MUARA HATI Pembicaraan terhenti, tepat ketika Daniel mantan pacar yang kini telah menjadi duda dengan satu anak keluar dari kamar dan memelukku dari belakang sambil mengecup lembut bagian belakang telingaku dan bertanya siapa yang berbicara denganku di telepon. Santai kujawab pertanyaan itu dengan menjelaskan, bila aku menelpon asistenku untuk membelikan aku escargot dan membawakannya ke apartemen. Untuk mengalihkan perhatian, aku membalikan badanku kepadanya, kemudian kudongakkan kepalaku untuk menatap wajahnya dengan tatapan lembut menggoda, sambil mengecup bibirnya dengan berjinjit dan bergelayut manja. Sedikit rasa curiga yang sempat terlihat dari matanya, kini hilang tak bersisa. Terlebih saat
kurapatkan dadaku di balik kimono longgar ini, ke dadanya sambil memberikan, tatapan mata penuh arti dengan bibir yang menanti kecupan penuh hasrat darinya. Tak menunggu lama, Daniel mengambil dagu dan menciumku dengan intens, sementara sebelah tangannya sibuk menyelinap di balik kimonoku yang longgar. Saat itulah, kuletakan handphone perlahan di sisi meja, sambil mendesah mengalihkan perhatian Daniel, agar semakin hanyut dan terbawa hasratnya yang menuntut untuk dipuaskan. Lalu ketika kujatuhkan begitu saja kimono sutra diatas lantai hingga meninggalkan tubuhku tak terlindungi apapun, Daniel langsung lupa diri dan kembali mengulang, cerita panasnya Jakarta penuh peluh hari itu. 2
Masih terbayang di mataku, pipinya yang bersemu merah akibat beberapa gelas martini di Bali kemarin. Perempuan itu benar benar sangat seksi dengan lehernya yang jenjang. Tubuhnya yang mungil bergerak sensual dengan elegan sehalus ular saat typsi. Pemandangan indah diantara cahaya seadanya malam itu, sudah pasti, membuat pria normal manapun akan berkhayal bagaimana rasanya, meniduri perempuan itu. Kubiarkan dia menganggapku sekutunya dan berpikir aku tak tahu apapun tentang misinya. Perempuan selalu suka bila dirinya dianggap pintar, dibiarkan menjadi pemenang, selain mendapat perhatian dan sejuta sanjungan. Tak ingin perduli dengan hal itu, sementara ini ingin kunikmati rayuan Jena saat mendekatiku demi apapun tentang Taba. Mungkin, bila 3
saatnya tiba, perempuan itu melupakan misinya dan berjalan pasti untuk menghangatkan ranjangku. Tak ada hak yang dapat membuatku menuntut sebuah pertanggung jawaban, atas hampa yang kurasakan karena ketiadaan dirinya untukku. Mendung seolah tak pernah reda dalam hati, sejak senyum pagi yang biasa menjadi matahari bagi hidupku di rumah ini menghilang. Tanpa sepengetahuannya, kini aku harus puas, hanya dengan memandangnya dari celah kecil pintu kamar yang kubuka setiap pagi dan malam ketika ia pergi dan pulang. Bukan kali pertama, aku jadi sebatang kara, namun kali ini, aku bagaikan mengapung diantara ruang hampa, bersama gugusan bintang mati tak berarah. Hanya berlembar 4
lembar jurnal yang kutulis menjadi tempat curahan hati peluruh perih sesaat, sebelum akhirnya kembali mengalir hingga semua menjadi gelap terlelap dalam tidur penuh rasa sesak. Sejujurnya hingga hari ini, aku masih meragukan beberapa keputusan yang telah kubuat. Lebih buruk lagi, aku bahkan tak bisa mempercayai intuisiku sendiri. Sepertinya aku benar benar lelah dan berpikir terlalu banyak. Terakhir saat bertemu Gerha untuk sekedar menikmati secangkir kopi di sore hari, ia mengatakan aku terlihat lesu dan lebih kurus. Entahlah aku tak terlalu perduli. Kami bertemu hanya sekedar untuk menunggu kemacetan Jakarta terurai sambil berbincang santai. Sepanjang waktu yang berlalu, pikiranku 5
tak teralihkan dari Kinara. Tak henti hentinya aku menyesali keputusanku untuk menjadikannya teman biasa. Dalam kesadaran penuh, kini sesal tak ada guna, namun deraan rasa kesal atas kebodohanku sendiri tak berhenti menyerang tanpa dapat kutahan. Berulang kali kutelaah kembali, kata demi kata yang kusampaikan pada Kinara malam itu dan membuatku merasa semakin jengkel. Aku tak pernah menyangka keadaannya akan begini. Setiap pagi, ternyata aku masih menunggunya lewat di depan ruang makan. Setiap pagi, ia masih berjalan atau menikmati sarapan bersamaku. Setiap pagi, masih bisa kupandangi senyum di wajahnya yang ayu natural itu. Tapi kini semua tak sama. Caranya memandangku tak lagi seperti sebelumnya, aku tak ubahnya bagai orang biasa yang bertegur sapa dengannya. 6
Kupikir tadinya keputusanku untuk tidak memiliki hubungan percintaan akan membuatku lebih fokus pada tanggung jawabku saat ini. Kesibukan yang harus kukerjakan akan segera membuatku berhenti memikirkan Kinara dan setiap jengkal kulitnya yang halus. Tapi ternyata aku salah. Aku justru semakin gelisah dan merasa sendiri terabaikan. 7