KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DESA BEDOYO, KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNGKIDUL. Nesti Listianingrum

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

D. Dinamika Kependudukan Indonesia

V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN. Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan

BAB I PENDAHULUAN. pertanian meliputi sub-sektor perkebunan, perikanan, dan perikanan.

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BENTUK KEARIFAN LOKAL TERKAIT PEMANFAATAN HASIL HUTAN DI SEKITAR TAHURA BUKIT BARISAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. (1968) disebut sebagai tragedi barang milik bersama. Menurutnya, barang

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh :

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten yang lainnya seperti Sleman,

BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, termasuk di

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

2.1. TUJUAN PENATAAN RUANG WILAYAH KOTA BANDA ACEH

BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. VISI

diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat

LAMPIRAN KERTAS POSISI WWF INDONESIA TENTANG PEMANFAATAN TRADISIONAL SUMBER DAYA ALAM UNTUK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN KONSERVASI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu

PENDAHULUAN. Latar Belakang

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

V. GAMBARAN UMUM. Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal,

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaannya, baik itu

TRADISI METHIL SEBAGAI SALAH SATU WARISAN KEARIFAN LOKAL DI DESA KARANGMALANG KECAMATAN KASREMAN KABUPATEN NGAWI. Inka Septiana. Sosiologi Antropologi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia kaya akan budaya, adat istiadat, dan tradisi yang dapat dijadikan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

III. METODE PENELITIAN

HUBUNGAN KONDISI SOSIAL EKONOMI DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PENAMBANG PASIR DESA KENDALSARI KECAMATAN KEMALANG KABUPATEN KLATEN

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kehidupan manusia, mulai hal yang terkecil dalam

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LOKASI PENELITIAN

illryw Elvi Zuriyani,lV.Si s':

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA DI INDONESIA. Oleh: Iwan Setiawan*)

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BAB II KONDISI WILAYAH DESA SEMPOR. membuat sungai dari sebelah barat (Sungai Sampan), sedang yang muda

LAPORAN TUGAS AKHIR (TL- 40Z0) DESAIN

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI

INDUSTRIALISASI MADURA: PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROPOLITAN

Identifikasi Potensi Agribisnis Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk Untuk Meningkatkan Ekonomi Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai bentuk permainan pada manusia yang terus berkembang, pada

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

TINGKAT KONSUMSI DAN POLA KONSUMSI BERAS MASYARAKAT KOTA MEDAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Baik keberagaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

commit to user BAB I PENDAHULUAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENATAAN PEMUKIMAN NELAYAN TAMBAK LOROK SEMARANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup manusia salah satunya berfungsi dalam menyembuhkan. berbagai penyakit yang dikenal sebagai tumbuhan obat.

SKRIPSI ANALISIS PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KARTU KREDIT DI KOTA MEDAN OLEH NITA CINTYA

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Abstract. The Pollution Control of Water Resources Kuantan River and Singingi River Using Local Wisdom (Local Wisdom) in the Kuantan Singingi District

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINGKAT ADOPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI PERTANIAN TERPADU USAHATANI PADI ORGANIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang heterogen, kita menyadari bahwa bangsa

BAHAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) REGIONAL KALIMANTAN TAHUN 2015

Agus Nurkatamso Umi Listyaningsih

MANFAAT LUMBUNG PANGAN SWADAYA DALAM MENGURANGI RESIKO RAWAN PANGAN DI DESA GIRITIRTO, KECAMATAN PURWOSARI, KABUPATEN GUNUNGKIDUL

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Eksplorasi Karakteristik Pembangunan Ekonomi Desa Melalui Unsur-Unsur Budaya Universal di Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI SMP MUHAMMADIYAH 1 YOGYAKARTA TAHUN 2011 NASKAH PUBLIKASI

DESKRIPSI TENAGA KERJA INDUSTRI KERUPUK RAFIKA DI KELURAHAN TANJUNG HARAPAN KECAMATAN KOTABUMI SELATAN KABUPATEN LAMPUNG UTARA TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. peran pertanian bukan hanya menghasilkan produk-produk domestik. Sebagian

Jurnal Buana Vol-2 No-1 tahun 2018

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pemerintah Indonesia dalam pengembangan kepariwisataan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH. Kecamatan Wonosari merupakan Ibukota Kabupaten Gunungkidul, yang

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Nganjuk yang terletak pada propinsi Jawa Timur merupakan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.

