Memperbanyak Pengalaman Demokrasi, Meningkatkan Kecerdasan Berbela Rasa

dokumen-dokumen yang mirip
Penutup BAB Kesimpulan

MENJADI MUSLIM DI NEGARA SEKULER

BAB IV. PENUTUP. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Frankfurt. Para tokoh Mazhab Frankfurt generasi pertama terjebak dalam

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di dunia memungkinkan manusia untuk terarah pada kebenaran. Usahausaha

PENDAHULUAN BAB Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

PERTEMUAN KE 4 POKOK BAHASAN

SAMSURI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. sisi-sisi kehidupan manusia dan memuat kebenaran-kebenaran kehidupan

RANGKUMAN Penggolongan Filsafat Pendidikan menurut Theodore Brameld: 1. Tradisi filsafat klasik yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh dari teori Plato,

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. uraian yang sudah dibahas secara keseluruhan. Penulis akan menyimpulkan bab

BAB 5 PENUTUP. mendeliberasikan ide-ide mengenai perlindungan terhadap hak publik adalah ruang

BAB I PENDAHULUAN. Jürgen Habermas dalam bukunya Faktizitat und Geltung mengungkapkan

BAB III KERANGKA TEORI ANALISIS

5. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

Etika dan Filsafat. Komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat. Sebagai makhluk yang

BAB I PENDAHULUAN. No.20 tahun 2003 juga memuat hakikat pendidikan yang menjadi tolok ukur

LAPORAN TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN DASAR NEGARA

ASAL MULA & PERKEMBANGAN SOSIOLOGI. Fitri Dwi Lestari

POLITIK HUKUM BAB IV NEGARA DAN POLITIK HUKUM. OLEH: PROF.DR.GUNARTO,SH.SE.A,kt.MH

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

Manfaat Belajar Pendidikan Pancasila bagi Mahasiswa

KONSEPSI KEWARGANEGARAAN. By : Amaliatulwalidain

REGRESI PERADABAN DAN KEMBALINYA HASRAT PREDATORIS MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembelajaran di sekolah tidak hanya difokuskan pada pembekalan

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

ASAS DEMOKRASI LIBERAL DAN KEMAJUAN AMERIKA: SEBUAH TINJAUAN FILSAFAT PRAGMATISME AMERIKA (Charles Peirce, John Dewey dan William James)

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam

Bab 2. Landasan Teori. dalam cerita, dan bagaimana penempatannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup

TANTANGAN UMAT BERAGAMA PADA ABAD MODERN

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

PROPORSI PENILAIAN Tugas Mingguan 40% Diskusi Mingguan 20% Ujian Tengah Semester 20% Ujian Akhir Semester 20%

BAB I PENDAHULUAN. teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh

BAB I PENDAHULUAN. berkarakter dalam mengisi kemerdekaan. Namun, memunculkan jiwa yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

2

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DI AS

BAB I PENDAHULUAN. adalah pengetahuan. Kemudian Plato, menurutnya baik itu apabila ia dikuasai oleh

BAB I PENDAHULUAN. Sosiologi pada dasarnya mempunyai dua pengertian dasar yaitu sebagai

Business Ethic & Good Governance

ETIKA dan PROFESIONALISME. Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Manifesto Aidit dalam Peranan Koperasi Dewasa Ini

BAB I PENDAHULUAN. dalam melaksanakan keterampilan menulis dan hasil dari produk menulis itu.

