II. TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
Lesi mukosa akut lambung akibat Aspirin atau dengan istilah Aspirin gastropati merupakan kelainan mukosa akibat efek topikal yang akan diikuti oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. memiliki aktifitas penghambat radang dengan mekanisme kerja

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras.

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat. Kejadian ulkus lambung berkisar antara 5% - 10% dari total populasi

BAB I PENDAHULUAN. merupakan korban tersering dari kecelakan lalu lintas. 1. Prevalensi cedera secara nasional menurut Riskesdas 2013 adalah 8,2%,

BAB I PENDAHULUAN. protozoa, dan alergi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh rusaknya ketahanan mukosa gaster. Penyakit ini. anemia akibat perdarahan saluran cerna bagian atas (Kaneko et al.

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi. Obat ini merupakan salah satu kelompok obat yang paling banyak diresepkan

BAB I PENDAHULUAN. Tukak lambung merupakan salah satu bentuk tukak peptik yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL KULIT KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI KARAGENIN SKRIPSI

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ulserasi peptik. Mukus gaster disekresi oleh sel mukosa pada epitel mukosa gaster

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan rongga mulut yang sering ditemukan pada masyarakat adalah kasus

banyak digunakan tanpa resep dokter. Obat obat ini merupakan suatu kelompok obat yang heterogen secara kimiawi. Walaupun demikian obatobat ini

EFEK PEMBERIAN EKSTRAK KAYU MANIS (CINNAMOMUM BURMANNII) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI LAMBUNG TIKUS WISTAR YANG DIBERI ASPIRIN

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kita. Salah satu komplikasi awal dari fraktur yang terjadi pada tulang adalah nyeri. Nyeri ini

BAB I PENDAHULUAN. beberapa jenis makan yang kita konsumsi, boraks sering digunakan dalam campuran

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

sebesar 90% (Dodge, 1993). Ulkus gaster berukuran lebih besar dan lebih menonjol sehingga pada pemeriksaan autopsi lebih sering atau mudah dijumpai di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. menggunakan tumbuhan obat (Sari, 2006). Dalam industri farmasi, misalnya obatobatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang

Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Lambung. Anak Agung K Tri K

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Penyakit ulkus peptikum (tukak peptik) terdiri dari ulkus gaster dan ulkus

PR0GHlllltG. B00l( UPDATEIN GASTROENTERO-HEPATOLOGYPATIENT'S MANAGEMENT! FROMBENGHTO CLINICALPRACTICE

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi minuman ini. Secara nasional, prevalensi penduduk laki-laki yang

BAB I PENDAHULUAN. sistem organ dikarenakan hipersensitivitas terhadap makanan tertentu yang

PENGANTAR FARMAKOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. mulut, yang dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan bedah. Proses

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat

OBAT ANALGETIK, ANTIPIRETIK dan ANTIINFLAMASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diserahkan oleh apoteker di apotek (Asti dan Indah, 2004). The International

5/7/2012. HM Bakhriansyah, MD., M.Sc., M.Med.Ed Bagian Farmakologi PSPD FK UNLAM

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Kegiatan olahraga sekarang ini telah benar-benar. menjadi bagian masyarakat kita, baik pada masyarakat

1 Universitas Kristen Maranatha

[FARMAKOLOGI] February 21, Obat Anti Inflamasi Non Steroid ( OAINS ) Pada th/ sistomatis, tidak u/ th/ kausal. Ibuprofen, asam mefenamat,

ABSTRAK EFEK SUSU KEDELAI TERHADAP PENINGKATAN KADAR MUKUS LAMBUNG TIKUS JANTAN GALUR WISTAR MODEL GASTRITIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banyak. Lambung menerima makanan dan bekerja sebagai penampung untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

juga mendapat terapi salisilat. Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth subsalisilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Misalnya

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk:

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Kasus luka pada mulut baik yang disebabkan oleh trauma fisik maupun kimia

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

LAPORAN PENDAHULUAN. memperlihatkan iregularitas mukosa. gastritis dibagi menjadi 2 macam : Penyebab terjadinya Gastritis tergantung dari typenya :

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan obat golongan antiinflamasi nonsteroid

ASUHAN KEPERAWATAN GASTRITIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan

III. BAHAN DAN METODE

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI.

