I. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gagal ginjal kronis merupakan salah satu penyakit tidak menular yang cukup tinggi menyebabkan kematian penduduk dunia dan sekarang ini jumlah kasusnya terus meningkat. Murray et al. (2013) menyebutkan bahwa berdasarkan Global Burden of Disease 2010, gagal ginjal kronis menyebabkan laju kematian penduduk dunia pada tahun 2010 sebesar 16,3 per 100.000 orang/tahun, menduduki peringkat 18 penyebab kematian penduduk dunia, yang meningkat dari tahun 1990 sebesar 15,7 per 100.000 orang/tahun yang menduduki peringkat 27 penyebab kematian penduduk dunia (Jha et al., 2013). Menurut data dari United State Renal Data System (USRDS), prevalensi gagal ginjal kronis di Amerika sekitar 5-37% antara tahun 1980-2001. Sedangkan berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi gagal ginjal kronis di Indonesia sekitar 0,2% (Kementerian Kesehatan, 2013). Gagal ginjal kronis (Chronic Kidney Disease/CKD) merupakan cedera ginjal secara anatomi dan fungsional dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate/GFR) dengan manifestasi tampakan patologis dan proteinuria selama minimal 3 bulan atau GFR <60ml/menit/1,73m 2 selama minimal 3 bulan dengan atau tanpa cedera ginjal (Levey et al., 2003). Apapun penyebabnya, gagal ginjal kronis bersifat progresif dan sering 1
2 menyebabkan fibrosis jaringan secara luas yang akhirnya menyebabkan kerusakan total parenkim ginjal dan end-stage renal disease (ESRD). Kondisi tersebut selalu membutuhkan dialisis dan transplantasi ginjal (Schieppati dan Remuzzi, 2005). Proses utama yang terjadi pada gagal ginjal kronis yaitu fibrosis interstisial ginjal menentukan progresi gagal ginjal kronis yang dapat berakhir pada ESRD. Pada fibrosis interstisial ginjal, terjadi penumpukan matriks esktraseluler pada area tubulointerstisial ginjal (Zuo et al., 2009). Proses tersebut melibatkan adanya peningkatan ekspresi gen proapoptosis dan profibrotic growth factor, terjadinya epithelial mesenchymal transition (EMT) yang juga disertai dengan endothelial mesenchymal transition, serta peningkatan infiltrasi makrofag (Li et al., 2015). Terjadinya fibrogenesis ginjal pada progresi CKD diperkirakan melibatkan banyak tipe sel residen ginjal dan sel-sel yang mengalami infiltrasi ke ginjal (Liu, 2006). Sel-sel tubulus ginjal yang mengalami kerusakan pada gagal ginjal kronis ditambah pula dengan adanya infiltrasi makrofag ke interstisial dan munculnya myofibroblast baru menghasilkan kondisi inflamasi melalui sitokin dan growth factor sehingga menginduksi terjadinya apoptosis sel tubuler dan penumpukan matriks ekstraseluler (Grande et al., 2010). Proses tersebut diyakini melibatkan aktivasi jalur NF- B (Nuclear Factor-kappaB) (Miyajima et al., 2003). Aktivasi NF- B dipicu oleh adanya stress oksidatif, TGF-β (Transforming Growth Factor- Beta), angiotensin II, IL1-β (Interleukin 1-β) (Grande et al., 2010). NF- B yang teraktivasi diduga menyebabkan peningkatan berbagai sitokin proinflamasi dan
3 kemokin, salah satunya MCP-1 (Monocyte Chemoattractant Protein-1). MCP-1 berperan dalam meningkatkan infiltrasi monosit menuju jaringan (Esteban et al., 2004). Selain meningkatkan produksi sitokin dan kemokin proinflamasi, aktivasi jalur NF- B juga diyakini meningkatkan ekspresi Snail1. Snail1 akan menghambat ekspresi gen E-cadherin. Ekspresi E-cadherin yang terhambat menyebabkan sel epitel tubulus kehilangan adhesi antar sel. Diduga, kondisi ini akan memudahkan terjadinya proses EMT yang menyebabkan penambahan myofibroblast di interstisial ginjal (Yang dan Liu, 2001). Pada gagal ginjal kronis, myofibroblast dilaporkan muncul secara de novo (Duffield, 2014). Myofibroblast memiliki protein kontraktil yaitu desmin, vimentin, dan alpha smooth muscle actin (α-sma). Pada kondisi ini, myofibroblast banyak terdapat di interstisium ginjal, sekitar arteriol dan glomerulus yang rusak, di dalam glomerulus, dan di mesangium (Campanholle et al., 2013). Myofibroblast tersebut menghasilkan matriks ekstraseluler berlebihan seperti kolagen tipe I dan III serta fibronectin (Liu, 2006). Vitamin D diyakini memiliki efek renoprotektif yang sangat berguna dalam pengurangan progresi gagal ginjal kronis (Zhang et al., 2010). Namun, kadar vitamin D pada pasien gagal ginjal kronis menurun akibat kegagalan hidroksilasi vitamin D (Melamed dan Thadhani, 2012). Saat ini, sedang banyak berkembang penelitian yang berusaha menemukan pendekatan terapi
4 imunomodulator pada gagal ginjal kronis, salah satunya adalah pemberian vitamin D (Xu et al., 2013). Efek renoprotektif vitamin D pada ginjal dikemukakan bekerja melalui inhibisi jalur NF- B (Li dan Batuman, 2009), sistem renin-angiotensin (Renin Angiotensin System/RAS) (Li, 2012), dan peningkatan hepatocyte growth factor (HGF). HGF sebagai faktor pleiotropik yang memiliki sifat morfogenik dan motogenik berperan dalam proses fibrosis interstisial ginjal. HGF mampu memodulasi perombakan matriks ekstraseluler (Esposito et al., 2005). Untuk mengetahui peranan vitamin D terhadap fibrosis interstisial pada gagal ginjal kronis, penelitian ini menggunakan model UUO secara in vivo. Model UUO merupakan model standar yang digunakan untuk mengkaji mekanisme fibrosis interstisial ginjal dengan kondisi yang normotensif, nonproteinuri, nonhiperlipidemia, dan tanpa toksin pengganggu (Grande et al., 2010). I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh pemberian kalsitriol terhadap fraksi area myofibroblast pada ginjal mencit dengan model UUO? 2. Bagaimana pengaruh pemberian kalsitriol terhadap ekspresi MCP-1 pada ginjal mencit dengan model UUO?