BAPPEDA Planning for a better Babel

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. sekitar 4 Km dari Kabupaten Gunungkidul dan berjarak 43 km, dari ibu kota

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

Jurnal Geografi Media Infromasi Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ema Sumiati, 2015

1. PENDAHULUAN. Latar Belakang

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT

Transkripsi:

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DESA BEDOYO, KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNGKIDUL Nesti Listianingrum nesti.listianingrum@yahoo.co.id Sudrajat sudrajatgeo@yahoo.com Abstract The regional development nowadays such as industrialization, fast advancement of information and technology, and changes of lifestyle may influence local wisdom practices by urban and rural community. The aim of this research are to find out the socio-economic characteristics of people in Desa Bedoyo, to discover kinds of local wisdom practiced or no longer practiced, and to analyze the relation between socio-economic characteristics and local wisdom s integrity. This research uses primary data to find out many kinds of local wisdom practiced or no longer practiced in Bedoyo, and uses secondary data to see through the current people s socio-economic characteristics. The methods used to collecting data are non-participative observation and interview. Data processed with frequency table and crosstab. There are more population aging lived in Bedoyo, dominated with them has reached the education level just until elementary school, and they working more depend on agricultural sector. Their belief to have to conserving local wisdom is high but on natural resources management is still low, it can be seen from their knowledge to the existence and condition of natural resources in Bedoyo. The socio-economic characteristics may have varies of relation with local wisdom s integrity. Keywords: local wisdom, socio-economic characteristics, Bedoyo, Gunungkidul Abstrak Perkembangan wilayah seiring waktu seperti industrialisasi, majunya teknologi informasi, dan perubahan gaya hidup dapat memengaruhi keberlanjutan praktek kearifan lokal oleh masyarakat Desa Bedoyo. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Bedoyo, mengetahui bentuk-bentuk kearifan lokal yang dipraktekkan maupun tidak, dan menganalisis keterkaitan antara kondisi sosial ekonomi dengan keutuhan kearifan lokal. Penelitian ini menggunakan data primer untuk mengetahui berbagai bentuk kearifan lokal yang masih dipraktekkan maupun tidak di Desa Bedoyo, dan data sekunder untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat secara terkini. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi non partisipatif dan wawancara. Metode pengolahan data yang digunakan adalah dengan tabel frekuensi dan tabulasi silang (crosstab). Penduduk di Desa Bedoyo dominan usia tua, mayoritas tingkat pendidikannya tamat sekolah dasar (SD) serta lebih banyak bergantung pada sektor pertanian. Sudah mengakar pada mereka bahwa kearifan lokal sangat penting untuk dilestarikan, namun keutuhan kearifan lokal dalam pengelolaan SDA masih minim dilihat dari pengetahuan mereka terhadap keberadaan dan kondisi SDA di Bedoyo. Kondisi sosial ekonomi masyarakat memiliki keterkaitan yang bervariasi terhadap keutuhan kearifan lokal. Kata Kunci: Kearifan lokal, kondisi sosial ekonomi, Bedoyo, Gunungkidul 1

PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan dengan keragaman sumberdaya alam yang berpotensi untuk dimanfaatkan. Namun, keberadaan sumberdaya alam tidak akan memiliki potensi dan tidak pula dapat terjaga lestari tanpa adanya sumberdaya manusia yang menunjang. Begitu juga dengan adanya manusia, sumberdaya alam diharapkan dapat dimanfaatkan dengan baik dan tetap lestari. Indonesia adalah negara dengan penduduk yang beragam dari aspek ideologi, adat, agama, budaya, dan kehidupan sosialnya maka terdapat bentukbentuk kearifan lokal yang beragam pula dalam menjalani kehidupannya (Machmud, 2013). Kearifan lokal adalah pengetahuan dasar dan khas mengenai cara menuju keseimbangan hidup antara manusia dengan lingkungan yang terakumulasi dari masa lampau, dan dipraktekkan oleh masyarakat secara turun-temurun (Mungmachon, 2012). Maryono (1995) mengungkapkan bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan khas yang dimiliki suatu masyarakat dan telah berkembang sejak lama secara turun-temurun, serta timbul dari proses hubungan timbal balik antara masyarakat dengan lingkungannya (Sumintarsih dkk., 2005). Kearifan lokal muncul akibat adanya penafsiran masyarakat terhadap bagaimana suatu lingkungan atau sumberdaya alam akan memberikan manfaat baginya. Maka, penafsiran itulah yang memunculkan pengetahuan masyarakat dalam cara mempertahankan lingkungannya. Data dari BPS (2012) menunjukkan jumlah penduduk Indonesia tahun 2000 sebanyak 206.264.595 jiwa dan meningkat hingga tahun 2010 menjadi 237.641.326 jiwa. Peningkatan jumlah dan kebutuhan penduduk, perkembangan teknologi informasi modern, industrialisasi, serta kebudayaan yang terus berkembang menjadikan masyarakat memiliki masalah yang semakin kompleks baik dalam kehidupannya sebagai individu, masyarakat, atau warga negara (Ibrahim, 2003). Masyarakat akan memiliki tanggapan yang berbeda terhadap permasalahan yang ada dari waktu ke waktu, dan dapat berindikasi pada masih dipraktekkan atau tidaknya kearifan lokal oleh masyarakat di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Dari pernyataan itu, keutuhan kearifan lokal di Desa Bedoyo menarik untuk diteliti. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian memiliki tujuan untuk (1) mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Bedoyo (2) mengetahui bentukbentuk kearifan lokal yang dipraktekkan maupun tidak di Desa Bedoyo (3) menganalisis keterkaitan antara kondisi sosial ekonomi dengan kearifan lokal yang masih dipraktekkan maupun tidak oleh masyarakat Desa Bedoyo. METODE PENELITIAN Pengumpulan Data Data primer digunakan untuk mengetahui gambaran detail mengenai proses kehidupan masyarakat berbasis kearifan lokal di daerah penelitian, data sekunder untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat secara terkini. Identifikasi mengenai keutuhan kearifan lokal di Desa Bedoyo dilakukan menggunakan wawancara terhadap 60 KK tani. Pengambilan sampel di lapangan dilakukan dengan teknik simple random sampling. Analisis Data Analisis dalam penelitian dilakukan secara deskriptif kualitatif menggunakan tabel frekuensi dan tabulasi silang (crosstab). Tabel frekuensi digunakan untuk menyajikan data secara teratur dalam suatu tabel yang berisi frekuensi masyarakat yang masih maupun sudah tidak mempraktekkan bentuk-bentuk kearifan lokal dalam berbagai aspek kehidupan. Frekuensi tersebut dinyatakan 2

