BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara atau perekonomian negara yang akibatnya menghambat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlihat dengan adanya pembangunan pada sektor ekonomi seperti

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Di Indonesia, tindak pidana ko. masyarakat dan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan yang berbunyi:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

BAB I PENDAHULUAN. korupsi telah membuat noda hitam di lembaran sejarah bangsa kita. Bagaimana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN KESEIMBANGAN SANKSI PIDANA KURUNGAN SEBAGAI SANKSI PENGGANTI SANKSI PIDANA DENDA

2014, No c. bahwa dalam praktiknya, apabila pengadilan menjatuhkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, sekaligus ditetapkan juga maksimu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat. disimpulkan sebagai berikut:

UANG PENGGANTI. (Sumber Gambar : tokolarismanis.files.wordpress.com)

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Korupsi merupakan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi keuangan

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan exra ordinary crime 1, sehingga memerlukan. dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto

P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PENUTUP. Berdasarkan analisa kasus diatas dapat disimpulkan bahwa ada. keterkaitan antara jumlah kerugian negara dengan berat ringannya pidana

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

Kasus PDAM Makassar, Eks Wali Kota Didakwa Rugikan Negara Rp 45,8 Miliar

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

II. TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


BAB I PENDAHULUAN. Salah satu lembaga negara yang ada di Indonesia adalah Badan Pemeriksa

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999. Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 07 TAHUN 2012 TLD NO : 07

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015

BAB V PENUTUP. 1. Tanggung Jawab Bank Dan Oknum Pegawai Bank Dalam. Melawan Hukum Dengan Modus Transfer Dana Melalui Fasilitas

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan pangan, kebutuhan listrik dan lain sebagainya. Perilaku korupsi itu

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN RPERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI IZIN PRAKTIK DOKTER DAN DOKTER GIGI

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKABUMI,

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PENIMBUNAN BARANG-BARANG (UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 17 TAHUN 1951) SEBAGAI UNDANG-UNDANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang

Bab XII : Pemalsuan Surat

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Penyelesaian. Uang Pengganti. Pengadilan. Pemberantasan TIPIKOR. Petunjuk Pelaksanaan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 07 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG PAJAK RESTORAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN [LN 1995/64, TLN 3612]

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 17 TAHUN 2009

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA CETAK KARTU TANDA PENDUDUK DAN AKTA CATATAN SIPIL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang akibatnya menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional. 1 Di Indonesia tindak pidana korupsi terjadi secara meluas, baik pada tingkat daerah maupun pusat. 2 Oleh karena itu, dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sangat diperlukan cara-cara yang luar biasa dari segi peraturan perundang-undangan, lembaga penegak hukumnya dan jenis sanksi. Hal ini dikarenakan tindak pidana korupsi dilakukan oleh seseorang yang memiliki kewenangan atau kekuasaan tertentu yang dalam melakukan tindak pidana sering menggunakan teknologi canggih yang berbeda dengan tindak pidana konvensional. Menurut Andi Hamzah suatu tindak pidana yang canggih mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 3 1 Lihat Bagian Menimbang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. 2 Survei yang dilakukan lembaga asing seperti Global Corruption Index atau Transparency International Index dan beberapa lembaga survei dalam negeri, menunjukkan bahwa Indonesia termasuk ranking teratas dalam peringkat korupsi bahkan prilaku korupsi tidak lagi terpusat di Jakarta tetapi menyebar ke seluruh daerah. Mansyur Semma, 2008, Negara dan Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 81. 3 Andi Hamzah, 1991, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 47.

