Keanekaragaman kelelawar (Mammalia: Chiroptera) Stasiun Penelitian Pungut dan kontribusinya terhadap keberadaan kelelawar Siberut

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan

Gambar 29. Cynopterus brachyotis sunda Lineage

KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR DI DESA CIKARAWANG KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN BOGOR PROVINSI JAWA BARAT AKBAR SUMIRTO

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. secara lokal yang menyebabkan terbentuknya ruangan-ruangan dan lorong-lorong

PENDAHULUAN. Latar Belakang

KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (CHIROPTERA) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

KOMUNITAS KELELAWAR MICROCHIROPTERA DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. KENCANAA SAWIT INDONESIA (KSI) SOLOK SELATAN TESIS.

BAB I PENDAHULUAN. antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste. Karst merupakan. saluran bawah permukaan (Setiawan et al., 2008).

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

III. METODE PENELITIAN

SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, November 2011

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kelelawar

Kekayaan Jenis Kelelawar (Chiroptera) di Kawasan Gua Lawa Karst Dander Kabupaten Bojonegoro

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Siti Rabiatul Fajri dan Sucika Armiani Program Studi Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Mataram

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

PENYUSUNAN MODUL PENGAYAAN KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR Subordo Microchiroptera DI GUNUNGKIDUL BAGI SISWA SMA

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari

EKOLOGI. KOMUNITAS bag. 2 TEMA 5. Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember

Kelimpahan Spesies Kelelawar Ordo Chiroptera di Gua Wilayah Selatan Pulau Lombok NTB

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup

Ekologi tumbuhan dan hewan vertebrata di hutan hujan tropis

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang mencapai sekitar pulau. Perbedaan karakteristik antar pulau

DAFTAR PUSTAKA. Brower JE, Zar JH Field dan Laboratory Methods for General Ecology. Third Editon. Dubuque, Lowa: C. Brown Publisher.

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

BAB I PENDAHULUAN. mengeksplor kekayaan alam Indonesia. kehendak Allah SWT yang tidak ada henti-hentinya memberikan keindahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Herlin Nur Fitri, 2015

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

I. PENDAHULUAN. terancam sebagai akibat kerusakan dan fragmentasi hutan (Snyder et al., 2000).

PERBANDINGAN UKURAN DAN BENTUK TUBUH BERBAGAI SPESIES KELELAWAR DI KOTA TUAL DAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA SKRIPSI RESTU MONICA NIA BETAUBUN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelelawar masuk ke dalam ordo Chiroptera yang berarti mempunyai sayap

KERAGAMAN KELELAWAR INSEKTIVORA SUB ORDO MICROCHIROPTERA DI STASIUN PENELITIAN WAY CANGUK, TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Jenis Satwa Liar dan Pemanfaatnya Di Pasar Beriman, Kota Tomohon, Sulawesi Utara

III. METODE PENELITIAN. dilakukan pada bulan Desember Maret Penelitian dilaksanakan di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi kelelawar menurut Corbet and Hill ( 1992) Kelelawar memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi dan menempati

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Data Jumlah Spesies dan Endemik Per Pulau

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

BAB IV METODE PENELITIAN

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Megaerops Peters, Megaerops ecaudatus (Temminck, 1837) Pteropodidae

BAB I. PENDAHULUAN. bagi makhluk hidup. Keanekaragaman hayati dengan pengertian seperti itu

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian ini menemukan empat jenis burung madu marga Aethopyga di

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU (Bambusodae) DALAM KAWASAN HUTAN AIR TERJUN RIAM ODONG DUSUN ENGKOLAI KECAMATAN JANGKANG KABUPATEN SANGGAU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

BIODIVERSITAS 3/31/2014. Keanekaragaman Hayati (Biodiversity) "Ragam spesies yang berbeda (species diversity),

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV METODE PENELITIAN

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

BAB I PENDAHULUAN. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 di Stasiun Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

