BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, maka

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia dikodratkan oleh sang pencipta menjadi makhluk sosial yang

memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tamb

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN

MENINJAU KEMBALI FORMAT PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG ACARA GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. keperdataan. Dalam hubungan keperdataan antara pihak yang sedang berperkara

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

BAB V KESIMPULA DA SARA

MEDIASI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

BAB II KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2. Masing-masing kamar dipimpin Ketua Kamar yang ditunjuk oleh Ketua MA.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIIK INDONESIA,

AKTUALISASI KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA BERKAITAN DENGAN KEMAJUAN TEKNOLOGI INFORMATIKA

Pengurangan Arus Perkara ke Mahkamah Agung

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

PEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT)

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

MAKALAH ARAH REFORMASI PERADILAN BLUE PRINT PENGEMBANGAN MAHKAMAH AGUNG RI

REKOMENDASI INDONESIAN JUDICIAL REFORM FORUM 2018

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : 02 Tahun 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB V PENUTUP. ditarik kesimpulan yakni sebagai berikut :

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

BAB IV. A. Analisa terhadap Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bangkalan. cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi, bila didasarkan pada

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian seperti telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya dapat

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi

Pengertian Mediasi. Latar Belakang Mediasi. Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan Mahkamah Agung RI No.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah

Dualisme melihat Kedudukan hukum Pemohon Informasi

BAB I PENDAHULUAN. memberikan angin segar bagi masyarakat publik. Dalam peraturan tersebut

BAB IV PENUTUP. yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.

Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999. Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

KESIMPULAN. Berdasarkan analisis data dapatlah dikemukakan kesimpulan-kesimpulan. 1.1 Pelaksanaan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara dalam memberikan

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 105/PUU-XIV/2016 Kewajiban Mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA

PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU. Oleh; YOSRAN,S.H,M.Hum

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

PEDOMAN PENDAFTARAN GUGATAN TERHADAP KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DAN TINDAKAN KONKRIT/FAKTUAL (GUGATAN UMUM) DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

Ditulis oleh Administrator Jumat, 05 Oktober :47 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 05 Oktober :47

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB IV. A. Analisis Terhadap Penerapan Asas Ratio Decidendi Hakim Tentang Penolakan Eksepsi dalam Perkara Cerai Talak Talak

SURAT KESEPAKATAN PERDAMAIAN TERINTEGRASI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

SAMBUTAN DALAM ACARA SEMINAR SEHARI HUT PERATUN KE- 26 DI HOTEL MERCURE ANCOL JAKARTA TANGGAL 26 JANUARI 2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DRAFT REVISI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BUPATI ROKAN HULU PROVINSI RIAU

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana )

I. PENDAHULUAN. dalam masyarakat diselesaikan secara musyawarah mufakat. Peradilan sebagai

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka penelitian ini memberikan kesimpulan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MEDIASI DI PENGADILAN DAN ASAS PERADILAN

Oleh: Hengki M. Sibuea *

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN

PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang

BAB I PENDAHULUAN. dan keadilan, Sehingga secara teoritis masih diandalkan sebagai badan yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN. Disertasi ini mengangkat tema sentral yakni Perlindungan Hukum Bagi. Wajib Pajak Atas Penggunaan Wewenang Pemerintah Dalam Rangka

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DAN PENYALURAN DANA BANTUAN HUKUM

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

BAB IV PENUTUP. bertentangan dengan Pasal 19 ayat (2) huruf C UUPA yang menetapkan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat ditarik. kesimpulan:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR : 3 TAHUN 2015 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Positive. Personality. OLEH-OLEH DARI MEDAN hal. 4. Disiplin Tanpa Batas

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan

2018, No Pengadilan Tinggi diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana pemilu; c. bahwa dengan berlakunya ke

BAB I PENDAHULUAN. (sengketa hubungan industrial) di Indonesia belum terlaksana sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

Transkripsi:

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, maka hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pembatasan hak kasasi dalam sistem peradilan TUN yang dikaji dari dua prinsip keadilan, berdasarkan pengaturannya maupun pelaksanaannya diperoleh hasil, yaitu : 1.1 Pengaturan berbentuk peraturan perundang-undangan mengenai pembatasan hak kasasi yang bersifat obyektif dalam sistem peradilan TUN hanya diatur dalam satu pasal, yakni ketentuan Pasal 45A Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. Meskipun ketentuan Pasal 45A ayat (5) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 memberikan kewenangan kepada MA untuk mengatur lebih lanjut berkenaan dengan pembatasan hak kasasi, akan tetapi pada kenyataannya produk hukum yang diterbitkan hanya sebatas SEMA, dan yang masih berlaku hingga saat ini adalah SEMA No. 11 Tahun 2010 dan SEMA No. 8 Tahun 2011. 1.1.1 Pengaturan pembatasan hak kasasi berdasarkan ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c, Pasal 45A ayat (3), dan Pasal 45A ayat (4) Undang- Undang No. 5 Tahun 2004, SEMA No. 11 Tahun 2010 dan SEMA No. 8 Tahun 2011 tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan 547

prosedural. Prinsip-prinsip dimaksud dan yang harus dipenuhi dalam norma pembatasan hak kasasi adalah hak untuk memperoleh pemberitahuan atau informasi, adanya perlakuan yang sama atau seimbang bagi para pihak, perlakuan tidak bias dari pengadilan, partisipasi para pihak dalam berproses, adanya pembuktian yang dipertimbangkan, dan diberlakukan secara konsisten. 1.1.2 Norma pembatasan hak kasasi dalam sistem peradilan TUN secara konteks dan kontekstual sudah sesuai dengan prinsip keadilan substansial, yaitu sudah memenuhi prinsip adanya keseimbangan antara hak asasi dan kewajiban asasi, persamaan dihadapan hukum, adanya kepastian hukum bagi pencari keadilan, dan responsif terhadap masyarakat pencari keadilan. Namun secara tekstual, pengaturan tersebut bersifat multi-tafsir, sehingga berdampak negatif terhadap prinsip-prinsip keadilan substansial. 1.2 Pelaksanaan pembatasan hak kasasi menurut keadilan prosedural dan substansial di empat satuan kerja PTUN (PTUN Yogyakarta, PTUN Semarang, PTUN Bandung, dan PTUN Medan), diperoleh hasil bahwa implementasi ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c, Pasal 45A ayat (3), dan Pasal 45A ayat (4) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, SEMA No. 11 Tahun 2010, dan SEMA No. 8 Tahun 2011, bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan prosedural dan keadilan substansial. 548

2. Faktor-faktor yang menjadi hambatan pembatasan hak kasasi dalam sistem Peradilan TUN terdiri dari hambatan peraturan dan hambatan pelaksanaan : 2.1 Hambatan berupa peraturan terdiri dari : 2.1.1 Norma pembatasan hak kasasi di peradilan TUN, yaitu sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 bersifat multi-tafsir. Tidak ada ketegasan dan kejelasan pengertian keputusan TUN pejabat daerah yang jangkauan berlakunya di wilayah daerah bersangkutan, sehingga tolok-ukur pembatasan hak kasasi menjadi ambigu. 1.1.2 Tidak konsistennya pengaturan pembatasan hak kasasi mengenai keputusan TUN pejabat daerah yang digugat di peradilan TUN. Ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tidak diberlakukan terhadap sengketa informasi publik, sengketa penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, dan sengketa TUN pemilihan antara calon kepala daerah kabupaten/kota/provinsi dengan KPU kabupaten/kota/provinsi sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU kabupaten/kota/provinsi. 1.1.3 Tidak diaturnya hukum acara pembatasan kasasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan, melainkan hanya berupa SEMA yang merupakan guidance atau beleidsregels bagi internal Mahkamah Agung. SEMA tersebut tidak bersifat dwingenrecht dan tidak 549

mempunyai kekuatan hukum yang kuat serta mengikat secara umum sebagaimana peraturan perundang-undangan. 1.2 Hambatan dalam pelaksanaan pembatasan hak kasasi terdiri dari : 2.2.1 Hambatan yang bersifat kelembagaan (struktur hukum), adalah tidak adanya lembaga khusus di peradilan TUN yang menangani permasalahan pembatasan hak kasasi. Namun, memberi kewenangan penuh kepada Ketua PTUN untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara diajukan upaya hukum kasasi. Hal ini dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang Ketua PTUN, bahkan terjadi pelanggaran asas nemo judex in causa sua atau nemo judex idoneus in propria causa est. 2.2.2 Ketidakjelasan mekanisme penanganan perkara yang terkena pembatasan upaya hukum kasasi, mengakibatkan hak-hak para pencari keadilan tidak diperhatikan dan mengabaikan prinsip due process of law. 2.2.3 Kurang optimalnya yurisprudensi terhadap perkara yang terkena pembatasan upaya hukum kasasi, mengakibatkan para pencari keadilan diperlakukan tidak sama (parsial) ketika mengajukan upaya hukum kasasi. Bahkan putusan MA sendiri inkonsisten dalam menangani perkara yang objeknya sama (terhadap pembatasan upaya hukum kasasi). Keadaan yang demikian dapat menimbulkan pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan tidak terciptanya suatu kepastian hukum bagi para pencari keadilan. 550