2 a. Dapat dilakukan secara transnasional, artinya melampaui batas-batas suatu negara. b. Alat yang dipakai ialah alat canggih seperti peralatan elektronik, komputer, telepon dan lain-lain. c. Cara, metoda dan akal yang dipakai sangat canggih. d. Kerugian yang ditimbulkan dapat mencapai jumlah yang sangat besar. e. Seringkali belum tersedia norma hukum positifnya. f. Memerlukan keahlian khusus bagi penegak hukum untuk menanganinya. g. Diperlukan biaya besar dalam usaha memberantas dan menuntutnya. h. Di samping penyidikan dan penuntutan diperlukan pula intelijen hukum (law intelligence) untuk melacaknya. Bertolak dari ciri-ciri yang diuraikan oleh Andi Hamzah tersebut dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan suatu tindak pidana canggih yang membutuhkan suatu cara pemberantasan yang luar biasa. Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1957. Peraturan pertama yang dibentuk yakni Peraturan Penguasa Militer tanggal Nomor Prt/PM/06/1957, Nomor Prt/PM/03/1957 dan Nomor Prt/PM/011/1957. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya pada tanggal 17 April 1958, maka ketiga peraturan penguasa militer tersebut diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat Nomor Prt./Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Pemilikan Harta Benda. 4 Pada tahun 1960, dibentuk Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, dimana undang-undang ini mencabut Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 serta peraturan-peraturan 4 Elwi Danil, 2011, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Rajawali Pers, Jakarta, hlm 29-32.

3 pelaksanaannya dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. prt/z.i/1/7 tanggal 17 April. 5 Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 dalam pelaksanaannya menurut Elwi Danil tidak mendapatkan efektivitas yang memadai seperti harapan, karena sangat sulit untuk membuktikan unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran. 6 Dengan adanya kendala yang dipandang menyulitkan dalam pumbuktian perbuatan korupsi maka pemerintah berinisiatif membentuk suatu peraturan perundangundangan yang baru yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasca reformasi pada tahun 1999, tanggal 16 Agustus 1999 pemerintah membentuk peraturan baru, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini tergolong yang paling keras dan berat di Association of South East Asia Nations (ASEAN) seperti adanya pengaturan pidana mati di dalamnya yang khusus untuk delik yang dilakukan pada saat keadaan tertentu, dimana keadaan tertentu tersebut seperti bencana alam, keadaan bahaya, dan krisis moneter dan ekonomi. 7 Menurut Elwi Danil, undangundang ini terkandung aspek-aspek pembaharuan hukum pidana yang dapat menutupi kekurangan undang-undang sebelumnya. 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 5 Ibid. 6 Ibid, hlm 35. 7 Andi Hamzah, 2008, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, hlm 74. 8 Elwi Danil, Loc. Cit.

4 kemudian diperbaharui oleh pemerintah beberapa pasalnya dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dilihat dari segi sanksi pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya disingkat UU PTPK) mengatur juga adanya sanksi pidana pokok dan pidana tambahan yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun demikian, dalam penjatuhan pidana pokok terdapat penyimpangan dari KUHP yakni bersifat kumulatif dan adanya pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang dapat mengiringi pidana pokok. Padahal, prinsip umum penjatuhan pidana pokok berdasarkan KUHP adalah hakim dilarang menjatuhkan lebih dari satu pidana pokok yang bersifat alternatif antara pidana penjara atau pidana denda. 9 Pidana tambahan selain yang diatur dalam KUHP 10 terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) UU PTPK, yaitu: a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana 9 Eddy O.S. Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm. 387. 10 Dalam KUHP, jenis pidana dicantunkan dalam Pasal 10 yang mengatur Pidana Pokok, yaitu: Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana Kurungan, Pidana Denda dan Pidana Tutupan. Sedangkan Pidana Tambahan, yaitu: Pencabutan hak-hak tertentu, Perampasan beberapa barang tertentu dan Pengumuman putusan hakim.

5 tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut; b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. Dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK terdapat unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi diharapkan tidak hanya membuat pelaku jera tetapi juga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang telah dikorupsi. Pasal 4 UU PTPK mengatur mengenai pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku tindak pidana korupsi tidak menghapus pidana dari perbuatan tersebut namun hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan. Pengembalian kerugian keuangan negara juga diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang berisi ketentuan bahwa Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.