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa tipe dari luka, diantaranya abrasi, laserasi, insisi, puncture,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. normal (Nagori and Solanki, 2011). Berdasarkan sifatnya luka dibagi menjadi 2,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Mukosa mulut memiliki salah satu fungsi sebagai pelindung atau

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA Etiologi lesi mukosa akut lambung pada dekade ini berubah dari infeksi Helicobacter pylori kepada pemakaian Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS/Aspirin). Obat ini mudah diperoleh tanpa resep atau dalam bentuk obat tradisional/herbal yang banyak dipakai dalam mengatasi masalah nyeri otot dan sendi. Perluasan indikasi pemakaian Aspirin di bidang Kardiologi, Neurologi, Hematologi dan Onkologi akan berakibat peningkatan efek samping pada lambung. Secara klinik pemantauan terjadinya efek samping adalah dalam bentuk kumpulan gejala yang disebut sindroma dispepsia. Jenis keluhan dispepsia yang terbanyak adalah perasaan tidak nyaman pada daerah epigastrium, kembung, mual dan dapat disertai muntah. Bila terjadi kelainan yang lebih berat bisa berakibat perdarahan lambung dalam bentuk muntah darah atau buang air besar berwarna hitam (Rodrigues dan Diaz 2004, Santos dan Medeiros etal 2007). Bila hal ini terjadi dan tidak dilakukan penatalaksanaan secara cepat bisa berakibat kematian. Prevalensi kelainan ini berkisar antara 50-70%, terdapat sama pada kedua jenis kelamin, dengan kecenderungan pada kelompok umur yang lebih tua. Pada penyakit tertentu pemakaian obat ini akan berlangsung lama atau seumur hidup, dengan risiko dapat terjadi lesi mukosa yang lebih berat(manan 2005, Ibrahim dan Mofleh etal. 2007). Upaya pencegahan primer maupun sekunder harus dilakukan agar progresifitas penyakit utama dapat dihambat, dan konsumsi Aspirin dapat berlangsung lama. Disamping itu Aspirin merupakan obat yang mempunyai efektifitas klinik baik dan murah harganya (Vane 2002, Flower 2003). Penentuan jenis terapi pencegahan yang akan diberikan, berhubungan dengan mekanisme terhadap perubahan yang terjadi pada mukosa lambung dengan pengamatan secara patologi anatomi dan histopatologi. Hal ini tidak dapat dilakukan pada manusia karena adanya keterbatasan dalam diagnosis secara patologi anatomi maupun histopatologi. Pemakaian hewan coba tikus putih akan dapat membuktikan secara jelas proses yang terjadi secara seluler maupun enzimatik oleh karena struktur lambung tikus putih sama dengan manusia (Festing 2006, NLAC 2010). Dengan pembuktian ini, hasil yang didapat akan dapat dipakai sebagai model pada

manusia dalam pencegahan primer maupun sekunder terhadap lesi mukosa lambung akut akibat Aspirin (Fiorucci dan Del Soldato 2003, Brzozowska dan Targosz etal. 2004). 2.1. Sejarah perkembangan dan mekanisme kerja OAINS/Aspirin Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan Jerman pada tahun 1829, yaitu golongan salisilat berasal dari tanaman willow bark, pada saat ini dikenal dengan nama Aspirin. Pada tahun 1960 didapatkan OAINS kedua yaitu indometasin. Selanjutnya perkembangan dalam produksi OAINS sampai saat ini melebihi dari 30 jenis yang berasal dari golongan dengan sifat kimiawi berbeda (Tabel 1). Meskipun demikian efektifitas klinik dari obat-obat ini memberikan hasil yang hampir sama. Akan tetapi efek samping dapat terjadi pada saluran cerna dalam bentuk OAINS gastropati atau OAINS enteropati,. tergantung dari farmakodinamik dan farmakokinetik OAINS/Aspirin tersebut (Adebayo dan Bjarnason 2006, Wallace 2008). Pemakaian OAINS khususnya Aspirin pada saat ini didapatkan perluasan indikasi klinik. Pemakaian yang bermula pada bidang Rematologi, berkembang ke disiplin ilmu lain, yaitu Hematologi, Kardiologi, Neurologi dan Onkologi (Flower 2003). Secara biokimiawi didapatkan 13 jenis golongan OAINS/Aspirin termasuk OAINS yang bekerja spesifik dalam menghambat COX-2 (Brzozowski dan Konturek etal. 2001, Brzozowski dan Konturek etal. 2008). Banyaknya jenis OAINS dijual bebas tanpa resep dokter dan pemakaian obat-obat herbal, risiko terjadinya efek samping pada saluran cerna terutama lambung akan meningkat (Laine dan Curtis etal 2010). Pengembangan dalam efektifitas klinik dikemukakan oleh Vane pada tahun 1971, bahwa proses enzimatik untuk produksi prostaglandin (PG) dapat dihambat oleh Aspirin dan Indometasin. Protaglandin merupakan mediator inflamasi yang kuat dalam menimbulkan rasa nyeri, edema dan vasodilatasi (Hall dan Tripp etal 2006, Kotani dan Kobata etal 2006). OAINS/Aspirin juga berpengaruh terhadap mediator lain seperti lekotrin, pembentukan superoksida dan pelepasan enzim oleh lisosom. Hambatan terhadap isoenzim COX-1 dan COX-2 oleh OAINS/Aspirin berakibat hambatan produksi