5 3. Bagaimana korelasi antara ekspresi MCP-1 dengan fraksi area myofibroblast pada ginjal mencit dengan model UUO yang dilakukan pemberian kalsitriol? I.3. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui pengaruh pemberian kalsitriol terhadap faktor-faktor yang berperan dalam fibrosis interstisial ginjal pada mencit dengan model UUO. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui pengaruh pemberian kalsitriol terhadap fraksi area myofibroblast pada ginjal mencit dengan model UUO. b. Mengetahui pengaruh pemberian kalsitriol terhadap ekspresi MCP-1 pada ginjal mencit dengan model UUO. c. Mengetahui korelasi antara ekspresi MCP-1 dengan fraksi area myofibroblast pada ginjal mencit dengan model UUO. I.4. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat efek renoprotektif yang diberikan setelah pemberian vitamin D. Beberapa penelitian tersebut antara lain: 1. Zhang et al. (2010) mengkaji peran vitamin D dalam proses fibrosis interstisial ginjal melalui Vitamin D Receptor (VDR). Penelitian ini menyimpulkan bahwa VDR menurunkan fibrosis interstisial ginjal pada model UUO 7 hari melalui penghambatan RAS. Perbedaan dengan penelitian
6 ini adalah pelaksanaan durasi UUO selama 14 hari, tidak menggunakan kelompok mencit knock-out VDR, dengan vitamin D yang diberikan adalah kalsitriol. 2. Silverstein et al. (2003) meneliti tentang perubahan ekspresi imunomodulator, salah satunya MCP-1, pada tikus Sprague-Dawley dengan obstruksi ureter unilateral kongenital selama 12 hari. Penelitian ini menyimpulkan bahwa obstruksi ureter unilateral meningkatkan ekspresi MCP-1, IL-1β, IRF-1 (Interferon Regulatory Factor-1), dan imunomodulator lainnya. Perbedaan dengan penelitian ini adalah perlakuan UUO dijalankan selama 14 hari dengan subjek mencit galur Swiss. Adapun ekspresi MCP-1 diamati menggunakan Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). 3. Tan et al. (2008) meneliti tentang efek pemberian paricalcitol terhadap inflamasi ginjal melalui penghentian jalur NF-κB. Perbedaan dengan penelitan ini adalah durasi UUO hanya 1 kelompok 14 hari tanpa menggunakan kelompok UUO 7 hari serta penggunaan vitamin D aktif (kalsitriol). 4. Penelitian Arfian et al. (2016) mengkaji efek pemberian vitamin D terhadap ekspansi fibroblast, inflamasi, dan apoptosis sel epitel tubulus pada fibrosis ginjal model UUO selama 14 hari dengan menggunakan dosis pemberian vitamin D 0,125 µg/kgbb/hari, 0,25 µg/kgbb/hari, dan 0,5 µg/kgbb/hari.
7 Perbedaan pada penelitian ini terletak pada dosis vitamin D yang diberikan yaitu hanya 0,125 µg/kgbb/hari. I.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi Penulis Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya wawasan keilmiahan penulis mengenai peran vitamin D pada proses fibrosis interstisial ginjal dengan model UUO. 2. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian peran vitamin D pada proses fibrosis interstisial ginjal untuk memicu munculnya penelitian lebih lanjut dalam aspek molekuler mekanisme peran vitamin D pada proses fibrosis interstisial ginjal. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan sumbangan pemikiran baru dalam ilmu kedokteran klinis khususnya dalam penatalaksanaan gagal ginjal kronis. 3. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat berkaitan dengan manfaat vitamin D terhadap kesehatan ginjal.