BAB 3 METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan suatu pra eksperimental dengan tipe pre dan post

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler. mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk penelitian ilmu penyakit dalam yang menitikberatkan pada

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN. Jenis penelitian adalah eksperimental dengan rancangan pre and post

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah analitis.

Naskah Penjelasan kepada Peserta Penelitian

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Neurologi dan Imunologi.

BAB IV METODE PENELITIAN. Onkologi dan Bedah digestif; serta Ilmu Penyakit Dalam. Penelitian dilaksanakan di Instalasi Rekam Medik RSUP Dr.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Biokimia dan Geriatri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Patologi Klinik.

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional

BAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA)

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam pembuatan karya ilmiah adalah. Waktu penelitian dimulai dari bulan Maret 2009

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Gigi dan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian pra-eksperimental dengan pendekatan one

BAB IV METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan belah lintang (crosssectional)

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Biokimia, dan Geriatri.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik-komparatif,

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. pendekatan pengambilan data cross-sectional. Adapun sumber data yang. dengan kriteria inklusi dan eksklusi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Faktor-faktor yang mempengaruhi Phlebotomy. 2. Tempat phlebotomy yang dilakukan.

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Analitik, mengingat

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Bidang Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Kesehatan Anak. Penelitian akan dilakukan di Bangsal Anak RSUP Dr. Kariadi Semarang.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Biokimia, Geriatri, Farmakologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Ilmu Kesehatan Anak, imunologi, dan mikrobiologi RSUP dr.kariadi Semarang

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di SMF Ilmu Kesehatan Anak Sub Bagian Perinatologi dan. Nefrologi RSUP dr.kariadi/fk Undip Semarang.

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Anak, khususnya

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif.. Tempat pengambilan sampel dan pemeriksaan sampel di Laboratorium

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu Patologi Klinik.

BAB IV METODE PENELITIAN. dan Penyakit Kandungan dan Ilmu Patologi Klinik. Penelitian telah dilaksanakan di bagian Instalasi Rekam Medis RSUP Dr.

BAB 3 METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah merupakan penelitian analitik observasional dengan

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Bagian Ilmu Kesehatan Anak, khususnya

BAB I PENDAHULUAN. pemeriksaan hematologi. Pemeriksaan hematologi meliputi kadar hemoglobin,

III. METODE PENELITIAN. desain cross sectional study, yaitu peneliti mempelajari hubungan antara

BAB IV METODE PENELITIAN. Ngablak Kabupaten Magelang dari bulan Maret 2013.

BAB III METODE PENELITIAN

ABSTRAK. Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

1 Universitas Kristen Maranatha

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

Indek Eritrosit (MCV, MCH, & MCHC)

III. METODOLOGI PENELITIAN. one group design. Desain ini melibatkan satu kelompok dengan

BAB III METODE PENELITIAN

3 BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 3 METODA PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Syaraf. RSUP Dr. Kariadi Semarang pada periode Desember 2006 Juli 2007

BAB IV METODE PENELITIAN. Penyakit Dalam sub bagian Infeksi Tropis. Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi Semarang mulai 1

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah Analitik. Waktu penelitian dilakukan bulan Maret sampai April 2008.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan di Desa Srigading Kecamatan Ngablak

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Penyakit Saraf dan Ilmu Penyakit

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. khususnya subbagian Perinatologi. Penelitian ini dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP/ RS

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan dengan cara pendekatan, observasi, pengumpulan data dan faktor resiko

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah neurologi dan psikiatri.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ginjal-Hipertensi, dan sub bagian Tropik Infeksi. RSUP Dr.Kariadi, Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr.

BAB III METODE PENELITIAN. pemeriksaan di Unit Transfusi Darah Cabang Palang Merah Indonesia

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinik dengan desain Randomized

BAB 4 METODE PENELITIAN. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut:

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. - Tempat : RW X Kelurahan Padangsari, Banyumanik, Semarang, Jawa

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Dilaksanakan pada bulan Maret Juni 2015 di klinik VCT RSUP Dr.

PGK dengan HD IDWG BIA PHASE ANGLE

BAB 4 METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan Randomized control

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V PEMBAHASAN. yang telah memenuhi jumlah minimal sampel sebanyak Derajat klinis dibagi menjadi 4 kategori.

