II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Klasifikasi Tanaman Bawang Merah Menurut Rahayu dan Berlian (1999), tanaman bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Family Genus Spesies : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae : Monocotyledonae : Liliales : Liliaceae : Allium : Allium ascalonicum L. atau Allium cepa var.ascalonicum Akar Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal dan bercabang terpencar, pada kedalaman antara 15 30 cm di dalam tanah. Jumlah perakaran tanaman bawang merah dapat mencapai 20 200 akar. Diameter bervariasi antara 2 5 mm. Akar cabang tumbuh dan terbentuk antara 3 5 akar (Rukmana, 1994). Batang Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang berbentuk seperti cakram, tipis, dan pendek sebagai tempat melekatnya akar dan mata tunas (titik tumbuh). Di atas discus terdapat batang semu yang tersusun dari pelepah-
pelepah daun. Batang dan semua yang berada di dalam tanah berubah bentuk dan fungsi menjadi umbi lapis (Litbang, 2007 b ). Daun Daun bawang merah berbentuk seperti pipa, yakni bulat kecil memanjang antara 50 70 cm, berlubang, bagian ujungnya meruncing, berwarna hijau muda sampai hijau tua, dan letak daun melekat pada tangkai yang ukurannya relatif pendek (Rukmana, 1994). Bunga Bunga bawang merah termasuk bunga sempurna, terdiri dari 5 6 benang sari dan sebuah putik. Daun bunga berwarna agak hijau bergaris keputih-putihan atau putih. Tangkai bunga keluar dari ujung tanaman (titik tumbuh) yang panjangnya antara 30 90 cm, dan di ujungnya terdapat 50 200 kuntum bunga yang tersusun melingkar (bulat) seolah berbentuk payung (Litbang, 2007 b ). Buah dan Biji Bakal buah duduk di atas membentuk bangunan segitiga hingga tampak jelas seperti kubah. Bakal buah terbentuk dari 3 daun buah (karpel) yang membentuk 3 buah ruang. Setiap ruang mengandung 2 bakal biji (ovulum) (Rahayu dan Berlian, 1999). Buah berbentuk bulat dengan ujungnya tumpul membungkus biji berjumlah 2 3 butir. Bentuk biji agak pipih, sewaktu masih muda berwarna bening atau putih, tetapi setelah tua menjadi hitam. Biji-biji bawang merah dapat dipergunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman secara generatif (Rukmana, 1994).
2. Syarat Tumbuh Tanaman Tanah Tanaman bawang merah dapat ditanam di dataran rendah maupun dataran tinggi, yaitu pada ketinggian 0-1.000 m di atas permukaan laut (dpl). Meskipun demikian, ketinggian optimalnya adalah 0 400 m dpl saja. Secara umum, tanah yang tepat ditanami bawang merah ialah tanah yang bertekstur remah, sedang sampai liat, berdrainase baik, memiliki bahan organik yang cukup, dan ph-nya antara 5,6 6,5 (Nazaruddin, 1999). Pada tanah-tanah yang becek, pertumbuhan tanaman bawang merah akan kerdil dan sering menyebabkan umbi-umbinya mudah menjadi busuk. Di samping itu, tanaman ini sangat tanggap (responsif) terhadap ph tanah. Bila ph kurang dari 5,5, pertumbuhan tanaman akan kerdil karena keracunan garam-garam Aluminium (Al). Sebaliknya, bila ph di atas 6,5 garam Mangan (Mn) tidak dapat diserap tanaman, sehingga umbinya kecil-kecil dan hasilnya menjadi rendah (Rukmana, 1994). Iklim Bawang merah paling menyukai daerah yang beriklim kering dengan suhu yang agak panas dan cuaca cerah (suhu antara 25-32 o C). Tempatnya yang terbuka, tidak berkabut, dan angin yang sepoi-sepoi. Suhu yang paling baik jika suhu rata-rata tahunannya 30 o C (Wibowo,1999). Angin merupakan faktor iklim berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman bawang merah. Angin kencang yang berhembus terus-menerus secara langsung dapat menyebabkan kerusakan tanaman karena sistem perakaran tanaman bawang merah yang sangat dangkal (Deptan, 2007 a ).