dalam satuan (jiwa) dan persen. Tabulasi silang (crosstab) digunakan untuk menggambarkan keterkaitan antara praktek kearifan lokal dengan masing-masing kondisi sosial ekonomi. HASIL DAN PEMBAHASAN Kearifan Lokal Dalam Kegiatan Pertanian Kegiatan pertanian masyarakat Bedoyo sebagian besar dilakukan dengan kearifan lokal secara turun-temurun. Pranata mangsa sudah ada sejak zaman nenek moyang dan digunakan sebagai patokan dalam melakukan suatu pekerjaan misal saat bercocok tanam ataupun melaut (Wiriadiwangsa, 2005). Sebanyak 88,3 persen responden masih menggunakan pranata mangsa dengan alasan aturan tersebut sudah merupakan adat istiadat yang turun-temurun. Mereka mempercayai bahwa bila tidak menggunakan pranata mangsa, kualitas dan kuantitas hasil panen yang didapatkan tidak akan maksimal. Sementara itu, sisanya yaitu 11,7 persen responden sudah tidak menggunakan aturan pranata mangsa. Sebagian besar memberikan alasan kondisi iklim sekarang ini sudah berubah-ubah sehingga pranata mangsa tidak bisa sepenuhnya dijadikan patokan untuk bertani. Aturan menebang pohon untuk kepentingan mendirikan bangunan masih diterapkan oleh 26,7 persen responden. Beberapa responden mengatakan ada larangan menebang pohon bambu pada tanggal 1 Suro, bila melanggarnya dipercayai akan mendapat celaka. Penggunaan alat-alat pertanian tradisional seperti cangkul dan sabit masih diterapkan oleh 83,3 persen responden. Mayoritas menanggapi bahwa mereka tetap menggunakan alat tradisional karena keterbatasan biaya untuk membeli atau menyewa alat pertanian modern. Terkait cara membasmi hama penyakit, 80 persen responden sekarang sudah beralih menggunakan bahan-bahan kimia seperti pupuk urea dan pestisida. dianggap lebih efektif, mudah didapat dan harganya cukup terjangkau untuk masyarakat tani menengah ke bawah. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan SDA Upaya masyarakat Bedoyo sekarang ini dalam memanfaatkan sekaligus melestarikan SDA-nya masih ada yang menerapkan kearifan lokal sebagai dasarnya meskipun minim. Hal itu dilihat dari pengetahuan masyarakat terkait keberadaan, kondisi, dan cara pelestarian SDA yang ada baik hasil alam seperti kayu hutan, batu gamping (tertera pada Gambar 1) serta sumberdaya air seperti luweng. Gambar 1. Lokasi penambangan batu gamping di lingkungan Desa Bedoyo (Dokumentasi pribadi, 2014) Masyarakat sebanyak 48,3 persen mengetahui luweng di sekitar Desa Bedoyo tidak ditutup karena sudah ada larangan dari pemerintah desa. Luweng merupakan penampung air yang begitu dijaga oleh masyarakat, sebagian responden mengatakan pohon-pohon yang tertanam di sekitar luweng pun dianggap keramat karena juga berfungsi sebagai penyimpan air. Sementara itu, 51,7 persen responden kurang mengetahui ada tidaknya luweng yang ditutup di sekitar desa. Mereka mengatakan kurang mengetahui kondisi luweng karena selain lokasi luweng berada di luar desa, juga karena 3

mereka lebih sering memanfaatkan air dari PAH dibanding dari luweng. Pengetahuan warga terkait ada tidaknya lokasi batu gamping yang tidak boleh ditambang masih minim, sebanyak 70 persen responden kurang mengetahuinya. 30 persen responden sisanya pun tidak secara keseluruhan mengetahui ada tidaknya lokasi tersebut. Sebagian besar mengatakan bahwa sudah ada aturan tentang suatu lokasi yang dilarang untuk ditambang, kemudian pihak penambang harus meminta izin pada masyarakat jika lokasinya dekat dengan permukiman dan tempat keramat. Bila aturan itu dilanggar, masyarakat mengkhawatirkan adanya polusi di lingkungan permukiman dan banyak kejadian tidak nyaman lainnya. Begitu pula dengan sumberdaya hutan, masyarakat belum banyak mengetahui bagaimana aturan pemerintah dalam upaya pelestarian dan pencegahan kerusakan hutan, hanya 36,7 persen responden yang mengetahui dan sisanya 63,3 persen responden kurang mengetahui hal tersebut. Kearifan Lokal dalam Kegiatan Sosial Budaya Sebagian besar kegiatan sosial budaya masih dipraktekkan masyarakat Bedoyo dengan sangat baik seperti uraian berikut. Perhitungan weton masih diterapkan oleh 78,3 persen responden untuk menentukan rencana masa depan dan menghindari hal-hal negatif. Tradisi kenduri masih dilakukan oleh 96,7 persen responden dengan alasan sebagai cara untuk saling bersyukur, saling membantu dalam kesusahan, dan sebagai penyambung silaturahmi antar warga. Kenduri khusus memperingati Maulid Nabi Muhammad masih dilakukan oleh 68,3 persen responden. Rangkaian tradisi pada bulan Ramadhan seperti ruwahan, padusan, dan syawalan masih banyak dilakukan oleh masyarakat Bedoyo. Ruwahan masih dijalankan oleh 83,3 persen responden dengan banyak kegiatan seperti ziarah ke makam keluarga dan sedekah ruwah (membuat makanan tradisional apem dan membagikannya ke tetangga atau keluarga). Padusan dilakukan sebelum memulai hari puasa bertujuan mensucikan diri secara lahir dan batin. Padusan masih dijalankan oleh 96,7 persen responden, mereka memilih melakukannya di rumah masing-masing. Tradisi terkait peringatan hari sejarah seperti tirakat 17 Agustus masih dijalankan oleh 93,3 persen responden. Tradisi tirakat tersebut tetap dijalankan agar tetap mengenang jasa para pahlawan yang dulu telah memperjuangkan kemerdekaan RI. Perhitungan hari baik untuk ke luar kota masih diterapkan 23,3 persen responden saja karena mereka kini dapat pergi ke luar kota kapanpun saat ada urusan atau kebutuhan tertentu. Menentukan arah yang baik ketika membangun rumah sering diterapkan oleh masyarakat zaman dahulu, misal membangun rumah menghadap ke selatan konon akan diberi kesehatan dan berkah. Sekarang hanya 21,7 persen responden yang masih menerapkan. 78,3 persen responden lebih ingin menghadap jalan utama agar lebih strategis dan akses transportasi lebih mudah. Tradisi sedekah laut selatan memang tidak dijalankan masyarakat Bedoyo karena sulit dan jauhnya akses jalan menuju pantai. Sebagian besar desa di Kabupaten Gunungkidul merupakan kawasan karst yang kini unsur haranya rendah sehingga masyarakat banyak menganggap keramat pohon-pohon beringin besar, rimbun, telah berumur ratusan tahun, dan keberadaannya sudah jarang (contoh pada Gambar 2). Sebanyak 81,7 persen responden masih percaya terhadap adanya pohon keramat karena kepercayaan tersebut memang sudah dijalankan turun-temurun. Bila percaya maka akan mendapat berkah dan lingkungan akan tetap lestari. Bila tidak mempercayai atau merusak akan di- 4