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dari penelitian adalah mencakup bidang Ilmu

BAB III METODE PENELITIAN. dengan pre test and post test with control group design untuk mengetahui

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan penelitian ini mencakup bidang Ilmu Patologi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. menitikberatkan pada prevalensi terjadinya DM pada pasien TB di RSUP

Universitas Riau Telp. (0761) 31162, Fax (859258)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Semakin tingginya tingkat pendidikan, kesejahteraan masyarakat, dan

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan metode pre and post

BAB III METODE PENELITIAN. mengumpulkan data pada sebuah penelitian (Mukhtar et al., 2011). Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Central RSUP Dr. Kariadi

RINGKASAN. Penyakit hati kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk

BAB III METODE PENELITIAN

Transkripsi:

24 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian design. Penelitian ini merupakan suatu pra eksperimental dengan tipe pre dan post 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2.1 Waktu Penelitian Rancangan penelitian dimulai bulan November 2015 dan pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan April 2016 hingga Desember 2016 di Poliklinik Divisi Kusta SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan. 3.2.2 Tempat Penelitian 1. Pengambilan sampel dan pengisian status penelitian dilakukan di Poliklinik Divisi Kusta SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan. 2. Pengambilan dan pemeriksaan sampel darah pasien kusta yang berobat ke Poliklinik Divisi Kusta SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia Jalan Letjend. S. Parman No. 17/223G Medan untuk pemeriksaan kadar hemoglobin, MCV, MCHC, dan hitung retikulosit. 24

25 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Target Pasien kusta di RSUP Haji Adam Malik Medan. 3.3.2 Populasi Terjangkau Pasien kusta baru yang berobat ke Poliklinik Divisi Kusta SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan April 2016 hingga Desember 2016. 3.3.3 Sampel Penelitian Sampel penelitian adalah bagian populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria inklusi Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: a. Pasien kusta baru yang didiagnosis dengan kusta tipe PB dan MB b. Pasien kusta baru berusia diatas 15 tahun c. Pasien yang telah menandatangani informed consent 3.4.2 Kriteria eksklusi Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah: a. Pasien kusta yang sedang hamil atau menyusui b. Pasien kusta yang berhenti minum obat kusta c. Pasien kusta yang disertai penyakit kronis seperti gangguan hati, gangguan ginjal, dan keganasan

26 3.5 Besar Sampel Besar sampel diperoleh dengan perhitungan rumus sebagai berikut: Dimana: 2 n Z (1 / 2) 0 Z a 2 (1 ) 2 n = besar sampel minimal Z = deviat baku alpha. Untuk = 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96 ( 1 / 2) Z = deviat baku beta. Untuk = 0,15 maka nilai baku normalnya 1,036 ( 1 ) = standar deviasi kadar hb sebelum terapi pada penderita kusta: 0,6 (41) 0 a = beda rerata yang bermakna, ditetapkan sebesar 0,5 Maka: n 1,96 1,036 0,6 0,5 2 = 0,36x8,976 = 12,9 13 sampel 0,25 Jumlah sampel minimal penderita kusta yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 13 orang. 3.6 Cara Pengambilan Sampel Penelitian sampling. Pada penelitian ini dilakukan pengambilan sampel secara consecutive 3.7 Identifikasi Variabel 3.7.1 Variabel bebas : MDT 3.7.2 Variabel terikat : kadar hemoglobin, MCV, MCHC, dan hitung retikulosit

27 3.8 Alat, Bahan dan Cara Kerja Penelitian 3.8.1 Alat dan Bahan a. Status penelitian diisi oleh peneliti berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan dermatologis terhadap subyek penelitian. b. Sysmex pouch K800 dengan metode fotometri untuk mengukur kadar hemoglobin, MCV, MCHC, dan hitung retikulosit. c. Impedance untuk menghitung sel darah berdasarkan perubahan arus listrik. Besarnya amplitudo masing-masing pulsa sebanding dengan volume partikel yang dideteksi. d. Fotometri untuk mengukur konsentrasi hemoglobin berdasarkan intensitas warna yang diserap (cyanmethemoglobin). e. Tabung vacuitaner yang berisikan antikoagulan EDTA. f. Spuit 10 cc untuk pengambilan darah. Untuk pengambilan masing-masing sampel darah dibutuhkan satu pasang sarung tangan, satu buah alat ikat pembendungan (torniquet), satu buah needle (jarum), satu buah tabung yang berisi Ethylenediaminetetraacetid acid (EDTA), kapas alkohol (alcohol swab) 70%, dan satu buah plester luka. 3.8.2 Cara Kerja Penelitian a. Pencatatan Data Dasar 1) Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di Poliklinik Divisi Kusta SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan meliputi identitas pasien, anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan dermatologis dan pemeriksaan saraf.