Tanaman bawang merah sangat rentan terhadap curah hujan tinggi. Curah hujan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman bawang merah adalah antara 300 2.500 mm/tahun. Kelembaban udara (nisbi) yang sesuai adalah antara 80 90 %. Intensitas sinar matahari penuh, lebih dari 14 jam/hari. Oleh sebab itu, tanaman ini tidak memerlukan naungan/pohon peneduh (Deptan, 2007 a ). 3. Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysporum) Biologi Penyakit Menurut Sunarjono, dkk (1995), penyakit layu Fusarium (F. oxysporium), dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Family Genus Spesies : Fungi : Ascomycota : Pezizomycotina : Sordariomycetes : Hypocreales : Hypocreaceae : Fusarium : Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp. cepae (Hanz.) Snyd. et Hans. Koloni pada media OA atau PDA (25 o C) mencapai diameter 3,5 5,0 cm. Miselia aerial tampak jarang atau banyak seperti kapas, kemudian menjadi seperti beludru, berwarna putih atau salem dan biasanya agak keunguan yang tampak lebih kuat dekat permukaan medium. Sporodokhia terbentuk hanya pada beberapa strain. Koloni berwarna kekuningan hingga keunguan. Konidiofor dapat bercabang dapat tidak, dan membawa monofialid. Mikrokonidia bersepta 0 hingga 2, terbentuk lateral pada fialid yang sederhana, atau terbentuk pada fialid yang
terdapat pada konidiofor bercabang pendek, umumnya terdapat dalam jumlah banyak sekali, terdiri dari aneka bentuk dan ukuran, berbentuk avoid-elips sampai silindris, lurus atau sedikit membengkok, dan berukuran (5,0 12,0) x (2,2-3,5) µm (Gandjar, dkk, 1999). Makrokonidia jarang terdapat pada beberapa strain, terbentuk pada fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang atau dalam sporodokhia, bersepta 3 5, berbentuk fusiform, sedikit membengkok, meruncing pada kedua ujungnya dengan sel kaki berbentuk pediselata, umumnya bersepta 3, dan berukuran (20) 27 46 (50) x 3,0 4,5 (5) µm. Khlamidospora terdapat dalam hifa atau dalam konidia, berwarna hialin, berdinding halus atau agak kasar, berbentuk semi bulat dengan diameter 5,0 15 µm, terletak terminal atau interkalar, dan berpasangan atau tunggal (Gandjar, dkk, 1999). Gambar 1. Fusarium oxysporum. a. Makrokonidia. b. Konidiofor. c. Fialid. d. Mikrokonidia. e. Khlamidospora (Sumber : Gandjar, dkk, 1999). Gejala Serangan Sasaran serangan adalah dasar dari umbi lapis. Akibatnya baik pertumbuhan akar maupun umbi lapis terganggu. Gejala visual adalah daun yang menguning dan cenderung terpelintir (terputar). Tanaman sangat mudah tercabut karena
pertumbuhan akar terganggu bahkan membusuk. Pada dasar umbi terlihat cendawan yang berwarna keputih-putihan, sedangkan apabila umbi lapis dipotong membujur terlihat adanya pembusukan berawal dari dasar umbi meluas baik ke atas maupun ke samping. Serangan lanjut akan mengakibatkan tanaman mati, dimulai dari ujung daun dan dengan cepat menjalar ke bagian bawahnya (Sunarjono, dkk, 1995). Gambar 2. Gejala penyakit layu Fusarium pada tanaman bawang merah (Sumber : Foto Langsung). Gejala penyakit layu Fusarium adalah ujung daun layu dan menguning, melinting dan nekrosis, akar berwarna hitam dan rapuh, dasar akar membusuk. Fusarium dapat juga menyerang umbi bawang yang telah dipanen yang terdapat dalam gudang penyimpanan (Wordpress, 2007). Bagian umbi yang busuk Miselium jamur Gambar 3. Gejala Penyakit Layu Fusarium pada Umbi Bawang Merah (Sumber : Foto Langsung).