6 Bertolak dari uraian pasal-pasal peraturan tersebut dapat dilihat ruh (spirit) dalam upaya mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan korupsi yang telah dilakukan. Berkaitan dengan kerugian keuangan negara, pada tahun 2001-2015 tercatat estimasi total kerugian akibat praktik korupsi sebesar Rp. 203.900.000.000.000,- (dua ratus tiga triliun sembilan ratus miliar rupiah) sedangkan nilai total pengembalian kerugian negara yang diperoleh dari penjumlahan denda, pembayaran uang pengganti dan perampasan barang bukti terhadap 3.109 terpidana perkara korupsi hanya sebesar Rp. 21.260.000.000.000,- (dua puluh satu triliun dua ratus enam puluh miliar rupiah). Hal ini diperoleh melalui penelitian terhadap basis data korupsi yang didasarkan pada perkara korupsi yang telah diputus Mahkamah Agung (MA) sepanjang tahun 2001-2015. Namun demikian, selisih antara kerugian negara akibat korupsi dengan total hukuman finansial terhadap terpidana adalah sebesar Rp 182.640.000.000.000,- (seratus delapan puluh dua triliun enam ratus empat puluh miliar rupiah). 11 Adanya pidana tambahan pembayaran uang pengganti diharapkan dapat memperkecil kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Pembayaran uang pengganti berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU PTPK adalah sebanyakbanyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Dalam hal terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan 11 Rimawan Pradiptyo dkk, Korupsi Struktural; Analisis Database Korupsi Versi 4 (2001-2015), http://cegahkorupsi.feb.ugm.ac.id/publikasi, diakses 24 Agustus 2016.

7 pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk melunasi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam UU PTPK dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. 12 Berdasarkan rumusan pasal tersebut dapat dilihat bahwa penagihan terhadap pidana tambahan pembayaran uang pengganti bersifat mengharuskan (imperatif) dalam pelaksanaannya. Hal ini berbeda dengan pidana denda yang bersifat alternatif, dimana dapat disubsider dengan pidana kurungan dan terpidana dapat memilih menjalani pidana kurungan atau membayar pidana denda yang dijatuhkan oleh pengadilan. Tahap pertama yang harus dilakukan jika terpidana tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap adalah penyitaan yang kemudian dilakukan pelelangan terhadap harta benda terpidana. Sedangkan pidana penjara dikenakan terhadap terpidana jika harta bendanya tidak mencukupi lagi untuk membayar uang pengganti yang dijatuhkan kepadanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pidana penjara sebagai 12 Terhadap putusan pembayaran uang pengganti tidak dapat ditetapkan pidana kurungan sebagai pengganti apabila uang pengganti tersebut tidak dibayarkan oleh terpidana, oleh karena hal itu dibenarkan akan bertentangan dengan pasal 30 ayat (6) KUHP, misalnya untuk pidana denda sudah diberikan subsider 6 bulan kurungan kemudian untuk pembayaran uang pengganti diberikan pula subsider 6 bulan, berarti dalam satu putusan terdapat pidana kurungan yang berjumlah 1 tahun. Andi Hamzah, 1991, Op. Cit, hlm.13.

8 pengganti dari pidana tambahan pembayaran uang pengganti merupakan tahapan yang paling akhir. Hasil eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti diharapkan dapat memperkecil kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatan terpidana korupsi. Dikatakan dapat memperkecil karena jumlah pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebanyak-banyak sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan bukan sebanyak kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan terpidana. Pengembalian kerugian keuangan negara yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh terpidana tersebut sangat penting untuk kelanjutan pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Melihat data terhadap eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap terhadap pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat tunggakan yang cukup besar. Berdasarkan Laporan Audit BPK semester 1 (satu) pada tahun 2009, ada kekurangan penerimaan negara dari uang pengganti kasus korupsi senilai Rp. 8.150.000.000.000,- (delapan triliun seratus lima belas miliar rupiah). 13 Berdasarkan Laporan Audit BPK tahun 2014, Kejaksaan Agung memiliki piutang uang pengganti sebesar Rp. 14.500.000.000.000,- (empat belas triliun lima ratus 13 Detik News, Uang Pengganti Kurang karena Koruptor Pilih Jalani Hukuman Subsider, http://news.detik.com/berita/1224496/uang-pengganti-kurang-karena-koruptor-pilih-jalani-hukumansubsider, diakses 10 Juni 2016.