28 2) Diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan tanda kardinal kusta dan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) oleh peneliti bersama dengan pembimbing di Poliklinik Divisi Kusta SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan. Pasien didiagnosis kusta jika memenuhi setidaknya satu dari tiga tanda kardinal. 4 3) Kusta kemudian dikategorikan menurut tipe kusta dengan menggunakan klasifikasi WHO yakni tipe PB dan MB. 4) Pasien kusta yang telah diberi informed consent, bersedia dan sudah menandatangani lembar kesediaan untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian, diwawancara untuk mengisi status penelitian. b. Pengolahan Sampel Darah 1) Pengambilan sampel darah pasien kusta yang berobat ke Poliklinik Divisi Kusta SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia Jalan Letjend. S. Parman No. 17/223G Medan. Cara pengambilan sampel darah adalah sebagai berikut: gunakan sarung tangan, lalu pilih tangan yang banyak melakukan aktivitas. Lokasi penusukan harus bebas dari luka atau sikatrik. Pasang tourniquet pada lengan atas dan pasien diminta untuk mengepal dan membuka telapak tangan berulang kali agar vena jelas terlihat. Darah diambil dari vena mediana cubiti pada lipat siku. Lokasi penusukan didesinfeksi dengan kapas alkohol 70% dengan cara berputar dari dalam ke luar. Vena mediana cubiti ditusuk dengan posisi sudut 45 0 dengan jarum menghadap ke atas. Darah dibiarkan mengalir ke dalam

29 tabung yang berisi EDTA sebanyak 5 cc. Agar aliran darah bebas, pasien diminta untuk membuka kepalan tangannya. Kemudian tourniquet dilepas, lalu jarum ditarik dengan tetap menekan lubang penusukan dengan kapas alkohol. Selanjutnya tempat bekas penusukan ditekan dengan kapas alkohol sampai tidak keluar darah lagi. Setelah itu bekas tusukan ditutup dengan plester. Sampel darah dapat diletakkan di dalam tas dengan suhu kamar. 2) Sampel darah diproses di Laboratorium Klinik Prodia Jalan Letjend. S. Parman No. 17/223G Medan dengan fotometri menggunakan reagen SLS yang bebas sianida. Hasil yang diperoleh dicatat sebagai kadar hemoglobin berupa hasil angka dalam satuan g/dl, (nilai normal laki-laki yaitu 13-17 g/dl dan perempuan 12-15,5 g/dl), MCV berupa hasil angka dalam satuan fl (nilai normal 80-100 fl), MCHC berupa hasil angka dalam satuan g% (nilai normal 32-36 g%), dan hitung retikulosit berupa hasil angka dalam satuan %, (nilai retikulosit normal yaitu 0,5-1%). 3) Selanjutnya kadar hemoglobin, MCV, MCHC, dan hitung retikulosit pada pasien kusta dicatat oleh peneliti. 4) Kemudian pasien kusta diberi pengobatan sesuai tipe kusta dengan MDT-PB dan MDT-MB, dan selanjutnya setelah 3 bulan pertama dilakukan pemeriksaan sampel darah dengan prosedur yang sama dengan diatas untuk mengukur kadar hemoglobin, MCV, MCHC, dan hitung retikulosit.

30 5) Selanjutnya kadar hemoglobin, MCV, MCHC, dan hitung retikulosit pada pasien kusta dideskripsikan oleh peneliti. 3.9 Definisi Operasional 3.9.1 Anemia Hemolitik Definisi : anemia yang terjadi karena produksi sel darah merah tidak seimbang dengan kerusakan sel darah merah yang disebabkan karena siklus sel darah merah menjadi pendek. Alat/cara ukur : klasifikasi berdasarkan hasil laboratorium darah yaitu penurunan kadar hemoglobin (laki-laki < 13 g/dl, perempuan < 12 g/dl) dan peningkatan hitung retikulosit (> 1 %). Hasil ukur Skala ukur : normal dan anemia hemolitik : skala nominal 3.9.2 Kadar hemoglobin Definisi : jumlah protein pengangkut oksigen dalam sel darah merah di darah subjek penelitian yang diambil dari vena medianus cubiti. Alat/cara ukur : metode fotometri Hasil ukur Skala ukur : angka dalam satuan g/dl : rasio 3.9.3 Kadar MCV Definisi : ukuran atau volume rata-rata eritrosit di darah subjek penelitian yang diambil dari vena medianus cubiti.

31 Alat/cara ukur : metode fotometri Hasil ukur Skala ukur : angka dalam satuan fl : rasio 3.9.4 Kadar MCHC Definisi : rata-rata konsentrasi hemoglobin didalam eritrosit di darah subjek penelitian yang diambil dari vena medianus cubiti. Alat/cara ukur : metode fotometri Hasil ukur : angka dalam satuan g% Skala ukur : rasio 3.9.5 Hitung retikulosit Definisi : persentase jumlah sel darah merah yang imatur di darah subjek penelitian yang diambil dari vena medianus cubiti. Alat/cara ukur : metode fotometri Hasil ukur : angka dalam satuan % Skala ukur : rasio 3.9.6 Tipe kusta Definisi : klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan bakteriologis. Alat/cara ukur : klasifikasi kusta menurut WHO Hasil ukur Skala ukur : tipe PB dan tipe MB : skala nominal

