UKURAN KELOMPOK SIMPAI (Presbytis melalophos) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN

dokumen-dokumen yang mirip
3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung

III. METODE PENELITIAN. Penelitian populasi siamang dilakukan di Hutan Desa Cugung Kesatuan

UKURAN KELOMPOK MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

Rahmi Fitri 1)*), Rizaldi 1), Wilson Novarino 2) Abstract

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

Biologi dan Konservasi Primata Indonesia. Fakultas Pasca Sarjana IPB: Bogor.

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

BAB IV PROFIL VEGETASI GUNUNG PARAKASAK

STUDI KELOMPOK SIAMANG (Hylobates syndactylus) DI REPONG DAMAR PAHMUNGAN PESISIR BARAT

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Rajabasa didasarkan pada

BAB IV METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

IV. GAMBARAN UMUM. A. Sejarah Taman Agro Satwa Wisata Bumi Kedaton. Keberadaan Taman Agro Satwa dan Wisata Bumi Kedaton Resort di Kota

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai Besar Taman

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN dengan pusat pemerintahan di Gedong Tataan. Berdasarkan

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Penelitian keberadaan rangkong ini dilaksanakan di Gunung Betung Taman Hutan

I. PENDAHULUAN. Hutan pada hakekatnya mempunyai karakteristik multi fungsi yang bersifat

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

IV. METODE PENELITIAN

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian

Pola Aktivitas Harian Lutung (Presbytis cristata, Raffles 1821) di Hutan Sekitar Kampus Pinang Masak, Universitas Jambi

IV. METODE PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA

II. TINJAUAN PUSTAKA. frugivora lebih dominan memakan buah dan folivora lebih dominan memakan

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara)

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. buah-buahan (kelapa, pisang, MPTS). Klasifikasi untuk komposisi tanaman

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KELOR, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis KPHL Batutegi terletak pada BT dan

PEMANFAATAN HABITAT OLEH MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI KAMPUS IPB DARMAGA

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. pada 3 (tiga) fisiografi berdasarkan ketinggian tempat/elevasi lahan. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di

III. METODE PENELITIAN. Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang Lampung (Gambar 2).

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK SUMBERBATU, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

PENDUGAAN POPULASI RUSA TOTOL ( Axis axis ) DI ISTANA BOGOR DENGAN METODE CONTENTRATION COUNT. Oleh :

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut.

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KALITOPO, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran

Bentuk Interaksi Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) di Habitatnya. Oleh : Oki Hidayat

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK BEKOL, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

Jurnal Sylva Lestari ISSN Vol. 1 No. 1. September 2013 (17 22)

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. tailed macaque) (Lekagul dan Mcneely, 1977). Macaca fascicularis dapat ditemui di

I. PENDAHULUAN. Burung merupakan salah satu jenis satwa liar yang banyak dimanfaatkan oleh

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

Transkripsi:

UKURAN KELOMPOK SIMPAI (Presbytis melalophos) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN (SIMPAI (Presbytis melalophos) GROUP SIZE IN A FOREST OF CUGUNG VILLAGE OF PROTECTION FOREST MANAGEMENT UNIT MODEL OF RAJABASA MOUNTAIN SOUTH LAMPUNG) Cindy Yoeland Violita 1), Agus Setiawan 2), dan Elly Lestari Rustiati 3) 1) Mahasiswa Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung 2) Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung 3) Dosen Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung E-mail : cindyyoelandalba@yahoo.com ABSTRAK Hutan Desa Cugung merupakan hutan desa yang berada di bawah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Gunung Rajabasa merupakan habitat bagi simpai (Presbytis melalophos). Sekelompok simpai hidup pada hutan tersebut, tetapi ukuran kelompok simpai dan struktur populasinya hingga saat ini belum diketahui. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui ukuran kelompok dan struktur populasi simpai di hutan Desa Cugung dengan menggunakan metode area terkonsenterasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa ukuran kelompok simpai yang dijumpai di hutan Desa Cugung berjumlah 11 individu. Jumlah individu fase reproduktif (dewasa) adalah 4 individu dan fase prereproduktif muda 5 individu dan anakan 2 individu. Nilai rasio seksual pada kelas umur reproduktif yaitu 1:2. Kata kunci: simpai, ukuran kelompok, hutan desa cugung ABSTRACT Cugung forest managed by Protection Forest Management Unit Model (KPHL) of Rajabasa Mountain, its a natural habitat for simpai (Presbytis melalophos). Its size and structure are not known. Research was done to observe its group size and population structure in Cugung forest using concentration count method. Group size was 11 individuals, with 4 reproductive age and 5 young individuals and 2 infants. Sexual ratio is 1:2. Key word: simpai, group size, a cugung forest PENDAHULUAN Simpai (Presbytis melalophos) adalah satwa dilindungi dengan status terancam punah (endangered), yang artinya simpai masuk ke dalam daftar spesies yang menghadapi risiko kepunahan di alam liar pada waktu yang akan datang (IUCN, 2008). Simpai dapat ditemui di hutan primer daratan rendah dan pegunungan dengan ketinggian 2.500 m dpl. Salah satu habitat simpai yang dapat ditemui di Provinsi Lampung yaitu di hutan Desa Cugung, Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Gunung Rajabasa Lampung Selatan. Akan tetapi, ukuran kelompok simpai hingga saat ini belum banyak diketahui oleh masyarakat. Oleh karena itu untuk menambah data dan informasi mengenai ukuran kelompok simpai dilakukan penelitian. 11

