7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Burung Puyuh Puyuh adalah spesies atau subspesies dari genus Coturnix yang tersebar di seluruh daratan, kecuali Amerika. Pada tahun 1870, puyuh Jepang yang disebut japanese quail (Coturnix-coturnix Japonica) mulai masuk ke Amerika. Namun, sebutan untuk puyuh ini kemudian menjadi beragam seperti common quail, stubble quail, pharoah s quail, eastern quail, asiatic quail, japanese grey quail, red throad quail, japanese migratory quail, king quail, dan japanese king quail. Selanjutnya, Coturnix menunjukkan subspesies japonica. Sementara puyuh bob white (Collinus virgianus) dan californian quail (Lophortyx california) berasal dari Amerika Utara dan tidak termasuk dalam genus coturnix. Jenis puyuh yang biasa diternakkan adalah puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica) (Listiyowati dan Roospitasari, 2009). Puyuh (Coturnix-coturnix japonica) merupakan unggas yang bentuk badannya relatif kecil dan berkaki pendek dengan panjang badan 19 cm dan berekor pendek. Badannya dipenuhi dengan bulu berwarna coklat dengan bercak abu-abu dan hitam (Wuryadi, 2011). Bobot tubuh puyuh bisa mencapai 150 gram/ekor, puyuh betina berukuran lebih besar dari puyuh jantan yaitu sekitar 143 gram/ekor dan ukuran puyuh jantan sekitar 117 gram/ekor (Wuryadi, 2013). Menurut Wheindrata (2014), usaha ternak puyuh merupakan usaha yang banyak disenangi karena : 1) Dapat dilakukan dimana saja, bahkan di tempat yang sempit dan terbatas dengan modal yang tidak harus besar; 2) Dapat ditangani oleh semua orang karena cara beternaknya sangatmudah; 3) Dapat dilakukan oleh
8 keluarga sebagai usaha untuk mendapat penghasilan tambahan; 4) Bibit burung puyuh mudah didapatkan; 5) Biaya perawatan rendah namun dengan keutungan yang tinggi; 6) Gizi telur dan daging puyuh lebih tinggi dibanding ternak unggas lainnya; 7) Burung puyuh afkir dapat dijual dengan harga yang masih tinggi sebagai ternak potong; 8) Cepat dewasa kelamin dan cepat berproduksi, yang mana dalam umur 42 hari burung puyuh sudah mulai bertelur; 9) Kemampuan produksi sangat tinggi, mencapai 250-300 butir per ekor per tahun; 10) Penyakit yang menyerang puyuh relatif lebih sedikit dibanding penyakit pada ternak ayam ras; 11) Daya tahan tubuh puyuh lebih tinggi dibanding ayam ras; 12) Permintaan telur puyuh sangat tinggi, bahkan terus meningkat, yang sampai kini belum dapat dipenuhi oleh para peternak; 13) Permintaan daging puyuh juga tinggi, padahal permintaan daging hanya dilayani para peternak dengan puyuh afkir. Penjualan daging puyuh bagi peternak hanya merupakan hasil sampingan sehingga sampai kapanpun permintaan pasar akan daging puyuh tidak akan dapat terpenuhi; 14) Sarana, vitamin, ransum, obat-obatan khusus untuk puyuh, peralatan kandang, mesin tetas, dan perlengkapan lain mudah didapatkan. Menurut Nugroho dan Mayun (1981) nomenklatur puyuh (Coturnixcoturnix Japonica)sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum Class Ordo Subordo Famili Sub-Famili Genus Spesies : Chordata : Aves : Gallivormes : Phasianoidea : Phasianidae : Phasianinae : Coturnix : Coturnix coturnix japonica
9 Burung puyuh betina memiliki ciri yaitu bulunya berwarna coklat muda dengan bintik-bintik hitam pada leher dan dada bagian atas, sedangkan jantan mempunyai bulu leher dan dada berwarna coklat karat. Bulu tubuhnya tumbuh secara lengkap pada umur 2-3 minggu. 