BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI VII. 1. Kesimpulan Penelitian proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata ini bertujuan untuk membangun teori atau konsep mengenai proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus ganda yang memadukan antara pendekatan deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan mengeksplorasi dan mendeskripsikan proses terjadinya transformasi arsitektur dari tiga kampung kota menjadi kampung wisata (Baluwarti, Kauman dan Laweyan) yang berbeda lokasi dan keunikannya. Lingkup penelitian menggunakan unit analisis berskala messo, berfokus pada sub kampung yang dominan mengalami perubahan pada bangunan (fungsi, fasad dan elemen material bangunan); dan lingkungan (ruang terbuka parkir, serta akses jalur sirkulasi). Perubahan tersebut diwujudkan dengan penambahan, pengurangan dan perubahan tempat. Penelitian ini mendefinisikan transformasi arsitektural sebagai suatu proses perubahan arsitektural, yang dicapai melalui suatu adaptasi dan kesepakatan antara masyarakat dengan pemerintah, dengan membandingkan waktu yang berbeda dalam tiga periode (tahun 2000 sampai 2015), yang berpengaruh dalam lingkup proses perubahan fisik dan non fisik terkait dengan unsur sosial dan budaya setempat guna menyesuaikan dengan lingkungan yang terjadi. Dari temuan hasil penelitian disertasi ini, ketiga kampung wisata (Baluwarti, Kauman dan Laweyan) tersebut memiliki nilai sejarah dan telah mengalami peristiwa politik pergeseran kekuasaan Keraton ke Pemerintah Indonesia. Beralihnya kekuasaan Keraton Kasunanan kepada Pemerintah berpengaruh pada berkurangnya keterkaitan kampung wisata Baluwarti dan Kauman dengan pihak Keraton; adanya kekuasaan Keraton Pajang menjadikan berkurangnya keterkaitan dengan kampung wisata Laweyan. Hal tersebut secara fisik mengubah status ketiga kampung wisata tersebut dan mengakibatkan 230
munculnya kesenjangan dan perubahan dalam konteks ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian, proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata dapat dirinci sebagai berikut: a. Hal-hal yang menyebabkan proses terjadinya transformasi arsitektural pada kampung wisata Kauman dan kampung wisata Laweyan adalah: adanya perubahan aktivitas komersial masyarakat dengan membuka showroom batik yang berpengaruh pada aspek fisik, yaitu perubahan pada bangunan (fungsi, fasad dan elemen material bangunan), dari bangunan hunian yang beralih fungsi menjadi bangunan komersial showroom batik. Di kampung wisata Laweyan, sejak akhir Periode I tahun 2003, sudah terjadi transformasi arsitektural, sementara kampung wisata Kauman telah mengalami proses terjadinya transformasi arsitektural mulai Periode II tahun 2006. Selanjutnya pada Periode III tahun 2011, terlihat peningkatan yang signifikan dengan adanya perubahan fisik kawasan di kampung wisata Kauman maupun Laweyan. Hal ini disebabkan adanya peningkatan aktivitas komersial masyarakat yang berdampak pada peralihan fungsi bangunan hunian menjadi showroom batik, dan diikuti dengan perubahan pada fasad dan elemen material bangunan. Namun demikian, perubahan yang terjadi pada kampung wisata Kauman dan Laweyan tetap mempertahankan kelokalannya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya ruang mushola pada beberapa showroom batik di kampung wisata Kauman sebagai bentuk kepedulian dalam mempertahankan karakter kampung santri di tengah kota. Sementara itu, di kampung wisata Laweyan, beberapa showroom batik cenderung sudah dilengkapi dengan ruang mushola dan museum tematik, sebagai upaya dalam menjaga kelestarian karakter lokal dan sejarah. Dari Periode I sampai Periode II tahun 2000-2010, cenderung tidak terlihat perubahan aktifitas komersial pada masyarakat di kampung wisata Baluwarti, sehingga tidak berdampak pada perubahan fisik kawasan. Bebarapa bangunan kuno bersejarah dalem Pangeran di kawasan Kedhaton cenderung tidak mengalami perubahan; sampai saat ini masih tetap eksis dan hanya mengalami kerusakan karena kurang perawatan yang baik. Hal ini disebabkan adanya nilainilai sosial budaya yang melatarbelakangi dan pengaruh faktor adat perilaku 231