Rumusan penelitian ini adalah bagaimana ukuran kelompok simpai di hutan Desa Cugung KPHL Model Gunung Rajabasa Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ukuran kelompok simpai yang meliputi jumlah individu, struktur umur dan rasio seksual simpai di hutan Desa Cugung KPHL Model Gunung Rajabasa Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2015 di hutan Desa Cugung KPHL Model Gunung Rajabasa. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah binocular Bushell, kamera Canon D70, jam tangan digital, lembar pengamatan, alat-alat tulis, GPS (Global Positioning System), peta wilayah dan peta topografi wilayah KPHL Model Gunung Rajabasa Lampung Selatan, sedangkan objek penelitian adalah kelompok simpai. Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa ukuran kelompok, komposisi umur dan rasio seksual simpai. Sedangkan data sekunder berupa karakteristik lokasi penelitian, kondisi vegetasi penelitian dan data umum mengenai simpai. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan metode area terkonsenterasi. Pengamatan dilakukan pada pukul 06.00--18.00 WIB. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur. Data yang didapat di lapangan dianalisis secara deskriptif dan didukung dengan data sekunder untuk melengkapi data primer yang diperoleh dari pengamatan di lapangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Menurut Kwatrina, Kuswanda, dan Setyawati (2013), ukuran kelompok merupakan jumlah individu dalam kelompok. Kelompok simpai yang ditemui di hutan Desa Cugung memiliki ciri-ciri pada individu dewasa ditandai dengan ukuran tubuh lebih besar, warna rambut pada bagian punggung atas hingga ekor berwarna abu-abu pucat mendekati warna putih, bagian perut, tungkai dan sebagian ekor berwarna dasar putih, jambul menyerupai mahkota yang sudah terbentuk secara sempurna. Individu muda ditandai dengan ukuran tubuh lebih kecil atau hampir sama dengan ukuran tubuh individu dewasa, warna rambut pada bagian punggung atas hingga ekor berwarna abu-abu sedikit lebih terang dari individu dewasa, bagian perut, tungkai dan sebagian ekor berwarna putih dan mulai terbentuk jambul. Individu anakan ditandai dengan ukuran tubuh yang kecil, warna rambut pada bagian punggung atas hingga ekor berwarna abu-abu, pada bagian perut, tungkai dan sebagian ekor berwarna abu-abu pucat dan belum terbentuk jambul. Individu anakan selalu berada dekat dengan induk betina dewasa dan berada dalam gendongan induknya. Di hutan Desa Cugung ditemui satu kelompok simpai yang berjumlah 11 individu. Jumlah tersebut didasarkan jumlah maksimum individu dari 14 (empat belas) kali perjumpaan secara langsung di 4 lokasi pengamatan yang berbeda disajikan pada Gambar 1. 12