2.2 Konsumsi Ransum Konsumsi ransum adalah jumlah ransum yang dikonsumsi oleh ternak pada periode tertentu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan untuk kehidupannya (Anggorodi, 1985). Konsumsi pakan adalah banyaknya makanan yang dimakan seekor ternak dalam 1 hari atau selisih antara jumlah makanan yang diberikan dengan jumlah makanan sisa selama 24 jam. Konsumsi ransum dipengaruhi oleh bangsa dan strain unggas, suhu lingkungan, bobot tubuh, jenis kelamin, tingkat produksi telur, besar telur, aktivitas, jenis kandang, palatabilitas ransum, kandungan energi dari ransum, kualitas bahan ransum, konsumsi air, kandungan lemak tubuh, tingkat stress, dan umur ternak (Mulyantini, 2010). Semakin meningkat umur ternak semakin meningkat pula konsumsi ransumnya. Ransum yang diberikan pada ternak harus disesuaikan dengan umur kebutuhan tenak. Hal ini bertujuan untuk mengefisiensikan penggunaan ransum (Anggorodi, 1995). Anak burung puyuh yang baru berumur 0-3 minggu membutuhkan protein 25% dan energi metabolisme 2.900 kkal/kg. Pada umur 3-5 minggu kadar protein dikurangi menjadi 20% dan energi metabolisme 2.600 kkal/kg. Burung puyuh lebih dari 5 minggu kebutuhan energi dan protein sama dengan kebutuhan energi pada protein umur 3-5 minggu (Listiyowati dan Roospitasari, 2002). Pengurangan kadar protein dan energi metabolis disebabkan karena puyuh yang baru berumur 0-3
10 minggu masih belum dapat mengkonsumsi ransum dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan protein puyuh yang berumur 0-3 minggu diperlukan kadar protein yang lebih tinggi dibanding yang berumur 3-5 minggu. Kebutuhan nutrien ternak puyuh menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan Nutrient dan Energi Metabolisme Ternak Puyuh Kebutuhan Nutrisi Starter Grower Layer Kadar air maksimal (%) 14,0 14,0 14,0 Protein Kasar minimal (%) 19,0 17,0 17,0 Lemak Kasar maksimal (%) 7,0 7,0 7,0 Serat Kasar maksimal (%) 6,5 7,0 7,0 Abu maksimal (%) 8,0 8,0 14,0 Kalsium (Ca) (%) 0,90-1,20 0,90-1,20 2,50-3,50 Fosfor total (P) (%) 0,60-1,00 0,60-1,00 0,60-1,00 Fosfor tersedia (P) minimal (%) 0,40 0,40 0,40 Total aflatoksin maksimal (μg/kg) 40,0 40,0 40,0 Asam amino - Lisin minimal (%) 1,10 0,80 0,90 - Metionin minimal (%) 0,40 0,35 0,40 - Metionin + sistin minimal (%) 0,60 0,50 0,60 Energi metabolisme (EM) (Kkal/kg) Sumber : SNI 01-3907 (2006) 2800 2600 2700 Jumlah ransum yang diberikan kepada puyuh pun harus diperhatikan. Namun, jumlah ransum harus diberikan dalam jumlah yang mencukupi dan tersedia terus menerus (ad libitum). Jumlah ransum untuk puyuh fase layer yaitu berkisar 22 gram/hari. Kebutuhan ransum puyuh dapat dilihat pada Tabel 2.
11 Tabel 2. Jumlah pemberian ransum yang dibutuhkan menurut umur puyuh Pemeliharaan Umur Puyuh Jumlah Pemberian Ransum (minggu) (gram) Starter 1 1-4 2 4-7 3 8-10 Grower 4 10-14 5 15-17 6 18-22 Layer 7-60 20-22 Sumber : Marsudi dan Cahyo Saparinto (2012) Jumlah kebutuhan ransum unggas dan jumlah konsumsi ransum sangat bervariasi tergantung kondisi unggas, strain, umur, dan lingkungan (Anggorodi, 1995). Ransum yang dikonsumsi ternak sebagian dicerna dan diserap tubuh, sebagian yang tidak tercerna diekskresikan dalam bentuk feses. Zat-zat ransum yang diserap tubuh dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi telur. Jenis ransum dibedakan menurut bentuknya dan kegunaannya dalam fase pemeliharaan puyuh menurut bentuknya ransum dibagi menjadi 3 yaitu, 1) mash atau ransum yang berbentuk tepung, 2) crumble atau ransum yang berbentuk remah-remah, keuntungan ransum bentuk ini mudah dipatuk sehingga lebih disukai puyuh, dan 3) pellet, bentuk pellet seperti biji-bijian sehingga dapat mengundang selera makan ternak. Akan tetapi, menurut penggunaannya berdasarkan fase pemeliharaan, ransum dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu 1) ransum fase starter, yaitu ransum yang diberikan pada masa pertumbuhan, fase pertumbuhan tersebut mulai DOQ (Day Old Quail) masuk sampai siap bertelur, 2) ransum fase layer, yaitu ransum yang diberikan pada puyuh yang mulai bertelur.