Repository Tugas Akhir SITH-ITB (2014), Vol. 2 1 Keanekaragaman kelelawar (Mammalia: Chiroptera) Stasiun Penelitian Pungut dan kontribusinya terhadap keberadaan kelelawar Siberut Sabhrin Gita Aninta 1 Djoko T. Iskandar 2 1,2 Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesa No. 10 Bandung 40132 Indonesiae-mail: sabhrina@students.itb.ac.id Abstrak. Dari 31 malam penangkapan di hutan kawasan Stasiun Penelitian Pungut, Pulau Siberut, diperoleh 11 spesies kelelawar. Jumlah spesies tersebut merupakan jumlah kekayaan spesies minimum berdasarkan estimator Chao 2, dengan estimator Jackknife 2 mengestimasi sebanyak 12 spesies. Kemerataan kawanan kelelawar di Pungut cukup rendah (E 1/D = 0,47) dan menunjukkan adanya spesies yang relatif lebih melimpah. Spesies tersebut adalah Kerivoula papillosa yang memiliki proporsi 37% dari hasil tangkapan. Tujuh spesies memiliki kelimpahan di bawah rata-rata individu per spesies dengan empat spesies memiliki proporsi kurang dari 5%. Frekuensi perjumpaan setiap spesies secara umum rendah. Berdasarkan pada koleksi Museum Zoologicum Bogoriense dan ditambah dengan hasil penelitian ini, didapatkan sepuluh spesies dan tiga genus yang merupakan catatan baru bagi Siberut. Jumlah spesies kelelawar Siberut kemudian meliputi lebih 28% spesies kelelawar Pulau Sumatera (23 dari 82 spesies), meskipun luas daratannya hanya 1,01% dari Pulau Sumatera (4.480/443.085,65 km 2 ). Jumlah catatan baru spesies kelelawar yang berkisar pada 85% catatan lama daftar spesies menurut kepustakaan mengindikasikan bahwa habitat Pulau Siberut belum banyak diteliti. Catatan baru menunjukkan bahwa hubungan biogeografi Pulau Siberut dengan Pulau Sumatra jauh lebih erat dari yang diperkirakan sebelumnya. Konsekuensi hubungan biogeografi antara Mentawai dengan pulau pulau besar lainnya di Paparan Sunda didiskusikan. Kata kunci: Ekologi, biogeografi, kekayaan spesies, kelelawar, Mentawai Pendahuluan Isolasi Siberut selama kira-kira lebih dari setengah juta tahundari paparan Sunda [1] memberikan beberapa konsekuensi bagi ekologi pulau tersebut. Siberut memiliki fauna dengan endemisitas pada tingkat spesies sebanyak 8,4% dan potensi flora endemik sebanyak 15% [2]. Selain itu, fauna pulau tersebut dianggap sebagai relik dari fauna Indo-Malaya awal yang dapat memberi arti penting bagi evolusi fauna modern kawasan Asia Tenggara [2]. Meskipun demikian, informasi tentang fauna Siberut tergolong minim sehingga survei tambahan diperkirakan dapat meningkatkan kekayaan spesies. Inventaris spesies burung Siberut di berbagai tipe habitat selama 2,5 tahun menunjukkan adanya tambahan catatan baru sekitar 20% [3]. Terlepas dari potensi kekayaan alam Siberut, hutan pulau tersebut terus berkurang. Dari luas hutan mencakup 65% luas pulau pada 1978 [2], jumlah ini berkurang menjadi 40% luas pulau pada 2005 [4]. Dalam membantu upaya konservasi Siberut, Siberut Conservation Programme (SCP) mendirikan sebuah stasiun penelitian di kawasan Pungut, Hutan Peleonan, Siberut Utara. Kawasan ini telah menarik perhatian peneliti sejak didirikan tahun 2002 karena keberadaan empat spesies primata endemik (Presbytis potenziani, Hylobates klossii, Simias concolor, dan Macaca siberu) dalam kepadatan yang relatif tinggi dibanding area lain di pulau tersebut [4]. Karena itu, kawasan ini dapat dikatakan memiliki nilai konservasi tinggi sehingga membutuhkan informasi lebih banyak untuk efektivitas pengelolaannya. Inventaris tambahan dapat memberikan informasi mengenai kondisi habitat dan distribusi spesies yang ditemukan dan lebih lanjut mengenai biogeografi Siberut secara keseluruhan. Kelompok taksa yang dapat memberikan kedua informasi tersebut adalah kelelawar (Chiroptera). Kelelawar memiliki kekayaan tingkat trofik yang tinggi akibat kemampuannya terbang sehingga memberikan jasa ekosistem yang beragam antara lain sebagai penyerbuk, pengontrol populasi serangga, dan pemencar biji [5]. Keberadaan kelelawar yang cenderung melimpah dalam suatu habitat dapat mempengaruhi struktur habitat tersebut. Selain itu, proporsi tertinggi keanekaragaman kelelawar ada dalam ekosistem tropis [6]. Kekayaan spesies yang tinggi ini ditambah kelimpahan yang cenderung tinggi, minimnya tumpang tindih relung sebagai satu-satunya mamalia terbang, kisaran geografis yang luas, dan taksonomi yang relatif stabil, menjadikan kelelawar sesuai untuk studi biogeografi [7]. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi keanekaragaman spesies kelelawar di sekitar Stasiun Penelitian Pungut (selanjutnya disebut Pungut) milik SCP dan kontribusinya terhadap keberadaan kelelawar Siberut. Estimasi kekayaan spesies kelelawar kawasan Pungut serta penentuan kemerataan dan kelimpahan relatif kawanan kelelawar di Pungut dilakukan. Hasil inventaris Pungut kemudian dibandingkan dengan literatur [2, 8, 9] untuk menentukan kontribusinya terhadap daftar spesies kelelawar Siberut