12 10 8 6 4 2 0 Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 Lokasi 4 Dewasa Jantan Dewasa Betina Dewasa Tidak Teridentifikasi Muda Jantan Muda Betina Muda Tidak Teridentifikasi Anakan Gambar 1. Diagram batang ukuran kelompok simpai di hutan Desa Cugung KPHL model Gunung Rajabasa pada Januari 2015. Pengamatan difokuskan pada 4 lokasi yang berbeda di hutan Desa Cugung. Pada lokasi pengamatan kesatu diperoleh dua kali perjumpaan. Ukuran terbesar kelompok simpai yang ditemui di lokasi kesatu adalah sembilan individu, terdiri dari satu individu jantan dewasa, satu individu betina dewasa, satu individu dewasa tidak teridentifikasi jenis kelaminnya, satu individu jantan muda, tiga individu muda tidak teridentifikasi jenis kelaminnya dan dua individu anakan. Lokasi pengamatan pertama berada pada lahan perkebunan masyarakat. Jenis vegetasi pada lokasi pengamatan pertama di dominasi oleh tanaman MPTS (Multi Purpose Trees Species) yaitu melinjo (Gnetum gnemon), durian (Durio zibethinus), jengkol (Pithecellobium jiringa), kemiri (Aleurites moluccana), teureup (Artocarpus elasticus) dan mindi (Melia azedarach) Pada lokasi pengamatan kedua diperoleh sembilan kali perjumpaan. Ukuran terbesar kelompok simpai yang ditemui di lokasi pengamatan kedua terdiri dari sebelas individu, terdiri dari satu individu jantan dewasa, satu individu betina dewasa, dua individu dewasa tidak teridentifikasi jenis kelaminnya, dua individu jantan muda, tiga individu muda tidak teridentifikasi jenis kelaminnya dan dua individu anakan. Kondisi vegetasi pada lokasi pengamatan kedua tidak jauh berbeda dengan kondisi pada lokasi pengamatan pertama yaitu berada pada lahan perkebunan masyarakat yang vegetasinya didominasi oleh tanaman MPTS yaitu melinjo, durian, jengkol, kemiri, teureup dan mindi. Jarak antara lokasi pengamatan pertama dengan kedua adalah 141 meter. Pada lokasi pengamatan kedua ditemukan juga pohon tidur simpai. Simpai merupakan satwa arboreal yang menghabiskan aktivitasnya ditajuk atas pohon sehingga keberadaan pohon tidak dapat dipisahkan dari kehidupan simpai. Pohon tidur simpai yang ditemukan di lokasi kedua adalah pohon teureup (Artocarpus elasticus) dengan ketinggian 25--30 meter, jarak antar pohon 3--5 meter, dengan kondisi tajuk pohon yang rapat. Menurut Bangun, Mansjoer dan Bismark (2009), jenis pohon yang digunakan sebagai pohon tempat tidur primata adalah jenis pohon yang pada umumnya juga dimanfaatkan sebagai pohon sumber pakan. Di sekitar pohon tidur simpai juga terdapat banyak pohon pakan seperti melinjo, durian, jengkol, kemiri, teureup dan mindi. Pada lokasi pengamatan ketiga diperoleh dua kali perjumpaan. Kelompok simpai yang ditemui pada lokasi pengamatan ketiga terdiri dari satu individu jantan dewasa, satu individu 13