datangkan musibah seperti penyakit dan bahkan kesurupan. Gambar 2. Pohon beringin yang dianggap keramat di Desa Bedoyo (Dokumentasi pribadi, 2015) Keterkaitan Antara Umur dengan Praktek Kearifan Lokal Perbedaan umur seseorang baik yang tergolong umur produktif maupun tergolong umur sudah tidak produktif, akan mempengaruhi banyak sedikitnya pengetahuan dan pengalaman yang ia miliki dalam menjalani kehidupan, terutama dalam mempraktekkan kearifan lokal. Klasifikasi umur dibagi ke dalam lima kelompok yang terdiri dari umur produktif (umur kurang dari 35 tahun, 35-45 tahun, 46-55 tahun, dan umur 56-65 tahun) serta umur sudah tidak produktif (umur lebih dari 65 tahun). Dalam kegiatan pertanian, umur memiliki kaitan dengan keberlangsungan masyarakat menggunakan aturan pranata mangsa dan alat pertanian tradisional. Umur di atas 46 tahun lebih banyak yang masih mempertahankan karena keduanya sudah mereka anggap warisan budaya. Sementara itu, umur di bawah 46 tahun lebih sedikit yang mempertahankan karena faktor keuntungan produksi dan faktor biaya. Umur tidak terlalu memiliki keterkaitan dengan cara masyarakat membasmi hama penyakit karena hampir pada seluruh kelompok umur telah beralih menggunakan bahan kimia dan tidak lagi mempertahankan cara konvensional. Umur dapat memiliki keterkaitan dengan tinggi rendahnya pengetahuan masyarakat dan praktek kearifan lokal terhadap pengelolaan SDA. Terkait pengetahuan terhadap kondisi luweng dilihat dari seluruh golongan umur, pengetahuan masyarakat masih rendah. Persentase paling tinggi yaitu sebesar 13,3 persen pada kelompok umur 35-45 tahun. Hal itu terjadi dimungkinkan karena masyarakat dengan kisaran umur 35-45 tahun lebih memiliki pengalaman dan rasa ingin tahu dibanding kelompok umur lainnya sehingga dapat timbul pula rasa kepedulian pada mereka terhadap kondisi luweng di lingkungannya. Pengetahuan masyarakat tentang lokasi batu gamping yang dilarang untuk ditambang kelompok umur menengah paling tinggi yaitu pada kelompok umur 46-55 tahun dengan persentase 11,7 persen dan kelompok umur 35-45 tahun dengan persentase 8,3 persen. Umur berkaitan dengan tinggi rendahnya pengetahuan masyarakat dan praktek kearifan lokal terhadap pengelolaan SDA, yaitu pada kelompok umur menengah (35-45 tahun) persentase akan bernilai tinggi. Kegiatan sosial budaya di Bedoyo masih diuri-uri oleh masyarakatnya secara bersama-sama tanpa membedakan umur dan status kekayaan. Namun, bila dilihat secara individual umumnya bentuk-bentuk kearifan lokal sosial budaya yang ada lebih dilestarikan oleh golongan tua karena cenderung sudah menerapkannya lebih lama dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, golongan muda dan menengah akan lebih sedikit yang melestarikan karena tingkat pengalaman yang dimiliki pun tidak sebanyak golongan tua. Contohnya seperti perhitungan weton masih banyak dijalankan oleh masyarakat Bedoyo meskipun persentase tinggi juga cenderung pada kelompok umur di atas 46 tahun, di antaranya sebesar 21,7 persen pada kelompok umur 46-55 5