32 3.10 Kerangka Operasional Pasien kusta baru yang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi Subjek penelitian Pengukuran pertama kadar hemoglobin, MCV, MCHC, dan hitung retikulosit Pengobatan MDT-PB dan MDT-MB sesuai dengan diagnosis selama 3 bulan pertama Pengukuran kedua kadar hemoglobin, MCV, MCHC, dan hitung retikulosit Analisis dengan uji T berpasangan, uji Wilcokson, dan uji Mc Nemar Gambar 3.1 Diagram Kerangka Operasional Penelitian 3.11 Pengolahan dan Analisis Data Análisis dilakukan dengan uji T berpasangan, uji Wilcokson serta uji Mc Nemar untuk analisis kejadian anemia hemolitik sebelum dan sesudah 3 bulan mendapat MDT, dengan nilai signifikansi < 0,05. 3.12 Ethical Clearance Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan sampel biologis, yaitu manusia yang menyetujui dan menandatangani informed concent untuk ikut dalam

33 penelitian ini, yang selama pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kode etik penelitian biomedik. Izin didapat dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran USU nomor: 400/TGL/KEPK FK USU-RSUP HAM/2016.

34 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini telah dilakukan pengukuran kadar hemoglobin, MCV, MCHC dan hitung retikulosit pada 15 orang subjek kusta dimulai dari bulan April hingga Desember 2016. Semua subjek kusta telah menjalani anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan sensorik, pemeriksaan motorik, penebalan saraf dan pemeriksaan BTA untuk menegakkan diagnosis. Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar hemoglobin, MCV, MCHC dan hitung retikulosit pada subjek penelitian serta analisis kejadian anemia hemolitik sebelum dan sesudah 3 bulan mendapat MDT. Hasil lengkap data pasien dapat dilihat pada lampiran. 4.1 Karakteristik Demografi Subjek Penelitian Karakteristik subjek pada penelitian ini ditampilkan berdasarkan karakteristik demografik pasien kusta meliputi jenis kelamin, usia, dan tipe kusta. 4.1.1 Karakteristik berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.1 Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin n % Laki-laki 8 53,3 Perempuan 7 46,7 Total 15 100,0 Penyakit kusta dapat mengenai laki-laki maupun perempuan. Dari tabel 4.1 diatas didapatkan subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan subjek perempuan, yaitu laki-laki sebanyak 8 orang (53,3%) dan perempuan sebanyak 7 orang (46,7%). 34

35 Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Berdasarkan laporan, sebagian besar negara di dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dibandingkan perempuan. Pada penelitian ini, pasien lebih banyak berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan. Rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan diakibatkan karena faktor lingkungan dan sosial budaya. Pada kebudayaan tertentu akses perempuan ke layanan kesehatan sangat terbatas. 4 Perbedaan dalam rasio jenis kelamin yang terjadi pada orang dewasa dibandingkan anak-anak juga mencerminkan paparan terhadap infeksi daripada kerentanan terhadap jenis penyakit. 33 Penelitian ini sama dengan penelitian oleh Scheelbeek et al yang menemukan bahwa pasien kusta baru di daerah Cebu, Filipina yang terbanyak adalah berjenis kelamin laki-laki sebesar 150 kasus dan pada perempuan sebesar 54 kasus pada tahun 2010. 49 Hasil yang sama juga ditemukan oleh Tosepu et al yang melaporkan jenis kelamin terbanyak yaitu laki-laki 55,9% dan perempuan 44,1% di Bombana, Sulawesi Tenggara. 50 Hasil yang lain oleh Ramos et al menemukan pasien kusta berjenis kelamin laki-laki sebesar 64,5% dan perempuan 35,6% di Etiopia Tenggara. 51 Kumar et al menemukan laki-laki lebih banyak daripada perempuan yaitu sebesar 68,3%. 52 4.1.2 Karakteristik berdasarkan usia Tabel 4.2 Distribusi subjek penelitian berdasarkan usia Kelompok usia (tahun) n % 15-29 6 40,0 30-44 6 40,0 45-59 2 13,3 60 1 6,7 Total 15 100,0

36 Dari tabel 4.2 diatas tampak bahwa kusta memiliki frekuensi kejadian terbanyak pada kelompok usia 15-29 tahun dan 30-44 tahun yaitu sebanyak 6 orang (40%) dan paling sedikit pada kelompok usia 60 tahun yaitu 1 orang (6,7 %). Pada penelitian ini perlu diingat bahwa pasien yang dijadikan subjek adalah pasien dengan usia 15 tahun. Informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur saat timbulnya penyakit kusta tidak menggambarkan spesifik umur. Kusta dapat terjadi di segala usia yaitu antara bayi sampai usia lanjut. 4 Paling sering terjadi sekitar umur 20 hingga 30 tahun yaitu pada usia muda dan produktif. Penurunan dari transmisi penyakit biasa terjadi pada usia yang lebih tua. 4,53 Tingginya angka kejadian kusta pada usia dewasa dihubungkan dengan periode inkubasi penyakit kusta yang lama dan berhubungan dengan tempat tinggal pasien di daerah endemi kusta serta risiko keterpaparan dengan sumber penularan kusta yang lebih sering terjadi pada usia dewasa. 56 Penelitian ini sesuai dengan penelitian Scheelbeek et al menemukan bahwa pasien kusta di Cebu Filipina pada tahun 2010 berada pada kelompok usia antara 15-29 tahun dan terendah ditemukan oleh kelompok usia diatas 60 tahun. 49 Hasil lain oleh Ramos et al melaporkan bahwa yang terbanyak ditemukan pada usia diatas 35 tahun 55,5%. 51 Penelitian lainnya oleh Viera et al menyatakan bahwa rentang usia terbanyak yaitu antara 18 hingga 37 tahun dengan usia rata-rata 28 ± 13,1 tahun. 54 Hasil penelitian Fajar et al juga melaporkan insiden kusta di Medan dari tahun 2008-2012 didominasi oleh pasien usia 25-44 tahun. 55