prostaglandin. Kondisi ini akan menurunkan ketahanan mukosa lambung.(gudis dan Sakamoto 2005, Kaneko dan Matsui etal. 2007, Laine dan Takeuchi etal. 2008). Ketahanan mukosa lambung ditentukan oleh faktor defensif yang terdiri dari lapisan pre-epitel, epitel dan sub-epitel. Lapisan pre-epitel merupakan sawar terdepan dari mukosa lambung dalam mencegah pengaruh isi lumen terhadap lapisan epitel. Peranan mukus dan sekresi bikarbonat merupakan faktor utama dalam pencegahan primer maupun sekunder lesi mukosa akut oleh OAINS/Aspirin. Efek topikal OAINS/Aspirin terjadi akibat dari kerusakan lapisan mukus, sehingga akan terjadi gangguan permeabilitas dinding sel epitel dengan akibat obat akan masuk dan terperangkap di dalam sel. Selanjutnya terjadi pembengkakan disertai proses inflamasi dan akan terjadi kerusakan sel epitel tersebut (Lichtenberger dan Romero etal. 2007, Philipson dan Johanson etal. 2008). Efek topikal ini akan diikuti oleh efek sistemik dalam bentuk hambatan produksi prostaglandin melalui jalur COX-1 dan COX-2 (Tanaka dan Araki etal. 2002). Hambat OAINS/Aspirin COX-1 Kerusakan COX-2 epitel Aliran darah Sekresi mukus Gangguan Angiogenesis Penempelan mukosa karbonat agregasi lekosit trombosit Difusi balik asam Gangguan ketahanan mukosa Gangguan Aktifasi penyembuhan lekosit Lesi mukosa & perdarahan Gambar 1. Mekanisme kerja OAINS/Aspirin (Wallace 2008) Keterangan: OAINS: Obat Anti Inflamasi Non Steroid, COX : Cyclooxygenase

Mekanisme hambatan isoenzim cyclooxygenase tergantung dari golongan OAINS. Aspirin merupakan golongan OAINS yang kuat dalam menghambat kedua isoenzim tersebut, akibatnya lesi yang terjadi akan lebih berat. Peran faktor agresif seperti asam lambung, pepsin dan infeksi Helicobacter pylori akan memperberat lesi mukosa yang terjadi diakibatkan bertambahnya proses radang yang terjadi, meskipun masih kontroversi. Disamping itu terjadinya dismotilitas lambung akibat OAINS/Aspirin juga akan memperberat lesi mukosa yang terjadi (Venables 1986, Souza dan Troncon etal. 2003, Brzozowski dan Konturek etal. 2006,Forte dan Zhu 2010). Hambatan selektif terhadap isoenzim Cox-2, tidak menunjukkan hasil yang baik dalam mencegah terjadinya lesi mukosa akut. Lesi mukosa akibat OAINS/Aspirin dapat terjadi pada usus halus atau kolon. Terjadinya lesi akibat efek sistemik dan sebagai faktor agresif yaitu bakteri dan asam empedu (Gretzer dan Maricic etal. 2001, Adebayo dan Bjarnason 2006). Tabel 1. Klasifikasi Obat Anti Inflamasi Non Steroid (Brzozowski 2001) Salisilat Asetilsalisilat (Aspirin) Salsalat Diflunisal Non asetilsalisilat Magnesium salisilat Kolin Magnesium trisalisilat Derivat asam propionat Kalsium fenoprofen Flurbiprofen Ibuprofen Ketoprofen Naproksen Naproksen sodium Fenamat Asam Mefenamat Sodium meclofenamat Naftilalkanon Nabumeton Penghambat Cox-2 selektif Celecoxib Rofecoxib Penghambat Cox-2 semi selektif Meloxicam Indol Indometasin Sulindal Tolmetin sodium Oksikam Oksikam Piroksikam Asam fenilasetat Sodium diklofenak Potasium diklofenak Sodium diklofenak Misoprostol Derivat pirazol Fenilbutazon Asam piranokarboksilat Etodolak Pirolo-pirol Ketorolak trometamin Asam piranokarboksilat Etodolak

