BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

dokumen-dokumen yang mirip
URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

Azas Kebebasan Berkontrak & Perjanjian Baku

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

ASAS NATURALIA DALAM PERJANJIAN BAKU

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB III TINJAUAN PUSTAKA. Hukum tentang Perjanjian diatur dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang

Dengan adanya pengusaha swasta saja belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini antara lain karena perusahaan swasta hanya melayani jalur-jalur

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dasar berlakunya perjanjian sewa beli adalah Pasal 1338 ayat (1) KUH

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

KLAUSULA BAKU PERJANJIAN KREDIT BANK RAKYAT INDONESIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. mobilitas masyarakat yang semakin tinggi di era globalisasi sekarang ini. mengakibatkan kerugian pada konsumen.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB I PENDAHULUAN. setelah dikirim barang tersebut mengalami kerusakan. Kalimat yang biasanya

BAB I PENDAHULUAN. kalangan individu maupun badan usaha. Dalam dunia usaha dikenal adanya

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk

Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS Dosen Fakultas Hukum UIEU

BAB I PENDAHULUAN. pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. yang dari segi berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat.

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

PANDANGAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN BAKU

BAB V PENUTUP. terhadap turis asing sebagai konsumen, sehingga perjanjian sewamenyewa. sepeda motor, kepada turis asing sebagai penyewa.

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI

BAB II TENTANG PERJANJIAN. A. Pengertian Perjanjian dan Asas-Asas Hukum Perjanjian

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

BAB I PENDAHULUAN. dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan kemudian dana yang

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

Asas asas perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

Faktor Pendorong Berkembangnya Perjanjian Standar. Oleh. Delfina Gusman, S.H, M.H, Dosen Fakltas Hukum Universitas Andalas ABSTRAK

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah :

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. satu jasa yang diberikan bank adalah kredit. sebagai lembaga penjamin simpanan masyarakat hingga mengatur masalah

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract yang

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejak krisis melanda Indonesia, perekonomian Indonesia mengalami

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERJANJIAN PADA PROGRAM INVESTASI

BAB II PERJANJIAN PENGELOLAAN SEWA BANGUNAN HOTEL CAMBRIDGE CONDOMINIUM & SHOPPING MALL

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian kredit pembiayaan. Perjanjian pembiayaan adalah salah satu bentuk perjanjian bentuk

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

Lex Privatum, Vol.III/No. 2/Apr-Jun/2015

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERLINDUNGAN HUKUM, ITIKAD BAIK, DAN AKIBAT HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. bahwa kata bank berasal dari bahasa Italy banca yang berarti bence yaitu suatu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANIAN KREDIT. D. Pengertian Perjanjian dan Asas-Asas Perjanjian

Transkripsi:

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian Menurut pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Apabila diperhatikan, adapun unsur-unsur dari perjanjian itu adalah: a. Terdapat para pihak sedikitnya 2 ( dua) orang; b. Ada persetujuan antara para pihak yang terkait; c. Memiliki tujuan yang akan dicapai; d. Memiliki prestasi yang akan dilaksanakan; e. Dapat berbentuk lisan maupun tulisan; f. Memiliki syarat-syarat tertentu sebagai isi dari perjanjian Sedangkan di dalam buku Yahya Harahap disebutkan menurut Sudikno Mertokusumo: Perjanjian adalah hubungan hukum/ rechtshandeling dalam hal mana satu pihak atau lebih mengikat diri terhadap satu atau lebih pihak lain. Istilah perjanjian berkaitan dengan perikatan ( verbintenis). Menurut Subekti perikatan adalah suatu pengertian abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa konkret. 4 Di dalam perjanjian terdapat asas-asas sebagai rangkaian prinsip atau norma atau patokan dasar yang berguna untuk dipedomani dalam mengatasi 4 M Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian. Alumni. Bandung, 1982.