PENGERTIAN ETIKA Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. TUJUAN MEMPELAJARI ETI

BAB I PENDAHULUAN. dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin

TUJUAN NEGARA. Sesuai dengan tujuan bersama yang disepakati Tujuan negara sesuai dengan ideologi yang digunakan dalam negara

MAKALAH TENTANG ATTENTION Pelayanan Prima Berdasarkan Konsep Perhatian ( ATTENTION ) SMK MUHAMMADIYAH 01 KELING TAHUN PELAJARAN 2015/2016

2.2 Fungsi Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara...7

Modul ke: Pancasila. Pancasila sebagai Ideologi Negara. Fakultas MKCU. Finy F. Basarah, M.Si. Program Studi MKCU

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Sudut pandang teori materialisme historis dalam filsafat sejarah

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

BAB VI PENUTUP. visi bersama mahasiswa yang menjadi cita-cita atau arah perubahan yang hendak

Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia

Berpikir Kritis (Critical Thinking)

PROBLEMATIKA KOMPETENSI DAN PROFESIONALISME GURU

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DAN DASAR NEGARA. Novia Kencana, S.IP, MPA

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. yang lainnya saling berkaitan dan berlangsung dengan bersamaan. Berbicara

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Progresif

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

PLEASE BE PATIENT!!!

Resensi Buku JADI KAYA DENGAN BERBISNIS DI RUMAH OLEH NETTI TINAPRILLA * FENOMENA WANITA * WANITA BERBISNIS : ANTARA KELUARGA DAN KARIR

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan teknis (skill) sampai pada pembentukan kepribadian yang kokoh

BAB 5 PENUTUP. Utopia.com..., Raditya Margi Saputro, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB IV TINJAUAN KRITIS DARI PERSPEKTIF PEDAGOGI PEMBEBASAN PAULO FREIRE TERHADAP MODEL PENYULUHAN AGAMA KRISTEN

BAB I PENDAHULUAN. dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Sebagai bahasa negara, BI dapat

Dinno Mulyono, M.Pd. MM. STKIP Siliwangi 2017

BAB I PENDAHULUAN. dipahami anak. Sastra anak secara emosional psikologis dapat ditanggapi dan

KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2

August Comte Selo Soemardjan Soelaeman Soemardi

Para Filsuf [sebahagian kecil contoh] Oleh Benny Ridwan

MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim

164 WACANA VOL. 10 NO. 1, APRIL 2008

BAB I PENDAHULUAN. sastrawan dalam mengemukakan gagasan melalui karyanya, bahasa sastra

Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia

PANCASILA PANCASILA DAN IDEOLOGI DUNIA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Sistem Informasi.

BAB I PENDAHULUAN. juga memberikan pengalaman dan gambaran dalam bermasyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. unsur kekuatan daya saing bangsa, sumber daya manusia bahkan sebagai

Maudemarie Clark, Nietzsche on Ethics and Politics, New York: Oxford University Press, 2015, x+318 hlm.

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,2009

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Islam dan Demokrasi. Disusun oleh : AL-RHAZALI MITRA ANUGRAH F FEBRIAN DELI NOVELIAWATI C.

POSTMODERNISME HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

SAINS, ISLAM, DAN REVOLUSI ILMIAH

Internalisasi Kreativitas, Mentalitas dan Sosiologi Kritis dalam Kurikulum & PBM Perekonomian Berbasis Kewirausahaan dan Syariah

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB. Feni Fasta, SE, M.Si SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA

INTISARI BAB I PENDAHULUAN

MATERI KULIAH ETIKA BISNIS. Pokok Bahasan: Pancasila sebagai Landasan Etika Bisnis

Pengertian etika = moralitas

Transkripsi:

Memperbanyak Pengalaman Demokrasi, Meningkatkan Kecerdasan Berbela Rasa Oleh Dr. Paul Budi Kleden, SVD Koperasi, dalam bentuknya sebagai Koperasi Simpan Pinjam, tampaknya sedang mengubah wajah perekonomian di Indonesia, tidak terkecuali di NTT. Warga yang miskin, yang umumnya tidak mudah mempercayakan orang lain mengelola uangnya yang serba sedikit, tampaknya tidak canggung menyerahkan uangnya untuk disimpan dalam lembaga keuangan mikro seperti CU. Memang wajah perekonomian tidak serentak berubah total, namun sudah mulai terjadi perubahan pola pikir yang mengantar kepada perubahan perilaku ekonomi. Mungkin terlampau berlebihan kalau digunakan kata revolusi untuk perubahan ini, tetapi tidak adil pula apabila orang meremehkan gerakan yang sedang terjadi. Lalu, apa kaitannya semua ini dengan filsafat? Karl Marx, pemikir berkebangsaan Jerman yang hidup pada abad ke-19 (1818-1883), dalam tulisannya berjudul Sebelas Tesis Tentang Feuerbach membuat kritik yang tajam ke alamat kalangan para filsuf yang dirumuskannya sebagai tesis kesebelas. Tesis kritis tersebut berbunyi: Para filsuf selama ini sibuk menafsir dunia secara berbeda-beda, namun, sebenarnya yang paling penting adalah mengubah dunia. Para filsuf hanya sibuk membangun dan membongkar ide, merumuskan dan merumuskan ulang gagasan. Semuanya hanya mengatakan dengan pengertian lain hal yang sama. Variasi gagasan ini boleh jadi paling banyak menyangkut manusia. Manusia disebut oleh pemikir yang satu sebagai makhluk berakal budi (homo sapiens), pemikir lain menggagaskannya sebagai homo ludens, makhluk yang suka bermain. Ada yang menyebut manusia sebagai makhluk yang dari alamnya berorientasi pada orang lain dan mesti hidup bersama orang lain (ens sociale). Namun, gagasan ini dibantah oleh pemikir lain yang melihat manusia sebagai serigala bagi yang lain (homo homini lupus). Apa sumbangan semua gagasan ini bagi kehidupan manusia? Marx menuduh, tidak ada sesuatu pun yang dapat diubah oleh konsep-konsep brilian tersebut. Sebab itu, semua orang, termasuk para pemikir dan filsuf, sudah saatnya sadar, bahwa yang paling menentukan dan dibutuhkan adalah mengubah dunia. Perubahan dunia itu kemudian ditafsir oleh Karl Marx sebagai tindakan revolusioner. Bukan teori, tetapi aksi dan praktik adalah jalan untuk mengubah wajah bumi dan nasib manusia. Maka, Marx menyerukan agar para proletarier dan kaum buruh seluruh dunia bersatu. Warga yang nasibnya sering dipermainkan oleh para pemilik modal besar, perlu menggalang kekuatan untuk merebut kekuasaan. Mereka mesti mengambil alih kontrol atas sarana produksi dan menjalankan roda perekonomian dalam semangat kesetaraan. Dengan ini akan terbentuk masyarakat tanpa kelas. Tidak ada lagi buruh yang mesti bekerja dalam kondisi yang tidak adil dan tidak manusiawi, tidak ada pula majikan yang hanya bersenang-senang di atas pundak para buruh dan mengongkos hidupnya dengan keringat para pekerja. Para buruh yang mengambil alih kekuasaan tidak akan terjebak dalam sistem politik yang sama yang memisahkan warga dalam kelas-kelas. Ideal marxisme yang menemukan bentuk revolusi konkretnya dalam Stalinisme dan Leninisme ternyata berakhir dengan kenyataan masyarakat yang hirarkis. Para penguasa baru membentuk polit biro yang lebih pantas disebut sebagai elit biro yang menikmati segudang privilese sementara warga biasa mengalami penindasan hak politik dan ekonomi. Sebagai ganti kebebasan, para warga dimatai-matai dalam setiap ruang geraknya dan tutur katanya dimonitor sepanjang waktu. Bukan solidaritas dan saling percaya yang mewarnai pergaulan