37 4.1.3 Karakteristik berdasarkan tipe kusta Tabel 4.3 Distribusi subjek penelitian berdasarkan tipe kusta Tipe kusta n % PB 1 6,7 MB 14 93,3 Total 15 100,0 Dari tabel 4.3 didapatkan berdasarkan tipe kusta bahwa rata-rata subjek penelitian memiliki tipe kusta yaitu MB sebanyak 14 orang (93,3%) dan yang paling rendah yaitu tipe kusta PB sebanyak 1 orang (6,7%). Ini kemungkinan karena tipe kusta MB disertai lesi kulit lebih dari 5 dan IB positif bersifat lebih menular dibandingkan tipe PB dengan lesi kulit 1-5 dan IB negatif. 5 Pada penelitian di Brazil ditemukan bahwa mayoritas pasien kusta terdapat pada tipe kusta MB yaitu sebesar 61%. 54 Penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Scheelbeek et al menyatakan bahwa tipe kusta terbanyak yaitu tipe MB sebesar 88,2%. 49 Ramos et al menemukan tipe kusta terbanyak adalah MB pada laki-laki sebesar 92,7% dan MB pada perempuan sebesar 84,8%. 51 Varkevisser et al melaporkan dari tahun 1993-1997 di Aceh ditemukan terbanyak yaitu tipe MB sebesar 65,8%. 56 Penelitian oleh Kumar et al menunjukkan tipe kusta MB lebih banyak terjadi dibandingkan keseluruhan pasien kusta baru (65,9%). Sifat penyakit kusta yang kronis, berbagai faktor sosial seperti tingkat pengetahuan kusta dan tingkat ekonomi yang rendah, serta faktor lingkungan berupa daerah endemi kusta merupakan alasan mengapa kusta MB merupakan tipe yang paling banyak pada penelitian ini. 57

38 4.2 Profil Kadar Hemoglobin, MCV, MCHC dan Hitung Retikulosit pada Pasien Kusta 4.2.1 Profil kadar hemoglobin pada pasien kusta Tabel 4.4 Kadar hemoglobin sebelum dan sesudah MDT Pasien Sebelum MDT (g/dl) Keterangan Sesudah MDT (g/dl) Keterangan P1 14,7 n = 15 12,6 n = 15 P2 14,0 Mean = 13,907 12,0 Mean = 11,320 0,000 P3 14,4 SD = 1,3656 12,0 SD = 1,6367 P4 14,2 Min = 12,1 12,1 Min = 8,6 P5 13,2 Max = 16,7 10,1 Max = 14,1 P6 12,2 8,6 P7 12,9 9,7 P8 16,3 13,9 P9 14,1 12,1 P10 13,1 11,3 P11 14,8 11,9 P12 13,5 9,6 P13 12,1 9,4 P14 12,4 10,4 P15 16,7 14,1 p Dari tabel 4.4 diatas tampak adanya penurunan kadar Hb sesudah 3 bulan mendapat MDT, dimana kadar normal hemoglobin pada laki-laki 13-17 g/dl dan perempuan 12-15,5 g/dl. Kadar Hb sebelum MDT dideskripsikan sebagai mean 13,907 g/dl, SD 1,3656 g/dl, (Min-Max, 12,1 16,7 g/dl) dan sesudah MDT dideskripsikan sebagai mean 11,320 g/dl, SD 1,6367 g/dl, (Min-Max, 8,6 14,1 g/dl). Dari tabel 4.4 juga terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0,05) sebelum dan sesudah mendapat MDT. Penurunan kadar Hb pada penelitian ini kemungkinan karena adanya reaksi anemia hemolitik, dimana semakin lama dapson diberikan maka semakin tinggi efek oksidan langsung terhadap membran sel darah merah. 15,41 Absorpsi dapson melalui jalur metabolik N-hidroksilasi yang menghasilkan metabolit