kesulitan dalam pelaksanaan suatu perjanjian. Mariam Darus mengemukakan 10 asas perjanjian, yakni: 1. Asas kebebasan mengadakan perjanjian; 2. Asas persesuaian kehendak; 3. Asas kepercayaan; 4. Asas kekuatan mengikat; 5. Asas persamaan hukum; 6. Asas keseimbangan; 7. Asas kepastian hukum; 8. Asas moral; 9. Asas kepatutan; 10. Asas kebiasaan; Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, asas-asas hukum dalam perjanjian adalah pikiran dasar yang umum sifatnya, dan merupakan latar belakang dari peraturan hukum yang konkrit yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat dalam peraturan konkrit tersebut. 5 Asas-asas hukum perjanjian yang dikemukakan meliputi: a. Asas konsensualisme Diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi emreka yang membuatnya 5 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1991

b. Asas kebebasan berkontrak Pada dasarnya manusia bebas mengadakan hubungan dengan orang lain. Termasuk di dalamnya adalah hubungan kerja sama maupun mengadakan suatu perjanjian. c. Asas kekuatan mengikat suatu perjanjian Perjanijan yang telah dibuat dan disepakati oleh para pihak yang terlibat mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak. d. Asas itikad baik Pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dinyatakan: Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik e. Asas kepribadian Pada Pasal 1315 KUHPerdata berbunyi: Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan dirinya atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri Di dalam pasal 1320 KUHPerdata juga dimuat tentang syarat sah nya suatu perjanjian, yaitu: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Suatu perjanjian bisa terlaksana apabila terdapat kata sepakat antara para pihak mengenai obyek yang diperjanjikan, memiliki kesesuaian paham dan kehendak atas perjanjian. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

Yang dimaksud dalam syarat ini adalah cakap menurut hukum sesuai yang diatur oleh KUHPerdata, yang dewasa, dan sehat akal pikirannya. c. Suatu hal tertentu; Merupakan hal- hal yang diperjanjikan yang dituangkan dalam perjanjian, mulai dari hak dan kewajiban, obyek perjanjian, dan penyelesaian apabila terjadi sengketa nantinya. d. Suatu sebab yang halal; Dalam perjanjian, klausula yang dituangkan harus bersifat halal, artinya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, peraturan perundang- Undangan, maupun kebiasaan norma masyarakat yang telah diakui. Memperjelas keempat syarat itu, Subekti menggolongkannya ke dalam 2 (dua) bagian, yakni: a. Mengenai subjek perjanjian, adalah orang yang cakap atau mampu melakukan perjanjian sesuai peraturan perundang-undangan. Adapun sepakat (konsensus) adalah dasar dari terbentuknya perjanjian, dimana para pihak memiliki kebebasan dalam menentukan kehendaknya tanpa ada paksaan. b. Mengenai objek perjanjian, adalah apa yang dijanjikan oleh masingmasing pihak yang tertuang dengan jelas di dalam perjanjian, dimana

objek tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umu, dan kesusilaan. 6 Sedangkan dalam N. B. W( New Burgelijk Wetboek) Belanda, telah terjadi perubahan atas syarat- syarat di atas, dimana syarat ke-3 dan ke-4 dalam pasal 1320 telah dijadikan satu sehingga N. B. W menyebutkan syarat sahnya perjanjian ada 3, yaitu: a. Kesepakatan; b. Kemampuan bertindak; c. Perjanjian yang dilarang; Subekti menambahkan, bahwa apabila tidak dipenuhinya syarat subjektif dalam perjanjian dapat dimintakan pembatalan perjanjian kepada Hakim, namun apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka dapat dibatalkan demi hukum. 7 Dalam KUHPerdata telah diatur mengenai pembatalan perjanjian. Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan 3 (tiga) alasan pembatalan perjanjian, yaitu: a. Kekhilafan (kesesatan dwaling), Pasal 1322 KUHPerdata; Yaitu keadaan dimana masing-masing pihak saling tersesat terhadap objek perjanjian atau pernyataan kesesuaian kehendak dari salah satu pihak tidak sesuai dengan kehendaknya. Menurut R. Subekti kekhilafan atau kekeliruan terjadi jika salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok apa 6 R.Subekti, Hukum Perjanjian. PT Intermasa, Jakarta, 1987 7 R.Subekti, Hukum Perjanjian. PT Intermasa, Jakarta, 1987