2 Repository Tugas Akhir SITH-ITB (tahun), volume bersama dengan catatan baru dari koleksi yang tidak dipublikasikan. Daftar spesies kelelawar tersebut kemudian dikompilasi dan dibandingkan dengan anggota Paparan Sunda lain. Materi dan Metode Deskripsi Area Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan stasiun penelitian Siberut Conservation Programme (SCP), tepatnya di Stasiun Pungut. Stasiun ini berada di wilayah Hutan Peleonan (1 01 34 S, 98 50 16 E), Desa Sigapokna, Kecamatan Siberut Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Sebagian besar dari kawasan tersebut merupakan dataran rendah berbukit, dengan ketinggian 2 182 mdpl. Kawasan tersebut dialiri oleh satu sungai besar (Sungai Pungut) dan beberapa sungai kecil. Di Pulau Siberut, tidak ada satu bulan pun dengan hari hujan kurang dari 50% jumlah hari dengan curah hujan tertinggi pada bulan April (290 mm) dan Oktober (390 mm). Pengambilan data dilakukan dalam rentang tiga bulan, yaitu mulai dari awal September sampai akhir Oktober 2013 dengan total waktu pengambilan data 31 hari tidak berturut turut. Pencuplikan dilakukan dalam transek yang sudah ada dengan pemilihan transek diupayakan mewakili mikrohabitat yang berbeda untuk memperoleh sebanyak mungkin spesies. Tiga transek yang merepresentasikan mikrohabitat sungai mulai dari hutan terganggu di sisi Utara stasiun sampai mendekati hutan primer di sisi Selatan stasiun. Dua transek berada di barat dan timur merepresentasikan mikrohabitat berbukit. Kelima transek berpusat pada Stasiun Penelitian Pungut dengan kisaran koordinat 1 01'00.32" S; 98 50'42.49" T dan panjang rata-rata 750 m. Pencuplikan Kawanan Kelelawar Perangkap yang digunakan dipasang di habitat yang memberikan kemungkinan kehadiran spesies kelelawar tinggi.setiap satu jaring kabut atau satu jaring harpa dihitung sebagai satu unit usaha. Usaha di tiap transek tidak sama dengan total 58 usaha untuk jaring harpa dan 58 usaha untuk jaring kabut. Untuk setiap transek, koleksi dihentikan ketika spesies tidak bertambah setelah penambahan jarak sebanyak 500 m. Selain dalam transek, jaring kabut juga dipasang mengelilingi bangunan stasiun. Satu jaring kabut memiliki luas 6 m x 2 m sementara satu jaring harpa memiliki lebar 1 m x 1,5 m. Selama kurun waktu 31 malam, dua sampai tiga jaring harpa dan tiga jaring kabut dipasang per malam. Jarak antarjaring harpa kurang lebih 50-100 m sementara jarak antarjaring kabut 100-200 m. Jaring kabut dipasang dalam ketinggian 1-1,5 m dari permukaan tanah terendah sementara jaring harpa dipasang di permukaan tanah. Setiap malam, jaring kabut dipasang selama lima jam (17.00 22.00) dengan pengecekan jaring setiap 30 menit sementara jaring harpa dipasang selama satu malam penangkapan, yaitu satu jam sebelum matahari terbenam sampai satu jam setelah matahari terbit (17.00 07.00). Pengecekan terhadap perangkap harpa dilakukan pada sekitar pukul 20.00 dan 07.00. Koleksi dihentikan jika jumlah catatan baru yang ditemukan tidak bertambah setelah seminggu. Untuk mendeskripsikan kondisi populasi selama pencuplikan data kualitatif morfologi berupa jenis kelamin, kategori umur, dan kondisi reproduksi (khusus betina) diambil. Morfometri sederhana yaitu panjang lengan bawah, panjang betis, dan panjang telinga serta massa tubuh hingga ketelitian 0,1 g diambil untuk keperluan identifikasi. Identifikasi dilakukan di lapangan dan Laboratorium Biosistematika SITH ITB. Identifikasi dilakukan menggunakan data morfometri, karakter morfologi khusus, observasi tengkorak dan foto yang telah diambil ketika spesimen masih hidup dengan berdasarkan kepada kunci identifikasi dan deskripsi dari beberapa literatur [8, 10, 11] dengan kamera digital untuk tiga sudut pengambilan: depan, samping, dan tiga perempat depan dan fitur morfologi khas. Validasi hasil identifikasi dilakukan di Laboratorium Mamalia Museum Zoologicum Bogoriense LIPI (MZB). Tinjauan mengenai koleksi spesies kelelawar Siberut dilakukan dengan data yang tidak dipublikasikan dari MZB. Analisis Data Deskripsi struktur kawanan kelelawar Pungut dilakukan terhadap aspek kemerataan dan kekayaan spesies. Kekayaan spesies diestimasi melalui ekstrapolasi kurva akumulasi spesies yang telah dirarefaksi menggunakan perangkat lunak EstimateS 9.1.0. [12] dengan pilihan estimator Chao 2 dan Jackknife 2. Kemerataan diukur dengan indeks kemerataan Simpson (E 1/D). Spesies langka didefinisikan sebagai spesies dengan kelimpahan relatif 5% (R 5%). Data frekuensi kehadiran spesies kelelawar berdasarkan lokasi penangkapan, kategori umur, reproduksi, dan jenis kelamin dianalisis dengan uji kehomogenan chi square (X 2 ) untuk melihat keterkaitan dua kategori pengelompokan. Hasil dan Pembahasan Total hasil tangkapan selama 31 malam adalah 128 individu dan 11 spesies. Dari 128 individu, 14 individu ditangkap di luar metode standar: tiga individu ditangkap dengan jaring kabut yang disusun vertikal sebanyak tiga tingkat dan 11 lainnya ditangkap dari jaring kabut yang dipasang menutupi bagian tertentu dari dua bangunan Pungut yang menjadi