Jika terinfeksi melalui bibit, gejala serangan mulai terlihat pada umur 7-14 hari setelah tanam. Sedangkan jika terinfeksi melalui tanah, gejala serangan mulai terlihat pada umur > 30 hari sesudah tanam (Moekasan, dkk, 2000). Daur Hidup Gambar 4. Konidia Fusarium oxysporum (kiri) dan gejala serangannya pada bawang merah (kanan) (Sumber: Sunarjono, dkk, 1995). Fusarium dapat bertahan lama sebagai saprofit dalam tanah. Di dalam tanah jamur ini dapat bertahan selama 3 tahun. Tanah dianggap sebagai sumber infeksi yang terutama. Populasinya akan meningkat jika di situ ditanam tanaman yang sesuai. Jamur ini menginfeksi melalui akar, terutama melalui luka-luka, lalu menetap dan berkembang di berkas pembuluh. Pengangkutan air dan hara tanah terganggu yang menyebabkan tanaman menjadi layu. Jamur membentuk polipeptida, yang disebut likomarasmin, yang dapat mengganggu permeabilitas membran plasma dari tanaman. Sesudah jaringan pembuluh mati, pada waktu udara lembab jamur akan membentuk spora yang berwarna putih keunguan pada akar yang terinfeksi (Wordpress, 2007).
Jamur dapat menginfeksi tanaman melalui bermacam-macam luka pada akar, misalnya luka yang terjadi karena pemindahan bibit, karena pembumbunan, atau luka karena serangga dan nematoda (BPT-Sumbar, 2007). Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit layu fusarium atau di daerah Brebes dikenal dengan penyakit ngoler disebabkan oleh cendawan (Fusarium oxysporum). Penyakit ini dapat ditularkan melalui umbi bibit, udara, tanah, dan air (Moekasan, dkk, 2000). Penyakit ini berkembang pada suhu tanah 21-33 o C. Suhu optimumnya adalah 28 o C. Sedangkan curah hujan (1.500-2.500 mm/tahun) dan kelembaban udara yang membantu tanaman (70-90%), ternyata juga membantu perkembangan penyakit. Seperti kebanyakan Fusarium, penyebab penyakit ini dapat hidup pada ph tanah yang luas variasinya. Walaupun begitu, patogen akan tumbuh dengan baik pada ph 3,6 8,4 pada media kultur. Penyakit akan lebih berat bila tanah mengandung banyak nitrogen tetapi miskin akan kalium (Walker, 1969). Pengendalian Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan menyemprotkan fungisida berbahan aktif karbendenzim atau mankozeb. Apabila serangan belum terlalu banyak, langkah lain dapat ditempuh dengan mencabut dan membuang/ membakar segera tanaman yang terserang (Wordpress, 2007).
Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : No Teknik Pengendalian Keterangan 1 Kultur Teknis - pemberian pupuk organik (kompos, pupuk kandang), - penjarangan anakan, - rotasi dengan tanaman bukan inang (misalnya: pepaya, nanas, jagung dan lain-lain), - pembuatan drainase, - sanitasi lingkungan pertanaman, - menghindari terjadinya luka pada akar, - menggunakan benih sehat (bukan dari daerah serangan atau rumpun terserang, benih dari kultur jaringan) atau benih baru setiap musim tanam, - sistem pindah tanam setelah tiga kali panen, maksimal 3 tahun, - pengapuran atau pemberian abu dapur untuk menaikkan atau menjaga kestabilan ph tanah; 2 Fisik/Mekanis Eradikasi rumpun terserang dengan membongkar sampai ke akar-akarnya pada batang semu dan anakan, kemudian dibiarkan mongering; 3 Genetika Menanam varietas bawang merah yang tahan penyakit layu, sesuai dengan kondisi setempat; 4 Biologi Aplikasi agens hayati, misalnya Thichoderma spp., Gliocladium sp., Pseudomonas fluorescent, Bacillus subtilis sebelum/pada saat tanam (1 kg/lubang tanam) yang diintroduksi bersama dengan kompos dengan perbandingan 1 : 10, atau pada bibit (100 g/bibit); 5 Kimia Semua alat yang digunakan didisinfektan dengan kloroks 1% (Bayclean yang diencerkan 1 : 5), atau dicuci bersih dengan sabun. (Deptan, 2007 b ).