1.3 Konsekuensi hukum pembatasan hak kasasi bagi pencari keadilan, dapat berwujud : 2.3.1 Para pencari keadilan kehilangan satu tahap pengujian dari segi hukum (judex juris) terhadap perkara yang dialaminya. Sampai saat ini belum ada solusi terhadap konsekuensi hukum yang dialami para pencari keadilan yang dirugikan kepentingannya akibat perkaranya tidak diajukan upaya hukum kasasi, meskipun perkara tersebut sesungguhnya termasuk perkara yang dapat diajukan kasasi. Jadi, dapat dikatakan norma pembatasan upaya hukum kasasi tersebut bersifat lex imperfecta. 2.3.2 Asas res judicata proveri tate habetur menjadi suatu konsekuensi hukum bagi para pihak yang berperkara. Artinya, setiap putusan pengadilan harus dianggap sah, benar, dan mengikat sepanjang tidak ada pembatalan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Dengan demikian, putusan kasasi MA tentu harus dianggap sah dan benar sepanjang tidak ada pembatalan dari upaya hukum yang lebih tinggi, yakni PK. Meskipun ada upaya PK, para pencari keadilan tetap akan dirugikan, baik dari segi waktu, biaya, dan keadilan yang seharusnya sudah di dapat pada tingkat banding menjadi berlarut-larut dan tidak adanya kepastian hukum (onrechtszekerheid). 3. Langkah hukum agar pengaturan dan pelaksanaan pembatasan hak kasasi memberikan perlindungan hukum bagi pencari keadilan, yaitu : 551

3.1 Responsif terhadap perkembangan pembatasan hak kasasi dalam sistem peradilan TUN, sebagai perwujudan peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, yaitu dengan cara : 3.1.1 Tolok-ukur pengaturan pembatasan upaya hukum kasasi harus dilihat dari aspek kualitas maupun jenis perkaranya. Perlu adanya ketegasan dalam mengatur kedua aspek ini, yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dengan tidak melanggar hak-hak dari pencari keadilan itu sendiri. Muaranya mengarah pada paradigma sistem peradilan TUN yang harus menyelesaikan perkara, bukan hanya sekedar memutus perkara. 3.1.2 Perlu adanya harmonisasi beberapa ketentuan penyelesaian sengketa TUN yang objek sengketanya bersifat kedaerahan (apabila keputusan dan/atau tindakan yang bersifat kedaerahan tetap dipertahankan sebagai objek sengketa TUN yang tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi). Artinya, UU sektoral yang mengatur penyelesaian sengketa TUN yang objek sengketanya bersifat kedaerahan, perlu diharmonisasikan dengan UU MA dan UU PTUN yang bersifat khusus mengatur penyelesaian sengketa TUN. Begitu juga apabila norma pembatasan hak kasasi nantinya bukan yang objek sengketanya bersifat kedaerahan, maka yang menjadi acuan tetap UU MA dan UU PTUN yang mengatur objek sengketa yang dibatasi diajukan upaya hukum kasasi. 552

3.1.3 Adanya pengaturan hukum acara yang speedy, fair, dan just trial sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman. Perlu diwacanakan mengenai adanya norma hukum yang mengatur percepatan penyelesaian perkara dengan menggunakan acara prorogasi dan proses berperkara yang sederhana adalah dengan adanya full pre trial disclosure yang diimbangi dengan adanya court calendar yang rasional dan proporsional yang dibuat oleh majelis hakim atau hakim yang menangani perkara tersebut. 3.2 Dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi para pencari keadilan, maka : 3.2.1 Perlu dibentuk lembaga pembatasan upaya hukum kasasi, selain dalam rangka merespons adagium justice delay, justice denied, juga menjamin bahwa adanya pembatasan upaya hukum kasasi tetap pada koridor nilai-nilai hukum dan keadilan. 3.2.2 Adanya akses keadilan terhadap upaya hukum di lingkungan peradilan TUN, yang berkenaan dengan beberapa hal sebagai berikut : terbentuknya prosedur hukum yang lebih sensitif bagi pencari keadilan (khususnya terhadap masyarakat rentan secara ekonomi dan sosial), mampu menciptakan pengadilan yang lebih responsif, mendorong peningkatan kualitas pelayanan secara prima kepada pencari keadilan, mengimplementasikan keterbukaan informasi di 553

