BAB V KESIMPULAN Berdasarkan analisis struktur novel model Robert Stanton yang meliputi fakta-fakta cerita, tema, dan hubungan antarunsur dalam novel Gadis Tangsi, diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Tokoh-tokoh dalam novel Gadis Tangsi dapat diidentifikasi menjadi 96 tokoh dengan penamaan. Akan tetapi, hanya 24 tokoh yang menggerakkan alur cerita dalam novel ini. Ke-24 tokoh itu dikategorikan ke dalam tokoh utama, tokoh bawahan, tokoh bulat, dan tokoh datar. Tokoh utama dalam novel ini ialah Teyi. Teyi disebut sebagai tokoh utama karena keterlibatannya sangat tinggi dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Selain itu, Teyi juga dikategorikan sebagai tokoh bulat karena sepanjang jalan cerita, mereka mengalami perubahan watak. Konflik-konflik yang dialami dan/atau diciptakan oleh Teyi mendukung jalannya alur sampai menuju klimaks, yaitu keputusan Teyi untuk masa depan kehidupannya. Konflik-konflik yang dialami Teyi juga mendukung tema novel. Tokoh bawahan dalam novel ini ialah Raminem, Wongsodirjo, Keminik, Gemi, Urip, Tesek, Suwarti, Ceplik, Sudarmin, Manguntaruh, Dasiyun, Sumbing, Kamdi, Gepeng, Kapten Sarjubehi, Putri Parasi, Sri Baginda Ingkang Sinuwun, Gusti Bandara Raden Kus Bandarkum, Ninek Jidan, Sapardal, Dumilah, Sersan Suradigdaya, dan Dumiyem. Dari 23 tokoh bawahan tersebut, yang tergolong ke 111
112 dalam tokoh bulat ialah Raminem dan Putri Parasi. Meskipun perubahan watak yang terjadi pada Raminem tidak begitu mencolok, perubahan tersebut tetap memengaruhi jalannya cerita, sedangkan perubahan yang terjadi pada Putri Parasi terlihat cukup jelas dan tentu memengaruhi jalannya cerita. Tokoh-tokoh lainnya tergolong ke dalam tokoh datar karena dalam menggerakkan alur tokoh-tokoh itu hanya menunjukkan satu karakter. Kehadiran tokoh bawahan ini dapat mendukung tokoh utama dalam mengembangkan alur cerita, seperti memperkuat karakter tokoh utama dan menimbulkan ketegangan-ketegangan dalam cerita. Latar dalam novel Gadis Tangsi terdiri dari latar tempat, latar waktu, latar sosial budaya, dan latar suasana (atmosfer). Latar tempat dalam novel ini sebagian besar berada di Sumatera Utara, yaitu Tangsi Lorong Belawan, Simpang Lama, Pasar Medan, dan Kampung Landa. Selain itu, terdapat juga nama-nama daerah, baik di kawasan Sumatera Utara seperti, Tanah Aceh, Lhosukon, Tanjungbalai, dan sebagainya maupun di kawasan Jawa seperti Ngombol, Bagelen, Istana Jayaningratan Surakarta, dan sebagainya. Pengarang memberikan gambaran yang jelas tentang latar tempat cerita meskipun nama-nama daerah itu tidak dijabarkan secara spesifik. Latar waktu yang digunakan dalam novel ini tidak begitu jelas. Penggunaan tanggal dan nama hari tidak disertai dengan penyebutan nama bulan bahkan tahun. Latar waktu novel ini merujuk pada zaman pemerintahan Belanda di Indonesia, tetapi tidak dicantumkan tahun yang pasti untuk menunjukkan kapan hal itu terjadi. Kejelasan latar waktu diperoleh pada keterangan tahun yang tercantum pada salah satu majalah yang dibaca oleh tokoh
113 yakni tahun 1940 sehingga diperkirakan bahwa latar waktu novel ini ialah tahun 1940-an. Latar sosial budaya yang kuat dalam novel ini ialah masyarkat Jawa. Masyarakat Jawa identik dengan keindahan kepribadiannya yang terlihat melalui cara berbicara, cara berpakaian, dan cara berperilaku. Akan tetapi, kehidupan yang serba tidak menentu dan lingkungan tangsi yang tidak begitu baik membuat sebagian besar orang Jawa kehilangan identitasnya, seperti yang dialami oleh Teyi. Teyi terlahir sebagai perempuan Jawa, tetapi tumbuh dan berkembang di lingkungan asing sehingga cara berbicara, berpakaian, dan berperilaku tidak menunjukkan bahwa ia adalah orang Jawa. Akan tetapi, Teyi dalam masa pertumbuhannya bertemu dan berkenalan dengan keluarga Putri Parasi yang memiliki latar belakang keluarga bangsawan Jawa. Sejak berkenalan dengan keluarga Putri Parasi, Teyi sangat mengagumi setiap aspek yang ada di kehidupan keraton, mulai dari cara berbicara, cara berpakaian, sampai dengan cara berperilaku. Oleh sebab itu, Teyi menjadi tertarik dan