BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia terletak di daerah katulistiwa dengan morfologi yang beragam dari daratan sampai pegunungan tinggi. Keragaman morfologi ini banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas pergerakan lempeng tektonik aktif di sekitar perairan Indonesia diantaranya adalah lempeng Eurasia, Australia dan lempeng Dasar Samudera Pasifik. Pergerakan lempeng-lempeng tektonik tersebut menyebabkan terbentuknya jalur gempa bumi, rangkaian gunung api aktif serta patahanpatahan geologi yang merupakan zona rawan bencana gempa bumi dan tanah longsor. Menurut BAKORNAS PB (2007) dalam "Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia", dilihat dari potensi bencana yang ada Indonesia merupakan negara dengan potensi bencana (hazard potency) yang sangat tinggi. Beberapa potensi bencana yang ada antara lain adalah bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Potensi bahaya utama (main hazard potency) ini dapat dilihat antara lain pada peta potensi bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona gempa yang rawan, peta potensi 1
2 bencana tanah longsor, peta potensi bencana letusan gunung api, peta potensi bencana tsunami, peta potensi bencana banjir, dan lain-lain. Dari indikatorindikator diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki potensi bahaya utama (main hazard potency) yang tinggi. Hal ini tentunya sangat tidak menguntungkan bagi negara Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya bencana adalah pencegahan dan mitigasi, yang merupakan upaya untuk mengurangi atau memperkecil dampak kerugian atau kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh bencana. Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis, sehingga memiliki curah hujan yang cukup tinggi, yaitu mencapai 2000-3000 mm/tahun. Kondisi seperti ini memberikan nilai positif bagi Indonesia, karena dengan curah hujan yang tinggi, ketersediaan air melimpah untuk menunjang kebutuhan penduduk Indonesia. Akan tetapi, jika keberadaannya terlalu melimpah akan menyebabkan luapan sungai dan pada akhirnya akan menimbulkan banjir. Namun jika daerah hulu merupakan vegetasi maka air akan terserap ke dalam tanah. Akan tetapi fenomena yang terjadi di Indonesia bagian hulu sungai merupakan lahan olah, sehingga ketika hujan, air langsung menjadi limpasan dan pada akhirnya menjadi bencana banjir. Djati Mardiatmo (2007) menegaskan bahwa jumlah dan tipe bencana alam terbanyak terdapat di Pulau Jawa (data dari Tahun 1907 hingga 2006). Sebagai pulau yang terpadat penduduknya di Indonesia, Jawa merupakan kawasan yang memiliki jumlah kejadian bencana alam tertinggi dengan 125 kasus dari 9 tipe
3 bencana alam. Pulau Jawa juga dapat dikategorikan sebagai pulau yang memiliki risiko bencana alam tertinggi. Fenomena itu terlihat ketika sebagian Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah dilanda banjir dan longsor, Pusat Kerajaan Jawa-Solo dan sekitarnya yang dulu nyaris tak pernah dilanda banjir, tenggelam. Puluhan Kabupaten yang wilayahnya dilalui bengawan Solo sungai terpanjang di Pulau Jawa semuanya dilanda banjir. Solo, Bojonegoro, Lumajang, Pati, dan banyak kota lain yang selama ini aman dari banjir, kali ini merasakan derita banjir. Sejak pertengahan Tahun 2000-an, hampir setiap tahunnya Surakarta mengalami banjir. Puncaknya adalah saat banjir besar Desember 2007. Bencana itu membuat pemerintah kota Surakarta mulai melakukan perbaikan sistem pembuangan air. Perbaikan yang dilakukan selama dua tahun akhirnya rampung Tahun 2009 dan menciptakan solusi bagi bencana banjir. Dilihat dari posisinya, Kota Surakarta merupakan kawasan rawan banjir karena berada di zona depresi (intermontain plain) yang diapit Vulkan Lawu, Vulkan Merapi dan pegunungan seribu. Air permukaan yang masuk Kota Surakarta berasal dari tiga arah