BAB I LATAR BELAKANG A. Latar Belakang Pesantren adalah suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya (Qomar, 2007). Image yang selama ini berkembang di masyarakat bahwa pondok pesantren merupakan tempat kumuh, kondisi lingkungannya tidak sehat, dan pola kehidupan yang ditunjukkan oleh santrinya sering kali kotor, lusuh dan sama sekali tidak menunjang pola hidup yang sehat. Beberapa sifat buruk yang susah sekali ditinggalkan oleh para santri yaitu kebiasaan tidur hingga lupa waktu dan pola hidup kotor karena malas bersih-bersih. anak pesantren gemar sekali bertukar/pinjam-meminjam pakaian, handuk, sarung bahkan bantal, guling dan kasurnya kepada sesamanya, Perilaku hidup bersih dan sehat terutama kebersihan perseorangan di pondok pesantren pada umumnya kurang mendapatkan perhatian dari santri. Faktanya, sebagian pesantren tumbuh dalam lingkungan yang kumuh, tempat mandi dan WC yang kotor, lingkungan yang lembab, dan sanitasi buruk (Badri, 2008). Ditambah lagi dengan perilaku tidak sehat, seperti menggantung pakaian di kamar, tidak membolehkan pakaian santri putri dijemur di bawah terik matahari, dan saling bertukar pakai benda pribadi, seperti sisir dan handuk (Depkes, 2007) sehingga disinilah kunci akrabnya penyakit ini dengan dunia pesantren. Kondisi seperti ini sangat memungkinkan terjadinya penularan penyakit scabies, kudis, diare dan ispa. apabila para santri dan pengelolanya tidak sadar akan pentingnya menjaga kebersihan baik kebersihan lingkungan maupun personal hygiene (Handri, 2008). Menurut Rimawardhani dalam Suhelmi, 2007 mengatakan bahwa penyakit yang paling sering diderita siswa yang tinggal di pesantren adalah 1
2 kutu kepala, scabies, dan panu. Penyebab ketiga penyakit tersebut hampir sama. Ada yang disebabkan oleh penularan langsung karena kontak langsung dengan penderita. Dan ada pula yang disebabkan secara tidak langsung. Bisa lewat baju, seprai, handuk, bantal, air, atau sisir. khususnya penyakit kulit. Penularan terjadi bila kebersihan pribadi dan lingkungan tidak terjaga dengan baik. (Suhelmi, 2007). Menurut DepKes RI dalam Kuspriyanto, 2002 prevalensi skabies di puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,6 % - 12,95 % dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Di bagian Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM pada tahun 1988, dijumpai 704 kasus skabies yang merupakan 5,77 % dari seluruh kasus baru. Pada tahun 1989 dan 1990. Prevalensi skabies adalah 6 % dan 3,9 % (Sungkar,S, 1995). Prevalensi penyakit scabies disebuah pondok pesantren di jakarta mencapai 78,70% dikabupaten Pasuruan sebesar 66,70% prevalensi penyakit skabies jauh lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi penyakit skabies di negara berkembang yang hanya 6-27% atau prevalensi penyakit skabies di Indonesia sebesar 4,60-12,95% saja (Kuspriyanto, 2002). Scabies adalah penyakit kulit akibat investasi dan sensitisasi oleh tungau Sarcoptes scabei. Yang diserang adalah bagian kulit yang tipis dan lembab, contohnya lipatan kulit pada orang dewasa. Pada bayi, karena seluruh kulitnya masih tipis, maka seluruh badan dapat terserang (Aisyah, 2005) Scabies ini tidak membahayakan manusia namun adanya rasa gatal pada malam hari ini merupakan gejala utama yang mengganggu aktivitas dan produktivitas. Penyakit scabies ini banyak berjangkit di: (1) lingkungan yang padat penduduknya, (2) lingkungan kumuh, (3) lingkungan dengan tingkat kebersihan kurang. Scabies cenderung tinggi pada anak- anak usia sekolah, remaja bahkan orang dewasa (Siregar, 2004). Penyakit kulit skabies merupakan penyakit yang mudah menular. Penyakit ini dapat ditularkan secara langsung (kontak kulit dengan kulit) misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan melalui hubungan seksual. Penularan secara tidak langsung
3 (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei, bantal, dan selimut (Djuanda, 2007). Praktek perawatan penderita yang buruk akan menyebabkan kegagalan dalam tindakan penanggulangan penyakit scabies. Apabila skabies tidak segera mendapat pengobatan dalam beberapa minggu maka akan timbul adanya dermatitis yang diakibatkan karena garukan. Rasa gatal yang ditimbulkan terutama pada waktu malam hari,secara tidak langsung akan mengganggu kelangsungan hidup para santri terutama tersitanya waktu untuk istirahat tidur, sehingga kegiatan yang akan dilakukan pada siang hari seperti dalam proses belajar akan ikut terganggu. Selain itu, setelah klien sembuh akibat garukan tersebut akan meninggalkan bercak hitam yang nantinya juga akan mempengaruhi harga diri klien seperti merasa malu, cemas, takut dijauhi teman dan sebagainya (Kenneth dalam Kartika, 2008). Pengobatan skabies yang terutama adalah menjaga kebersihan untuk membasmi skabies (mandi dengan sabun, sering ganti pakaian, cuci pakaian secara terpisah, menjemur alat-alat tidur, handuk tidak boleh dipakai bersama, dll). Untuk itu kita harus selalu waspada dengan penyakit ini karena penularannya sangat cepat. apabila ada salah seorang anggota keluarga yang terkena penyakit ini, maka harus segera dihindarkan dari anggota keluarga lain yang masih dalam keadaan sehat.