jajaran peradilan TUN, dan membuat kebijakan terhadap akses keadilan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan prosedural dan substansial. 3.2.3 Adanya pengaturan wewenang Mahkamah Agung dalam hal untuk menentukan layak atau tidaknya penyelesaian perkara di tingkat kasasi. Nantinya, dibentuk Tim Khusus di masing-masing Kamar MA yang menyeleksi atau menyaring perkara, seperti Parket General di Hoge Raad Belanda yang memberikan advisory opinion atau conclusie kepada Hakim Agung. Dengan demikian, pertimbangan hukum tersebut diharapkan dapat dijadikan rujukan, bahkan menjadi precedent penerapan ke depan bahwa objek gugatan tersebut tidak lagi dapat diajukan upaya hukum kasasi. 3.3 Perlu adanya pembaharuan fungsi dan proses upaya hukum dalam sistem peradilan TUN. 3.3.1 Mengoptimalkan sistem kamar di MA. Dengan dibentuknya sistem kamar di MA, selain dapat mengurangi beban menumpuknya jumlah perkara, juga dapat menghasilkan kualitas putusan karena hakim agung yang menangani perkara sesuai dengan spesialisasinya. Secara efektif, juga diharapkan meniadakan atau setidak-tidaknya meminimalisir inkonsistensi putusan yang objek gugatannya seharusnya terkena pembatasan upaya hukum kasasi sehingga dapat terealisir kepastian 554

hukum, terlebih dengan di dukung sistem administrasi perkara yang efektif dan efisien. 3.3.2 Norma pembatasan hak kasasi merupakan alternatif di hulu. Sebagai alternatif di hilir, perlu diatur mengenai norma yang memberikan kewenangan hakim TUN untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa melalui jalur mediasi. Meskipun tidak ada satu pun norma yang mengatur adanya mediasi dalam sistem peradilan TUN, hal ini dimungkinkan melalui lembaga dismissal proses dan pemeriksaan persiapan di pengadilan TUN. Adanya lembaga mediasi, sejalan dengan maksud dibentuknya norma pembatasan hak kasasi, yaitu mengurangi beban penumpukan perkara di tingkat kasasi. Pada saat ini, ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, telah membuka ruang bagi PTUN untuk menerapkan mediasi sesuai Perma tersebut, oleh karenanya dalam revisi undang-undang Peradilan TUN nantinya juga perlu mengatur mediasi sebagai payung hukum Perma No. 1 Tahun 2016. 3.3.3 Ketentuan pembatasan upaya hukum kasasi akan lebih efektif, apabila diiringi dengan adanya perangkat teknologi informasi yang mendukung penyelesaian sengketa TUN di Mahkamah Agung. Oleh karenanya perlu pengaturan berbentuk norma hukum, yang mengatur sistem teknologi informasi yang terintegrasi dalam sistem peradilan TUN (dari 555

tingkat pertama sampai dengan Mahkamah Agung). Dengan adanya payung hukum dalam sistem teknologi informasi peradilan ini (semacam e-courts di negara-negara maju), maka proses penyelesaian perkara relatif terkontrol dan estimasi jadwal persidangan dapat dipastikan. Selain itu, sistem ini dapat membentuk wadah semacam Bank Putusan dalam wujud basis data (database) yang sewaktuwaktu dapat diambil dan digunakan sebagai rujukan, dapat membantu pelaksanaan one day publish dan terwujud clearance rate (jumlah perkara yang selesai setiap tahunnya setidaknya sama dengan jumlah perkara yang masuk), sehingga mencegah penumpukan perkara yang ditangani dan hasilnya cepat diterima oleh para pihak yang berperkara. Hal ini dikarenakan sudah mulai berkembangnya paradigma hukum berbasiskan digital, yang didahului adanya model jurimetri, dan sudah adanya pengaturannya dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. B. Saran 1. Perlu adanya perubahan paradigma hukum acara penyelesaian sengketa TUN, yaitu peradilan dua tahap atau two-tier system (pengadilan TUN dan/atau pengadilan tinggi TUN dan/atau Mahkamah Agung), sehingga tidak ada lagi kewajiban upaya hukum yang harus ditempuh, yaitu melalui 4 (empat) tahapan : tingkat pertama (pengadilan TUN), tingkat banding (pengadilan tinggi TUN), 556