yaitu dari lereng tenggara Gunung Merapi, lereng barat Gunung Lawu dan Wonogiri dengan sembilan anak sungai yang masuk ke Bengawan Solo. Definisi bencana menurut International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR 2002) adalah suatu kejadian, yang disebabkan oleh alam atau karena ulah manusia, terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, sehingga menyebabkan hilangnya jiwa manusia, harta benda dan kerusakan lingkungan, kejadian ini terjadi di luar kemampuan masyarakat dengan segala sumbernya. Kerugian suatu bencana itu sendiri meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi,
4 lingkungan, dan utilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat. Penyebab bencana dapat dibagi menjadi dua, yaitu : alam dan manusia. Secara alami bencana akan terjadi di muka bumi, misal Tsunami, gempabumi, gunung meletus, kekeringan, banjir, longsor, dan sebagainya. Sedangkan bencana oleh aktifitas manusia adalah akibat eksploitasi alam yang berlebihan. Eksploitasi disebabkan karena pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Pertumbuhan ini menyebabkan kebutuhan pokok dan non pokok meningkat, kebutuhan infrastruktur, alih tata guna lahan meningkat. Adapun salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia adalah banjir. Banjir mengandung pengertian aliran air sungai yang tingginya melebihi muka air normal sehingga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah disisi sungai. Aliran air limpasan tersebut yang semakin meninggi, mengalir dan melimpasi muka tanah yang biasanya tidak dilewati aliran air. Bencana banjir menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana merupakan peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan menggangu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Menurut Suprapto Dibyosaputro (1998) Banjir merupakan satu bahaya alam yang terjadi di alam ini dimana air menggenang lahan-lahan rendah di sekitar sungai sebagai akibat ketidakmampuan alur sungai menampung dan mengalirkan air, sehingga meluap keluar alur
5 melampaui tanggul dan mengenai daerah sekitarnya. Hal ini dikarenakan banyak wilayah di Indonesia pada saat musim hujan sering terjadi banjir. BAKORNAS PB (2007) telah mencatat bahwa pada tahun 2003-2005 terjadi 1.429 kejadian bencana di Indonesia, 53,3% merupakam bencana hidrometeorologi, dan yang paling sering terjadi adalah bencana banjir (34,1%) dan diikuti oleh tanah longsor (16%). Banjir dapat terjadi karena adanya faktor alamiah maupun pengaruh perlakuan manusia terhadap alam dan lingkungannya. Faktor alamiah yang utama adalah hujan, sedangkan kondisi alam lainya seperti topografi, hidro-orologi dan sebagainya. Kejadian banjir berdampak pada kehidupan manusia dan lingkungannya terutama menyebabkan korban jiwa dan kerugian harta benda. Dampak yang terjadi bergantung pada tingkat kerawanan dan kewaspadaan masyarakat di daerah potensial masyarakat di daerah potensial bencana, karena banjir dapat menimbulkan bencana. Pada tahun 2009 banjir menerjang Surakarta, terutama di daerah Kelurahan Banyuanyar, kecamatan Banjarsari Surakarta dengan kondisi yang cukup parah. Hal ini dikarenakan banjir yang terjadi memiliki ketinggian hampir mencapai 2 m. Sebelumnya, Banyuanyar sendiri merupakan daerah yang tidak pernah terjadi banjir. Namun pada Tahun 2009 itulah banjir terjadi di daerah ini dan merupakan banjir yang paling besar yang terjadi sampai sekarang ini. Banjir yang menerjang Banyuanyar dikarenakan air dari Kali Pepe meluap ke pemukiman warga. Hal ini diakibatkan dari Kali Pepe yang tidak dapat menampung kapasitas debit air hujan yang mengalir di kali tersebut. Apalagi