12 2.3 Produksi Telur Puyuh betina akan mulai bertelur pada umur 42 hari. Umur pertama bertelur menunjukkan bahwa puyuh tersebut telah dewasa kelamin. Produktivitas burung puyuh dapat mencapai 250 300 butir/tahun (Wuryadi, 2013). Telur burung puyuh berwarna coklat burik dan tertutup dengan zat berwarna biru muda yang berisikan kapur, warna kulit telur sebagian besar bergantung dari produksi pigmen pada bangsa unggas tertentu. Hal ini tidak ada hubungannya dengan nilai gizi telur dan tidak dipengaruhi oleh ransum yang dimakan (Anggorodi, 1979). Berat telur burung puyuh berkisar 7-11 gram/butir yakni 7 8 % dari bobot tubuh induk (Anggorodi, 1995). Besarnya telur dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk sifat genetik, tingkatan dewasa kelamin, umur, obat-obatan, dan makanan sehari-hari. Faktor makanan terpenting yang diketahui mempengaruhi besar telur adalah protein dan asam amino yang cukup dalam ransum (Anggorodi, 1979). Puyuh bertelur selama 15-18 bulan dengan puncak produksinya terjadi pada umur 3-5 bulan, dengan rata-rata produksi telur dalam satu populasi berkisar 78-85% (Wuryadi, 2011). Selanjutnya, produktivitasnya mulai menurun pada umur 14 bulan dan berhenti bertelur sekitar umur 30 bulan (Wuryadi, 2013). Adanya perbedaan umur pada waktu mencapai dewasa kelamin disebabkan oleh adanya pengaruh tatalaksana produksi dan makanan yang diberikan (Rasyaf, 1989). Pemberian ransum yang berkualitas tinggi, dalam hal ini yang mempunyai kandungan protein tinggi pada periode grower akan menyebabkan umur dewasa kelamin cepat tercapai.
13 2.4 Konversi Ransum Konversi ransum merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi (gram) dengan produksi telur (gram) yang dihasilkan. Konversi ransum dapat digunakan untuk mengukur keefisienan ransum, semakin rendah angka konversi ransum berarti efisiensi penggunaan ransum semakin tinggi dan sebaliknya semakin tinggi angka konversi ransum berarti tingkat efisiensi ransum semakin rendah. Perbedaan konversi ransum disebabkan karena adanya perbedaan dalam konsumsi ransum dan jumlah produksi telur. Faktor lingkungan juga dapat berpengaruh terhadap konversi ransum adalah suhu yang kurang nyaman, persediaan ransum atau air minum yang terbatas, tatalaksana pemeliharaan, kualitas ransum, kepadatan kandang, dan penyakit (Achmanu, dkk 2011). Konversi ransum dipengaruhi oleh sejumlah faktor yaitu latar belakang strain, suhu, jumlah ransum yang terbuang, aditif yang digunakan dalam ransum dan manajemen pemeliharaan (Gillespie, 1990). Konversi ransum mencerminkan kesanggupan ternak dalam memanfaatkan ransum (Wahyu, 1992). Semakin tua umur unggas, maka semakin banyak jumlah ransum yang dikonsumsi, tetapi kecepatan pertumbuhan yang semakin rendah menyebabkan konversi ransum menjadi besar. Dengan demikian, umur unggas merupakan faktor yang berpengaruh terhadap konversi ransum. Nilai rataan konversi ransum pada puyuh umur 51-100 hari adalah 4,3, umur 101-105 hari adalah 3,9 dan ketika puyuh berumur 175-224 hari sekitar 3,0 (Tiwari dan Panda, 1978).