betina dewasa, dua individu muda tidak teridentifikasi jenis kelaminnya dan satu individu anakan. Kondisi lokasi pengamatan ketiga berada pada hutan primer. Jenis vegetasi yang ditemukan pada lokasi pengamatan ketiga didominasi oleh pohon berkayu dan diselingi tanaman MPTS. Jarak antara lokasi pengamatan kedua dengan ketiga yaitu 205 meter. Pada lokasi pengamatan keempat diperoleh satu kali perjumpaan. Kelompok simpai yang ditemui pada lokasi pengamatan keempat terdiri dari satu individu dewasa tidak teridentifikasi dan satu individu muda tidak teridentifikasi. Kondisi vegetasi didominasi oleh tumbuhan berkayu dan jarak antara lokasi pengamatan ketiga dengan keempat adalah 232 meter. Pada lokasi 4 ditemukan juga dua sarang lutung abu-abu berdekatan dengan gubuk yang dibangun oleh masyarakat setempat. Satu sarang masih aktif digunakan dan satu sarang sudah tidak aktif. Dari 14 kali perjumpaan simpai pada semua lokasi pengamatan, perjumpaan paling sering terjadi pada lokasi pengamatan kedua (n=9). Kemudian diikuti oleh lokasi pengamatan pertama dan ketiga dengan jumlah perjumpaan (n=2) dan perjumpaan paling jarang terjadi pada lokasi pengamatan keempat yaitu (n=1). Jumlah individu terbesar yang ditemui dari seluruh rangkaian pengamatan diasumsikan sebagi jumlah individu yang mewakili satu kelompok. Apabila jumlah inidividu terkecil yang ditemui diasumsikan bahwa individu yang lain tidak terlihat pada saat pengamatan (Qiptiyah dan Setiawan, 2012). Ukuran kelompok simpai yang terbesar dari seluruh lokasi pengamatan berjumlah sebelas individu yang terdiri dari satu individu jantan dewasa, dua individu betina dewasa, satu individu dewasa tidak teridentifikasi jenis kelaminnya, dua individu jantan muda, tiga individu muda tidak teridentifikasi jenis kelaminnya dan dua individu anakan. Ukuran kelompok ini tidak jauh berbeda dengan simpai yang berada di Kawasan Lindung Bukit Sebelat dengan jumlah individu simpai yang ditemui dalam satu kelompok berkisar 2--8 individu (Mukhtar, 1990 dalam Fitri, Rizaldi, dan Novarino, 2013). Sebaran umur merupakan ciri atau sifat penting populasi yang menggambarkan status reproduksi yang sedang berlangsung dan keadaan populasi bagaimana yang diharapkan pada masa yang akan datang (Odum, 1998). Kelompok umur simpai di hutan desa cugung mencakup kelompok individu anakan, muda dan dewasa. Jumlah individu fase reproduktif (dewasa) empat individu, fase prereproduktif muda lima individu dan anakan dua individu. Menurut Dharmawan, Ibrohim, Taurita, Suswono dan Susanto (2005), komposisi pada saat jumlah kelompok umur prereproduktif (muda dan anakan) paling besar maka akan mengalami pertumbuhan populasi yang cepat pada periode mendatang. Hal ini juga ditemukan pada simpai di hutan Desa Cugung dengan jumlah fase prereproduktif (n=7) lebih besar dibandingkan fase reproduktif (n=4). Rasio seksual adalah perbandingan antara jumlah induvidu jantan dengan jumlah betina potensial reproduktif (Bugiono, 2001). Rasio seksual simpai di hutan Desa Cugung pada kelas umur reproduktif yaitu (1:2) menunjukan sistem perkawinan poligami, dimana individu jantan dewasa mengawini lebih dari satu individu betina dewasa. Simpai merupakan satwa diurnal yang aktif sejak pagi hingga sore hari. Aktivitas harian simpai dimulai pada pukul 06.00--18.00. Sedangkan simpai di hutan Desa Cugung memulai aktivitasnya sejak pukul 05.30 WIB--17.30 WIB. Perbedaan waktu beraktifitas simpai dipengaruhi oleh karakteristik lokasi pengamtan, topografi, dan cuaca. Selama masa aktifitas hariannya, simpai melakukan berbagai aktifitas antara lain makan, berpindah, istirahat, dan bersuara. Dalam pemilihan habitatnya, simpai melakukan seleksi terhadap daya dukung yang terdapat di lokasi tersebut. Faktor yang mempengaruhi primata dalam memilih habitat antara lain : 14