Nama spesies Jumlah spesies Repository Tugas Akhir SITH-ITB (2014), Vol. 2 3 sarang. Penghitungan E 1/D memberikan nilai 0,47. Empat spesies didapati memiliki persentase kelimpahan kurang dari 5% yaitu Megaderma spasma, Kerivoula pellucida, Murina suilla, dan Philetor brachypterus. Rekapitulasi jumlah individu per spesies dapat dilihat pada Gambar 1. Kerivoula papillosa Cynopterus brachyotis Cynopterus sphinx Emballonura monticola Macroglossus sobrinus Myotis muricola Kerivoula hardwicki Megaderma spasma Kerivoula pellucida Murina suilla Philetor brachypterus 0 10 20 30 40 50 Jumlah Individu Gambar 1. Kelimpahan individu spesies kelelawar Pungut. Berdasarkan grafik proporsi kelimpahan, spesies Kerivoula papillosa mendominasi struktur kawanan kelelawar. Namun, indeks kemerataan Simpson (0,47) mendekati nilai kemerataan sebesar 50% sehingga K. papillosa belum dapat dikategorikan sebagai spesies dominan. Sebagian besar lokasi penangkapan memiliki vegetasi lantai hutan yang padat diperkirakan menjadi penyebab hal ini karena spesies Kerivoulinae memiliki keunggulan dalam menangkap serangga di area dengan vegetasi yang rimbun menggunakan ekolokasi jarak pendek [13]. Selain itu, K. papillosa diketahui membutuhkan hutan dengan kanopi berkelanjutan [14, 15]. Kelangkaan spesies dapat disebabkan oleh metode pencuplikan [16] meskipun spesies langka dapat memiliki spesifikasi habitat dan perilaku yang berbeda. Hasil estimasi kekayaan spesies kelelawar Pungut memberikan jumlah 11 spesies untuk estimator Chao 2 dan 12 untuk Jackknife 2 (Gambar 2) [12]. Dua estimator ini direkomendasikan untuk ukurancuplikan kecil [16] dengan Chao 2 mengestimasi kekayaan spesies minimum dan Jackknife 2 sebagai korektor untuk bias ukuran cuplikan [17]. Estimasi estimasi tersebut dapat dikatakan lebih rendah dari jumlah spesies yang sebenarnya di lokasi pencuplikan karena beberapa asumsi dalam pembuatan kurva rarefaksi tidak terpenuhi demi mendapatkan jumlah spesies yang tinggi, yaitu metode yang sistematik [18] dan independensi antar sampel [17]. Sebagai pembanding, 11 spesies kelelawar merupakan jumlah spesies kelelawar yang dapat ditemukan dalam fragmen hutan dataran rendah Dipterocarpaceae dalam luasan 31 122 ha [14]. Karena itu, Hutan Peleonan yang memiliki luas sekitar 4.000 ha diperkirakan memiliki lebih banyak spesies jika disurvei dengan lebih intensif. 16 14 12 10 8 6 4 2 0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 Malam ke- Gambar 2. Kurva rarefaksi ( ), estimator Chao 2 ( ), estimator Jackknife 2 (x), dan kurva akumulasi spesies ( ). Secara keseluruhan, frekuensi perjumpaan setiap spesies kurang dari satu. Untuk K. papillosa, rasio individu/usaha adalah 0,81. Frekuensi perjumpaan antarspesies tidak jauh berbeda (X 2, P>0,05) sehingga dapat dikatakan bahwa ukuran populasi kelelawar Pungut cukup rendah. Meskipun demikian, subordo Microchiroptera merupakan subordo dengan kekayaan maupun kelimpahan spesies yang lebih tinggi daripada Megachiroptera. Hal ini dapat disebabkan kelelawar pemakan serangga memiliki persentase yang cukup tinggi dalam keragaman kelelawar Paleotropis [19]. Anggota Microchiroptera bergantung kepada perkembangbiakan serangga mangsa yang tinggi di kondisi hutan yang baik. Hutan yang terfragmentasi lebih banyak menghilangkan spesies insektivora daripada frugivora [19]. Kekayaan dan kelimpahan spesies dalam subordo Megachiroptera yang relatif lebih rendah dalam studi ini dapat dikarenakan kondisi dalam hutan yang dicuplik telah lewat musim buah (informasi penduduk setempat). Kekayaan maupun kelimpahan spesies kelelawar pemakan buah bergantung kepada kelimpahan maupun kekayaan spesies tumbuhan berbuah [20]. Selain itu, kemudahan deteksi spesies kelelawar pemakan tumbuhan lebih bergantung kepada habitat dibanding spesies pemakan hewan [21]. Dari aspek kategori umur, jenis kelamin, dan status reproduksi betina, dapat dikatakan bahwa spesies-spesies kelelawar yang dicuplik sedang tidak berreproduksi. Rata-rata jumlah individu antarjenis kelamin tidak berbeda untuk setiap kategori usia (X 2, P>0,05) dengan kategori bayi dan remaja lebih sedikit dibandingkan kategori dewasa. Karena itu, dapat dikatakan bahwa baik individu betina maupun jantan yang berusia muda sangat sedikit. Hal ini didukung oleh tingginya persentase kelelawar betina dengan status non reproduktif dalam cuplikan (52%). Inventaris kelelawar Pungut memberikan catatan dan koleksi

