MENINGKATKAN DAYA SAING PERUNGGASAN NASIONAL DENGAN MENGEMBANGKAN KEMITRAAN MELALUI INTEGRASI VERTIKAL

dokumen-dokumen yang mirip
REKONSILIASI PELAKU PERUNGGASAN DEMI MEMBANGUN AGRIBISNIS PERUNGGASAN YANG BERDAYA SAING

PETERNAKAN RAKYAT AYAM RAS PERLU DI DORONG MENGUASAI UNIT AGRIBISNIS DARI HULU HINGGA HILIR

I. PENDAHULUAN. serta dalam menunjang pembangunan nasional. Salah satu tujuan pembangunan

INTEGRASI BISNIS PERUNGGASAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Kalau kita membicarakan upaya pemberdayakan ekonomi rakyat, maka

PENGEMBANGAN KOPERASI AGRIBISNIS PETERNAKAN

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Peternakan Ayam Broiler di Indonesia

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pola kemitraan ayam broiler adalah sebagai suatu kerjasama yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Hubungi pemasok, lakukan negosiasi termasuk harga, pembayaran, jumlah, kualitas dll.

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/Permentan/PK.230/5/2016 TENTANG PENYEDIAAN, PEREDARAN, DAN PENGAWASAN AYAM RAS

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

PROSPEK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS AYAM RAS DALAM ERA PASAR BEBAS

I. PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas, pembangunan. (on farm) mengalami pergeseran ke arah yang lebih terintegrasi dan

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN MENGHADAPI ERA PERDAGANGAN BEBAS

BAGIAN KETIGA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS KOMODITAS DAN SUMBERDAYA

MASALAH DAN PROSPEK AGRIBISNIS PERUNGGASAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN BAHAN PANGAN ASAL UNGGAS DI INDONESIA

MEMBANGUN SISTEM AGRIBISNIS BERBASIS AYAM RAS BERDAYA SAING MEMBANGUN SISTEM AGRIBISNIS BERBASIS AYAM RAS BERDAYA SAING

BAB I PENDAHULUAN. populasi, produktifitas, kualitas, pemasaran dan efisiensi usaha ternak, baik

I. PENDAHULUAN. Teknologi mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Komoditas ayam broiler merupakan primadona dalam sektor peternakan di

BAB. X. JARINGAN USAHA KOPERASI. OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si

2 seluruh pemangku kepentingan, secara sendiri-sendiri maupun bersama dan bersinergi dengan cara memberikan berbagai kemudahan agar Peternak dapat men

BAB I PENDAHULUAN. sangat potensial dikembangkan. Hal ini tidak lepas dari berbagai keunggulan

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

[Pengelolaan dan Evaluasi Kegiatan Agribisnis Ternak Unggas]

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, yang menyatakan bahwa kemitraan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pada dasamya merupakan kebutuhan bagi setiap. masyarakat, bangsa dan negara, karena pembangunan tersebut mengandung

Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam. Informasi Utama :

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. berlanjut hingga saat ini. Dunia perunggasan semakin popular di kalangan

10Pilihan Stategi Industrialisasi

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan produktivitas ayam buras agar lebih baik. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

2017, No Menteri Petanian tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tah

KEMITRAAN USAHA AYAM RAS PEDAGING: KAJIAN POSISI TAWAR DAN PENDAPATAN TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Magister

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam menopang perekononiam masyarakat. Pembangunan sektor

I PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

3 KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

14Pengembangan Agribisnis

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.230/12/2016 TENTANG PENYEDIAAN, PEREDARAN, DAN PENGAWASAN AYAM RAS

MEMAHAMI BISNIS AYAM RAS DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGELOLAAN

Pembangunan merupakan suatu proses yang dilakukan secara. terus menerus ke arah yang lebih baik dari keadaan semula. Dalam kurun

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan umum Ayam Broiler. sebagai penghasil daging, konversi pakan irit, siap dipotong pada umur relatif

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

KONTRIBUSI USAHA PETERNAKAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

Sektor Sektor Pertanian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada saat ini perekonomian Indonesia terus meningkat. Hal ini terlihat

ASPEK PENYALURAN SAPRONAK, PEMASARAN HASIL DAN POLA KERJASAMA DALAM PIR PERUNGGASAN DI JAWA BARAT DAN JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan usaha peternakan unggas di Sumatera Barat saat ini semakin

III. KERANGKA PEMIKIRAN

I.PENDAHULUAN. dikembangkan, baik dalam usaha kecil maupun dalam skala besar. Hal ini terlihat

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERTANIAN MASIH DITAKUTI PERBANKAN: BAGAIMANA DENGAN AGRIBISNIS?