keturunan bangsawan yang melekat. Namun, pada Periode III tahun 2011, dibeberapa bangunan hunian abdi dalem yang berada di dalam Beteng Baluwarti, ditemukan adanya perubahan fungsi, fasad dan elemen material bangunan, dengan mempertahankan dinding dan pintu yang masih asli. Perubahan fisik tersebut disebabkan adanya perubahan aktivitas masyarakat yang bertujuan melestarikan nilai karakter lokal sebagai simbol kesakralan Karaton Kasunanan dengan membuka sanggar seni dan budaya tradisional. Dengan demikian, kampung wisata Baluwarti, cenderung tidak mengalami transformasi arsitektural disebabkan tidak ada perubahan aktivitas komersial masyarakat, sehingga secara fisik tidak ada perubahan pada bangunan dan lingkungan. Kaum bangsawan cenderung masih memiliki rasa enggan untuk beralih aktivitas komersial, sehingga faktor ekonomi cenderung kurang berpengaruh pada kawasan yang masih menjunjung tinggi nilai sakral budaya Keraton. Namun secara non fisik, transformasi arsitektural di kampung wisata Baluwarti telah dialihkan pada pelestarian dan pengembangan seni budaya tradisional Keraton sebagai pusat kebudayaan di Surakarta. Pada Periode III tahun 2011, pola permukiman dan pola akses sirkulasi di kampung wisata Baluwarti masih tetap dipertahankan, dengan pola konsentris satu arah searah jarum jam mengelilingi Kedhaton. Sementara itu, kampung wisata Kauman yang pola awalnya mengelompok telah berubah dan bercampur dengan pola linier setelah ditetapkannya Kampung Strategis Kauman pada tahun 2010, sehingga akses sirkulasi menjadi satu arah. Dengan tumbuh kembangnya kampung wisata Laweyan, pola permukiman dan akses sirkulasi yang awalnya mengalir linear, pada Periode II tahun 2008 dengan adanya bangunan IPAL, cenderung berkembang dan bercampur dengan pola menyebar, namun tetap mempertahankan kelokalan dengan akses sirkulasi dua arah. b. Faktor internal yang memengaruhi proses terjadinya transformasi arsitektural dari tiga kampung kota menjadi kampung wisata adalah munculnya kesadaran dan motivasi individu masyarakat maupun kelompok dalam meningkatkan peran aktif masyarakat. Untuk itu, pada Periode I, tanggal 21 September 2004 dibentuk Forum Pengembangan Kampoeng Wisata Batik 232
Laweyan; dilanjutkan di Periode III tahun 2010 adanya paguyuban-paguyuban (pemandu wisata, tukang parkir, tukang becak dan sepeda onthel/kayuh). Pada periode II, terbentuk Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman di tahun 2006, dilanjutkan pembentukan Paguyuban Kampung Wisata Baluwarti di tahun 2009. Faktor eksternal yang memengaruhi proses terjadinya transformasi arsitektural dari tiga kampung kota menjadi kampung wisata datang dari kebijakan Pemerintah dan peristiwa penting yang ada. Di kampung wisata Laweyan, pada tanggal 24 September 2004 diresmikan Kampoeng Wisata Batik Laweyan, serta adanya hibah fisik pembangunan IPAL pada tahun 2008 dari pemerintah Jarman CTZ. Di kampung wisata Kauman pada tahun 2006, diresmikan Kampung Wisata Batik Kauman, dan pada tahun 2010 diresmikan Kampung Strategi Kauman; sementara itu, di Baluwarti pada tahun 2009 diresmikan Kampung Wisata Baluwarti, dilengkapi dengan bantuan konservasi pada bangunan fisik Kedhaton dari pemerintah pusat pada tahun 2010. Dengan demikian, proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata, merupakan suatu proses yang disebabkan adanya