4 Repository Tugas Akhir SITH-ITB (tahun), volume MZB yang tidak dipublikasikan untuk Pulau Siberut memberikan tambahan sepuluh spesies terhadap daftar dalam kepustakaan [2, 8, 9]. Spesies-spesies tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1. Kompilasi daftar spesies ini memberikan total 23 spesies kelelawar untuk Pulau Siberut dalam 13 genus dan lima famili. Dari 23 spesies ini, hanya dua yang memiliki status nyaris terancam (Near Threatened, atau NT) sementara dua spesies tidak ada datanya (Data Deficient, atau DD), dua tidak diketahui karena spesies tidak diketahui (Rhinolophus dan Rousettus) dan sisanya berisiko rendah (Least Concern, atau LC) [22]. Tabel 1. Daftar spesies kelelawar Pulau Siberut. Tanda pagar (#) menunjukkan koleksi spesies kelelawar Pulau Siberut di MZB tahun 2006 yang tidak dipublikasikan, tanda asterisk (*) menunjukkan hasil inventarisasi kelelawar Pungut Famili Nama Spesies Status IUCN Pteropodidae Pteropus vampyrus NT Pteropus hypomelanus LC Macroglossus sobrinus LC Macroglossus minimus # LC Eonycteris spelaea # LC Cynopterus sphinx LC Cynopterus brachyotis # * LC Rousettus sp. # Emballonuridae Emballonura monticola LC Megadermatidae Megaderma spasma LC Hipposideridae Hipposideros galeritus LC Hipposideros dyacorum # LC Rhinolophidae Rhinolophus affinis LC Rhinolophus sp. # Vespertilionidae Myotis muricola LC Myotis ater LC Kerivoula hardwickii LC Kerivoula papillosa # * LC Kerivoula pellucida* NT Murina suilla* LC Philetor brachypterus* LC Salah satu spesies catatan baru berstatus nyaris terancam, Kerivoula pellucid dianggap secara umum bergantung kepada hutan primer yang rentan penebangan, pekebunan dan alih fungsi lahan sehingga statusnya terancam [23]. Namun, penemuan spesies tersebut di lokasi pencuplikan bagian utara yang dekat dengan aktivitas perkebunan oleh penduduk setempat [24] membuat spesies ini diprediksikan mampu bertahan di habitat yang lebih terganggu daripada perkiraan semula. Selain itu, hutan ini sering mengalami badai tropis yang mampu mengubah struktur vegetasi secara berkala. Penelitian mengenai preferensi habitat K. pellucida perlu dilakukan dengan lebih intensif untuk memperjelas status konservasinya. Perhatian yang serupa diperlukan bagi tiga genus tambahan untuk Siberut: Rousettus, Murina, dan Philetor. Ketiga genus tersebut merupakan anggota dua famili paling melimpah di Siberut: Vespertilionidae dan Pteropodidae. Genus Rousettus merupakan anggota famili Pteropodidae sedangkan Murina dan Philetor merupakan anggota famili Vespertilionidae. Kehadiran tiga genus tersebut di Pulau Siberut memberikan tambahan informasi mengenai persebaran genus genus tersebut di Indonesia bagian Barat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan dispersal ketiga genus tersebut lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya. Kekayaan spesies kelelawar Pulau Siberut yang tinggi menunjukkan bahwa habitat di Siberut beragam dan khas.jumlah catatan baru spesies kelelawar yang berkisar pada 85% dari catatan lama daftar spesies Pulau Siberut menunjukkan bahwa Pulau Siberut memiliki banyak habitat yang masih belum dieksplorasi dengan baik. Spesies tertentu tidak ditemukan pada inventarisasi sebelumnya karena kondisi tertentu suatu habitat yang memfasilitasi spesies tertentu saja. Survei dalam laporan WWF lebih banyak dilakukan di Siberut bagian barat, selatan, dan tengah yang memiliki tipe ekosistem berbeda dengan Pungut [2, 25]. Beberapa spesies terbang di atas kanopi antara lain Pteropus (pengamatan langsung) dan Eonycteris [26] sementara perangkap dipasang di bawah kanopi. Spesies yang merupakan anggota Hipposideridae dan Rhinolophidae lebih memilih gua sebagai tempat bersarang [11] sementara Hutan Peleonan tidak memiliki gua. Berdasarkan daftar spesies mamalia Indonesia [27], hampir semua spesies yang ditemukan di Mentawai ditemukan pula di Sumatera dan anggota Paparan Sunda lainnya. Hanya satu spesies di Mentawai yang tidak hadir di Sumatera maupun anggota Paparan Sunda lainnya yaitu Hipposideros breviceps. Spesies ini dicatat sebagai endemik Mentawai. Selain spesies endemic tersebut, Myotis ater adalah spesies kelelawar lain yang tidak hadir di Sumatera. Tiga spesies Mentawai tidak ditemukan di Kalimantan (Cynopterus sphinx, Hipposideros breviceps, Macroglossus sobrinus, dan Myotis ater) sedangkan tiga spesies tidak ditemukan di Semenanjung Malaysia (Eonycteris major, Hipposideros breviceps, Hipposideros dyacorum dan Rhinolophus affinis). Empat spesies tidak ditemukan di Jawa, yaitu Eonycteris major, Hipposideros breviceps, Hipposideros dyacorum dan Myotis ater. Kehadiran hampir semua spesies kelelawar Siberut di Sumatera menunjukkan hubungan darat yang erat antara kedua pulau ini meskipun keduanya terpisah sejak pertangahan zaman Pleistosen. Siberut memiliki karakter vegetasi yang mirip dengan Sumatera [28] sehingga komunitas yang serupa dengan Sumatera diperkirakan dapat terbentuk di pulau tersebut. Hal