2.2 Biologi tikus Tikus memiliki berbagai galur yang merupakan hasil pembiakan sesama jenis atau persilangan. Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Wistar, Long-Evans dan Sprague-Dawley. Sprague-Dawley merupakan salah satu galur yang dikembangkan di Winconsin pada tahun 1925 oleh R.W. Dawley untuk pembibitan komersial. Galur Sprague-Dawley memiliki panjang leher yang sedang, sementara panjang tubuhnya bisa sama panjang atau lebih pendek dari ekor. Bobot badan tikus jantan pada umur 10 minggu dapat mencapai 250-300 gram, sedangkan tikus betina hanya mencapai 180-220 gram (NLAC 2010). Untuk penelitian di bidang kedokteran, terutama sifat farmakologi obat, galur ini merupakan model hewan coba yang baik. Sebab banyak penelitian yang sudah dilakukan memakai hewan coba Selain itu hewan coba ini mudah ditangani, dapat diperoleh dalam jumlah besar, dan memberikan hasil nilai ulangan yang dapat dipercaya (Aminah 2004, Festing 2006). 2.3. Anatomi dan fisiologi lambung Anatomi dan fisiologi organ lambung tikus putih sama dengan manusia yaitu monogastrik dan lapisan mukosa glandular yang terdiri dari sel mukus, sel parietal, sel chief dan sel G ( Ghoshal dan Bal 1989, Bailey, Fox dan Anderson etal. 2002). A Gambar 2 : Regio lambung manusia (A) dan lambung tikus (B)(Ghoshal 1989) B

Secara makroskopik lambung tikus dibagi dalam regio Kardia dan regio Pylorus. Morfologi lambung tikus yang kecil sehingga bila di bandingkan dengan manusia, regio Kardia adalah regio Fundus/Korpus sedangkan regio Pilorus adalah regio Antrum/Pilorus. Secara histologi lambung dibagi dalam non kelenjar dan kelenjar. Batas dari non kelenjar dan kelenjar disebut limiting ridge, merupakan lipatan mukosa lambung yang tidak didapatkan pada manusia. Kedua regio pada lambung tikus tersebut merupakan regio glandular dengan struktur histologinya sama dengan manusia (Luciano dan Reale 1992, Travillian dan Rosse etal. 2003). Struktur histologi lambung manusia dan tikus digambarkan secara skematis sebagai berikut: Gambar 3 : Perbandingan Struktur lambung manusia (HS) dan tikus.(ms): M: Mukosa ; SM: Submukosa; GM:Glamdula Mukosa; NM:Non Glandula Mukosa, S: serosa (Luciano dan Reale 1992, Travillian dan Rosse etal. 2003 )

Struktur anatomi dan histologi lambung tikus sama dengan manusia, maka perubahan yang terjadi akibat pengaruh Aspirin akan dapat dipakai sebagai model pada manusia (Travillian dan Rosse etal. 2003) M M MM SM MM SM TM TM A B Gambar 4. Histologi lambung tikus regio Fundus/Korpus (A) dan regio Antrum/Pilorus. M: Mukosa;MM: Muskularis Mukosa;SM :Sub Mukosa : TM T. Muskularis 2.4. Perubahan anatomi lambung pada gejala dispepsia Gejala klinik awal terjadinya komplikasi pada lambung adalah sindroma dispepsia. Gejala yang sering ditemukan adalah perasaan tidak nyaman atau nyeri pada daerah epigastrium, yang dapat disertai gejala mual, kembung, muntah. Bila keadaan ini berlanjut dapat terjadi gejala perdarahan saluran cerna dalam bentuk melena dengan atau tanpa hematemesis. Dispepsia pada gastropati OAINS disebabkan oleh dismotilitas akibat proses inflamasi mukosa terutama pada regio Antrum/Pilorus dan bertambah berat bila terjadi hambatan terhadap produksi prostaglandin (Santos dan Medeiros etal. 2007). Regio Antrum/Pilorus merupakan predileksi terjadinya lesi mukosa disebabkan kondisi ketahanan mukosa pada regio ini lebih lemah dibandingkab regio Fundus/Korpus. Hal ini disebabkan