39 toksik hidroksilamin akan mengakibatkan penghancuran abnormal dari sel darah merah sehingga ditemukan penurunan kadar hemoglobin. 8,9,12 Namun, anemia juga dapat terjadi karena berbagai kondisi seperti sosial ekonomi yang rendah, malnutrisi, infeksi parasit serta penyakit kronis. 16 Hasil penelitian yang sama ditemukan oleh Al-Sieni et al menyatakan bahwa terjadi penurunan kadar hemoglobin (Hb) sebesar 10-30% baik pada pria ataupun wanita sesudah 3 bulan pemberian MDT. 15 Penelitian oleh Deps et al menyatakan pada pasien yang mendapat MDT dapson pada 3 bulan pertama terapi ditemukan penurunan kadar Hb dan kadar hematokrit. 16 Penelitian oleh Singh et al menemukan bahwa kadar Hb menurun sebesar 17% setelah 90 hari mendapat MDT. 17 Dari semua penelitian diatas disimpulkan bahwa penurunan kadar Hb merupakan reaksi anemia hemolitik akibat adanya efek samping dapson yang dinilai cukup tinggi. 15-17 4.2.2 Profil kadar MCV pada pasien kusta Tabel 4.5 Kadar MCV sebelum dan sesudah MDT Pasien Sebelum MDT (fl) Keterangan Sesudah MDT (fl) Keterangan P1 88,0 n = 15 101,6 n = 15 P2 89,5 Mean = 83,460 93,9 Mean = 88,807 0,053 P3 84,3 SD = 4,9674 97,9 SD = 10,3877 P4 84,7 Min = 70,2 97,4 Min = 65,9 P5 82,1 Max = 89,5 79,1 Max = 101,6 P6 81,9 98,0 P7 87,5 79,6 P8 83,6 93,5 P9 83,5 89,7 P10 84,8 90,1 P11 86,4 83,3 P12 83,1 77,2 P13 75,3 101,4 P14 70,2 65,9 P15 87,0 83,5 p

40 Dari tabel 4.5 diatas kadar MCV menunjukkan rata-rata normal sesudah 3 bulan mendapat MDT, dimana kadar normal MCV 80-100 fl. Kadar MCV sebelum MDT dideskripsikan sebagai mean 83,460 fl, SD 4,9676 fl, (Min-Max, 70,2 89,5 fl) dan sesudah MDT dideskripsikan sebagai mean 88,807 fl, SD 10,3877 fl, (Min-Max, 65,9 101,6 fl). Tabel diatas 4.5 juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p > 0,05) sebelum dan sesudah mendapat MDT. Pada penelitian ini ditemukan kadar MCV yang normal. Ini kemungkinan karena kadar hemoglobin yang kurang atau tidak cukup jumlahnya akibat dari pembuatan sel eritrosit terganggu atau terjadi pemecahan sel yang tinggi, namun volumenya masih normal sehingga kadar MCV tampak normal. Ini biasa terlihat pada anemia hemolitik akut. Pada anemia hemolitik kronis dapat dijumpai ukuran eritrosit yang besar dilihat dari peningkatan MCV. Namun, perubahan dari kadar MCV ini sifatnya dapat berubah-ubah. 46,47 Penelitian yang berbeda dilaporkan oleh Singh et al yang menemukan kadar MCV yang meningkat sebesar 3% sesudah 90 hari mendapat MDT. Dari gambaran hematologi menunjukkan abnormalitas baik sebelum dan sesudah mendapat MDT. Penelitian ini menemukan efek samping akibat dapson sangat tinggi. Oleh karena itu diperlukan terapi suportif yang diberikan bersama dengan MDT. 17

41 4.2.3 Profil kadar MCHC pada pasien kusta Tabel 4.6 Kadar MCHC sebelum dan sesudah MDT Pasien Sebelum Keterangan Sesudah Keterangan p MDT (g%) MDT (g%) P1 34,6 n = 15 32,2 n = 15 P2 32,9 Mean = 33,213 33,6 Mean = 31,902 0,009 P3 34,7 SD = 1,6767 32,0 SD = 1,5992 P4 34,4 Min = 30,5 31,9 Min = 28,9 P5 31,6 Max = 36,7 28,9 Max = 34,5 P6 31,3 29,2 P7 32,8 31,4 P8 36,7 34,5 P9 33,9 31,4 P10 32,3 32,0 P11 32,9 33,5 P12 33,0 30,9 P13 31,8 32,6 P14 30,3 30,8 P15 35,0 33,9 Dari tabel 4.6 diatas tampak adanya penurunan kadar MCHC sesudah 3 bulan mendapat MDT, dimana kadar normal MCHC 32-36 g%. Kadar MCHC sebelum MDT dideskripsikan sebagai mean 33,213 g%, SD 1,6767 g%, (Min- Max, 30,3 36,7 g%) dan sesudah MDT dideskripsikan sebagai mean 31,920 g%, SD 1,5992 g%, (Min-Max, 28,9 34,5 g%). Pada tabel 4.6 diatas juga menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p < 0,05) sebelum dan sesudah mendapat MDT. Penurunan kadar MCHC pada penelitian ini kemungkinan terjadi karena kadar Hb per unit volume eritrosit dijumpai menurun yang menyebabkan ukuran eritrosit lebih kecil. Ini merupakan bentuk kompensasi sel agar dapat lebih mudah berikatan dengan oksigen disertai kadar Hb yang terbatas. 46,47 Penelitian yang sama dilaporkan oleh Al-Sieni et al menyatakan bahwa terjadi penurunan kadar MCHC setelah 3 bulan mengkonsumsi MDT. Penelitian