9 miliar rupiah). Jumlah tersebut merupakan gabungan tunggakan dari perkara pidana korupsi serta perkara perdata dan tata usaha negara. Sedangkan pada tahun 2013, nilai piutang Kejaksaan Agung dari pidana tambahan pembayaran uang pengganti tercatat sebesar Rp. 13.100.000.000.000,- (tiga belas triliun seratus miliar rupiah). 14 Menurut Ahmad Djainuri, Direktur Upaya Hukum, Eksekusi dan Eksaminasi pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPIDSUS) Kejaksaan Agung menyatakan bahwa seharusnya setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap bisa langsung dieksekusi dan dikembalikan ke kas negara namun ada saja kendala di lapangan. 15 Berdasarkan data tunggakan uang pengganti Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta periode Januari 2015 sampai dengan Desember 2016 terdapat tunggakan pembayaran uang pengganti sebesar Rp. 2.540.661.943.64,- (dua miliar lima ratus empat puluh juta enam ratus enam puluh satu ribu sembilan ratus empat puluh tiga rupiah enam puluh empat sen). Sedangkan terpidana yang sudah melunasi pembayaran uang pengganti sebesar Rp. 548.619.334,- (lima ratus empat puluh delapan juta enam ratus sembilan belas ribu tiga ratus tiga puluh empat rupiah). Data pembayaran uang pengganti perkara tindak pidana korupsi pada Kejaksaan Negeri Yogayakarta pada tahun 2014 sampai dengan tahun 2016, terdapat tunggkan uang pengganti sebesar Rp 799.146.292,- (tujuh ratus sembilan puluh sembilan juta seratus empat puluh enam ribu dua ratus sembilan puluh dua rupiah). Sedangkan data 14 Kompas, ( Rp 14,5 Triliun Belum Dibayar ), Kompas Cetak, 16 Maret 2016, hlm. 3. 15 Ibid.

10 pembayaran uang pengganti perkara tindak pidana korupsi pada Kejaksaan Negeri Sleman Per September 2016, terdapat tunggakan uang pengganti sebesar Rp. 1.134.004.954,- (satu miliar seratus tiga puluh empat juta empat ribu sembilan ratus lima puluh empat rupiah). Berdasarkan besarnya jumlah piutang uang pengganti yang terdapat Kejaksaaan Agung, Kejaksaan Tinggi D.I. Yogyakarta, Kejaksaan Negeri Yogyakarta dan Kejaksaan Negeri Sleman tersebut, dapat dikatakan bahwa eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi belum optimal. Terkait permasalahan mengenai eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti, Mahkamah Agung juga telah membentuk Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi (PERMA No. 5 Tahun 2014). Dibentuknya PERMA No. 5 Tahun 2014 ini hendak menjawab permasalahan mengenai parameter perhitungan besaran uang pengganti, persinggungan antara pidana tambahan perampasan barang dengan uang pengganti dan prosedur eksekusi uang pengganti, penyitaan, pelelangan maupun pelaksanaan penjara pengganti. Terkait eksekusi pembayaran uang pengganti, PERMA No. 5 Tahun 2014 menegaskan bahwa pelaksanaan lelang terhadap harta benda yang telah disita oleh jaksa harus dilakukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah dilakukan penyitaan. Kata optimalisasi dalam penelitian ini bersinonim dengan kata mengoptimalkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti mengoptimalkan adalah

11 menjadikan paling baik atau menjadikan paling tinggi. 16 Berdasarkan uraian tersebut, optimalisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mencapai nilai paling tinggi dari jumlah pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang terdapat dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan memenuhi jangka waktu eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan dan menganalis faktor penghambat dalam eksekusi putusan pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi dan merumuskan suatu ide atau pokok-pokok pikiran yang memberi pemecahan masalah (problem solving) dalam rangka optimalisasi eksekusi putusan yang telah berkekutan hukum tetap terhadap pidana tambahan pembayaran uang pengganti oleh Kejaksaan Republik Indonesia sebagai institusi yang berwenang melakukan eksekusi putusan pengadilan tersebut. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul Optimalisasi Eksekusi Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. 16 Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php, diakses 1 Oktober 2016.

12 B. Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang yang diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apa saja faktor-faktor penghambat eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang dihadapi oleh Kejaksaaan Republik Indonesia? 2. Bagaimanakah kebijakan yang sebaiknya ditempuh untuk mengoptimalkan eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi dimasa mendatang? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini, sebagaimana telah diulas dalam latar belakang maupun dari rumusan permasalahan adalah: 1. Untuk mengetahui faktor penghambat eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang dihadapi oleh Kejaksaaan Republik Indonesia. Dalam konteks ini, penelitian dimaksudkan untuk menelisik dan menjelaskan kendala yang dihadapi Kejaksaaan Republik Indonesia dalam eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti. 2. Mengetahui kebijakan yang sebaiknya ditempuh untuk mengoptimalkan eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam perkara tindak