4. Trichoderma harzianum Menurut Deptan (2007 c ), jamur ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Division : Fungi : Ascomycota Sub Division : Pezizomycotina Class Order Family Genus Species : Sordariomycetes : Hypocreales : Hypocreaceae : Trichoderma : Trichoderma harzianum Trichoderma spp merupakan jamur saprofitik yang hidup dalam tanah, serasah, dan kayu mati. Jamur ini hidup di berbagai tempat, mudah ditemukan, berkembang dengan cepat dan diantaranya mampu membunuh jamur lain, seperti : Rhizoctonia solani, Fusarium oxysporum, Rigidoporus lignosus, Pythium sp., Gloeosporum sp., Sclerotinia sp., Sclerotium sp., Phytophthora sp., dan jamur patogen tular tanah lainnya. Jamur ini menyukai tanah masam untuk pertumbuhannya. Pertumbuhan optimum terjadi pada ph 3,5 6,5. Dalam keadaan lingkungan yang kurang baik, miskin hara atau kekeringan, Trichoderma akan membentuk klamidospora sebagai propagul untuk bertahan. Propagul ini akan tumbuh dan berkembang biak kembali apabila lingkungan kembali normal. Hal ini berarti dengan sekali aplikasi saja Trichoderma akan tinggal di dalam tanah untuk selamanya (Sinulingga, 1989). Di alam, jamur antagonis dapat berinteraksi dengan jamur lain yang diekspresikan dalam aktifitas mikoparasitisme (hiperparasitisme), kompetisi, serta
antibiosis dan lisis. Kemampuan antagonis ini disebabkan oleh beberapa kegiatan, yaitu : a. Kegiatan kompetisi, pemakaian sumber energi yang sama yang diberikan dalam media. b. Kegiatan antibiosis, pengeluaran antibiotik atau metabolisme yang menghambat kegiatan parasit. c. Penghancuran dinding miselium parasit, dapat dihubungkan dengan keberadaan enzim (1-3) glukanase, ekstraseluler-kitinase akibat memarasit secara langsung terhadap patogen (Chet, 1987). Gambar 5. Trichoderma harzianum. a. Konidiofor. b. Sel-sel pembentuk konidia. c. Konidia (Sumber : Gandjar, dkk, 1999). Miselium T. harzianum mempunyai hifa bersepta, bercabang-cabang, dinding sel licin, tidak berwarna, diameter 1,5 12 μm. Percabangan hifa membentuk sudut siku-siku pada cabang utama. Cabang-cabang utama konidiofor berdiameter 4,5 5,0 μm dan menghasilkan banyak cabang-cabang sisi yang dapat tumbuh satu-satu, tetapi sebagian besar berbentuk dalam kelompok yang agak longgar dan kemudian berkembang menjadi daerah-daerah seperti cincin. Pada ujung konidiofor terbentuk konidiospora berjumlah 1 5, berbentuk pendek,
dengan kedua ujung meruncing dibandingkan dengan bagian tengah, berukuran 5 7 x 3 3,5 μm. Di ujung konidiospora terdapat konidia berbentuk bulat, berdinding rata dan berwarna hijau suram, hijau keputihan, hijau terang, atau agak kehijauan (Deptan, 2007 c ). Trichoderma spp menghasilkan antibiotik viridin, gliotoxin, paracelsin, alamethilin atau triochotoxin yang dapat menghancurkan sel jamur, dan enzim (1-3) glukanase dan kitinase yang dapat menghasilkan lisis terhadap dinding jamur lain. Trichoderma spp memarasit miselium jamur lain dengan menembus dinding sel yang masuk ke dalam sel untuk mengambil makanan dari dalamnya sehingga jamur menjadi mati. Dalam kompetisi, Trichoderma spp mempunyai kemampuan untuk memperebutkan tempat dan sumber makanan dalam tanah atau di sekitar perakaran tanaman (rizosfer) (Deptan, 2007 c ).