antarwarga, melainkan saling curiga sampai ke ruang kehidupan yang paling intim seperti keluarga, sebab setiap orang dapat saja menjadi agen yang direkrut negara untuk memantau setiap gerak sesamanya. Ternyata, mengubah dunia tidak semudah yang dikatakan Marx. Marxisme terjebak dalam kepercayaan pada otomatisme, seolah mengganti struktur akan dengan sendirinya membawa perubahan pada pola pikir dan sikap manusia. Ada anggapan, sudah cukup berjuang untuk mengganti sistem, dan hal ini pasti akan membawa perubahan dalam kerangka berpikir dan prilaku semua manusia yang ada di dalamnya. Namun, ternyata para penguasa baru yang masuk ke dalam sistem baru tidak lebih baik daripada mereka yang sebelumnya. Orang-orang baru itu boleh saja mengenakan pakaian baru dan menggunakan titel yang terkesan bersahabat dan dekat dengan rakyat, tetapi ternyata mereka juga merupakan pemangsa warga yang buas dan tidak kenal kemanusiaan. Mengubah rezim dan mengganti struktur tidak secara niscaya mengubah manusia. Sebab itu, keraguan terhadap prioritas praksis di atas teori pun kian meluas. Asumsi Marx kehilangan kredibilitasnya. Kenyataan ini menghadirkan kembali pertanyaan tua: mana yang perlu didahulukan, merancang baru struktur atau mengubah manusia? Mendidik orang atau merombak sistem politik, termasuk sistem pendidikan? Mana yang mesti dikerjakan lebih dahulu: meletakkan fundasi pemikiran yang kokoh, atau menciptakan struktur kehidupan bersama yang tidak tergoyahkan? *** Pertanyaan-pertanyaan seperti tampaknya menggugah juga Richard Rorty, seorang filsuf kontemporer dari Amerika. Rorty dilahirkan di New York pada tanggal 4 Oktober 1931. Rorty mulai mendapat perhatian dalam diskusi para filsuf pada tahun 1967 saat dia melansir gagasannya mengenai sebab kegagalan sistem-sistem filsafat. Menurut Rorty, kerangkakerangka penjelasan filsafat umumnya gagal, sebab masing-masingnya terlalu angkuh dan percaya diri dengan klaim, bahwa mereka dibangun di atas dasar yang tak tergoyahkan. Pengandaian seperti ini merupakan satu kekeliruan, sebab selama berada dalam dunia dan hidup dalam sejarah, kita tidak pernah memiliki sesuatu yang pasti tak terguncangkan. Gagasan dasar ini kemudian dikembangkan Rorty lebih lanjut dalam dua karyanya yang terkenal The Mirror of Nature (1979) dan Contingency, Irony and Solidarity (1989). Ide-ide utama Rorty dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, kita hidup dalam dunia tanpa dasar terakhir yang absolut. 1 Apapun yang kita alami dalam dunia, selalu bersifat sementara. Semuanya bisa ada, bisa juga tidak ada. Tidak ada ide absolut yang mengharuskan adanya sesuatu, dan tidak ada pula keharusan untuk meniadakan sesuatu yang sudah ada. Kita mengadakan sesuatu karena kita hendak mencobanya, atau karena orang lain memberikan kesaksian bahwa hal itu baik, bukan karena ide yang secara jelas dan mendesak mendorong kita untuk melahirkannya. Apabila sesuatu yang sudah ada dipertahankan, hal itu hanya terjadi karena kita mengalami bahwa keberadaannya menguntungkan kita. Bukan alasan teoretis tertentu yang memberikan pendasaran bagi kita untuk mempertahankannya, melainkan semata-mata karena pengalaman kita. Rorty menyebut orang yang sadar akan kenyataan ini sebagai orang yang ironis. Dengan pola pikir seperti ini, benar bukan lagi apa yang secara tepat merefleksikan alam, melainkan apa yang lebih baik kita percaya, atau yang mempercayainya adalah lebih baik 1 Richard Rorty, Kontingenz, Ironie und Solidaritaet (terjem bahasa Jerman dari Contingency, Irony and Solidarity), Frankfurt a.m.: Suhrkamp, 1989, hlm. 23.26.