perubahan aktivitas masyarakat, yang dipengaruhi adanya faktor internal kesadaran dan kepedulian peran aktif masyarakat dan faktor eksternal adanya kebijakan Pemerintah yang telah menjadikan ketiga kampung wisata tersebut semakin eksis keberadaannya dan terus mengalami tumbuh kembang proses terjadinya transformasi arsitektural sampai sekarang. Kondisi tersebut di atas secara fisik menjadikan keragaman adanya percampuran antara zona hunian permukimam dan komersial kepariwisataan showroom batik. Keragaman fisik tersebut dikarenakan belum adanya aturan dan tatanan yang jelas dan tegas dari Pemda setempat. Dengan demikian untuk melindungi dan melestarikan tumbuh kembang ketiga kawasan yang merupakan kawasan cagar budaya tersebut, pihak Pemerintah perlu segera merancang suatu Peraturan Daerah (Perda) yang dilengkapi dengan pemberlakuan aturan hukum yang jelas dan tegas. c. Dari hasil temuan penelitian dalam disertasi ini, ditemukan konsep proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata dengan studi kasus tiga kampung wisata (Baluwarti, Kauman dan 233
Laweyan), yaitu adanya kecenderungan bahwa: proses terjadinya transformasi arsitektural pada kawasan memperlihatkan tingkatan adanya perubahan fisik tata bangunan dan lingkungan berdasarkan pada konsistensi kepedulian dan peran aktif masyarakat dalam menjaga potensi karakter kelokalan yang melingkupi. Dengan demikian, semakin konsisten masyarakat menjaga pelestarian potensi kelokalan, cenderung semakin sedikit kawasan tersebut mengalami proses perubahan fisik, sehingga semakin rendah tingkat transformasi arsitekturalnya (Baluwarti). Sebaliknya, semakin kurang konsisten masyarakat dalam melestarikan potensi kelokalan, kawasan tersebut cenderung semakin banyak mengalami proses perubahan fisik, sehingga semakin tinggi tingkat transformasi arsitekturalnya (Kauman dan Laweyan). Dari temuan konsep tersebut diatas, terlihat kecenderungan adanya benang merah dan kesinambungan di antara ketiga kampung wisata tersebut, yaitu ikon artefak Batik. Artefak Batik ini menjadi inspirasi masyarakat yang bisa dijabarkan melalui berbagai aktivitas fisik dan non fisik, sebagai dasar toleransi dan kebersamaan dalam mengembangkan kelokalan kawasan. VII. 2. Saran Dari temuan hasil penelitian disertasi di tiga kampung wisata (Baluwarti, Kauman dan Laweyan) yang memiliki nilai sejarah dan potensi kelokalan, perlu adanya penelitian pada kawasan baru yang tidak memiliki nilai sejarah maupun potensi kelokalan. Dari uraian sebelumnya, terlihat bahwa unsur utama dalam pengembangan kawasan yang berkelanjutan berakar pada potensi karakter kelokalan yang dimiliki. Secara keilmuan, fenomena keberadaan kampung kota dan kampung wisata baik pada skala makro, messo hingga mikro masih perlu terus diteliti. Berdasarkan pertimbangan tersebut, penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan adanya keberagaman potensi kelokalan yang ada dalam kawasan perkotaaan sebagai destinasi wisata, sehingga temuan yang diperoleh menjadi semakin kompleks dan holistik. Hal ini kemungkinan didapatkan penerapan temuan penelitian yang lain guna mengendalikan arah pengembangan dalam pembangunan secara berkelanjutan. 234
Untuk menjadikan penelitian ini terus berkesinambungan, perlu penyebaran pengetahuan bagi para peneliti generasi penerus guna mendukung penelitian lanjutan yang terkait unsur-unsur pendukung yang lain. Seberapa jauh perjalanan proses transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata ini akan mencapai titik puncaknya perlu dikaji, sehingga akan berkontribusi positif untuk strategi pembangunan kawasan perkotaan yang berkelanjutan. Dengan demikian, teori proses terjadinya transformasi arsitektural ini masih perlu dielaborasi lebih lanjut terutama