secara fisiologi regio Antrum/Pilorus merupakan tempat penampungan terakhir dari isi lambung sebelum masuk ke duodenum. Kondisi ini akan berakibat struktur mukus tidak sebaik pada regio Fundus/Korpus ditambah lagi kondisi mukosa pada umumnya sudah mengalami peradangan kronik (Brzozowski dan Konturek etal. 2006, Laine dan Curtis etal. 2010). Reaksi topikal Aspirin pada mukosa lambung dapat diikuti dengan proses adaptasi atau berlanjut dengan reaksi sistemik berakibat menurunnya motilitas lambung (Wallace dan Webb etal. 1995). Berat ringannya keluhan ditentukan oleh perubahan yang terjadi dari kontur lambung dalam bentuk dilatasi. Dilatasi lambung akibat gangguan motilitas akan berakibat kontak Aspirin dengan mukosa Antrum/Pilorus akan lebih lama, sehingga reaksi yang terjadi akan lebih berat. Sel radang yang merupakan salah satu faktor pertahanan tubuh akan meningkat pada lapisan mukosa dan akan menginfiltrasi lapisan tersebut terutama pada daerah muskularis mukosa. Infiltrasi sel radang ini juga akan diikuti oleh edema jaringan sekitarnya, sehingga motilitas lambung akan lebih terganggu. Kelainan ini akan berakibat perubahan gangguan pengosongan lambung. Selanjutnya bila proses ini berjalan terus akan terjadi dilatasi lambung(souza dan Troncon etal. 2003, Serhan dan Brain etal. 2007). Gejala klinik dalam perasaan tidak nyaman pada daerah epigastrium disebabkan terutama oleh penurunan motilitas lambung. Dua hal utama yang akan memperberat lesi mukosa adalah penurunan motilitas sebagai komponen faktor defensif dan reaksi topikal dan sistemik dari Aspirin (Hall dan Tripp etal. 2006, Laine dan Curtis etal. 2010) 2.5. Peran mukus sebagai faktor defensif pada gastropati Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ Aspirin Lesi mukosa lambung akut akibat OAINS/Aspirin, disebabkan gangguan ke seimbangan faktor agresif dan faktor defensif. Patomekanisme terjadinya lesi dimulai dengan efek topikal OAINS/Aspirin dengan sel epitel mukosa lambung. Lapisan pre-epitel merupakan lapisan mukus sebagai pertahanan pertama yang sangat menentukan dalam terjadinya lesi mukosa lambung akut(atuma dan Strugala etal. 2001, Allen dan Flemstrom 2005).

Prostaglandin, terutama PGE2 dan prostasiklin mempunyai efek sitoprotektor pada epitel gastrointestinal. Hambatan sintesa Prostaglandin oleh OAINS/Aspirin bersifat sistemik akan berpengaruh terhadap penurunan produksi mukus oleh sel mukus leher mukosa gaster. Mukus akan menghambat difusi balik asam ke dalam epitel, kerusakan lapisan mukus akan mempermudah terjadinya lesi mukosa (Gudis dan Sakamoto 2005, Laine dan Takeuchi 2008).. Komponen lain yang akan memelihara ketahanan mukosa adalah epidermal growth factor (EGF) dan transforming growth factor alpha (TGF-alpha). Kedua peptida ini pada lambung akan meningkatkan produksi mukus dan menghambat produksi asam (Philipson dan Johanson 2008). Protein trefoil yang merupakan peptida disekresikan oleh sel mukus mukosa gaster dan intestin, akan menutupi bagian apical sel epitel. Peran protein ini pada integritas mukosa, penyembuhan lesi dan pembatasan proliferasi sel epitel. Fungsinya akan melindungi epitel dari pengaruh zat kimia toksik dan obat. Protein trefoil ini mempunyai efek restitusi pada perbaikan kerusakan epitel secara merata dan bergerak dari tepi luka untuk menutupi lesi yang ada (Madson dan Nielson etal. 2007). Zat lain yang berperan dalam integritas dan fungsi sawar mukosa adalah nitrik oksida (NO). Zat ini disintesa dari arginin melalui satu dari tiga jalur nitrik oksida sintase (NOS). Pada beberapa penelitian NO berperan mengurangi beratnya kerusakan mukosa atau pada hewan coba tikus akan mempercepat proses penyembuhan ulkus gaster pada pemberian donor NO. Peran NO terhadap mukus akan meningkatkan produksi mukus dan sekresi bikarbonat (Fiorucci dan Del Soldato 2003, Brzozowski dan Konturek etal. 2004, Souza dan Mota etal. 2008). Lesi mukosa lambung terjadi bila terdapat kegagalan perlindungan mukus terhadap epitel, sehingga akan terjadi efek topikal OAINS/Aspirin pada epitel, dan akan berakibat reaksi inflamasi disertai pelepasan mediator inflamasi yang merusak dinding epitel. Kondisi ini akan diperberat dengan pengaruh asam lambung yang akan mempermudah penetrasi OAINS/Aspirin kedalam epitel dan akan terperangkap didalamnya. Reaksi topikal ini akan terjadi dibeberapa tempat, terutama pada mukosa dengan gangguan lapisan mukus dalam bentuk ketebalan maupun kualitasnya. Regio Antrum/Pilorus merupakan lokasi yang sering