untuk kita. 2 Yang lebih baik adalah yang mendukung kehidupan bersama. Kebenaran bukanlah persoalan objektivitas, melainkan solidaritas, bukan masalah epistemologi, melainkan etika. Dengan demikian tampak jelas ciri pragmatis dari kebenaran. Benar adalah apa yang baik untuk kita, dan kalau sesuatu itu sudah tidak baik lagi bagi kita, maka kita perlu menggantikannya. Kebenaran dan pengetahuan hanya dapat diukur dari kegunaan, tidak ada dasar lain di luar argumentasi itu sendiri. Berdasarkan kegunaan itu juga kita dapat membuat penilaian tentang berbagai interpretasi atas dunia. Satu interpretasi dapat dikatakan lebih baik dari yang lain, tetapi bukan lebih benar dari yang lain. Lebih baik, berarti lebih berguna. Lebih berguna bagi kita pada konteks tertentu, pada waktu dan tempat tertentu. Kedua, karena segala sesuatu bersifat kontingen, maka tidak ada dasar rasional yang universal yang dapat digunakan untuk mempromosikan sesuatu di mana-mana. Bukan dengan argumentasi kita meyakinkan orang lain akan kebaikan dari sesuatu, melainkan dengan membiarkan dia merasakan kebaikan atau mengambil bagian dalam kebaikan dari sesuatu tersebut. 3 Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang baik, bukan karena dia dibangun di atas dasar argumentasi akal sehat yang tidak tergoyahkan, misalnya, bahwa bentuk ini paling sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk individual dan sosial, makhluk mandiri serentak berbela rasa. Ungkapan-ungkapan dasariah seperti ini tidak dapat dipertahankan dalam dunia yang serba kontingen itu. Sudah saatnya kita tinggalkan pernyataan-pernyataan yang terkesan netral secara politis untuk mempromosikan demokrasi. Kita hanya bisa mengatakan bahwa demokrasi itu baik, sebab kita sudah hidup dalam konteks demokrasi atau telah melihat bagaimana orang lain hidup di dalamnya dan menjadi bahagia olehnya. Demokrasi adalah sesuatu yang baik sebab kita mengalami bahwa ternyata dengan bentuk pemerintahan seperti ini kita dapat melaksanakan peralihan kekuasaan tanpa pertumpahan darah. Namun, apabila sekelompok warga mengalami bahwa demokrasi ternyata menelan ongkos finansial dan sosial yang terlampau berat, bahwa demokrasi hanya mendatangkan ketidakpuasan dan kerusuhan berkepanjangan, boleh jadi mereka akan kehilangan rasa percaya kepada demokrasi dan mulai memikirkan bentuk pemerintahan lain. Kita tidak dapat mengatasi keraguan ini dengan menyampaikan pendasaran yang rasional tentang demokrasi, tetapi dengan menunjukkan bahwa demokrasi, seperti semua hal lain, memang butuh proses untuk sampai pada kondisi yang optimal. Apabila kita dapat membiarkan semakin banyak orang merasakan kebaikan demokrasi, maka bentuk ini dapat dipromosikan kepada banyak orang. Boleh jadi akan datang satu masa ketika demokrasi dijadikan bentuk penyelenggaraan kekuasaan di mana-mana. Namun, hal ini terjadi sekali lagi terjadi bukan karena keunggulan rasional dari demokrasi, melainkan karena sebagian besar warga telah merasakan keunggulannya. Kita tidak perlu lagi menghabiskan banyak tenaga dan waktu yang sangat berharga untuk memberikan pendasaran yang tak tergoyahkan mengenai demokrasi. Yang diperlukan bukan seminar dan ulasan ilmiah mengenai demokrasi, melainkan latihan nyata tentang bagaimana hidup bersama yang dilandasi oleh tanggungjawab seluruh anggota dan penghargaan yang tinggi terhadap semua. Ketiga, di dalam masyarakat yang liberal, tampaknya telah menjadi reaksi umum bahwa kekerasan adalah yang buruk, bahwa penderitaan harus dielakkan dan diatasi. Untuk mengatasi penderitaan reaksi yang umum dalam masyarakat dewasa ini adalah solidaritas. 2 Richard Rorty, Der Spiegel, 404. 3 Richard Rorty, Kontingenz, hlm. 14.

