di bawah target yang diharapkan yaitu sebesar 80%, sedangkan jumlah kasus diare pada balita sendiri setiap tahunnya rata-rata di atas 40%. Hal ini menunjukkan bahwa kasus diare pada balita masih tetap tinggi dibandingkan golongan umur lainnya (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2008) Sedangkan di kabupaten Demak kejadian diare mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 sebanyak 22.791 kasus diare, tahun 2008 terdapat 24.152 kasus diare dan tahun 2009 jumlah kasus diare di kabupaten Demak berdasarkan laporan dari Puskesmas sebanyak 25.458 kasus (Dinkes Kabupaten Demak, 2009). Kejadian diare di Puskesmas Mijen I masih menempati urutan yang relatif tinggi, terlihat dari rekapitulasi cakupan pelayanan penderita diare pada tahun 2008 sebanyak 402 kasus diare dan tahun 2009 pada seluruh golongan umur sebesar 410 kasus dimana 50,5% terjadi pada balita. Kasus tertinggi di desa Mlaten yaitu sebesar 114 kasus (Puskesmas Mijen I, 2009).
3 Berbagai upaya dilakukan untuk menurunkan angka kejadian diare, namun kenyataan hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat diare perlu diketahui faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian diare. Faktor yang erat dengan kejadian diare adalah faktor sanitasi lingkungan, keadaan gizi, kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomi, dan perilaku masyarakat (Soegijanto, 2002). Hygiene dan sanitasi seperti mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan, penyajian, penyimpanan makanan dan minuman, dan sanitasi air minum merupakan salah satu faktor pencegah terjadinya diare terutama pada anak umur 1-2 tahun (Ngastiyah, 2005). Menurut Suharyono (2008), sanitasi lingkungan yang buruk merupakan faktor yang penting terhadap terjadinya diare dimana interaksi antara penyakit, manusia, dan faktor-faktor lingkungan yang mengakibatkan penyakit perlu diperhatikan dalam penanggulangan diare. Peranan faktor lingkungan (air, makanan, lalat dan serangga lain), enterobakteri, parasit usus, virus, jamur dan beberapa zat kimia telah secara klasik dibuktikan pada berbagai penyelidikan epidemiologis sebagai penyebab penyakit diare. Perilaku dari segi biologis merupakan kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Jadi pada hakikatnya perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas (Notoatmodjo, 2007). Melakukan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), khususnya perilaku hygiene diantaranya kebiasaan mencuci tangan dengan sabun yang benar dan tepat sebagai cara yang efektif untuk mencegah penyebaran penyakit seperti diare. Namun prakteknya penerapan perilaku yang cukup sederhana tersebut tidak selalu dilakukan, terutama pada keluarga yang belum terbiasa. Dalam hal ini pendidikan keluarga mempunyai peranan yang sangat penting (Dep. Kominfo, 2007). Jika perilaku hygiene di dalam keluarga dapat diterapkan oleh seluruh anggota keluarga, seperti keperluan
4 mencuci tangan secara benar, maka salah satunya penyakit seperti diare tidak akan mudah menyerang (Depkes RI, 2007). Namun dalam kehidupan masyarakat hampir semua orang memahami dan mengetahui pentingnya mencuci tangan memakai sabun tetapi tidak membiasakan diri untuk melakukan dengan benar terutama pada saat yang penting yaitu sebelum makan, sesudah buang air besar, setelah menyeboki bayi dan sebelum menyuapi anak. Padahal perilaku mencuci tangan merupakan faktor yang penting pula dalam menurunkan angka kejadian diare (Dyah, 2007). Pada masyarakat terutama di pedesaan tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan masyarakat pedesaan juga beranggapan bahwa mencuci tangan cukup memakai air saja (Dyah, 2007). Berdasakan studi Basic Human Services (BHS) di Indonesia tahun 2006, perilaku masyarakat dalam mencuci tangan adalah 12% setelah buang air besar, membersihkan tinja bayi dan balita 9%, sebelum makan 14%, dan sebelum memberi makan bayi 7%, dan sebelum menyiapkan makanan 6% (Team public Health Watsan-Iom, 2008). Sanitasi merupakan salah satu tantangan yang paling utama bagi Negara berkembang. Karena menurut WHO, penyakit diare membunuh satu anak di dunia ini setiap 15 detik, karena akses pada sanitasi masih terlalu rendah. Hal ini menimbulkan masalah kesehatan yang besar. Data yang menunjukkan masalah kesehatan yaitu terdapat 47% masyarakat masih berperilaku buang air besar ke sungai, sawah, kolam, kebun dan tempat terbuka (Hasil studi Indonesia Sanitation Sector development Program (ISSDP), 2006). Data dari hasil studi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007, menunjukkan bahwa berbagai intervensi terpadu melalui pendekatan sanitasi total dapat menurunkan angka kejadian diare sebesar 94% dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap sanitasi dasar dapat menurunkan angka kejadian diare sebesar 32%, melakukan perilaku mencuci tangan memakai sabun dapat menurunkan angka kejadian diare
5 sebesar 45%, dan melalui perilaku pengolahan air minum yang aman di rumah tangga dapat menurunkan angka kejadian diare sebesar 39%. Pemerintah juga telah sepakat dengan komitmen untuk mencapai target Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015, yaitu untuk meningkatkan akses air minum dan sanitasi dasar secara berkesinambungan kepada separuh dari proporsi penduduk yang belum mendapatkan akses (Team public Health Watsan-Iom, 2008). Penyediaan air bersih dan bebas sampah merupakan hal yang esensial dalam kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Hampir 30% penduduk di Negara berkembang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan air bersih dan lebih dari 60% memiliki sanitasi dasar yang rendah. Kotoran yang secara rutin dihasilkan dan dibuang pada kolam terbuka, sungai, selokan, dan tanah lapang, dan lebih dari 90% air kotor di Negara berkembang tidak tertangani (Anderson, 2006). Data dari profil kesehatan Kabupaten Demak tahun 2009, kondisi sanitasi di Kabupaten Demak masih rendah dalam cakupan akses masyarakat terhadap ketersediaan sarana air bersih yaitu sebesar 51,66%, cakupan ketersediaan jamban sebesar 57,61%, Cakupan kepemilikan tempat sampah sehat yaitu sebesar 37,35%, dan pengolahan air limbah sebesar 34, 85%. Sebagian warga di wilayah kerja puskesmas Mijen I cukup sulit dalam mendapatkan air bersih, dimana sumber air yang digunakan untuk minum dan memasak yang diperoleh dari sumur dan sungai yang airnya kadang berbau dan mengandung kapur (Dinkes Kabupaten Demak, 2009). Berdasarkan data-data tersebut maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih mendalam apakah perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) keluarga dan sanitasi lingkungan berperan terhadap kejadian diare terutama di desa Mlaten kecamatan Mijen Kabupaten Demak.