Repository Tugas Akhir SITH-ITB (2014), Vol. 2 5 ini ditunjukkan oleh catatan tiga genus baru yang ditemukan pula di Sumatera. Meskipun demikian, Siberut tidak memiliki karakteristik habitat yang homogen dengan anggota Dangkalan Sunda lain, sehingga diperkirakan tetap memiliki ciri khas [29]. Mengingat luas Pulau Siberut (4.080 km 2 [2]) hanya mencakup satu persen luas Pulau Sumatera (443.085,65 km 2 [30]), 21 spesies kelelawar merupakan jumlah yang cukup tinggi. Jumlah ini mencakup sekitar 25% spesies kelelawar yang ada di Pulau Sumatera. Jika perbandingan antara kedua pulau dilakukan menggunakan hubungan spesies versus area yang telah dibuat untuk spesies burung di kepulauan sekitar paparan Sunda [2], sebanyak paling sedikit 20 spesies diperkirakan untuk Siberut. Padahal, daftar spesies yang ada belum mengeksplorasi secara intensif kelima tipe ekosistem yang ada di Pulau Siberut. Dengan hubungan daratan yang tinggi antara Pulau Siberut dengan Pulau Sumatera, tambahan spesies dapat menurunkan tingkat endemisitas pulau tersebut. Jika dibandingkan dengan daftar spesies mamalia Siberut yang memuat informasi endemisitas [2], catatan spesies baru kelelawar menjadi sebanyak 14 spesies dengan satu spesies endemik menghasilkan total spesies mamalia sebanyak 41 spesies dengan 11 spesies endemik. Jumlah ini menjadikan endemisitas mamalia Siberut pada tingkat spesies sebesar 26% atau menurun sebanyak 6% dari semula (32%). Kemampuan terbang kelelawar mampu mengatasi isolasi reproduktif yang dapat menyebabkan spesiasi. Hal ini menyebabkan jumlah spesies endemik pada kelelawar tidak sebanyak pada kelompok mamalia non kelelawar lain. Spesiesspesies ini antara lain adalah empat spesies primata endemik dan lima spesies tupai endemik yang dianggap sebagai sisa fauna Indo Malaya sebelum Siberut memisah [2]. Di sisi lain, keanekaragaman kelelawar yang tinggi di Pulau Siberut dapat mendukung tingkat endemisitas yang tinggi melalui pengayaan habitat akibat tingginya jasa ekosistem yang diberikan kelelawar. Kemungkinan ini memerlukan penelitian lebih lanjut. Kesimpulan Kekayaan spesies kelelawar minimum kawasan Pungut adalah 11 spesies dengan probabilitas penambahan spesies melalui metode dan periode pencuplikan yang berbeda serta tambahan jenis habitat inventaris. Kondisi hutan di kawasan Pungut memfasilitasi spesies Kerivoula papillosa untuk memperoleh kelimpahan relatif tertinggi (37%) dengan relungnya sebagai spesies pemakan serangga yang aktif mencari makan di area bervegetasi rimbun. Hal ini menyebabkan kemerataan spesies kelelawar di Pungut rendah (E 1/D = 0,47). Kemerataan diprediksikan lebih tinggi dengan pencuplikan di mikrohabitat yang lebih beragam. Kerivoula papillosa cukup kompetitif di hutan dengan kanopi berkesinambungan sehingga kehadiran spesies ini dalam jumlah relatif tinggi menunjukkan hutan di kawasan Pungut memiliki tingkat gangguan yang rendah. Berdasarkan daftar spesies dari LIPI, WWF, dan penelitian tentang Kepulauan Mentawai, daftar spesies kelelawar Pungut memberikan catatan baru sebanyak tiga spesies yaitu Kerivoula pellucida, Murina suilla, dan Philetor brachypterus sementara catatan baru dari koleksi yang tidak dipublikasikan milik MZB memberikan tambahan spesies sebanyak tujuh spesies yaitu Cynopterus brachyotis, Eonycteris spelaea, Rousettus sp., Macroglossus minimus, Kerivoula papillosa, Rhinolophus sp., dan Hipposideros dyacorum. Total sepuluh catatan baru ini menjadikan total spesies kelelawar Siberut sebanyak 23 spesies atau 28% jumlah spesies kelelawar Sumatera sehingga menunjukkan bahwa habitat di Pulau Siberut belum banyak diteliti. Berdasarkan catatan baru, Pulau Siberut memiliki biogeografi yang lebih dekat dengan Pulau Sumatera daripada anggota Paparan Sunda yang lain. Catatan baru tersebut juga menguatkan biogeografi spesies spesies tersebut di Indonesia bagian barat dan dapat menjadi tambahan bahan kajian biogeografi yang memanfaatkan spesies kelelawar. Ucapan Terima Kasih Terima kasih Penulis haturkan kepada bapak S. Noerfahmy, M. Sc. selaku supervisor lapangan, pihak SCP selaku penyedia dana dan akomodasi penelitian di lokasi Stasiun Penelitian Pungut, pihak WCS atas pinjaman perangkap harpa, serta Risel Salamanang dan Piator Salamanang atas bantuan selama pengambilan data di lapangan. Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada Maharadatunkamsi M. Sc., Sigit Wiantoro M. Sc., Kurnianingsih, dan Nanang Supriatna atas bantuan literatur dan bimbingan teknis di Laboratorium Mamalia MZB LIPI. Daftar Pustaka [1] Voris, H. K., Maps of Pleistocene sea levels in Southeast Asia: shorelines, river systems and time durations,journal of Biogeography,vol. 27, pp. 1153 1167, 2000. [2] WWF, "Saving Siberut: A Conservation Master Plan," World Wildlife Fund, Bogor, 1980. [3] Kemp, N., The birds of Siberut, Mentawai Islands, West Sumatra,Kukila, vol. 11, pp. 73 96, 2000. [4] Whittaker, D. J., A Conservation Action Plan for the Mentawai Primates, Primate Conservation, vol. 20, pp. 95 105, 2006. [5] Kunz, T. H., de Torrez, E. B., Bauer, D., Lobova, T. & Fleming, T. H. Ecosystem services provided by bats, Annals of the New York Academy of Sciences, vol. 1223, pp. 1-38, 2011.