tahun. Tradisi kenduri di Bedoyo masih dijalankan oleh semua kalangan umur, persentase tinggi juga ada pada kelompok umur di atas 46 tahun yaitu pada kelompok umur 46-55 tahun sebesar 30 persen. Ruwahan menjelang bulan Ramadhan paling tinggi dijalankan oleh kelompok umur 46-55 tahun yaitu sebesar 23,3 persen. Bentuk-bentuk kearifan lokal sosial budaya lebih banyak dilestarikan oleh masyarakat golongan menengah dan golongan tua dibanding oleh golongan muda. Masyarakat yang tinggal di Bedoyo memang didominasi oleh golongan tua, sementara golongan muda lebih banyak yang hidup merantau sehingga partisipan di dalam setiap kegiatan sosial budaya akan lebih dominan masyarakat golongan tua. Dapat dikatakan pula bahwa perbedaan umur akan berhubungan dengan keberlangsungan praktek kearifan lokal dalam kegiatan sosial budaya di Bedoyo. Keterkaitan Antara Tingkat Pendidikan dengan Praktek Kearifan Lokal Tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi pola pikir seseorang terhadap pilihannya untuk tetap atau tidak dalam mempraktekkan kearifan lokal di kehidupan sehari-hari secara berkelanjutan. Tingkat pendidikan dinyatakan dalam jumlah tahun yang telah ditempuh. Klasifikasi tingkat pendidikan dibagi menjadi 3 yaitu tingkat pendidikan rendah (SD), tingkat pendidikan sedang (SMP), dan tingkat pendidikan tinggi (setara SMA, S1, dan D3). Terkait kegiatan pertanian, penerapan pranata mangsa dan penggunaan alat-alat tradisional masih dilakukan oleh masyarakat tani dengan persentase tertinggi pada tingkat pendidikan rendah. Hal itu dimungkinkan karena yang tingkat pendidikannya tinggi akan lebih berpikir dengan alasan kepentingan tertentu seperti lebih memperhatikan keuntungan dan tingginya produksi, dibandingkan demi melestarikan budaya zaman dahulu. Cara membasmi hama penyakit menggunakan bahan kimia kini lebih banyak dilakukan yaitu oleh tani yang tingkat pendidikannya rendah dengan persentase sebesar 50 persen. Pada tingkat pendidikan rendah, sedang, maupun tingkat pendidikan tinggi sudah sangat jarang yang membasmi hama menggunakan orang-orangan dan hewan predator. Dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan tidak terlalu memiliki keterkaitan dengan keberlanjutan masyarakat Bedoyo dalam membasmi hama penyakit menggunakan selain bahan kimia. Pengetahuan masyarakat terkait ada tidaknya luweng yang ditutup masih tergolong rendah karena persentase masyarakat yang kurang mengetahui hal tersebut cenderung lebih tinggi. Persentase masyarakat yang mengetahui ada hal tersebut bernilai paling tinggi pada tingkat pendidikan rendah yaitu sebesar 28,3 persen.meskipun persentase pada setiap tingkat pendidikan tergolong rendah, tingkat pendidikan dikatakan dapat mempengaruhi pengetahuan mereka terhadap kondisi luweng sekarang ini. Persentase masyarakat lebih besar pada tingkat pendidikan rendah dibanding tingkat pendidikan tinggi, hal itu dapat terjadi karena masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah umumnya merupakan golongan usia tua yang telah memiliki pengalaman hidup terhadap lingkungan sekitar. Pengetahuan masyarakat terkait ada tidaknya lokasi gamping yang tidak boleh ditambang, dilihat dari tingkat pendidikan juga tergolong rendah. Persentase yang kurang mengetahui hal tersebut masih bernilai lebih tinggi terutama pada tingkat pendidikan rendah dan tingkat pendidikan sedang. Masyarakat pada tingkat pendidikan rendah yang mengetahui hal tersebut adalah sebesar 15 persen. Tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi seseorang dalam penentuan pilihannya untuk tetap atau tidak mempraktekkan kearifan lokal dalam kegiatan sosial budaya. Umumnya, se- 6