didapatkan lesi mukosa akibat OAINS/Aspirin(Derry dan Loke 2000, Hall dan Tripp etal. 2006, Ibrahim dan Mofleh etal. 2007). Regio ini merupakan penampungan isi lambung sebelum masuk ke duodenum. Kontak isi lambung dengan mukosa relatif lebih lama, sehingga akan terjadi perubahan secara histologik. Komposisi sel-sel pada regio ini tidak sebaik regio Fundus/Korpus, akibatnya pada daerah ini lebih sering didapatkan lesi mukosa akut akibat Aspirin. 2.6. Peran sel radang, sel parietal dan sel chief sebagai faktor agresif pada gastropati Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ Aspirin Obat Anti Inflamasi Non Steroid gastropati disebabkan oleh gangguan keseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensiv. Peran faktor agresif seperti sel radang, asam lambung yang diproduksi oleh sel parietal dan pepsin sebagai hasil perubahan pepsinogen yang di produksi oleh sel chief akan dapat meningkatkan kerusakan mukosa lambung. Dasar dari kelainan yang terjadi secara seluler maupun molekuler. Hambatan terhadap aktifitas enzim siklooksigenase, dan berlanjut dengan hambatan prostaglandin akan mempengaruhi aktifitas ketiga sel tersebut terhadap terjadinya lesi mukosa( Kaneko dan Matsui etal. 2007, Serhan dan Brain etal. 2007, Schubert dan Mitchell 2011). Proses peradangan merupakan komponen penting terhadap pertahanan mukosa dalam menangkal pengaruh eksogen maupun endogen. Respons inflamasi yang tidak seimbang akan berakibat lesi mukosa dan gangguan dalam proses perbaikan (Martin dan Wallace 2006). Aktifasi sel radang khususnya netrofil merupakan salah satu faktor yang berakibat terjadinya efek samping OAINS/Aspirin. Proses adhesi pada dinding pembuluh darah berakibat gangguan mikrosirkulasi pada mukosa, Bila terjadi ekstravasasi netrofil akan menimbulkan kerusakan mukosa melalui pembentukan oksigen radikal, nitrogen reaktif dan protease. Reaksi sel netrofil ini terbanyak pada lapisan mukosa sampai dengan sub-mukosa. Kerusakan dinding epitel disebabkan oleh lipid peroksidase yang akan mempengaruhi lemak tak jenuh pada dinding sel epitel melalui proses stres oksidatif, dan akan berakibat gangguan permeabilitas dinding sel (Yoshikawa dan Naito 2000, Souza dan Troncon etal. 2003, Kaneko dan Matsui etal. 2007).

Reaksi inflamasi akan disertai pelepasan mediator baik oleh sel epitel maupun oleh sel yang berada pada lamina propria misalnya sel mast, limfosit, neuron fibroblasts. IL 1β merupakan mediator yang kuat dalam menghambat produksi asam lambung dan meningkatkan inos dan Pg, dalam mengurangi terjadinya lesi mukosa (Souza dan Mota 2008). Mukosa gaster mempunyai dua regio fungsional : regio oxyntic dan regio pyloric. Regio oxyntic dimulai dari sfingter esofagus bawah dan berakhir pada area antropilorik. Terdapat beberapa tipe sel pada regio ini, yaitu sel parietal dan sel chief yang memproduksi pepsinogen (Salena dan Hunt 2005). Sel parietal memproduksi asam lambung yang merupakan faktor agresif yang berperan langsung atau sebagai kontributor terhadap terjadinya lesi mukosa (Schubert dan Mitchel 2011). Regulasi sekresi asam lambung dipengaruhi oleh hormon gastrin yang berfungsi meningkatkan jumlah sel parietal dan menstimulasi ekspresi pompa asam H,K,ATPase. Gastrin juga akan dibutuhkan dalam pematangan secara fungsional dan memelihara sel parietal (Bowen 2002, Yao dan Forte 2003, Forte dan Zhu 2010). Pada hewan coba tikus, lesi mukosa akibat OAINS/Aspirin akan berakibat meningkatnya aliran balik asam ke dalam epitel, sehingga untuk menjaga konsentrasi asam dalam lumen sel parietal akan berproliferasi sejalan dengan peningkatan sekresi asam. Pengaruh OAINS/Aspirin terhadap sekresi asam lambung Aspirin dan Indometasin tidak berpengaruh sedangkan piroksikam mempunyai efek bifasik, pada konsentrasi rendah akan meningkatkan pengaruh histamin dalam sekresi asam melalui jalur tidak tergantung camp, sedangkan konsentrasi tinggi akan menurunkan pembentukan asam. Hambatan pembentukan asam oleh OAINS/Aspirin didapatkan pada diclofenac (Gretzer dan Maricic etal. 2001, Salvatella dan Rossi etal. 2004). Sel chief memproduksi pepsinogen, dengan pengaruh asam lambung dengan ph rendah akan berubah menjadi pepsin. Pepsin merupakan enzim protease yang penting pada mamalia dewasa. Bentuk aktif dari pepsinogen adalah pepsin pada ph 1,8 sampai 3,5. Secara aktif berubah menjadi pepsinogen pada ph 5, dan tidak aktif permanent pada ph 7 sampai 8. Sekresi pepsinogen sejalan dengan sekresi asam, pada peningkatan siklik AMP intraseluler seperti sekretin, VIP dan epinefrin. Pepsin merupakan enzim proteolitik, sehingga bila terbentuk