6 belum diperbaikinya talut di tepi Kali Pepe yang membuat air limpasan kali meluap. Masyarakat di Kelurahan Banyuanyar sendiri mengatakan bahwa banjir yang terjadi merupakan kiriman dari Kabupaten Boyolali. Pasalnya Kabupaten Boyolali merupakan bagian hulu dari Kali Pepe yang kemungkinan berkurang daerah resapan akibat pesatnya pembangunan pemukiman, gedung-gedung, dan gundulnya hutan akibat penebangan liar. Selain itu, adanya penambangan pasir dari muntahan Gunung Merapi yang dilakukan pengerukan secara terus-menerus bisa menyebabkan adanya perubahan tata guna lahan. Sehingga bagian hilir Kali Pepe yang terkena dampak air kiriman tersebut, dalam hal ini adalah Kelurahan Banyuanyar yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Boyolali. Adapun mengapa Kelurahan Banyuanyar berada pada wilayah rawan banjir, dapat diketahui berdasarkan peta kerawanan banjir Kota Surakarta berikut ini:
7
8 Banjir di Kelurahan Banyuanyar, selain menggenangi hampir seluruh daerah tersebut juga menyebabkan kerusakan yang cukup besar. Terutama infrastruktur jalan dan saluran banyak yang rusak, berikut ada korban jiwa yang meninggal sebanyak 2 orang tersengat listrik dan 1 orang terseret derasnya aliran air bah. Kantor pemerintahanpun ikut terendam banjir yang mengakibatkan sejumlah dokumen dan arsip hanyut terkena banjir. Banjir tersebut juga membawa material dan lumpur yang masuk sampai ke kantor Kecamatan Banjarsari. Bisa dipastikan saat terjadi banjir banyak kerusakan yang ditimbulkan, baik dari aspek penduduk, pemerintahan, ekonomi, sarana dan prasarana serta lingkungan. Diperlukan upaya untuk mengantisipasi atau meminimalisir kejadian banjir yang terjadi dengan kegiatan yang disebut Mitigasi Bencana sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana untuk mengahadapi kemungkinan bencana yang akan datang. Paimin, dkk (2009) perlu disadari bahwa teknik mitigasi banjir tidak paralel, bahkan bisa bertentangan, sehingga dalam pemilihan jenis teknik pengendalian harus dengan pertimbangan seksama. Identifikasi karakteristik daerah banjir merupakan dasar untuk melakukan diagnosis faktor utama yang menyebabkan kerawanan, sehingga kemudian dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menyusun rencana tindak teknik pengendaliannya. Mitigasi banjir menurut Ward Tahun 1978 dalam Floods A Geographical Perspective ada 3: bentuk perlindungan diri, penyesuaian diri dan penyusutan. Dari kondisi yang ada bisa memberikan catatan bagi pemerintah Surakarta untuk melakukan kajian yang sesuai untuk menanggulangi bila suatu saat banjir datang lagi. Yasin Yusuf juga menuturkan bahwa mitigasi yang
9 diperlukan saat ini adalah bentuk perlindungan. Perlindungan yang dimaksud menjurus kepada adanya pembangunan talut di sepanjang Kali Pepe. Pasalnya, total luas Kota bengawan hanya 10,57% atau 465,52 hektare (ha) yang berfungsi efektif sebagai lahan resapan. Sementara itu, luas lahan permukiman mencapai 81,10% atau 3.938,54 ha. Selain itu sangat diperlukan kebijakan dari masyarakat dalam meningkatkan kesiapsiagaan, diantaranya adalah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1361/Menkes/SK/XII/2001 tentang pedoman sistem peringatan dini di daerah potensi bencana. Sistem Peringatan Dini merupakan subsistem awal dalam kegiatan kesiapsiagaan, agar masyarakat dan jajaran kesehatan di provinsi dan kabupaten/kota terutama pada daerah potensi bencana dapat lebih mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. (UU No 24 Tahun 2007, Bab I Ketentuan Umum, angka 7). (PP No 21 Tahun 2008, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 4). Kesiapsiagaan tersebut meliputi penyusunan rencana tanggap darurat bencana, pengembangan system peringatan dini, peningkatan kemampuan diri, dll. Untuk mengetahui kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi banjir maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang: Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Banjir Di Kelurahan Banyuanyar, Kecamatan Banjarsari Surakarta Tahun 2009.