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi persaingan di abad ke-21, UKM dituntut untuk

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TERNAK DOMBA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

19Pengembangan Agribisnis

ABSTRACT ABSTRAK PENDAHULUAN

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari. pembangunan Nasional yang bertujuan untuk mewujudkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAGIAN KEEMPAT MEMBANGUN AGRIBISNIS MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 2

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor pertanian adalah salah satu sektor sandaran hidup bagi sebagian besar

Kemitraan Agribisnis. Julian Adam Ridjal. PS Agribisnis Universitas Jember

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

[Perencanaan Kegiatan Agribisnis Ternak Unggas]

ANALISIS FINANSIAL AYAM RAS PEDAGING (Kasus Pembesaran Ayam Ras Pedaging di Kecamatana Bekasi Barat) Is Zunaini Nursinah, Ridwan Lutfiadi, Mustaiem

POTENSI DAN PELUANG INVESTASI AYAM BURAS SERTA PEMASARANNYA. Achmad Syaichu *)

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah

POLA PERDAGANGAN MASUKAN DAN KELUARAN USAHA TERNAK AYAM RAS"

I. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGEMBANGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA,

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

V. KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHATERNAK AYAM RAS PEDAGING

PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN

Transkripsi:

bab sepuluh MENINGKATKAN DAYA SAING PERUNGGASAN NASIONAL DENGAN MENGEMBANGKAN KEMITRAAN MELALUI INTEGRASI VERTIKAL Dalam bisnis perunggasan, kerjasarna kemitraan bukanlah hal baru. Sekalipun demikian masalah ini masih relevan untuk terus diperbincangkan, atau bahkan diperdebatkan. Mengapa? Karena meskipun berbagai model kemitraan sudah dicoba dikembangkan, namun hasilnya masih jauh dari memenuhi harapan. Ini tercermin dari iklim bisnis perunggasan di sini yang masih diwamai gejolak. Atau lebih mengarah kepada akarnya, peternakan rakyat sebagai pelaku utama disektor budidya masih berada pada posisi yang sangat lemah. Bagaimana kenyataan yang demikian harus dilihat dan diupayakan pemecahannya? Menjawab pertanyaan ini, pertengahan Mei yang lalu Poultry Indonesia menjumpai Prof, Dr. In Bungaran Saragih, MEc guna menggali pemikiran Kepala Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB ini sekaligus meminta pandangannya mengenai langkah-langkah penting yang harus ditempuh untuk menjadikan agribisnis ayam ras nasional kita mampu bersaing dalam era perdagangan bebas mendatang. 99

Berikut petikan wawacara Poultry Indonesia dengan Prof Dr. Ir. Bungaran Saragih, MEc yang berlangsung di ruang kerjanya. Bagaimana Profesor melihat dan memahami pola kemitraan dalarn bisnis perunggasan di negeri kita, khususnya kerjasama kemitraan antara peternak rakyat ayam ras dengan perusahaan peternakan ayam ras atau perusahaan di bidang peternakan? Sebetulnya pola kemitraan antara peternak rakyat ayam ras dengan perusahaan peternakan ayam ras atau perusahaan di bidang peternakan, sudah diperkenalkan pemerintah sejak tahun 1984 yang dikenal dengan PIR Perunggasan, Pelaksanaan PIR Perunggasan waktu itu merupakan tindak lanjut dari Keppres No 50 Tahun 1981. Inti dari Keppres No 50 Tahun 1981 tersebut adalah: (1) perusahaan peternakan ayam ras diperbolehkan bergerak pada industri hulu ayam ras (bibit, obat-obatan) dan atau pada industri hilir ayam ras (pemotongan / perdagangan ayam), sedangkan usaha budidaya ayam ras hanya untuk peternak rakyat, dan (2) skala usaha budidaya dibatasi (750 ekor/siklus untuk ayam pedaging atau 5.000 ekor per siklus untuk petelur), untuk mencegah kelebihan penawaran. Untuk menjamin pasar industri hulu ayam ras, sekaligus menjamin penyediaan sapronak dan pemasaran hasil bagi peternak rakyat, pemerintah rnenetapkan pola pembinaan ayam ras tahun 1984 yang dikenal dengan pola PIR Perunggasan. Dalam operasionalnya, PIR Perunggasan dikenal dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu: (1) Pola PIR dengan Plasma Kesepakatan, yaitu jaminan penyediaan sapronak dan pemasaran hasil, (2) Pola PIR dengan Plasma Ratio, yaitu kerjasama inti plasma dengan sistem ratio harga, antara harga pakan, DOC dengan harga jual ayam, dan (3) Pola PIR dengan Plasma Mandiri (tanpa kesepakatan dan ratio harga). 100