pepsin dalam jumlah yang banyak akan meningkatkan faktor agresor terhadap mukosa lambung. Infiltrasi sel radang pada mukosa lambung disertai penurunan ph cairan lambung akibat meningkatnya jumlah sel parietal, dan aktifasi pepsinogen menjadi pepsin yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel chief. Peningkatan faktor agresor merupakan kontributor dalam terjadinya lesi mukosa lambung(bowen 2002, Schubert dan Mitchell 2011) 2.7. Peran isoenzim Cyclooxygenase (COX-1 dan COX-2) pada Gastropati Obat Anti Inflamasi Non SteroidAspirin Isoenzim siklooksigenase satu dan dua (COX-1 dan COX-2) merupakan mediator efek samping sistemik dari OAINS/Aspirin. Hambatan terhadap kedua isoenzim ini akan berakibat menurunnya produksi prostaglandin(pg). Prostaglandin sebagai salah satu komponen utama dalam faktor defensif mempunyai peranan penting dalam terjadinya lesi mukosa lambung akibat OAINS/Aspirin ( Gudis dan Sakamoto 2005, Hall dan Tripp etal. 2006, Rouzer dan Lawrence 2009). Peran fisiologi Pg terdiri dari proteksi traktus gastrointestinalis, homeostasis renal (PgE2 dan PgI2), homeostasis vaskuler (PgI2 dan tromboksan TXA2), fungsi uterus (PgF2α), pengaturan siklus tidur (PgD2) dan suhu tubuh (PgE2). Lokasi COX-1 terdapat pada semua jaringan terutama pada saluran cerna, sedangkan COX-2 didapatkan pada ginjal, testis dan sel epitel trakhea, hanya sebagian kecil pada usus halus(serono 2006). Isoenzim COX-1 dan COX-2 mempunyai sifat yang berbeda, disebabkan dikode oleh gen yang berbeda. COX-1 terdapat pada jaringan yang normal, sedangkan COX-2 pada kondisi normal tidak dapat dideteksi dan meningkat dengan nyata pada proses inflamasi (Brzozowski dan Konturek etal. 2001, Carol dan Rouzer etal. 2009). Pemeliharaan terhadap integritas mukosa gaster adalah akibat keseimbangan kerja enzim COX-1 dan COX-2 (Peskar 2005). Anatomi regio lambung menentukan konsentrasi COX pada masing masing regio dan dihubungkan dengan mudahnya terjadi lesi pada daerah tersebut. Pengetahuan tentang distribusi dan ekspresi COX-1 dan COX-2 akan menentukan kelainan patologik dalam bentuk efek samping, dalam menetapkan