Kita berbela rasa untuk mengatasi penderitaan yang dialami siapapun. 4 Solidaritas bukanlah satu keharusan yang datang dari satu perintah agama yang mesti ditaati siapa saja atau dari satu tuntutan moral yang boleh disampaikan kepada siapa saja. Tidak ada perintah moral yang mengikat setiap orang karena dianggap lahir dari kodrat manusia. Etika kewajiban sebagaimana dikatakan Immanuel Kant tidak dapat dipertahankan lagi kalau kita menerima dengan konsisten kontingensi segala sesuatu. Solidaritas yang sekarang menjadi praktik umum adalah satu keberuntungan yang patut kita syukuri. Karena solidaritas terhadap para penderita dan usaha untuk mengatasi penderitaan tidak lahir dari satu ide universal atau hukum moral yang mengikat semua, maka kita hanya dapat menyebarkan praktik ini apabila kita membiarkan banyak orang mengalaminya. Solidaritas hanya dapat diperluas melalui pengalaman berbela rasa. Kesediaan menolong para penderita jauh dan dekat dan keterlibatan untuk memperjuangkan pembebasan bagi mereka yang diperlakukan secara tidak adil oleh rezim-rezim otoriter adalah bentuk-bentuk solidaritas yang dapat meyakinkan orang lain yang manfaatnya. 5 Karena solidaritas berkaitan dengan rasa kemanusiaan, maka hal yang perlu pula diperhatikan dan dikembangkan adalah keindahan secara khusus seni sastra. 6 Dengan bersastra atau berkisah dalam bahasa tentang pengalaman-pengalaman kemanusiaan, kita lebih membantu mempertajam rasa kemanusiaan orang daripada dengan menyampaikan gagasan-gagasan filosofis yang brilian. Cerita tentang kehidupan yang disajikan dengan sentuhan bahasa estetis mempuyai daya ubah yang jauh lebih kuat daripada ulasan-ulasan filosofis yang sulit dan berbelit-belit. Yang utama bukan diskusi yang melelahkan penuh dengan istilah asing yang memusingkan, melainkan pembicaraan sederhana yang lebih langsung menyentuh kehidupan. 7 *** Saya tidak sepenuhnya setuju dengan Rorty yang menolak sama sekali peran diskusi yang berlandaskan anggapan dasar bahwa ada hal-hal yang berlaku sebagai kebenaran untuk semua orang. Pernyataan Rorty tentang penderitaan sebagai hal yang harus diatasi adalah satu contoh dari pandangan universal. Juga tulisan-tulisan filosofis Rorty yang argumentatif dan meyakinkan membuktikan bahwa dia sendiri mempraktikkan apa yang dibantahnya atau yang dipandangnya tidak penting. Terlampau berat sebelah dan tidak konsisten apabila orang menampik semua diskusi ilmiah-filosofis dan hanya mengandalkan pembicaraan dan sastra, sebab pembicaraan dan sastra pun memerlukan kriteria penilaian yang berciri ilmiah. Kita tidak perlu mempertentangkan ulasan rasional dengan praksis hidup bersama sebagaimana dikatakan Rorty. Keduanya dapat saling melengkapi. Selain itu, dengan argumentasi yang meyakinkan Rorty membantah konsep-konsep lain. Dengan demikian dia sebenarnya merujuk pada ide yang dianggapnya merupakan tolok ukur kebenaran. Kita tidak bisa membantah sesuatu apabila kita berpikir bahwa tidak ada kebenaran yang berlaku untuk semua. Kendati demikian, Rorty mengingatkan kita akan satu hal yang amat penting sebagaimana sudah disampaikan Marx jauh sebelumnya. Tidak cukup apabila kita hanya mencari ide 4 Richard Rorty, Kontingenz, hlm. 14.306.309. 5 Richard Rorty, Habermas, Derrida, and the Function of Philosophy, dalam Revue Internationale de Philosophie 4/1995, hlm., 437. 6 Richard Rorty, The consequences of Pragmatism, Minnesota, 1982, hal. 82. 7 Richard Rorty, Der Spiegel der Natur. Eine Kritik der Philosophie (terjm bahasa Jerman dari The Mirror of Nature), Frankfurt a.m.: Suhrkamp 1981, hlm. 422.