42 ini menyimpulkan bahwa penurunan ini merupakan reaksi dari anemia namun tidak berhubungan dengan perubahan hitung sel darah merah. 15 Penelitian oleh Singh et al menemukan sebanyak 9 orang dari 73 pasien kusta yang dinilai setelah mengkonsumsi dapson dalam waktu 90 hari ditemukan MCHC menurun 1%. 17 4.2.4 Profil kadar hitung retikulosit pada pasien kusta Tabel 4.7 Kadar hitung retikulosit sebelum dan sesudah MDT Pasien Sebelum Keterangan Sesudah Keterangan p MDT (%) MDT (%) P1 1,36 n = 15 2,88 n = 15 P2 1,2 Mean = 1,218 2,24 Mean = 2,341 0,001 P3 1,26 SD = 0,2119 4,66 SD = 1,0500 P4 1,36 Min = 0,8 4,54 Min = 1,2 P5 1,37 Max = 1,7 2,92 Max = 4,7 P6 1,24 2,09 P7 1,09 1,85 P8 0,94 1,16 P9 1,34 1,48 P10 1,05 1,44 P11 1,25 2,56 P12 1,65 2,03 P13 0,78 1,77 P14 1,04 2,02 P15 1,34 1,47 Dari tabel 4.7 diatas tampak terjadinya peningkatan hitung retikulosit sesudah 3 bulan mendapat MDT, dimana kadar normal hitung retikulosit 0,5-1%. Hitung retikulosit sebelum MDT dideskripsikan sebagai mean 1,218 %, SD 0,2119 %, (Min-Max, 0,8 1,7 %) dan sesudah MDT dideskripsikan sebagai mean 2,341 %, SD 1,0500 %, (Min-Max, 1,2 4,7 %). Pada tabel 4.7 diatas juga menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p < 0,05) sebelum dan sesudah mendapat MDT.

43 Pada penelitian ini ditemukan peningkatan retikulosit, dimana retikulosit merupakan sel darah merah baru yang dilepaskan oleh sumsum tulang. Apabila terjadi hemolisis maka terjadi peningkatan produksi sel darah merah sekitar dua atau tiga kali lipat dari normal. Umur retikulosit didalam darah individu normal akan bertahan dalam waktu 1 hari. Apabila produksi sel darah meningkat, maka retikulosit akan dilepaskan secara prematur dan bertahan di sirkulasi dalam waktu 2 hingga 4 hari. 47 Penelitian yang sama dilaporkan oleh Singh et al menemukan kejadian sebanyak 9 orang dari 73 pasien kusta yang dinilai setelah mengkonsumsi dapson dalam waktu 90 hari ditemukan, hitung retikulosit meningkat 36,5%. 17 Penelitian oleh Halim et al melaporkan terdapat peningkatan hitung retikulosit sesudah mendapat MDT dengan rata-rata 7,3 ± 1,0 % dengan nilai p < 0,05. Retikulosit meningkat sebesar 4 kali lipat selama penelitian berlangsung. Ini menunjukkan bahwa dapson dapat menginduksi terjadinya hemolisis. 41 4.3 Analisis kejadian anemia hemolitik sesudah mendapat MDT 4.3.1 Anemia hemolitik sesudah 3 bulan mendapat MDT Tabel 4.8 Kejadian Anemia hemolitik Keterangan Sebelum MDT Sesudah MDT p n % n % Normal 15 100,0 5 33,3 0,002 Anemia Hemolitik 0 0 10 66,7 Total 15 100,0 15 100,0 Dari tabel 4.8 diatas menunjukkan terjadinya anemia hemolitik sebesar 66,7% dan yang tidak anemia hemolitik sebesar 33,3% sesudah 3 bulan