seorang dengan tingkat pendidikan rendah adalah mereka yang termasuk golongan usia menengah dan usia tua sehingga mereka cenderung masih melestarikan kegiatan-kegiatan sosial budaya di lingkungannya. Bentuk-bentuk kearifan lokal sosial budaya di Bedoyo masih banyak dipraktekkan oleh masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah.contoh menerapkan perhitungan weton, persentase paling tinggi yaitu pada tingkat pendidikan rendah sebesar 43,3 persen. Tradisi kenduri pun masih banyak dipraktekkan, persentase paling tinggi pada tingkat pendidikan rendah yaitu 58,3 persen. Hal serupa juga terdapat pada keberlanjutan tradisi ruwahan. Tradisi tersebut masih banyak dipraktekkan oleh mereka yang tingkat pendidikannya rendah yaitu dengan persentase 48,3 persen. Terkait dengan kepercayaan terhadap adanya pohon keramat, masyarakat yang banyak mempercayainya adalah mereka yang tingkat pendidikannya rendah, dengan persentase sebesar 50 persen. Keterkaitan Antara Tingkat Pendapatan dengan Praktek Kearifan Lokal Tingkat pendapatan juga dapat memiliki keterkaitan atau mempengaruhi seseorang dalam menjaga keutuhan praktek kearifan lokal. Tingkat pendapatan yang dimaksud adalah pendapatan total dalam satu rumahtangga per bulannya. Klasifikasi tingkat pendapatan dibagi menjadi 3 yaitu tingkat pendapatan rendah (<Rp500.000 per bulan), tingkat pendapatan sedang (Rp500.000 s/d Rp1.000.000 per bulan), dan tingkat pendapatan tinggi (>Rp1.000.000 per bulan). Kegiatan pertanian yang berbasis kearifan lokal masih dipertahankan oleh masyarakat yang tingkat pendapatan rumahtangganya tergolong tinggi atau lebih dari 1 juta Rupiah per bulan. Masyarakat dengan tingkat pendapatan tinggi yang masih menerapkan pranata mangsaadalah sebesar 61,7 persen. Terkait alat pertanian tradisional pun demikian, persentase paling tinggi adalah pada masyarakat yang berpendapatan tinggi yaitu sebesar 61,7 persen. Perubahan cara membasmi hama penyakit menggunakan bahan kimia memiliki keterkaitan dengan tingkat pendapatan, karena paling banyak dilakukan dan mayoritas oleh masyarakat yang tingkat pendapatannya tinggi, yaitu dengan persentase 51,7 persen. Pengetahuan masyarakat terkait kondisi luweng terbilang tinggi persentasenya pada tingkat pendapatan tinggi, yaitu sebesar 33,3 persen. Terkait pengetahuan masyarakat terhadap lokasi batu gamping yang dilarang untuk ditambang, persentase tertinggi juga pada tingkat pendapatan tinggi yaitu sebesar 20 persen. Dapat disimpulkan bahwa tingkat pendapatan memiliki keterkaitan atau memengaruhi seseorang terhadap praktek kearifan lokal pertanian dan pengelolaan SDA. Hal itu terlihat dari persentase cenderung bernilai tinggi pada tingkat pendapatan tinggi. Suatu rumahtangga yang tingkat pendapatannya tinggi berindikasi akan memiliki kemakmuran dan juga wawasan pengetahuan yang lebih tinggi terhadap lingkungan sekitar. Persentase masyarakat Bedoyo padatingkat pendapatan tinggi yang masih mempertahankan kearifan lokal sosial budaya juga tinggi mencapai lebih dari 50 persen seperti pada tradisi perhitungan weton, kenduri, ruwahan, dan kepercayaan masyarakat terhadap pohon keramat. Terkait tradisi perhitungan hari baik dan penerapan aturan membangun rumah dengan arah hadap tertentu, kedua bentuk kearifan lokal itu lambat laun mulai jarang dipraktekkan masyarakat Bedoyo. Persentase paling tinggi yang masih mempraktekkan keduanya adalah pada tingkat pendapatan tinggi, masing-masing hanya sebesar 15 persen. Dapat dinyatakan bahwa tingkat pendapatan memiliki keterkaitan atau memengaruhi seseorang juga terhadap praktek kearifan lokal sosial 7