ingin mempelajarinya supaya dapat menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam novel Gadis Tangsi, ditemukan pula latar alat, yakni benda-benda yang digunakan oleh tokoh dalam mengurai peristiwa dan/atau mengalami suatu kejadian. Latar alat yang dominan dalam perjalanan cerita novel tersebut ialah peralatan dan bahan-bahan yang digunakan untuk berjualan pisang goreng, seperti anglo, bajan, arang, minyak, tepung, daun pisang, dan pisang. Alat-alat tersebut tidak selalu dijabarkan secara detail dalam perjalanan cerita, tetapi alat-alat tersebut dapat menunjukkan bahwa kegiatan menjual pisang goreng yang
114 dilakukan oleh keluarga Raminem merupakan kegiatan pokok yang muncul sepanjang perjalanan cerita novel Gadis Tangsi. Latar suasana yang tergambar meliputi suasana kecewa dan iri yang terlihat pada tokoh Teyi ketika ia harus membantu Raminem untuk berjualan pisang goreng setiap hari dan menagih hutang di hari-hari tertentu. Hal ini membuatnya memiliki karakter yang keras. Suasana bahagia sekaligus sedih terlihat ketika Teyi bertemu dan menjalin hubungan dengan Putri Parasi sebelum akhirnya Putri Parasi meninggal dunia. Dalam novel Gadis Tangsi, terdapat tiga episode yang terbagi menjadi 47 peristiwa. Tahapan alur dalam novel ini terbagi menjadi tiga tahap, yaitu awal, tengah, dan akhir. Selain itu, penyajian tahapan alur secara berurutan menjadikan novel tersebut memiliki alur maju. Tahap awal dimulai dari E-1 yang terurai ke dalam P-1 sampai dengan P-22. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahap awal dapat dikategorikan menjadi pengenalan latar terjadinya peristiwa kemudian pengenalan tokoh sampai dengan cerita-cerita yang menjadi latar belakang terjadinya konflik-konflik. Konflik-konflik yang muncul pada tahap awal merupakan akibat dari pikiran-pikiran tokoh. Tahap tengah dalam novel Gadis Tangsi ialah E-2 yang terbagi ke dalam P- 23 sampai dengan P-37. Konflik-konflik yang sudah terjadi pada E-1 terus mengalami perkembangan pada tahap ini sampai menuju klimaks, yaitu ketika Teyi kehilangan harapannya untuk menjadi bangsawan Jawa (P-37). Perasaan Teyi tersebut masih terurai melalui peristiwa-peristiwa pada tahap akhir yaitu E-3. Namun demikian, pada tahap akhir diceritakan bahwa Teyi kembali memiliki
115 harapannya untuk menjadi bangsawan Jawa ketika bertemu dengan kemenakan Putri Parasi. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel Gadis Tangsi memiliki hubungan kausalitas yang erat. Hal itu terlihat bahwa peristiwa yang terjadi sebelumnya menjadi penyebab munculnya peristiwa selanjutnya. Penggunaan backtracking, foreshadowing, dan suspense dalam novel ini menyebabkan munculnya konflik-konflik yang tidak terduga. Sebagian besar konflik yang muncul dalam novel ini ialah konflik batin. Konflik batin terus mengalami perkembangan sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh sampai akhirnya menuju klimaks pada peristiwa kembalinya harapan Teyi untuk mengubah masa depannya. Konflik sentral dalam cerita novel ini ialah pergolakan batin yang dialami oleh tokoh sehingga menimbulkan berbagai macam masalah sosial. Tema bawahan yang diperoleh dari hasil analisis novel Gadis Tangsi ialah kehidupan masyarakat Tangsi Lorong Belawan dan pertemuan budaya tangsi dengan budaya bangsawan Jawa. Berdasarkan tema-tema bawahan itu, dapat ditemukan bahwa tema utama dari novel ini ialah seseorang yang bertekad untuk mengubah dan memperbaiki kehidupannya akibat dari dorongan masyarakat tempat ia tinggal. Unsur-unsur faktual dalam novel ini saling berhubungan satu dengan yang lain. Hubungan tersebut dapat dilihat melalui hubungan antara alur dengan latar, hubungan alur dengan tokoh, hubungan alur dengan tema, hubungan tokoh dengan latar, hubungan tema dengan latar, dan hubungan tema dengan tokoh. Dari
116 hubungan-hubungan tersebut dapat dilihat bahwa fakta-fakta cerita dan tema saling mendukung dalam menciptakan suatu cerita yang kompleks dan utuh. Pengarang memberikan poin-poin yang dapat digunakan sebagai acuan untuk memahami latar, baik tempat, waktu, maupun suasana.