MEDIA INFORMASI PENELITIAN No. 180, Th. Ke 28 OKTOBER - DESEMBER 2004 Kehidupan Para Gelandangan di Yogyakarta Ditinjau dari Mobilitas Sosial Ekonomi oleh Salamah* Intisari Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mendeskripsikan tentang mobilitas sosial ekonomi dan faktor yang melatarbelakangi kaum gelandangan melakukan urbanisasi di Yogyakarta. Sampel ditentukan dengan cara availibility sedangkan analisis data menggunakan deskriptif kualitatif dan persentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mobilitas sosial ekonomi kaum gelandangan di Yogyakarta mengalami perubahan ke arah peningkatan, para kaum gelandangan dapat menyisihkan hasil kerjanya untuk dikirim kepada keluarga yang di desa yang dapat memenuhi kebutuhannya, yang melatarbelakangi para gelandangan urban ke kota didorong oleh faktor ekonomi. Rekomendasi yang diajukan perlu lebih ditingkatkan penanganannya agar para gelandangan dapat menjadi bagian sumber daya dalam pembangunan. A. Latar Belakang Masalah Urbanisasi merupakan proses sosial yang memiliki dampak ganda, yakni dampak positif dan negatif, mempunyai dampak positif karena ternyata proses sosial semacam ini mampu memberikan angin kehidupan yang lebih baik bagi kaum migran, mengembangkan perekonomian kota dan mampu menyediakan tenaga kerja (Everett, 1979). Di samping itu proses urbanisasi sesungguhnya selaras dengan adanya kondisi kehidupan ekonomi yang relatif minimal di daerah pedesaan. Sehingga banyak penduduk desa yang pergi ke kota untuk memperbaiki kondisi ekonominya dengan jalan mencari pekerjaan lain di luar sektor pertanian guna mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Gejala demikian menimbulkan fenomena yaitu banyaknya migran yang mengirim penghasilannya ke daerah pedesaan atau daerah asal. Di samping dampak positif di atas, urbanisasi juga punya dampak negatif antara lain meningkatnya penduduk pedesaan yang datang ke kota sehingga terjadi urbanisasi berlebihan. Konsekuensi logis dari gejala ini adalah munculnya berbagai problem sosial di daerah perkotaan yang disebabkan oleh kehadiran kaum pendatang dengan karakteristik sosialekonomi rendah. Ketidakberdayaan kondisi ekonomi kaum ini pada gilirannya melahirkan sebuah fenomena sosial yang banyak mendapat perhatian, baik dari kalangan pemerintah maupun akademisi. Fenomena sosial yang tampak adalah munculnya komunitas tertentu yakni pemukiman kumuh, perkampungan melarat dan kaum gelandangan (De Guede : 1995). Fenomena semacam ini terdapat di kota-kota besar yaitu Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, tidak terkecuali juga kota Yogyakarta. Munculnya fenomena gelandangan di daerah perkotaan selanjutnya dinilai oleh banyak pihak telah memberikan kesan negatif yakni: kesan yang kumuh, kotor, serta merusak pemandangan kota. Di samping itu, kehadiran kaum ini dianggapnya sebagai pusat pengangguran, rawan terhadap kriminalitas yaitu pencurian, penjambretan, perjudian, mabuk-mabukan, dan pelacuran. Bahkan, sentral-sentral gelandangan selalu dalam pengawasan pihak keamanan khususnya pihak kepolisian, karena disinyalir daerah ini sarat
akan perilaku kejahatan. Sesungguhnya pihak pemerintah kota telah melakukan berbagai upaya penampungan pemberian keterampilan, tapi tetap saja para gelandangan masih menghiasi sudut-sudut kota bahkan malah semakin bertambah. Berkaitan dengan permasalahan tersebut maka untuk memperoleh gambaran penjelasan secara empiris perlu dilakukan suatu penelitian tentang keuntungan-keuntungan sosial ekonomik apa yang diperoleh selama berada di kota bagi para gelandangan dan faktor-faktor apa yang berperan. B. Rumusan Masalah 1. Apakah kaum gelandangan mengalami mobilitas sosial dan ekonomi? 2. Faktor apa sajakah yang mendasari para kaum gelandangan pergi ke daerah perkotaan? C. Tujuan Penelitian 1. Mendiskripsikan tentang mobiltas sosial ekonomi kehidupan para gelandangan. 2. Mendiskripsikan faktor-faktor yang melatarbelakangi kaum gelandangan melakukan urbanisasi. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi informasi yang berarti. Dalam pengembangan ilmu sosiologi, dan dapat memberikan kontribusi kepada Departemen Sosial dan pihak terkait dalam upaya menangani masalah gelandangan yang senantiasa muncul di daerah perkotaan, khususnya di Yogyakarta. E. Kajian Pustaka Asumsi-asumsi yang mendasari penelitian dilakukan berdasar kajian teori maupun hasil penelitian adalah adanya perbedaan secara ekonomik antara desa dan kota, adanya kaum migran yang tergolong miskin di daerah perkotaan mempunyai jiwa menabung yang tinggi hal ini sangat menarik, adanya gejala peningkatan penghasilan para migran di kota dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh di pedesaan, terdapat berbagai jenis pekerjaan di sektor informal yang dapat dijadikan alternatif pengganti pekerjaan di desa. Berdasar asumsi-asumsi tersebut tampak bahwa faktor ekonomi merupakan faktor yang paling dominan dalam proses migrasi desa ke kota, dalam arti gejala disparitas ekonomi yang terjadi di desa dan kota serta minimalnya akses dalam kegiatan ekonomi di desa karena kondisi struktural menyebabkan munculnya anggapan bahwa di desa sudah tidak mampu memberikan keuntungan ekonomik lagi. Sedangkan di kota dianggap banyak menawarkan berbagai kemudahan ekonomi sehingga dapat memperoleh penghasilan yang lebih tinggi. Menurut Everett Lee (1996) ada empat faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi desa ke kota yaitu : faktor yang terdapat di daerah asal, faktor yang terdapat di tempat tujuan, faktor rintangan dan faktor pribadi. Sedangkan Ravenstain dalam Everett Lee (1996) ada tujuh hukum migrasi {the laws of migration) yang meliputi migrasi dan jarak, migrasi bertahap, arus balik, perbedaan desa dan kota tentang kecenderungan untuk melakukan migrasi, jenis kelamin dikaitkan dengan jarak daerah tujuan migrasi, teknologi dan migrasi, serta motivasi orang melakukan migrasi. Keputusan yang diambil seorang untuk melakukan migrasi desa ke kota sesungguhnya bersifat rasional. Pertimbangan ekonomi rasional adalah faktor yang dominan bagi seseorang untuk melakukan migrasi ke kota (Michael Todaro, 1999). Meskipun di daerah perkotaan pengangguran banyak didapati, tetapi seseorang masih mempunyai peluang untuk mendapatkan penghasilan yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan upah yang diterima di sektor pertanian. Dengan demikian jelaslah bahwa faktor pendorongnya adalah mudahnya penghasilan yang diperoleh di desa dan faktor penariknya adalah harapan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi di kota. Urbanisasi desa ke kota ternyata dapat menciptakan adanya interaksi ekonomi desa kota. Efek migrasi dapat terjadi pada aspek sosial ekonomi melalui pengiriman uang dan barang ke desa. Seperti diungkap oleh Papanik (1992) walaupun para migran golongan rendah kehidupannya miskin tetapi tetap bernasib lebih baik dibandingkan ketika mereka hidup di daerah pedesaan. Pendapatan mereka di perkirakan meningkat dua pertiga kali jika dibandingkan penghasilan yang diperoleh di desa. Walaupun penghasilan di kota rendah dia tetap mampu menyisihkan sebagian dari pendapatan yang diperoleh untuk ditabung. Mengalirnya arus pengiriman uang penghasilan ke desa sesungguhnya berhubungan erat dengan adanya ikatan-ikatan sosial, ekonomi bahkan kebudayaan. Kecenderungan para migran tetap memelihara ikatan-ikatan sosial, ekonomi, budaya yang kuat dengan daerah asalnya (Curson, 1999). Ikatan tersebut dapat terlihat adanya kiriman uang, barang atau bentuk lain antara migran dengan keluarganya di daerah asal. Tujuan migran mengirimkan uang atau yang lain adalah untuk membantu keluarga di desa, untuk keperluan upacara, untuk membayar pajak, hutang, keperluan investasi, untuk biaya perjalanan bagi keluarga yang akan menyusul. Bagi keluarga, kiriman tersebut banyak memberikan keuntungan yang positif, karena uang atau benda yang lain dapat digunakan untuk keperluan pokok rumah tangga, membantu sanak keluarga terdekat, pendidikan anakanak, pembuatan rumah. Seperti dikemukakan Watson (1997), efek dari pengiriman secara sosial dan interaksi yang dipelihara baik bagi individu ataupun anggota keluarga yang lain untuk menyusul ke kota. Dalam pola pengirimannya ada dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Cara langsung para migran membawa sendiri uang dan atau barang ke desa, sedang cara tidak langsung melibatkan pihak lain yaitu menggunakan pos wesel, bank, dititipkan keluarga lain yang dipercaya. F. Metode Peneljtian 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan ini mengunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang tujuan utamanya untuk memberikan deskripsi/gambaran yang jelas dan akurat tentang fenomena-fenomena yang diselidiki, yaitu gambaran tentang mobilitas sosial ekonomi para gelandangan dan faktorfaktor yang melatarbelakangi melakukan urbanisasi bagi para gelandangan di Yogyakarta. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di wilayah kota Yogyakarta. Dipilihnya lokasi dimaksud didasarkan pertimbangan bahwa kota Yogyakarta termasuk kota besar, kota pelajar sehingga permasalahan kebersihan dan kesejahteraan sosial perlu mendapat perhatian. 3. Sumber Data Sumber data penelitian ini diperoleh dari informan yaitu para gelandangan (responden yang berjumlah 150 orang) baik yang ada sentra-sentra gelandangan maupun gelandangan yang telah menggelandang secara sendiri. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah teknik availibility sampling yang merupakan bagian dari teknik penarikan sampel non-random. Metode penarikan sampel ini lebih mengandalkan pada kesediaan atau kesukarelaan pihak responden pihak responden untuk diwawancarai oleh
interview 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan teknik wawancara mendalam (Indepth Interview) wawancara langsung menggunakan lembar wawancara, guna menggali dan memperoleh data primer. Di samping itu, dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi, melalui pengamatan dan pencatatan gejala obyek yang tengah diteliti. 5. Analisis dan Penafsiran Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif berupa penjelasan-penjelasan yang selanjutnya dilakukan interpretasi baik secara internal maupun eksternal. Di samping itu, juga dilakukan analisis persentase. G. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Karakterlstik Demografis dan Sosial Ekonomi Kaum Gelandangan Secara etimologis kata gelandangan berasal dari kata gelandangan yang berarti selalu mengembara atau berkelana. Oleh sebab itu, gelandangan selalu dilukiskan sebagai orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal, tidak memiliki perkerjaan yang tetap dan layak. Di sisi lain dilukiskan, bahwa gelandangan sebagai bagian dari masyarakat kota yang tergolong miskin memiliki berbagai ciri seperti pemalas, tidak memiliki pekerjaan tetap, bahkan tidak bekerja, tidak berpendidikan atau tingkat pendidikan yang rendah, tidak memiliki keterampilan khusus, dan orang malas. Namun demikian tidak selelu benar stereotipe di atas, sebab ternyata banyak yang memiliki pekerjaan tetap, bekerja keras, dan tidak malas. Hasil penelitian yang dilakukan di kota Yogyakarta ternyata menunjukkan bahwa mereka pada umumnya memiliki pekerjaan. Pada bidang pekerjaan pengumpul barang bekas (35,25 %), pekerjaan tukang becak, tukang batu dan tukang parkir (44%), pengemis, semir sepatu, pembersih sampan (6,50%), pengamen (4,5%), wiraswastakecilkecilan (9,75%). Para gelandangan sebagian besar berpendidikan rendah, (meliputi tidak sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD). Sedang yang berpendidikan menengah yaitu SMP dan SMA hanya sekitar 30%. Tidak semua memiliki keterampilan khusus, tetapi ada 65% responden yang memiliki keterampilan khusus. Berdasar hasil penelitian menunjukkan pula bahwa kondisi ekonomi kaum gelandangan ketika berada di desa tergolong rendah, mereka tidak memiliki barangbarang berarti, seperti televisi, sepeda, sepeda motor. Mereka banyak yang sebagai buruh tani. Kondisi ekonomi yang dirasakan minimal untuk menghidupi keluarga di desa tersebut kemudian yang menyebabkan mereka pergi ke kota. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan responden menunjukkan, bahwa pada umumnya kaum gelandangan yang ada di Yogyakarta, telah menikah (64,67%), belum menikah (23,33%), cerai mati (6%), cerai hidup (3 %) yang pisah sebanyak (3%). Dengan demikian terlihat bahwa mayoritas gelandangan telah berkeluarga dan sebagian hampir keseluruhan anggota tinggal di daerah pedesaan. Pada dasarnya gelandangan yang sebagian besar adalah kaum migran mengalami peningkatan penghasilan. Dari hasil penelitian yang dilakukan mereka yang mengalami peningkatan penghasilan sebanyak 106 (70,67%) responden, 29 (19,33%) responden penghasilannya tetap, bahkan ada 15 (10%) responden justru menurun. Dengan demikian terlihat bahwa dengan bermigrasi ke kotapenghasilan mereka meningkat dan mereka