tingkat keamanan atau faktor risiko bagi obat2 baru sebelum dipakai didalam pengobatan (Iseki 1995, Haworth dan Oakley etal. 2005). Pemeriksaan imunohistokimia COX-1 terkuat pada sel mukus Fundus/Korpus lambung, sedangkan reaksi lemah didapatkan pada sel mukus Kardia, Antrum/Pilorus dan kelenjat Brunner pada duodenum. COX-2 terdapat pada sel mukus pada daerah FundusKorpus dan Antrum/Pilorus (Rouzer dan Lawrence 2009). Hasil ini menggambarkan bahwa konsentrasi keseimbangan kedua jenis COX, akan berhubungan dengan produksi prostaglandin sebagai faktor utama dalam ketahanan mukosa lambung. Ekspresi kedua COX didapatkan berbeda pada sel mukus tergantung pada lokasi di dalam lambung. COX-1 sebagai faktor konstitutif berfungsi dalam produksi mukus. Jumlah yang berbeda pada regio lambung, akan menggambarkan perbedaan dalam ketahanan mukosa. Ketahanan mukosa regio Fundus/Korpus lebih baik dibandingkan regio Antrum/Pilorus. Hal ini dihubungkan dengan anatomi dan histologi dalam bentuk produksi mukus dan bikarbonat, ekspresi COX-1 pada regio tersebut. Distribusi isoenzim ini dapat diketahui pada jaringan biopsi gaster dengan pemeriksaan imunohistokimia antibodi monoklonal COX-1 dan COX-2. Ekspresi COX-1 terlihat nyata pada epitel, sel mononuklear pada lamina propria dan kelenjar gaster, sedangkan ekspresi COX-2 terdapat pada epitel, kelenjar gaster dalam dan ekspresi fokal pada mononuklear pada lamina propria. Perbedaan ekspresi dari COX-1 dan COX-2 pada mukosa lambung sebagai dasar bahwa enzim COX-1 sebagai enzim utama yang terdapat pada sel epitel normal sedangkan COX-2 berperan dalam proses inflamasi. Proses inflamasi merupakan mekanisme pertahanan tubuh, dan akan berkembang menjadi faktor agresor bila proses yang terjadi tidak terkendali dengan pelepasan mediator inflamasi yang akan memperberat lesi mukosa lambung (Bhandari dan Bateman etal. 2005). Mukosa lambung yang mengalami iskemia dan reperfusi akan meningkatkan konsentrasi COX-2 dan bukan COX-1 mrna. Prostaglandin endogen yang dihasilkan melalui COX-2 berpengaruh penting dalam ketahanan mukosa selama terjadinya iskemia dan reperfusi dengan aktifasi reseptor oleh PgI2. Hambatan COX 2 akan meningkatkan proses iskemia dan reperfusi, berakibat terjadinya lesi mukosa menjadi 4 kali lebih besar. Efek ini akan berkurang bila diberi 16,16

dimetil PGE2(Kotani 2006). Pengaruh Aspirin terhadap COX-2 dengan proses asetilasi COX-2 dan menghasilkan asam 15(R)-hydroxy-eicosatetranoic yang di metabolisme lebih lanjut menjadi 15(R)-epi-LXA4 merupakan anti inflamasi yang kuat. Dua reaksi ini akan mengganggu ketahanan mukosa dan akan meningkatkan terjadinya lesi mukosa (Kotani dan Kobata etal. 2006, Lichtenberger dan Romero etal. 2007). Hambatan selektif terhadap COX-1 tidak akan meyebabkan kerusakan mukosa gaster pada hewan coba, meskipun hambatan pembentukan Prostaglandin mendekati maksimal. Hal ini menunjukkan bahwa peran COX-1 untuk ketahanan mukosa bukan satu-satunya komponen, akan tetapi ada komponen lain yaitu nitrikoksida. Nitrikoksida yang dilepaskan dari endotel vaskuler, sel epitel traktus gastrointestinalis dan saraf sensorik, dapat mempengaruhi komponen pertahanan mukosa seperti prostaglandin (Gretzer dan Maricic etal. 2001, Tanaka dan Araki etal. 2002, Brozozowski dan Konturek etal. 2008) Hambatan selektif terhadap COX-2 akan menurunkan lipoxin sebagai mediator lipid, berfungsi mencegah terjadinya lesi mukosa lambung. Mekanisme lipoxin ini akan memodulasi proses inflamasi mukosa lambung (Brozozowski dan Konturek etal. 2008). Pada ulkus eksperimental terlihat ekspresi COX-2 bertambah, hambatan terhadap COX-2 berakibat lambatnya penyembuhan ulkus, karena berkurangnya proliferasi sel epitel, angiogenesis dan pematangan jaringan granulasi. Pemeriksan konsentrasi COX pada sel akan dapat diketahui berdasarkan intensitas warna yang terbentuk pada pemeriksaan imunohistokmia yang mana sel yang banyak mengandung COX-1 maupun COX-2 akan lebih nyata dengan gambaran intensitas warna lebih jelas. COX-1 terdapat pada lambung normal dan daerah ulkus, sedangkan COX-2 tidak terdapat pada lambung normal dan tampak jelas pada daerah ulkus (Bhandari dan Bateman etal. 2005). Penentuan ekspresi COX-1 maupun COX-2 bukan hanya sebagai gambaran terhadap produksi prostaglandin tapi juga akan dapat menggambarkan komponen lain yang berfungsi sebagai ketahanan mukosa dalam hal ini nitrikoksida dan lipoxin.