terkait dengan kemungkinan perkembangan faktor-faktor lainnya yang berpengaruh pada kasus kawasan dan lokus yang sama ataupun yang berbeda, sebagai penelitian pembanding guna mendapatkan masukan teori baru terkait pengembangan pembangunan kawasan perkotaan yang berkelanjutan. Guna melindungi, melestarikan dan mengantisipasi tumbuh kembangnya kampung wisata yang memiliki nilai-nilai sakral dan bertransformasi dalam lingkup kawasan cagar budaya, maka Pemerintah diharapkan segera membuat suatu regulasi Peraturan Daerah (Perda), yang dilengkapi dengan Rencana Detail Tata Ruang Wilayah (RDTRW), serta Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). Peraturan peraturan tersebut harus diikuti dengan pemberlakuan aturan hukum yang jelas dan tegas yang diselaraskan dengan karakter kelokalan kawasan yang ada. VII. 3. Kontribusi Teori Beberapa hasil temuan disertasi ini dapat dimunculkan sebagai kontribusi teori dalam konsep terbaru, serta aplikasi regulasi kebijakan untuk Pemerintah dan pengetahuan khususnya bagi masyarakat Surakarta. Proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata, secara fisik merupakan adanya proses perubahan pada elemen fisik kawasan dan lingkungan (perubahan fungsi, fasad dan elemen material bangunan, serta perubahan ruang terbuka parkir dan akses sirkulasi). Proses terjadinys transformasi arsitektural ini cenderung disebabkan adanya perubahan aktivitas komersial pada masyarakat. Secara fisik perubahan aktivitas komersial masyarakat tersebut berpengaruh pada perubahan fisik kawasan dengan melakukan perubahan pada bangunan dan lingkungan guna 235
menyesuaikan kondisi lingkungan kawasan. Kondisi tersebut cenderung dipicu oleh adanya tuntutan faktor ekonomi dan campur tangan pemerintah dalam bentuk intervensi fisik sebagai proses perubahan lingkungan cenderung menimbulkan ke senjangan pada sosial budaya masyarakat (cultural- lag). Dengan demikian hasil disertasi ini berkontribusi positif dalam membawa trend baru dalam bidang ilmu arsitektur dan perencanaan, sebagai solusi dalam strategi pembangunan pengembangan dan penataan kualitas kawasan perkotaan yang berkelanjutan dengan memperhatikan potensi karakter kelokalan. Hal ini bisa diakomodasi dalam pembuatan suatu kebijakan sebagai materi khusus dalam penyusunan pedoman perencanaan, pembangunan dan pengembangan kawasan perkotaan khususnya pada kawasan pariwisata yang berkelanjutan. Untuk mengendalikan dan mengantisipasi tumbuh kembangnya transformasi arsitektural yang memiliki potensi keunikan lokal menuju konservasi dan revitalisasi kawasan perkotaan, harus diperhatikan kaidah kaidah kawasan cagar budaya yang berlaku. Hal tersebut menuntut kepedulian motivasi kuat, kreatifitas, dan peran aktif masyarakat lokal dalam melestarikan karakter potensi kelokalan sebagai kekayaan pusaka merupakan daya tarik yang khas. Kesadaran dan kepedulian peran aktif dan partisipasi masyarakat setempat sangat penting dalam mendukung keberlangsungan pengembangan kampung wisata yang berkelanjutan. Dalam implikasinya, harus diperhatikan pengembangan sarana dan prasarana yang berkualitas, aman, nyaman dan mudah. Dalam mewujudkannya, harus ada antusias pengembangan komunitas dalam peningkatan peran, kemampuan dan keterlibatannya secara aktif. Diperlukan adanya sistem kolaborasi kemitraan yang berlanjut dengan pihak Pemerintah, Swasta dan masyarakat lokal sebagai motor penggeraknya. Kondisi ini berdampak pada peningkatan pelayanan yang lebih baik, sehingga diharapkan dapat meningkatkan citra kawasan perkotaan dan kawasan pariwisata khususnya, yang pada akhirnya meningkatkan perekonomian masyarakat dan kualitas lingkungan secara berkelanjutan. Penulis harapkan penelitian disertasi ini bermanfaat Barakallahufiikum - Aamin. 236