6 Repository Tugas Akhir SITH-ITB (tahun), volume [6] Willig, M. R., Patterson, B. D. & Stevens, R. D. "Patterns of Range Size, Richness, and Body Size in the Chiroptera," dalam Bat Ecology, T. H. Kunz and M. B. Fenton, Eds., Chicago, University of Chicago Press, 2003, pp. 580 621. [7] Procheş, Ş., The world s biogeographical regions: cluster analyses based on bat distributions, Journal of Biogeography, vol. 32, pp. 607 614, 2005. [8] Corbet, G. B. & Hill, J. E., The Mammals of Indo-Malayan Region: A Systematic Review, Oxford: Oxford University Press, 1992. [9] Wilting, A., Sollmann, R., Meijaard, E., Helgen, K. M. & Fickel, J., Mentawai's endemic, relictual fauna: is it evidence for Pleistocene extinctions on Sumatra?Journal of Biogeography, vol. 39, pp. 1608 1620, 2012. [10] Suyanto, A., Kelelawar di Indonesia, Bogor: LIPI, 2001. [11] Francis, C. M., A Field Guide to The Mammals of South-East Asia, London: New Holland Publishers, 2008. [12] Colwell, R. K. EstimateS: Statistical estimation of species richness and shared species from samples. Version 9.,User's Guide and application published at: http://purl.oclc.org/estimates., 2013. [13] Schmieder, D. A., Kingston, T., Hashim, R. & Siemers, B. M., Sensory constraints on prey detection performance in an ensemble of vespertilionid understorey rain forest bats, Functional Ecology, pp. 1 11, 2012. [14] Struebig, M. J., Kingston, T., Zubaid, A., Mohd Adnan, A. & Rossiter, S. J. Conservation value of forest fragments to Paleotropical bats, Biological Conservation, doi:10.1016/j.biocon.2008.06.009, 2008. [15] Struebig, M. J., Kingston, T., Petit, E. J., Le Comber, S. C., Zubaid, A., Mohd- Adnan, A. & Rossiter, S. J. Parallel declines in species and genetic diversity in tropical forest fragments, Ecology Letters, vol. 14, pp. 582 590, 2011. [16] Magurran, A. E., Measuring Biological Diversity, Oxford: Blackwell Science, 2004. [17] Gotelli, N. J. & Colwell, R. K., "Chapter 4: Estimating species richness," in Biological Diversity: frontiers in measurement and assessment, A. E. Magurran and B. J. McGill, Eds., New York, Oxford University Press, 2011, pp. 39 54. [18] Colwell, R. K. & Coddington, J. A., Estimating terrestrial biodiversity through extrapolation, Philosophical Transactions of the Royal Society, London, Series B, vol. 345, pp. 101 118, 1994. [19] Kingston, T., Francis, C. M., Zubaid, A. & Kunz, T. H., Species richness in an insectivorous bat aseemblage from Malaysia, Journal of Tropical Ecology, vol. 19, pp. 67 79, 2003. [20] Hodgkison, R., Balding, S. T., Zubaid, A., & Kunz, T. H.,Temporal Variation in the Relative Abundance of Fruit Bats (Megachiroptera: Pteropodidae) in Relation to the Availability of Food in a Lowland Malaysian Rain Forest, Biotropica, 36(4), pp. 522 533, 2004. [21] Meyer, C. F. J., Aguiar, L. M. S., Aguirre, L. F., Baumgarten, J., Clarke, F. M., Cosson, J.