yang diperjanjikan atau tentang dengan orang-orang siapa perjanjian itu diadakan. 8 Karenanya kekhilafan itu ada dua macam: 1) Mengenai orangnya 2) Mengenai bentuknya yaitu objek perjanjian. b. Paksaan (dwang), Pasal 1324, Pasal 1325, Pasal 1326, dan Pasal 1327 KUHPerdata; Suatu keadaan di mana seseorang melakukan perbuatan karena takut dengan ancaman atau di bawah ancaman baik ancaman fisik maupun ancaman rohani. (Pasal 1324 KUHPerdata) c. Penipuan (bedrog), Pasal 1328 KUHPerdata; Pasal 1328 KUHPerdata menyatakan: Penipuan merupakan suatu alas an untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai salah satu pihak adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Pada Pasal 1338 KUHPerdata dikatakan: Perjanjian dibuat secara berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya Jenis-jenis perjanjian itu sendiri terdiri dari beberapa aspek: a. Berdasarkan cara lahirnya: 1. Perjanjian Konsensuil 2. Perjanjian Formal 8 Ibid

3. Perjanjian Riil b. Berdasarkan pengaturannya: 1. Perjanjian Bernama 2. Perjanjian Tidak Bernama c. Berdasarkan sifat perjanjian: 1. Perjanjian Pokok 2. Perjanjian Accesoir d. Berdasarkan prestasi yang diperjanjikan: 1. Perjanjian Sepihak 2. Perjanjian Timbal Balik e. Berdasarkan akibat yang ditimbulkan: 1. Perjanjian Obligatoir 2. Perjanjian Kebendaan B. Sejarah Lahirnya Perjanjian Baku dan Pengertian Perjanjian Baku Perjanjian standar (baku) telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato (423-347 SM) pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh penjual, tanpa memperhatikan perbedaan mutu makanan tersebut. Seiring berkembangnya zaman, perjanjian baku mulai dikenal dan sering digunakan, termasuk di Indonesia sendiri. Keadaan ini dilatarbelakangi oleh keadaan sosial ekonomi.

Menurut Treitel di dalam buku H.P.Panggabean kebebasan berkontrak menganut dua asas umum 9. Yang pertama, mengemukakan bahwa hukum tidak membatasi syarat- syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak, jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak dalammenentukan sendiri isi dari suatu perjanjian yang ingin mereka buat. Yang kedua, bahwa menurut hukum, seseorang tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian. Treitel mengemukakan bahwa terdapat dua pembatasan terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku, yakni pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak, seperti penggunaan klausula eksonerasi dan pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum. Menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah asing yakni standaard contract. 10 Dimana baku atau standar memiliki arti sebagai tolak ukur, yakni pedoman atau patokan bagi konsumen dalam mengadakan hubungan hukum dengan pihak pengusaha. Dalam hal ini, yang dibakukan adalah model, rumusan dan ukuran. Artinya, tidak dapat diganti atau diubah lagi, karena produsen telah membuat atau mencetaknya dalam bentuk blanko tetap berupa naskah perjanjian lengkap dengan syarat- syarat perjanjian dan syarat- syarat baku yang wajib dipenuhi konsumen. Mariam Darus mengajukan definisi terhadap penggunaan 2 (dua) jenis perjanjian standaard umum dan khusus, yakni : 9 H.P Panggabean, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, PT Alumni, Bandung, 2012. 10 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2006.