1. Ketersediaan pakan Pakan merupakan sumberdaya fungsional bagi kehidupan satwaliar untuk keberlangsungan hidup. Di hutan Desa Cugung terdapat sepuluh famili tumbuhan yang menjadi sumber pakan bagi simpai. Jenis tumbuhan pakan simpai disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis tumbuhan dan bagian yang dimakan simpai (Presbytis melalophos). No Famili Nama lokal/nama ilmiah Frekuensi dan bagian yang dimakan Daun Bunga Buah 1. Fabaceae Jengkol (Pithecellobium jiringa) ** * 2. Bombacaceae Durian (Durio zibethinus) * 3. Gnetaceae Melinjo (Gnetum gnemon) *** * ** 4. Moraceae Teureup (Artocarpus elasticus) * Nangka (Artocarpus heterophyllus) * Cempedak (Artocarpus integera) * 5. Meliaceae Mindi (Melia azedarach L) * 6. Euphorbiaceae Kimiri (Aleurites moluccana) * 7. Leguminoceae Petai (Parkia speciosa) ** * 8. Sapindaceae Rambutan (Nephelium lappaceum) * 9. Malvaceae Waru (Hibiscus tiliaceus) * Kakao (Theobroma cacao) * 10. Scolytidae Kopi (Coffea sp) * Keterangan : (*) Frekuensi dan bagian tumbuhan yang dimakan. Sumber : Data primer, 2015. Jenis tumbuhan yang dimakan simpai yaitu jengkol bagian yang dimakan adalah daun dan buah, durian bagian yang dimakan adalah daun, melinjo bagian yang dimakan adalah daun, bunga dan buah, teureup bagian yang dimakan adalah buah, nangka bagian yang dimakan adalah buah, cempedak bagian yang dimakan adalah buah, mindi bagian yang dimakan adalah daun, kemiri bagian yang dimakan adalah daun, petai bagian yang dimakan adalah daun dan buah, rambutan bagian yang dimakan adalah buah, waru bagian yang dimakan adalah daun, kakao bagian yang dimakan adalah buah dan kopi bagian yang dimakan adalah buah. Walaupun simpai dikenal sebagai primata pemakan daun (folivora), simpai juga memakan bunga dan buah. Tetapi saat memakan buah, tidak semua bagian buah dimakannya, simpai memakan setengah bagian atau lebih dari buah-buahan dan kemudian membuang sisa buah yang dimakannya. Potensi pakan satwa dipengaruhi oleh kondisi fisik maupun kondisi biotik dari suatu habitat, apabila suatu habitat mengalami gangguan maka akan berpengaruh besar terhadap sumber pakan dan keberadaan populasi satwa, begitupun dengan keberadaan populasi simpai di habitatnya. Kondisi habitat dikatakan baik apabila habitat tersebut memiliki ketersediaan pakan yang cukup serta faktor-faktor yang lainnya, baik fisik maupun biotik yang dapat mendukung. Menurut Lang (2006), melimpahnya jumlah pakan juga akan berpengaruh terhadap tingkat kesuksesan proses reproduksi sehingga kelahiran akan terjadi lebih cepat dan lebih sering. Dengan demikian, dibutuhkan perlindungan dan konservasi sumber pakan yang ada di kawasan tersebut agar keberadaan simpai tidak terancam. 2. Keberadaan Satwa Lain dan Gangguan Simpai Di dalam hutan banyak dijumpai berbagai jenis satwa yang hidup berdampingan, saling berinteraksi antara satu sama lain membentuk suatu rantai makanan yang tak terpisahkan. Suatu hutan tidak hanya dihuni oleh satu jenis satwa liar, tetapi juga memungkinkan terdiri dari beberapa jenis satwa yang hidup di dalamnya baik sebagai tempat tinggal sementara, sebagai tempat bermigrasi, maupun sebagai tempat tinggal hidup dan berkembang biak. Keberadaan satwa yang dijumpai di hutan Desa Cugung pada lokasi 15

pengamatan 1--4 terdiri dari 4 spesies primata, 1 Ordo Insectivora, 1 spesies reptil dan 1 spesies aves disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Satwa lain yang dijumpai dilokasi 1--4 di hutan Desa Cugung pada bulan Januari 2015. No Nama Lokal/Ilmiah Lokasi F (Frekuensi) 1. Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) 3 dan 4 3 2. Siamang (Symphalangus syndactylus) 3 dan 4 2 3. Lutung Abu-abu (Presbytis cristata) 4 5 4. Beruk (Macaca nemestrina) 1 dan 3 2 5. Bajing (Ordo Insectivora) 1,2 dan 3 3 6. Elang (Accipitridae sp) 4 1 7. Biawak (Varanus albigularis) 3 1 Sumber : Data primer, 2015. Keberadaan predator dan kompetitior pada suatu habitat akan memperngaruhi keberadaan populasi suatu satwa khususnya adalah simpai. Pada lokasi pengamatan simpai di lokasi tiga dan empat ditemukan predator potensial simpai yaitu elang (Accipitridae sp) dan Biawak (Varanus albigularis). Perilaku anti predator yang diberikan oleh simpai pada saat elang mengancam keberadaan kelompok simpai, adalah mengeluarkan alarm call, lompatan dan berpindah menjauhi elang. Selain predator, kompetitor juga mempengaruhi keberadaan populasi satwa pada habitatnya. Kompetitor yang masuk kedalam habitat suatu spesies mengakibatkan terbatasnya jumlah pakan dan ruang yang diperlukan untuk hidup. Bentuk kompetisi simpai di hutan Desa Cugung adalah pada saat melakukan aktifitas makan di lokasi ketiga, simpai berpindah ke pohon yang lain ketika kelompok monyet ekor panjang dengan jumlah individu (n=10) datang ke pohon pakan tersebut. Demikian juga pada siamang dengan jumlah individu (n=3) yang ditemui pada lokasi pengamatan ketiga. Monyet ekor panjang dan siamang memakan pakan yang sama dengan simpai. Jenis pakan yang sama pada tiga primata tersebut adalah pohon mindi (Melia azedarach L). Akan tetapi, ketika ketiga kelompok primata melakukan aktivitas makan tidak dijumpai adanya konfrontasi antar kelompok primata tersebut karena waktu aktifitas makan ketiga kelompok primata yang berbeda. 3. Kondisi Vegetasi Hutan Desa Cugung merupakan habitat bagi kehidupan satwa liar, salah satunya adalah simpai. Di alam simpai banyak menghabiskan waktu untuk beraktivitas di atas pohon (arboreal), seperti melompat di antara cabang kecil dan kadang-kadang menggunakan ke empat tungkai bila berjalan pada dahan atau cabang yang besar secara quadrupedal (Wirdateti dan Dahruddin, 2011). Selain sebagai satwa arboreal, simpai juga merupakan satwa folivora, yaitu memakan daun sebagai pakan utamanya, sehingga simpai memperlukan habitat yang baik untuk keberlangsungan hidupnya. Kondisi vegetasi di hutan Desa Cugung beragam, jenis vegetasi yang tumbuh pada lokasi tersebut terdiri dari tumbuhan berkayu dan tumbuhan MPTS dan telah menyediakan pakan dan cover bagi simpai. Vegetasi merupakan komponen habitat yang terpenting bagi satwaliar termasuk simpai yang secara fungsional menyediakan pakan dan cover. Sebagai sumber pakan simpai, vegetasi menyediakan daun, bunga dan buah. Sebagai cover vegetasi memberikan tempat berlindng dari predator, terik matahari, serta sebagai tempat untuk melakukan aktivitas harian simpai seperti bermain, beristirahat, makan dan memelihara anak. 16

SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Gunung Rajabasa, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Ukuran kelompok simpai di hutan Desa Cugung berjumlah 11 individu. 2. Komposisi umur simpai terdiri dari satu individu jantan dewasa, dua individu betina dewasa, satu individu dewasa tidak teridentifikasi jenis kelaminnya, dua individu jantan muda, tiga individu muda tidak teridentifikasi jenis kelaminnya dan dua individu anakan. 3. Rasio seksual simpai pada fase reproduktif (dewasa) yaitu 1:2. DAFTAR PUSTAKA Bangun, T. M., S. S, Mansjoer., dan M. Bismark. 2009. Populasi dan habitat Ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasinal Batang Gadis, Sumatera Utara. Jurnal Primatologi Indonesia. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. 6(1):19 24. Bugiono. 2001. Studi populasi dan habitat Simpai (Presbytis melalophos Raffles, 1821) di kawasan hutan lindung HPHTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper, Propinsi Riau. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Hal. 8. Dharmawan A, Ibrohim, H. Taurita,H. Suswono dan P. Susanto. 2005. Ekologi Hewan. Universitas Negeri Malang. Hal. 23. Fitri, R., Rizaldi., dan W. Novarino. 2013. Kepadatan populasi dan struktur kelompok Simpai (Presbytis melalophos) serta jenis tumbuhan makanannya di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas. Jurnal Biologi Universitas Andalas, 2(1):25 30. IUCN. 2008. Diakses 13 Oktober 2014. IUCN Red List of Threatened Species. www.iucnredlist.org. Kwatrina, R. T., W. Kuswanda dan T. Setyawati. 2013. Sebaran dan kepadatan populasi Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) di Cagar Alam Dolok Sipirok dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 10(1):81 91. Lang, K. C. 2006. Diakses pada 13 Februari 2015. Primate Factsheets: Long-tailed Macaque (Macaca fascicularis) Behavior. http://pin.primate.wisc.edu/factsheets/entry/longtailed_macaque/behav. Mukhtar, A. S. 1990. Habitat dan tingkah laku Lutung merah (Presbitys melalophos) di Kawasan Hutan Lindung Bukit Sebelat Sumatera Barat. Buletin Penelitian Hutan. Sumatera Barat. Hal. 112. Qiptiyah, M dan H. Setiawan. 2012. Kepadatan populasi dan karakteristik habitat tarsius (Tarsius spectrum Pallas 1779) di Kawasan Patunuang, Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 9(4):363 371. Wirdateti dan H. Dahruddin. 2011. Perilaku harian Simpai (Prebytis melalophos) dalam kandang penangkaran. Jurnal Veteriner. 12(1): 136 141. 17

Halaman ini sengaja dikosongkan 18