-F. o.,villegas, S. E., Fahr, J.,Faria, D., Furey, N., Henry, M. l., Hodgkison, R., Jenkins, R. K. B., Jung, K. G., Kingston, T., Kunz,T. H., Gonzalez, M. C. M., Moya, I., Patterson, B. D., Pons, J.- M., Racey, P. A., Rex, K., Sampaio, E. M., Solari, S., Stoner, K. E., Voigt, C. C., von Staden, D., Weise, C. D. & Kalko, E. K. V., Accounting for detectability improves estimates of species richness in tropical bat surveys, Journal of Applied Ecology, vol. 48, pp. 777 787, 2011. [22] IUCN, "IUCN Red List," IUCN, 2008. [Dalam Jaringan]. Available: iucnredlist.org. [Diakses 25 Agustus 2014]. [23] Francis, C., Rosell Ambal, G., Kingston, T., & Nusalawo, M. "Kerivoula pellucida. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.2.," 2008. [Dalam Jaringan]. Available: http://www.iucnredlist.org/details/10983/0. [Diakses 25 Agustus 2014]. [24] Luk, C.- L., Hadi, U. K., Ziegler, T. & Waltert, M., Vertical and Horizontal Habitats for Fruit Feeding Butterflies (Lepidoptera) on Siberut, Mentawai Islands, Indonesia, Tropical Ecology, vol. 17, pp. 79 90, 2011. [25] Meyers, K., Pio, D., Rachmania, S. & Hernandez, A., "25 Years of Siberut Biosphere Reserve "Saving Siberut and its unique cultural and natural heritage"," UNESCO, Jakarta, 2006. [26] Hodgkison, R., Balding,S. T., Zubaid, A. & Kunz, T. H., Habitat structure, wing morphology, and the vertical stratification of Malaysian fruit bats (Megachiroptera: Pteropodidae), Journal of Tropical Ecology, vol. 20, pp. 667 673, 2004. [27] Suyanto, A., Yoneda, M., Maryanto, I., Maharadatunkamsi & Sugardjito, J., Checklist of The Mammals of Indonesia, Bogor: LIPI JICA, 2002. [28] Whitten, T., Damanik, S. J., Anwar, J. & Hisyam, N., The Ecology of Sumatra, Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd., 2000. [29] Meijaard, E., Mammals of south-east Asian islands and their Late Pleistocene environments, Journal of Biogeography, vol. 30, pp. 1245 1257, 2003. [30] Bakosurtanal, "Fisik Lingkungan Sumatera," 2009. [Dalam Jaringan]. Available: http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/fisik_lingkungan /fisik_lingkungan_detail.php?id=2&judul=sumatera. [Diakses 19 Agustus 2014].

Repository Tugas Akhir SITH-ITB (2014), Vol. 2 7 Keanekaragaman kelelawar (Mammalia: Chiroptera) Stasiun Penelitian Pungut dan kontribusinya terhadap keberadaan kelelawar Siberut Draft Publikasi Guna Memenuhi Syarat Studi Tingkat Sarjana di Program Studi Biologi, Institut Teknologi Bandung Oleh: Sabhrina Gita Aninta 10610018 Bandung, September 2014 Diperiksa dan Disetujui: Pembimbing Tugas Akhir, Prof. Dr. Djoko T. Iskandar NIP 195022081978031002