cemerlang dan merangkai kata yang indah untuk mengusung gagasan. Yang paling penting adalah menciptakan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Tingkat penerimaan sebuah gagasan diukur berdasarkan kontribusinya bagi perubahan tersebut. Hal ini tidak dengan sendiri mengeliminasi gagasan-gagasan teoretis. Namun, gagasan-gagasan tersebut mesti mempunyai dampak bagi perbaikan kehidupan bersama para warga. Dari perspektif ini, gagasan pragmatisme Rorty yang berbicara mengenai pentingnya pengalaman demokrasi dan solidaritas merupakan satu hal yang sangat penting. Hal yang perlu disumbangkan oleh filsafat adalah memotivasi orang, tidak terkecuali dengan gagasangagasan universal yang diusungnya, untuk mempromosikan pengalaman berdemokrasi dan berbela rasa. Yang perlu diperbanyak adalah lembaga-lembaga masyarakat yang memungkinkan orang mengalami apa artinya menjadi anggota sebuah perkumpulan demokratis dengan hak dan kewajiban tertentu. Yang butuh dihidupkan adalah wadah-wadah inisitiaf masyarakat sebagai tanggapan atas penderitaan yang dialami di lingkungan sekitar dan di tempat yang jauh. Hanya dengan demikian orang dapat mengidentifikasikan dirinya dengan demokrasi dan menjadikan solidaritas sebagai semangat dasarnya dalam pergaulan dengan orang lain. Identifikasi ini adalah hasil satu proses yang kompleks yang terdiri dari berbagai latihan, pengalaman dan pembicaraan. Dalam konteks ini, berkoperasi adalah satu hal yang perlu didukung oleh filsafat yang menanggapi serius tantangan Marx dan Rorty. Berkoperasi adalah kesempatan untuk melatih keutamaan berdemokrasi seperti hak bersuara dalam menentukan kebijakan yang berkenaan dengan kehidupan organisasi, pentingnya keberanian memberikan sumbangan pendapat demi kelangsungan lembaga, dan keharusan untuk menghormati keputusan yang telah diambil secara demokratis. Orang mesti mengalami bahwa organisasi hanya hidup dari, oleh dan untuk para anggota. Perasaan diterima dan menjadi berarti dalam satu kelompok yang didasarkan pada kesetaraan dan tanggungjawab timbal balik, merupakan hal yang utama dalam demokrasi. Koperasi pun merupakan organisasi untuk membina kepekaan kemanusiaan dan solidaritas. Solidaritas berarti setia kawan, dan kesetiakawanan memiliki dua dimensi. Kita bersetia kawan kalau kita membantu saat ada yang mengalami kesulitan. Namun, solidaritas juga berarti mencegah agar tidak terjadi hal yang tidak diharapkan. Solidaritas memiliki makna preventif. Solidaritas sebagai salah satu pilar berkoperasi mengandung pula kedua makna tersebut. Kesetiaan memenuhi kewajiban-kewajiban adalah ungkapan bela rasa para anggota satu terhadap yang lain. Koperasi tampaknya sedang mengubah wajah perekonomian bangsa kita. Namun, berdasarkan uraian di atas, koperasi sebenarnya tidak hanya mengubah perekonomian. Dia serentak merupakan medan dan pembelajaran demokrasi dan praktik solidaritas. Dapat diharapkan, bahwa budaya demokrasi dan sikap solider bangsa ini akan kian bertumbuh bersamaan dengan semakin meluasnya kredibilitas koperasi di hati masyarakat kita. Proficiat untuk para inspirator, penggerak dan anggota koperasi!