Perjanjian standaard umum ialah perjanjian yang bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh kreditur kemudian disodorkan pada debitut (seperti perjanian kredit bank). Perjanjian standaard khusus dinamakan terhadap perjanian standaard yang ditetapkan Pemerintah seperti Akta Jual Beli model 1156727, baik adanya dan berlakunya perjanjian ini untuk para pihak ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah 11. contract Mariam Darus juga mengajukan 3 (tiga) jenis standaard 12 (perjanjian baku) sebagai berikut: a. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat lazimnya adalah pihak kreditur. b. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh Pemerintah adalah perjanjian baku yang isinya ditetapkan oleh Pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya terhadap perjanjian yang berhubungan dengan objek hak-hak atas tanah. c. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan Notaris atau Advokat adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan Notaris atau Advokat bersangkutan. 11 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank. Bandung. PT Citra Aditya Bakti. 1991 12 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001

Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dan sarjana di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan pengertian dari perjanjian baku, yakni: suatu perjanjian yang menimbulkan perikatan dimana klausulaklausula dan syarat-syarat dalam perjanjian lazimnya ditentukan secara sepihak oleh pihak produsen tanpa adanya keikutsertaan dari pihak konsumen. Klausula yang tercantum dalam perjanjian baku disebut dengan klausula eksonerasi ( exoneratie klausule). Klausula eksonerasi ini digunakan sebagai pembatasan pertanggungjawaban produsen dan merupakan salah satu syarat dalam pembuatan perjanjian baku, dimana seperti yang dikemukakan oleh Mariam Darus mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam standaard contract yakni: a. Cara mengakhiri perjanjian; b. Cara memperpanjang perjanjian; c. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase; d. Penyelesaian sengketa melalui keputusan pihak ketiga ( binded advise beding); e. Syarat- syarat tentang eksonerasi; Dasar berlakunya syarat-syarat baku bagi konsumen atau yang menyebabkan konsumen manjadi terikat pada syarat baku yang diberikan pelaku usaha dpat dilihat dari tiga aspek 13, yakni: a. Aspek hukum 13 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 1992

Secara yuridis Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Yang artinya memiliki kekuatan hukum mengikat sama seperti undnag-undang dan memiliki kepastian hukum. Dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa pihak alam perjanjian tidak dapat membatalkan perjanjian secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Keterikatan antara para pihak dibuktikan dari penandatanganan perjanjian itu. b. Aspek kemasyarakatan Zeylemaker (1948) mengemukakan ajaran penundukan kemauan yang menyatakan bahwa orang mau tunduk karena ada pengaturan yang aman dalam lalu lintas masyarakat, yang disusun oleh orang yang ahli dalam bidangnya, dan tidak berlaku sepihak, sehingga orang tidak dapat berbuat lain daripada tunduk. Tetapi Stein (1957) menyatakan bahwa kebutuhan praktis dalam lalu lintas masyarakatlah yang menyebabkan pihak lain terikat pada semua syarat baku tanpa mempertimbangkan apakah ia memahami syarat-syarat itu atau tidak. Sedangkan Hondius (1976) menanggapi atas pendapat Zeylemaker mengatakan bahwa, pendapat beliau tidak dapat dipakai sebagai dasar keterikatan konsumen tetapi dengan ketentuan bahwa keterikatan itu terjadi karena adanya alasan kepercayaan. c. Aspek ekonomi

Zonderland (1976) menanggapinya dengan menggunakan pendekatan riil. Ia menyatakan bahwa keterikatan konsumen pada syarat-syarat baku karena konsumen ingin menukar prestasi dan sekaligus menerima apapun yang tercantum dalam syarat-syarat baku dengan harapan bahwa ia luput dari musibah. Pendekatan riil Zonderland ini ialah kebutuhan ekonomi yang hanya akan terpenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pengusaha, walaupun dengan syarat-syarat baku yang lebih berat. Karenanya kerugian yang mungkin saja timbul adalah resiko. Abdulkadir Muhammad menyebutkan ciri-ciri perjanjian baku adalah sebagai berikut: 14 a. Bentuk perjanjian tertulis b. Format perjanjian dibakukan c. Syarat-syarat perjanjian ditentukan oleh pengusaha d. Konsumen hanya menerima atau menolak e. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah f. Perjanjian baku menguntungkan pengusaha Sedangkan menurut Mariam Darus Badrulzaman, ciri-ciri perjanjian baku adalah sebagai berikut: 15 a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonomi) nya kuat b. Masyarakat sama sekali tidak bersama-sama menentukan isi perjanjian 14 Abdulkadir Muhammad. Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan. Jakarta. PT Citra Aditya Bakti. 1992 15 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Staandard), Perkembangannya di Indonesia, Bandung, Alumni, 1980

c. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu d. Bentuknya tertentu (tertulis) e. Disiapkan terlebih dahulu secara massal atau konfektif Di dalam buku Abdulkadir Muhammad, Hondius (1976) mengemukakan 4 (empat) cara dalam memberlakukan syarat- syarat baku, yakni: 16 a. Penandatanganan dokumen perjanjian. Dalam dokumen perjanjian dimuat secara lengkap dan terperinci syaratsyarat baku ketika membuat perjanjian, dokumen tersebut kemudian disodorkan kepada konsumen untuk dibaca dan ditandatangani. Dengan penandatanganan dokumen tersebut, maka konsumen atau debitur terikat pada syarat yang telah ditentukan (syarat baku) tersebut. Dokumen perjanjian itu dapat berupa naskah perjanjian, formulir permintaan asuransi, dan sebagainya. Dalam dokumen perjanjian itu dimuat syaratsyarat baku terutama mengenai tanggung jawab konsumen atau eksonerasi daripada kreditur atau pengusaha. b. Pemberitahuan melalui dokumen perjanjian. Pada kebiasaan yang berlaku, syarat-syarat baku dicetak di atas dokumen perjanjian yang tidak ditandatangani oleh konsumen misalnya, konosemen surat angkutan, surat pesanan, nota pembelian. Syarat- syarat baku tersebut ditetapkan oleh pengadilan sebagai bagian dari isi perjanjian yang 16 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.

diberitahukan melalui dokumen perjanjian. Dengan demikian, konsumen terikat pada syarat-syarat baku dengan ketentuan, dokumen perjanjian harus sudah diserahkan atu dikirim kepada konsumen sebelum, atau pada waktu, atau sesudah dibuat perjanjian. c. Penunjukan dalam dokumen perjanjian. Dalam dokumen perjanjian tidak dimuat atau tidak ditulis syarat-syarat baku, melainkan hanya menunjuk kepada syarat-syarat baku, misalnya dalam dokumen jual beli ditunjuk syarat penyerahan barang atas dasar kalusula FOB. Artinya syarat baku berdasarkan atas ketentuan FOB dalam perjanjian. d. Pemberitahuan melalui papan pengumuman. Pemberitahuan melalui papan pengumuman merupakan salah satu cara pemberlakuan syarat baku dalam perjanjian. Pengadilan menetapkan bahwa pengumuman itu harus dipasang di tempat yang jelas, mudah dilihat, ditulis dalam bentuk huruf dan bahasa yang sederhana, serta mudah dibaca sebelum perjanjian dibuat. Papan pengumuman ini dapat dijumpai pada perusahaan pengangkutan, pertokoan, dan lain-lain. Melalui pemberitahuan pada papan pengumuman ini menjadikan konsumen terikat pada syarat baku. Dalam perjanjian baku ada dikenal dengan klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi ini adalah syarat yang berisi pembebasan tanggung jawab. Jika diteliti,

klausula eksonerasi ini dapat membebaskan produsen dari pembebanan tanggung jawab. Karenanya kalusula eksonerasi ini hanya dapat digunakan dalam perjanjian yang memiliki itikad baik. Jika menimbulkan kerugian karena kesengajaan dan bertentangan dengan kesusilaan, pengadilan dapat mengesampingkan klausula dan dapat dibatalkan demi hukum. C. Perjanjian Baku Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dalam pasal 1320 jo. 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan: Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Berdasarkan syarat tersebut di atas merupakan syarat dari suatu kebebasan berkontrak. Perjanjian baku dalam hal ini tidak melanggar asas tersebut, karena pihak konsumen masih diberikan kesempatan untuk memilih menyetujui atau menolak perjanjian, Namun, dalam pasal 1337 KUHPerdata juga jelas dinyatakan bahwa setiap perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Ahli hukum Indonesia Mariam Darus menyatakan bahwa perjanjian baku bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Dalam perjanjian baku kedudukan pelaku usaha terlihat lebih dari kedudukan konsumen. Hal ini dapat menyebabkan peluang bagi pelaku usaha dalam menyalahgunakan