(alamsyah, 2011). Berdasarkan kelompok studi dermatologi anak indonesia (KSDAI) tahun 2001 dari 9 rumah sakit di 7 kota besar Di indonesia, jumlah penderita scabies tertinggi didapatkn didaerah ibukota jakarta sebanyak 335 kasus ditiga rumah sakit (Aisyah, 2005). Berdasarkan penelitian Isa Ma rufi dkk yaitu : Ada hubungan antara Faktor Sanitasi Lingkungan Yang Berperan terhadap Prevalensi Penyakit Scabies dikalangan para santri ponpes dikabupaten lamongan.diantaranya santri yang dipemondokan dengan kepadatan hunian tinggi ada 71,40%, sedangkan santri yang tinggal dipemondokan dengan kepadatan hunian rendah ada 45, 20%, santri tinggal diruangan dengan kelembaban udara yang buruk (> 90%) ada 67, 70%.
4 Sedangkan santri yang tinggal di kelembaban udara baik (65-90%) ada 56,60%. Berdasarkan penelitian Nurohmawati (2010) dipondok pesantren Al- Muayyad surakata yaitu menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan santri tentang kesehatan lingkungan yang kurang baik mempunyai resiko terhadap penyakit scabies ada 95% dibandingkan dengan pengetahuan kesehatan lingkungan yang baik. Dan prilaku santri yang tidur berhimpitan mempunyai resiko penyakit scabies ada 95% dibandingkan dengan tidur tidak berhimpitan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang berkaitan dengan kejadian scabies dipondok pesantren adalah sebagai berikut: (1) penyakit scabies adalah penyakit kulit yang banyak diderita oleh santri. (2) kasus banyak terjadi pda daerah padat penghuni dan jumlah kasus banyak pada anak usia sekolah. (3) banyaknya kasus karena perilaku pencegahan terhadap penyakit scabies masih rendah. (4). Dan peraktek perawatan yang masih kurang diperhatikan oleh santri. Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang Perbedaan Praktek Santri Dalam Upaya Perawatan yang Terkena Skabies pada Santri Putra dan Putri Di pondok Pesantren Modern Bina Insani Susukan, Kabupaten. Dengan perawatan scabies berarti seseorang akan berdaya upaya secara pribadi untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan sendiri. B. Rumusan Masalah Angka kejadian penyakit scabies yang meningkat dari tahun ketahun serta praktek perawatan yang kurang begitu diperhatikan oleh santri terutama upaya perawatan apa yang harus dilakukan setelah terkena skabies. misalnya prilaku hidup bersih dan sehat terutama kebersihan perorangan, dan sanitasi yang kurang bagus yang menyebabkan angka kesakitan semakin bertambah. Dengan upaya perawatan scabies berarti seseorang akan berdaya upaya secara pribadi untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan sendiri. maka
5 rumusan masalah yang diangkat adalah bagaimana Perbedaan Praktek Dalam Upaya Pencegahan terkena Skabies pada Santri Putra dan Putri Di pondok Pesantren Modern Bina Insani Susukan, Kabupaten? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui perbedaan praktek dalam upaya pencegahan terkena skabies pada santri putra dan putri di Pondok Pesantren Modern Bina Insani Susukan Kabupaten Semarang? 2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi praktek dalam upaya pencegahan terkena skabies pada santri putra. b. Mengidentifikasi praktek dalam upaya pencegahan terkena skabies pada santri putri. c. Menganalisis perbedaan praktek dalam upaya pencegahan terkena skabies pada santri putra dan putri dipondok pesantren modern bina insani susukan, kabupaten semarang. D. Manfaat Penelitian a. Bagi peneliti Dapat memberikan suatu masukan Menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan, khususnya mengenai penyakit scabies dan pencegahan skabies di pondok pesantren. b. Bagi santri Dapat menjadi masukan tarhadap upaya pencegahan skabies, sehingga dapat menjaga kesehatan diri khususnya yang berkaitan dengan penyakit skabies. c. Bagi pengelola Menjadi acuan dalam membuat suatu aturan yang berkaitan dengan penularan penyakit skabies dalam lingkungan pesantren.
6 E. Bidang Ilmu Penelitian ini termasuk dalam ilmu keperawatan komunitas yang mengkaji perbedaan praktek santri dalam upaya pencegahan terkena skabies pada santri putra dan putri.