budaya karena terlihat dari persentase cenderung bernilai tinggi pada tingkat pendapatan tinggi. KESIMPULAN 1. Desa Bedoyo ditinggali oleh penduduk dominan usia tua karena penduduk desa usia menengah atau usia produktif lebih banyak tinggal dan merantau di luar kota baik untuk bekerja maupun mengemban pendidikan. Masyarakat Bedoyo mayoritas memiliki tingkat pendidikan tamat sekolah dasar (SD). Masyarakat lebih banyak bergantung pada sektor pertanian dibanding sektor lainnya, komoditas yang unggul yaitu ketela pohon, padi gogo, dan jagung. 2. Bentuk kearifan lokal masyarakat Bedoyo masih banyak yang dipertahankan terutama pada kegiatan pertanian dan kegiatan sosial budaya karena sudah mengakar pada mereka bahwa kearifan lokal adalah tradisi yang turun-temurun dan sangat penting untuk dilestarikan. Sementara itu, keutuhan kearifan lokal dalam pengelolaan SDA masih minim dilihat dari pengetahuan mereka terhadap keberadaan dan kondisi SDA di Bedoyo seperti luweng, lokasi penambangan gamping, dan hutan. 3. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terdiri dari umur, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan memiliki keterkaitan yang bervariasi terhadap keutuhan kearifan lokal. Umur dan tingkat pendidikan memiliki keterkaitan dengan praktek kearifan lokal. Masyarakat pada usia menengah dan usia tua serta masyarakat pada tingkat pendidikan rendah cenderung lebih mempertahankan bentuk-bentuk kearifan lokal karena lebih banyaknya pengalaman hidup mereka. Tingkat pendapatan juga memiliki keterkaitan yaitu mereka yang tingkat pendapatannya tinggi lebih mempertahankan bentukbentuk kearifan lokal baik pada aspek lingkungan maupun aspek sosial budaya. DAFTAR PUSTAKA BPS. 2012. Penduduk Indonesia Menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000, 2010. Dipetik 2 Juli 2014, dari http://www.bps.go.id Ibrahim, A. 2003. Sulesana: Kumpulan Esai Tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanudin. Machmud, M. 2013. Heritage Media and Local Wisdom of Indonesian Society. Global Journal of Human Social Science, Arts, and Humanities, Vol. 13, Halaman: 57-66. Mungmachon, M. 2012. Knowledge and Local Wisdom: Community Treasure. International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 2, Halaman: 174-181. Sumintarsih, Salamun, Sukari, Ariani, C., & Sujarno. 2005. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Nelayan Madura. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Wiriadiwangsa, D. 2005. Pranata Mangsa, Masih Penting Untuk Pertanian. Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani 9-15 Maret 2005, Halaman: 1-3. 8