kewenangannya. Pelaku usaha hanya mengatur hak-hak nya dan bahkan tidak sedikit yang melimpahkan kewajiban pada konsumen. Karenanya hal ini perlu ditertibkan. 17 Karenanya menurut Mariam Darus perjanjian baku ini tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1320 jo. 1338. Sedangkan Sutan Remy Sjahdeni berpendapat dalam kenyataannya KUHPerdata sendiri memberi batasan-batasan terhadap asas kebebasan berkontrak. Seperti ketentuan yang mengatakan, suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat dari kedua belah pihak atau karena alasan lain yang dinyatakan dengan undang-undang. KUHPerdata juga menyebutkan tiga alasan yang dapat menyebabkan terjadinya pembatalan suatu perjanjian, yakni paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), dan penipuan (bedrog). Ketiga alasan ini dimaksudkan sebagai pembatasan atas asas kebebasan berkontrak. Sutan Remy Sjahdeni menyatakan agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap asas kebebasan berkontrak ini maka diperlukan campur tangan melalui undang-undang dan pengadilan, karena seperti yang disebutkan bahwa perjanjian baku ini bersifat take it or leave it sehingga tidak ada tawar-menawar dalam menentukan isi perjanjian. 18 Menurut UUPK sendiri dalam pasal 1 angka (10) mendefinisikan klausula baku sebagai setiap aturan atau ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha 17 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Staandard), Perkembangannya di Indonesia. Bandung. Alumni. 1980 18 Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta, Institut banker Indonesia, 1993

yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikatbdan wajib dipenuhi oleh konsumen. Pasal ini memberi penekanan pada proses pembuatan perjanjian dan klausula baku di dalamnya. Pasal 18 ayat (1) huruf (a) UUPK menyatakan pelaku usaha dalam menawarkan barang dagangannya dilarang menggunakan klausula baku dalam perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha Klausula baku yang dilarang tersebut adalah: 19 a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha b. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen c. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yng dibeli oleh konsumen d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa g. Menyatakn tunduknya konsumen kepada pengaturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen seccara angsuran Dari beberapa penjelasan di atas dapat diaktakan bahwa UUPK tidak melarang perjanjian baku, namun harus sesuai dengan itikad baik dan peraturan. Berdasarkan pasal 18 ayat (2) UUPK apabila dalam perjanjian ditemukan klausula yang bersifat mengalihkan tanggung jawab atau merugikan konsumen, maka pengadilan dapat membatalkan demi hukum, dan apabila kalusula berisi unsur esenselia maka mungkin saja dapat membatalkan seluruh perjanjian. D. Akibat Hukum Adanya Perjanjian Baku Ditinjau dari Kitab Undang- Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Perjanjian baku seperti yang telah dikemukakan sebelumnya tidak melanggar syarat kebebasan berkontrak yang dikemukakan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Namun KUHPerdata menjelaskan bahwa perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Menurut undang-undang, pihak yang melanggar perjanjian harus membayar ganti rugi (pasal 1243 KUHPerdata), dan menanggung