14 2.5 Persilangan Persilangan adalah salah satu alternatif untuk membentuk keturunan yang diharapkan akan memunculkan efek komplementer atau pengaruh saling melengkapi dan membentuk efek heterosis untuk meningkatkan produktivitas (Warwick, dkk 1983). Menurut Hardjosubroto (1994), secara genetik pesilangan menaikkan persentase heterogositas, sehingga dengan demikian menaikkan variasi genetik. Tujuan utama dari persilangan adalah menggabungkan dua sifat atau lebih yang berbeda yang semula terdapat dalam dua bangsa ternak ke dalam satu bangsa silangan. Secara teknis persilangan dikerjakan dengan maksud : a. Penggabungan beberapa sifat semula terdapat pada dua bangsa yang berbeda, ke dalam satu bangsa silangan. b. Pembentukkan bangsa baru c. Grading up. Grading up adalah sistem perkawinan silang yang keturunannya selalu disilangbalikkan (back crossing) dengan bangsa pejantannya dengan maksud mengubah bangsa induk (lokal) menjadi bangsa pejantannya (impor). d. Pemanfaatan heterosis Heterosis yang sering pula disebut hybrid vigor adalah kejadian dalam suatu persilangan. Performa hasil silangannya melampaui rerata performans kedua bangsa tetuanya. Penyebab terjadinya heterosis belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga tanggung jawab gen non-additif yang dapat menyebabkan dominan, over dominance, dan espistasis. Tidak semua sifat dapat menimbulkan heterosis. Biasanya sifat dengan angka
15 pewarisan rendah, misalnya sifat reproduksi, akan menimbulkan heterosis yang tinggi. 2.5.1 Sexing Sexing yaitu penentuan jenis kelamin pada ternak. Tujuan sexing yaitu agar jantan dan betina dapat dipisahkan sedini mungkin. Tujuan umum beternak burung puyuh untuk menghasilkan telur konsumsi. Oleh sebab itu, keberadaan burung puyuh jantan tidak diperlukan karena burung puyuh betina dapat bertelur tanpa burung puyuh jantan. Selain itu, konsumsi ransum burung puyuh jantan lebih banyak dari pada burung puyuh betina (Winda dkk, 2014). Sehingga sexing merupakan hal yang sangat penting dilakukan pada peternakan puyuh. Sexing pada puyuh adalah hal yang sangat sulit dilakukan, pada umumnya peternak menentukan jenis kelamin setelah puyuh berumur 3 minggu, dimana pada umur tersebut dengan mudahnya peternak dapat membedakan puyuh jantan dan puyuh betina hanya dengan melihat warna bulu. Perubahan warna bulu dada hanya terjadi pada burung puyuh jantan, tidak terlihat pada burung puyuh betina. Cara lain yang dapat dilakukan untuk identifikasi jenis kelamin pada puyuh adalah dengan melihat ukuran tubuh, dimana ukuran tubuh puyuh betina lebih besar dari yang jantan. Melakukan sexing dengan melihat perbedaan warna bulu pada flok ternak puyuh pada umur di bawah umur tiga minggu adalah sangat sulit, namun menurut beberapa peternak mereka telah melakukan sexing dini pada puyuh hanya dengan melihat perbedaan warna bulu. Hal ini lebih sederhana, murah dan tidak menyebabkan stress pada puyuh (Vali dan Doosti, 2011 dalam Winda dkk, 2014).
16 Burung puyuh mengalami tahapan pertumbuhan setelah proses penetasan. Sari dkk, (2013) menyatakan bahwa pada saat menetas tubuh burung puyuh sudah ditutupi bulu, berbeda dengan tubuh burung merpati, dimana pada saat menetas belum memiliki bulu (telanjang pada saat menetas) atau jika tumbuh bulu, jumlahnya sangat sedikit dan jarang. Bagian yang ditumbuhi bulu pada burung puyuh saat baru menetas terlihat pada dada, sayap, punggung, leher, dan bahu. Secara morfologi warna bulu jantan dan betina burung puyuh, sudah terlihat perbedaannya setelah menetas (Winda dkk, 2014). Dari penelitian yang dilakukan oleh Winda, dkk (2014) bahwa sexing dengan melihat perubahan morfologi warna bulu burung puyuh umur 1 hari bisa dilakukan dengan tingkat keberhasilan 92,72%. Menurut Wheindrata (2014), cara lain yang dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin selain warna bulu. Cara lainnya adalah menggunakan pendulum, baik yang terbuat dari logam maupun batu mulia. Caranya, ikat pendulum dengan benang atau rantai kalung yang halus. Panjang benang 13-20 cm. Pegang burung puyuh dan taruhlah gantungan pendulum tepat di atas kepalanya. Diamkan sejenak maka beberapa saat kemudian dan apabila pendulum bergerak secara horizontal, ke kanan-kiri secara bolak - balik berarti puyuh tersebut jantan dan apabila bergerak melingkar secara terus - menerus, maka puyuh tersebut betina. Menurut Lidya (2004) menentukan jenis kelamin puyuh dapat dilakukan dengan mendengar suara puyuh, dimana puyuh jantan memiliki suara yang lebih keras dari puyuh betina.