13 pidana korupsi dimasa mendatang. Dalam konteks ini, penelitian dimaksudkan untuk mengkaji dan merumuskan pokok-pokok pikiran sebagai suatu jawaban (problem solving) untuk mengoptimalkan eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi. D. Manfaat Penelitian Masyarakat selalu berkembang dari waktu ke waktu yang tidak hanya dalam jumlah tetapi juga ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam perkembangan masyarakat tersebut, ilmu hukum pun ikut berkembang yang selalu selaras dengan perkembangan tindak pidana. Melalui penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat akademis dan praktis. 1. Kegunaan Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya terhadap hukum pidana dalam tahap eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap terkait pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi. 2. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para praktisi hukum khususnya para pihak yang terlibat dalam eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi. Adapun para pihak tersebut antara lain:

14 a. Kejaksaan Republik Indonesia Kejaksaaan Republik Indonesia melalui jaksa eksekutor merupakan pihak yang berwenang dalam melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan ide atau pokok pikiran dalam mengatasi hambatan atau kendala yang dihadapi ketika melakukan eksekusi putusan pengadilan khususnya pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi. b. Mahkamah Agung Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Mahkamah Agung dalam membentuk peraturan perundang-undangan berupa Peraturan Mahkamah Agung sebagai upaya dalam optimalisasi eksekusi putusan pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan Kejaksaan Republik Indonesia. c. Dewan Perwakilan Rakyat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya dalam optimalisasi eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi.

15 E. Keaslian Penelitian Sebelum melaksanakan penelitian ini, penulis melakukan beberapa studi pustaka guna mencari beberapa penelitian sejenis yang berguna menunjukkan sisi keaslian penelitian penulis. Adapun beberapa tulisan yang menurut penulis memiliki kemiripan dengan ide dasar dari penelitian yang penulis lakukan antara lain: 1. Tesis oleh Muhammad Aras Madusira (2011), Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, dengan judul Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. 17 Pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian tersebut adalah eksekusi pidana dalam putusan pembayaran uang pengganti yang tidak dapat dibayarkan seluruhnya oleh terpidana dalam perkara tindak pidana korupsi dan upaya kejaksaan agar pembayaran uang pengganti dapat terbayar seluruhnya dalam perkara tindak pidana korupsi. Adapun yang menjadi kesimpulan dari penelitian tersebut adalah Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur apabila terpidana tindak pidana korupsi hanya membayar sebagian pembayaran uang pengganti, kejaksaan belum menjalankan fungsi eksekutorialnya secara maksimal dalam menagih pembayaran uang pengganti, terpidana tindak pidana korupsi yang tidak mampu lebih memilih menjalani subsider pidana penjara/hukum badan dari pada membayar uang pengganti, penyitaan terhadap harta kekayaan terpidana tindak pidana korupsi dilakukan setelah perkara tindak 17 Muhammad Aras Madusira, 2011, Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

16 pidana korupsi berkekuatan hukum tetap dan tidak digunakannya gugatan perdata untuk penyelesaian pembayaran uang pengganti. Sedangkan upaya kejaksaan agar pembayaran uang pengganti dapat terbayar seluruhnya oleh terpidana adalah diskresi untuk memaksimalkan pembayaran uang pengganti dimana pihak kejaksaaan membuat kebijakan atau aturan sebagai dasar untuk menagih pembayaran uang pengganti yang hanya dibayar sebagian oleh terpidana tindak pidana korupsi, memaksimalkan upaya non-litigasi dengan terpidana atau keluarganya dalam menagih pembayaran uang pengganti yang belum terbayar seluruhnya melalui alternatif penyelesaian sengketa (APS), meningkatkan kualitas Jaksa Pengacara Negara khususnya keterampilan penyelesaian sengketa dengan cara non-litigasi dan melakukan penyitaan dini (tahap penyidikan) terhadap harta kekayaan terpidana serta memaksimalkan pertisipasi masyarakat dalam menemukan harta kekayaan terpidana tindak pidana korupsi. Penelitian di atas memiliki ide dasar yang sama dengan penelitian yang penulis lakukan, yakni mengkaji eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Letak perbedaan penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian Muhammad Aras Madusira lebih mengkaji eksekusi terhadap pidana tambahan pembayaran uang penggati yang tidak dibayarkan seluruhnya oleh terpidana dan upaya kejaksaan agar pidana tambahan pembayaran uang pengganti dapat terbayarkan seluruhnya. Sedangkan penelitian yang penulis kaji lebih menitikberatkan pada faktor penghambat eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sesuai dengan yang