tingkat kasasi (MA), dan peninjauan kembali (MA). Tujuan peradilan dua tahap ini, bukan hanya untuk meningkatkan kualitas putusan di tingkat pertama dan banding sebagaimana maksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, melainkan juga untuk meningkatkan kualitas putusan MA yang selama ini terkesan memutus perkara hanya untuk menyelesaikan kuantitasnya. Selain itu juga, sebagai wujud penyesuaian penyelesaian sengketa TUN pasca diberlakukannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-undang ini menginginkan adanya satu tahap proses penyelesaian sengketa TUN melalui upaya administratif di internal pemerintahan terlebih dahulu, sebelum diselesaikan oleh lembaga peradilan TUN. Dengan demikian, proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa TUN di PTUN merupakan upaya hukum lanjutan dari upaya administratif. Konsekuensinya, perlu ada pemahaman pengujian di tingkat banding (pengadilan tinggi TUN), bukan hanya dari aspek fakta (judex facti) tetapi juga aspek penerapan hukumnya (judex juris), agar pencari keadilan tidak kehilangan tahapan pengujian judex juris. 2. Norma pembatasan upaya hukum kasasi terhadap sengketa TUN dalam ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang MA bersifat multi-tafsir, sehingga harus direvisi dengan membuat norma baru yang mengatur jenis dan kriteria yang jelas dan tegas terhadap objek sengketa yang terkena pembatasan upaya hukum kasasi, sebagaimana pengaturan dalam ketentuan Pasal 21 dan Pasal 53 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Administrasi 557

Pemerintahan, yang secara tegas membatasi upaya hukum kasasi dan PK terhadap perkara penyalahgunaan wewenang dan membatasai upaya hukum banding, kasasi, dan PK terhadap perkara keputusan fiktif-positif. 3. Selain diperlukan adanya mekanisme dan kelembagaan khusus baik di PTUN ataupun Mahkamah Agung yang menangani perkara yang terkena pembatasan upaya hukum kasasi, Mahkamah Agung juga harus ada Tim Khusus Kamar TUN yang membentuk yurisprudensi yang mempunyai nilai richt-lijn terkait objek sengketa yang terkena pembatasan hak kasasi. Dengan demikian, dapat meminimalisir konsekuensi hukum yang berdampak negatif bagi para pencari keadilan. 4. Perlu adanya revisi Undang-Undang Peradilan TUN, karena belum mengatur hukum acara pembatasan upaya hukum kasasi. Undang-Undang Peradilan TUN tersebut nantinya harus mempedomani asas-asas peradilan yang baik, terutama dari aspek keadilan prosedural dan keadilan substansial sebagaimana telah diuraikan, sehingga tidak melanggar hak asasi para pencari keadilan. 5. Dalam mewujudkan peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, Mahkamah Agung diberi kewenangan sebagaimana penanganan perkara di banyak negara anglo saxon yang menerapkan konsep certiorari dan prohibition. Konsekuensinya, pembatasan upaya hukum ke MA bukan hanya Kasasi saja, melainkan juga Peninjauan Kembali. Selain itu, perlu didukung dengan sistem peradilan TUN yang berbasis teknologi informasi (misalnya: e- PTUN atau e-peradilan Administasi). 558

6. Perlu adanya kajian untuk merevisi Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (Undang-Undang Advokat). Ke depan perlu norma yang mengatur bahwa setiap upaya hukum kasasi harus melalui advokat bersertifikasi kasasi dan PK. Dengan adanya sertifikasi dari pendidikan dan pelatihan (diklat) yang berkompeten, advokat tersebut akan memahami makna dan hakikat pengujian kasasi dan PK, sehingga dapat memberi advice kepada kliennya terutama mengenai layak atau tidaknya perkara itu diajukan dan diselesaikan ke MA. Adapun bagi masyarakat yang kurang mampu, advokat tersebut ada yang ditempatkan di masing-masing Pos Bantuan Hukum (Posbakum) PTUN dengan tanpa dikenakan biaya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dan SEMA No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. 559