10 B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasikan beberapa masalah, sebagai berikut : 1. Kawasan Solo yang terletak di antara perbukitan dan pegunungan sehingga debit dan kecepatan aliran tinggi padahal saluran ke Kali Pepe baik jumlah maupun kapasitasnya sangat terbatas. 2. Perkembangan perumahan-perumahan baru terutama oleh developer tidak diikuti dengan penataan drainase yang memadai. 3. Pada daerah-daerah bekas persawahan, pada awalnya saluran drainase yang ada merupakan saluran irigasi. Perubahan fungsi ini tidak diikuti dengan perubahan desain saluran. 4. Perubahan bentuk kontur untuk pengembangan permukiman sebagian telah merubah arah aliran yang berdampak kesenjangan antara rencana penataan drainase dengan kenyataan. 5. Sebagian saluran yang ada masih saluran alam padahal lahan yang semula kosong telah berubah menjadi permukiman yang padat. 6. Sebagian saluran masih berfungsi campuran (mixed used) untuk drainase dan irigasi. Sumber: Bappeda dan DPU Solo
11 C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, agar penelitian ini lebih terarah dan diharapkan masalah yang dikaji lebih mendalam, perlu adanya pembatasan masalah yang akan diteliti. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Sesuai dengan judul yang diajukan, peneliti hanya membahas tentang kesiapsiagaan, masyarakat, dan bencana banjir. 2. Obyek penelitian ini dilakukan di Kelurahan Banyuanyar, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. 3. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. 4. Masyarakat adalah pelaku penting untuk mengurangi kerentanan dengan meningkatkan kemampuan diri dalam menangani bencana. 5. Bencana banjir adalah kejadian alam yang dapat terjadi setiap saat dan sering mengakibatkan kehilangan jiwa, kerugian harta, dan benda. D. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana tingkat kerusakan yang ditimbulkan banjir di Kelurahan Banyuanyar, Kecamatan Banjarsari Surakarta Tahun 2009.
12 Analisis tingkat kerusakan dalam penelitian ini untuk menentukan presentase yang diperoleh dari banyaknya alternatif jawaban dari responden. 2. Bagaimana tingkat kesiapsiagaan masyarakat di Kelurahan Banyuanyar, Kecamatan Banjarsari Surakarta Tahun 2009. Analisis tingkat kesiapsiagaan dalam penelitian ini menggunakan rumus sturges untuk menentukan klasifikasi tingkat kesiapsiagaan. E. Tujuan Penelitian Melihat permasalahan yang muncul diatas maka ada beberapa hal yang menjadi tujuan dalam penelitian ini. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah : 1. Mengidentifikasi tingkat kerusakan yang ditimbulkan banjir di Kelurahan Banyuanyar, Kecamatan Banjarsari Surakarta Tahun 2009. 2. Mengidentifikasi tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana banjir di Kelurahan Banyuanyar, Kecamatan Banjarsari Surakarta Tahun 2009. F. Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin diperoleh dari pelaksanaan pemelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Diperolehnya data atau informasi mengenai tingkat kerusakan di Kelurahan Banyuanyar, Kecamatan Banjarsari Surakarta Tahun 2009.
13 2. Diperolehnya gambaran tentang tingkat kesiapsiagaan masyarakat di Kelurahan Banyuanyar, Kecamatan Banjarsari Surakarta Tahun 2009. 3. Dapat dijadikan bahan rujukan bagi pemerintah dalam mengembangkan sebuah sistem penanggulangan bencana. 4. Dapat dijadikan sebagai salah satu referensi bagi penelitian berikutnya, baik yang dilakukan mahasiswa atau umum, secara perseorangan atau kelompok. 5. Dapat dijadikan sebagai salah satu referensi bagi lembaga kependidikan dalam penyusunan dan pengembangan sekolah yang berbasis kebencanaan.