44 mengkonsumsi MDT. Tabel diatas juga menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p < 0,05) pada anemia hemolitik sebelum dan sesudah 3 bulan mendapat MDT. Anemia hemolitik merupakan anemia yang dihubungkan dengan pemendekan umur sel darah merah yang kurang dari 120 hari, dimana akibat adanya destruksi yang cepat dari pembuluh darah. Apabila dicurigai anemia hemolitik maka perlu dilakukan pemeriksaan darah lengkap disertai hitung retikulosit. Peningkatan hitung retikulosit merupakan tanda penting pada anemia hemolitik sebagai respon dari sumsum tulang. 58 Hemolisis dapat terjadi secara akut, subakut ataupun kronis. Anemia hemolisis akut biasa terjadi gangguan pada membran sel darah merah baik turunan atau yang didapat, hemoglobinopati dan abnormalitas enzim sel darah merah. Pada hemolisis subakut atau kronis dijumpai pada hemolisis imunologi, mekanikal, infeksi dan toksik yang berhubungan dengan obat yaitu dapson. Pada anemia hemolitik akut terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan hemoglobinuria, hipotensi, syok, delayed jaundice disertai demam. Pada anemia hemolitik subakut ataupun kronis terjadi secara perlahan ataupun tersembunyi, dimana ditandai dengan anemia ringan hingga sedang, hipokolestrolemia, serta ukuran MCV yang bervariasi yaitu ukuran eritrosit normal (normositik) ataupun eritrosit besar (makrositik). 58,59 Namun perubahan MCV ini bersifat adaptif dan dapat berubahubah. 46 Pada beberapa kasus, hemolisis bersifat asimptomatik dan tidak menunjukkan adanya gambaran makrositik ataupun retikulositosis. Oleh karena itu parameter yang dapat dinilai adalah adanya peningkatan kadar laktat

45 dehidrogenase, peningkatan kadar bilirubin indirect dan penurunan kadar haptoglobin. 58 Penelitian yang sama oleh Deps et al menemukan bahwa kejadian anemia hemolitik setelah mengkonsumsi MDT selama 90 hari sebesar 56,5%. 14 Penelitian yang dilaporkan oleh Al-Sieni et al menyatakan bahwa anemia hemolitik terjadi sebesar 30% setelah 3 bulan mengkonsumsi MDT. 15 Penelitian lain oleh Deps et al menyatakan bahwa anemia hemolitik dijumpai sebesar 51% pada pasien yang mendapat MDT dapson pada 3 bulan pertama terapi ditandai dengan penurunan kadar Hb dan kadar hematokrit. 16 Penelitian oleh Singh et al menemukan kejadian anemia hemolitik sebesar 12% yaitu sebanyak 9 orang dari 73 pasien kusta yang dinilai setelah mengkonsumsi dapson dalam waktu 90 hari. 17 Dari penelitian diatas disimpulkan bahwa efek samping yang terjadi akibat MDT ini cukup tinggi sehingga boleh menghentikan sementara obat yang menjadi penyebab dan memberikan terapi suportif. Namun, jika efek samping tidak dapat teratasi maka obat dihentikan dan WHO menganjurkan agar obat penyebab diganti dengan terapi alternatif.

46 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan a. Dalam penelitian ini didapatkan 15 sampel kusta dalam kurun waktu sekitar delapan bulan menunjukkan terjadinya anemia hemolitik sebesar 66,7% dan adanya perbedaan yang signifikan (p < 0,05) sebelum dan sesudah 3 bulan mendapat MDT. b. Hasil sebelum mendapat MDT ditemukan kadar hemoglobin normal dengan rata-rata 13,907 g/dl, MCV normal dengan nilai rata-rata 83,460 fl, kadar MCHC normal dengan nilai rata-rata 33,213 g% dan hitung retikulosit normal dengan rata-rata 1,218 %. Namun, sesudah 3 bulan mendapat MDT ditemukan penurunan kadar hemoglobin dengan rata-rata 11,320 g/dl, MCV normal dengan nilai rata-rata 88,807 fl, penurunan kadar MCHC dengan nilai rata-rata 31,920 g% dan peningkatan retikulosit dengan rata-rata 2,341%. c. Terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0,05) kadar hemoglobin, MCHC dan hitung retikulosit pada pasien kusta sebelum dan sesudah 3 bulan mendapat MDT. Namun, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0,05) kadar MCV pada pasien kusta sebelum dan sesudah 3 bulan mendapat MDT. 5.2 Saran a. Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, diharapkan pemeriksaan kadar hemoglobin dan hitung retikulosit dapat dilakukan 46

47 dalam prosedur pemeriksaan penyakit kusta karena kadar tersebut dapat dijadikan salah satu sebagai prediktor anemia hemolitik pada penyakit kusta. b. Diharapkan sebelum pemberian MDT dan setiap 3 bulan sesudah pemberian MDT, pasien kusta melakukan pemeriksaan rutin laboratorium darah lengkap dan hitung retikulosit untuk memantau efek samping MDT. c. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan melihat kejadian anemia hemolitik dengan pemeriksaan kimia darah dan hapusan darah tepi. d. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan melihat efektivitas pemberian suplemen penambah darah sebagai terapi tambahan dalam penanganan anemia hemolitik untuk meningkatkan kesembuhan pasien kusta karena efek samping obat MDT sehingga pengobatan dapat terus diberikan sesuai dengan waktu yang ditentukan.