6 B. Rumusan Masalah Kejadian penyakit diare di wilayah kerja Puskesmas Mijen I Kabupaten Demak masih relatif tinggi khususnya pada balita terutama di desa Mlaten Kecamatan Mijen Kabupaten Demak. Faktor-faktor yang erat dengan kejadian diare adalah faktor sanitasi lingkungan, keadaan gizi, kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomi, dan perilaku hygiene masyarakat (Soegijanto, 2002). Hampir semua orang memahami pentingnya mencuci tangan memakai sabun tetapi dalam praktiknya di lingkungan keluarga jarang untuk membiasakan diri untuk melakukan dengan benar yaitu sebelum makan, sesudah buang air besar dan sebelum menyuapi anak. Pada masyarakat di pedesaan jarang terbiasa mencuci tangan dengan sabun, mereka beranggapan bahwa mencuci tangan cukup memakai air (Dyah, 2007). Kondisi sanitasi di Kabupaten Demak masih rendah dalam cakupan air bersih 51,66%, cakupan jamban keluarga 57,61%, Cakupan tempat sampah sehat 37,35%, dan pengolahan air limbah 34, 85%. Sebagian warga di desa Mlaten kecamatan Mijen cukup sulit dalam mendapatkan air bersih, dimana sumber air yang digunakan untuk minum dan memasak yang diperoleh dari sumur dan sungai yang airnya kadang berbau dan mengandung kapur (Dinkes Kabupaten Demak, 2009). Berdasarkan permasalahan di atas, maka yang menjadi pertanyaan penelitian ini adalah Apakah perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) berperan dalam kejadian diare? dan Apakah sanitasi lingkungan berperan dalam kejadian diare?. Sehingga dapat dirumuskan tentang penelitian adalah Bagaimana perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) keluarga dan sanitasi lingkungan terhadap kejadian diare pada balita di desa Mlaten Kecamatan Mijen Kabupaten Demak?.
7 C. Tujuan Penelitian 1. Umum Mengetahui perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) keluarga dan sanitasi lingkungan terhadap kejadian diare pada balita di desa Mlaten Kecamatan Mijen Kabupaten Demak. 2. Khusus a. Mendeskripsikan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) keluarga di desa Mlaten Kecamatan Mijen Kabupaten Demak. b. Mendeskripsikan sanitasi lingkungan rumah di desa Mlaten Kecamatan Mijen Kabupaten Demak. c. Mendeskripsikan kejadian diare di desa Mlaten Kecamatan Mijen Kabupaten Demak. d. Menganalisis hubungan antara perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) keluarga terhadap kejadian diare di desa Mlaten Kecamatan Mijen Kabupaten Demak. e. Menganalisis hubungan antara sanitasi lingkungan rumah terhadap kejadian diare di desa Mlaten Kecamatan Mijen Kabupaten Demak. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: 1. Keluarga Menambah pengetahuan keluarga di desa Mlaten kecamatan Mijen Kabupaten Demak tentang kejadian diare. 2. Instansi a. Puskesmas Mijen I Kabupaten Demak Sebagai masukan bagi puskesmas dalam rangka pengambilan keputusan penanggulangan penyakit diare pada anak balita. b. Dinas Kesehatan Kabupaten Demak Sebagai masukan dalam upaya menentukan kebijakan program pemberantasan penyakit diare terutama yang terjadi pada balita.
8 3. Peneliti Untuk memperoleh pengalaman dalam penelitian tentang cara pencegahan penyakit diare pada balita. 4. Bidang Ilmu Keperawatan Sebagai masukan bagi disiplin ilmu keperawatan dalam mengembangkan ke ilmuan khususnya ilmu keperawatan komunitas. E. Bidang Ilmu Penelitian ini, bidang ilmu yang digunakan adalah ilmu keperawatan komunitas.
25