beban resiko (pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata). 20 Beliau menyatakan bahwa perjanjian yang telah dibuat secara sah bersifat mengikat para pihak, sehingga perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak. Sedangkan Mariam darus Badrulzaman menyatakan secara teoritis yuridis perjanjian baku tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo. 1338 KUHPerdata. Beliau menambahkan dalam perjanjian baku, kita melihat perbedaan posisi antara pengusaha dan konsumen, dimana konsumen tidak diberi kesempatan untuk melakukan penawaran atas perjanjian. Konsumen tidak memiliki kebebasan dalam mengutarakan kehendak menentukan isi perjanjian. Oleh karenanya, hal ini tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo. 1338 KUHPerdata sehingga tidak memiliki akibat hukum atau kekuatan mengikat. 21 Namun, secara garis besar keberadaan perjanjian baku ini dilihat dari KUHPerdata sama sekali tidak melanggar ketentuan dan masih memenuhi asas kebebasan berkontrak seperti yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi: Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 22 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal 20 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2006. 21 Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Bandung, Alumni, 1981 22 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Karenanya sampai sekarang keberadaan perjanjian baku ini masih sering digunakan dalam kegiatan perdagangan, dan semakin berkembang kaena kepraktisannya dan kemudahan dalam mengadakan perjanjian. Sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan denga itikad baik Maka berdasarkan bunyi pasal di atas, perjanjian baku ini adalah suatu perjanjian yang bersifat sah dan mengikat bagi para pihak. Namun, harus dilaksanankan dengan itikad baik. Artinya, apabila ditemukan adanya pengalihan tanggung jawab atau klausula yang membebankan berat bagi konsumen, maka dapat diajukan pembatalan perjanjian ke pengadilan. Menurut UUPK sendiri telah disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi: Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian apabila: a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/ atau jasa yang dibeli oleh konsumen d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggugan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Artinya perjanjanjian baku itu diakui keberadaannya dan tidak bersifat melanggar aturan peraturan perundang-undangan, jika tidak memiliki klausula yang disebutkan dalam Pasal 18. Jika dalam perjanjian baku ditemukan klausula yang tercantum pada Pasal 18, maka klausula tersebut dapat dibatalkan demi hukum.

Keberadaan perjanjian baku dalam masyarakat sudah sangat melekat, terutama bagi para pelaku usaha. Dengan adanya perjanjian baku pelaku usaha dapat menghemat waktu dan melaksanakan perjanjian secara efisien. Yang menjadi masalah adalah isi dari perjanjian baku. Dikarenakan perjanjian baku merupakan perjanjian yang dibuat oleh satu pihak dalam hal ini pelaku usaha, maka pelaku usaha mungkin saja memanfaatkan klausula yang ada di dalamnya untuk digunakan pelaku usaha untuk melepaskan tanggung jawab bahkan mengalihkan tanggung jawab kepada konsumen. Hal ini yang menjadi salah satu pemicu adanya pertanyaan penggunaan perjanijan baku dalam usaha dan bisnis. Apabila konsumen tidak memiliki pengetahuan yang cukup dan mengerti isi dari perjanjian baku yang diberikan pelaku usaha, maka dapat menimbulkan kerugian tersendiri bagi konsumen. Bahkan, sebahagian besar masyarakat tidak membaca secara teliti terlebih dahulu suatu perjanjian baku sebelum ditandatangani atau disahkan. Hal ini lah yang dapat memicu penyalahgunaan atau kesewenangan pelaku usaha dalam membuat isi perjanjian baku. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi dasar hukum dari keberadaan perjanjian baku. Dalam KUHPerdata yang menyebutkan asas kebebasan berkontrak juga jelas menyebutkan syarat-syarat sah nya suatu perjanjian. Kebebasan berkontrak yang disebutkan KUHPerdata juga memberi batasan.pembatalan perjanijan, yakni apabila dalam perjanjian terdapat unsur: a. Kekhilafan (kesesatan dwaling), Pasal 1322 KUHPerdata;

b. Paksaan (dwang), Pasal 1324, Pasal 1325, Pasal 1326, dan Pasal 1327 KUHPerdata; c. Penipuan (bedrog), Pasal 1328 KUHPerdata; Mengingat dalam praktek perdagangan sehari-hari keberadaan perjanjian baku ini kemungkinan besar berdampak tidak adil bagi konsumen, maka untuk kepentingan masyarakat perjanian baku ini sudah seharusnya diatur pelaksanaannya dalam undang- undang atau setidaknya diawasi. Pengawasan dapat dilakukan oleh Pemerintah, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), serta Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sendiri mengaturnya dalam 2 (dua) pasal yang terpisah. Pasal 29 untuk pembinaan dan Pasal 30 mengatur pengawasan. Pasal 29 UU Perlindungan Konsumen berbunyi : (1) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. (2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/ atau menteri teknis terkait. (3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. (4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk:

a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 30 UU Perlindungan Konsumen mengenai pengawasan berbunyi: (1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. (2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/ atau menteri teknis terkait. (3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/ atau jasa yang beredar di pasar. (4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/ atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis. (6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.