mampu untuk memberikan tambahan penghasilan bagi keluarga di desa. 2. Kegiatan Menabung para Gelandangan Penghasilan yang mereka peroleh setiap bulan pada umumnya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti arisan, tambahan modal, untuk kebutuhan makan-minum, mereka hanya menghabiskan 50% dari total penghasilannya. Satu kelebihan dari mereka dalam kesehariaanya ternyata mampu mengembangkan sikap hidup hemat. Artinya berapa pun penghasilan mereka harus ada uang yang disisihkan (ditabung) untuk selanjutnya dikirim ke desa. Mereka mampu untuk mengatur pengeluaran dan pemasukan dengan satu prinsip bahwa harus ada uang yang disisihkan. Alasannya untuk menambah penghasilan bagi keluarga yang ada di desa, untuk simpanan jika ada keperluan mendadak serta untuk masa depan pendidikan anak. 3. Model Pengiriman Hasil Tabungan Berdasar hasil penelitian, bahwa kaum gelandangan sebagai urban ternyata mampu menyisihkan uang untuk ditabung dan dikirimkan kepada keluarga yang ada di desa. Model pengirimannya ada yang secara langsung dibawa sendiri oleh migran tersebut, biasanya setiap bulan dan terkadang tiap minggu, atau apabila ada keperluan mendadak. Biasanya para migran mengirim berupa uang dengan alasan lebih efektif ketimbang barang. Walaupun ada juga yang membawa barang antara lain alat elektronik, perhiasan ataupun perabot rumah tangga, tetapi hal ini dikirim.karena di rumah belum punya. Model pengiriman secara langsung ke desanya oleh kaum gelandangan itu sendiri wajar karena mereka sebagian besar sudah berkeluarga, sehingga sekaligus dapat bertemu dengan keluarganya. Lebih lanjut uang yang telah dikirimkan ke desa untuk dipergunakan keperluan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, modal usaha, pendidikan anak, tambahan membeli sawah, bertani, ataupun ada yang disimpan.dengan demikian faktor-faktor para gelandangan berada di kota untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan meningkatnya penghasilan setelah berada di kota. Hal demikian menyebabkan pula bahwa faktor ekonomi sebagian besar para gelandangan yang mendorong bermigrasi ke kota. H. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa gelandangan yang ada di Yogyakarta memiliki karakteritik berusia relatif muda (usia produktif) sudah berkeluarga sehingga sudah punya tanggungan keluarga, berpendidikan rendah, kurang memiliki keterampilan, dan berasal dari pedesaan. Kondisi sosial ekonomi ketika di daerah pedesaan tergolong dalam keadaan ekonomi rendah sehingga mereka termotivasi untuk pergi ke kota guna mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Pada umumnya, ketika bermigrasi ke kota, mereka meningkat penghasilannya. Mereka mengembangkan sikap hidup hemat sehingga dapat menabung untuk keluarga di desa. Modal pengirimannnya dengan cara langsung pulang ke daerah asal dengan alasan dapat menjalin ikatan sosial dengan keluarganya tidak hanya ikatan ekonomik semata. Uang yang dikirim para migran gelandangan ke daerah asal untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bagi keluarganya. 2. Rekomendasi Bagi lembaga-lembaga terkait, misalnya Departemen Sosial atau Dinas-dinas Sosial Kota, dalam penanganan kaum gelandangan perlu ditingkatkan. Peningkatan penanganan
khususnya pada pengembangan aspek positif migran (seperti hidup hemat dan kerja keras), tetapi di lain pihak juga menghilangkan aspek negatif migran (seperti mengganggu ketertiban dan kebersihan lingkungan kota). Suatu hal yang sangat diperlukan bagi migram gelandangan perlunya disediakan penampungan tempat tinggal yang tidak jauh dengan tempat mereka bekerja, juga bekal keterampilan khusus yang dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja di kota. Pemenuhan kebutuhan pokok tersebut akan menghapus kesan bahwa migran gelandangan menjadi beban masyarakat, tetapi justru sebaliknya, migran yang dapat memiliki hubungan fungsional dengan penduduk perkotaan, sehingga mereka dapat bagian dari sumber daya dalam pembangunan bangsa. Dr. Salamah, MPd, dosen Kopertis Wilayah V, DIY, diperbantukan di Universitas PGRI Yogyakarta. Pustaka Acuan Curson, Peter, 1999. Remmitances and Migration the Commerce of Movement dalam Population Geography. A Jurnal of Association of Population Geography of India, Volume 3 June -December 1999. Lee Everett, 1989. A Theory of Migration. University of Kentucky, Lexington. Schoor, J.W, 1995. Modernisasi : Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang. Gramedia, Jakarta. Singarimbun Masri, 1997. Metode Penelitian Survey. LP3S, Jakarta. Todaro, Michael, 1989. Economic For Development World: an Introduction to Principle Problem and Politics for Development. Longman, London.