17 diamanatkan oleh UU Pemberantasan tindak pidana korupsi dan PERMA No. 5 Tahun 2014 serta kebijakan yang harus dilakukan dalam rangka optimalisasi eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti tersebut. Selain itu, hal yang paling membedakan dari penelitian yang penulis lakukan dengan penelitian sebelumnya adalah jarak waktu cukup lama. Penelitian sebelum dilakukan pada tahun 2011, dimana telah terjadi perubahan atau penambahan mengenai aturan yang terkait tentang eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti seperti adanya PERMA No 5 Tahun 2014. 2. Tesis oleh Achmad Lopa (2009) dengan judul Peranan Jaksa Agung Muda dan Tata Usaha Negara (JAMDATUN) dalam Upaya Penegakan Hukum Sengketa Perdata Penyelesaian Pembayaran Uang Pengganti. 18 Permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah peranan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM DATUN) dalam menangani permasalahan tunggakan pembayaran uang pengganti dan instrumen hukum yang dapat dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara dalam mengeksekusi tunggakan pembayaran uang pengganti. Adapun yang menjadi kesimpulan dari penelitian tersebut adalah dalam rangka penyelesaian tunggakan pembayaran uang pengganti Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM DATUN) melakukan dengan cara litigasi, yaitu membawa terpidana atau mantan terpidana kasus tindak pidana korupsi ke pengadilan melalui gugatan perdata. Sedangkan cara kedua adalah 18 Achmad Lopa, 2009, Peranan Jaksa Agung Muda dan Tata Usaha Negara (JAMDATUN) dalam Upaya Penegakan Hukum Sengketa Perdata Penyelesaian Pembayaran Uang Pengganti, Tesis, Magister Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

18 nonlitigasi, yaitu dengan mengetengahkan alternatif penyelesaian sengketa seperti negosiasi, mediasi ataupun arbitrase. Instrumen hukum yang dipakai oleh Jaksa Pengacara Negara untuk menyelesaikan tunggakan pembayaran uang pengganti adalah Pasal 1365 KUH Perdata (perbuatan melawan hukum), Pasal 1234 KUH Perdata (wanprestasi), Pasal 1918 KUH Perdata (akibat putusan perkara pidana) dan Pasal 1335 KUH Perdata serta Pasal 1266 KUH Perdata (kebatalan). Dengan demikian, eksekusi ditempuh secara litigasi dengan alasan gugatannya adalah perbuatan melawan hukum, wanprestasi, akibat putusan perkara pidana dan gugatan kebatalan. Perbedaan penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian yang dilakukan Achmad Lopa lebih mengkaji peran Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara dalam penyelesaian sengketa pembayaran uang pengganti. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan lebih berfokus pada optimalisasi eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap terhadap pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang dilakukan oleh Kejaksaan Republik Indonesia. 3. Tesis oleh Teguh Harianto (2008) dengan judul Efektifitas Penegakan Hukum Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam rangka Pengembalian Kerugian Negara. 19 Permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah efektifitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam rangka pengembalian kerugian negara dan usaha yang telah dilakukan untuk 19 Teguh Harianto, 2008, Efektifitas Penegakan Hukum Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam rangka Pengembalian Kerugian Negara, Tesis, Magister Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

19 mengoptimalkan pengembalian kerugian negara. Adapun yang menjadi kesimpulan dari penelitian tersebut adalah penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi tidak efektif untuk mengembalikan kerugian negara dan optimalisasi pengembalian kerugian negara dapat dilakukan dengan cara non-litigasi dan litigasi. Penelitian tersebut memiliki perbedaaan dengan penelitian yang penulis lakukan, yakni penelitian yang penulis lakukan lebih terfokus pada faktor penghambat dalam eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti dan kebijakan yang dapat dilakukan dalam rangka optimalisasi eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Teguh Harianto lebih terfokus pada penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam rangka pengembalian kerugian negara.