Pengalaman apa yang bisa dipetik dari Keppres No. 50 Tahun 1981 dan PIR Perunggasan sebagai rintisan atau perkenalan ke arah pelaksanaan kerjasama kemitraan antara peternak rakyat dengan perusahaan peternakan? Mohon disebutkan juga faktor-faktor yang menjadi penghambatnya. Berbagai evaluasi waktu itu menunjukkan bahwa Keppres No, 50 Tahun 1981 dan Pola PIR Perunggasan gagal melindungi kepentingan peternak rakyat Beberapa penyebab kegagalan Keppres No, 50 tahun 1981 dan Pola PIR Perunggasan adalah; (1) Pelarangan perusahaan peternakan bergerak di budidaya ayam ras tidak operasional, karena secara sembunyi-sembunyi perusahaan peternakan tetap melakukan budidaya ayam ras; (2) Kebijakan harga ratio tidak berjalan efektif, karena kenaikan harga bibit dan pakan jauh lebih cepat dari kenaikan harga output ayam ras. Kenaikan harga ini disamping karena kenaikan bahan baku, juga (terutama) disebabkan oleh munculnya kartel pada industri hulu ayam ras, dengan terbentuknyagabungan Perusahaan Pembibitan Unggas Indonesia (GPPU); (3) Pelaksanaan sanksi pelanggaran tidak operasional, karena memang sulit untuk operasional. Hal ini terutama disebabkan karena kebijakan yang ada bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi pengelolaan bisnis ayam ras; dan (4) Kebijakan Keppres No. 50 tahun 1981 dan Pola PIR Perunggasan yang menempatkan ekonomi peternak rakyat hanya pada usaha budidaya ayam ras memang tidak mungkin meningkatkan pendapatan riil peternak. Karena nilai tambah pada budidaya adalah yang paling kecil dibandingkan dengan nilai tambah yang ada pada industri hulu dan industri hilir ayam ras. Selain itu, Keppres No. 50 tahun 1981 dan pola PIR Perunggasan berarti menghadapkan peternak rakyat pada kekuatan monopoli pada pasar bibit dan pakan serta menghadapi kekuatan monopsoni pada pasar output. Dalam kondisi monopoli/ monopsoni demikian, maka keseimbangan akan ditentukan oleh kekuatan negosiasi antara kedua belah pihak. Di pasar bibit dan pakan, peternak rakyat yang lemah 101

permodalan, dan alternatif pilihan sumber bibit dan pakan hampir tidak ada, harus menghadapi perusahaan bibit dan pakan yang di-back up kartel GPMT dan GPPU. Sementara di pasar output, peternak rakyat yang tidak memiliki akses pasar dan sifat dari ayam pedaging yang tidak boleh terlambat dipanen, harus berhadapan dengan perusahaan peternakan yang memiliki akses pasar. Akibatnya, di pasar bibit dan pakan, peternak rakyat harus membayar harga monopolis dan pada pasar ayam pedaging harus menerima harga monopsonis, sedernikian rupa sehingga selisih menerimaan dengan biaya produksi sangat kecil bahkan merugi. Akibatnya kredit Bimas Ayam Ras (kredit murah yang disalurkan oleh pemerintah untuk membantu permodalan peternak rakyat) tidak mampu dibayar kembali oleh peternak rakyat terutama karena disadap oleh inti melalui mekanisme eksploitasi monopolistis dan eksploitasi monopsinistis. Jadi Keppres No. 50 tahun 1981 dan Pola PIR Perunggasan gagal melindungi ekonomi peternak rakyat. Menyusul gagai nya Keppres No. 50 tahun 1981 dan PIR Perunggasan, seperti kita ketahui pemerintah menetapkan kebijakan baru yaitu Keppres 22/90. Bagaimana Anda melihat pelaksanaan kebijakan ini, khususnya yang tercermin pada pola-pola kerjasama kemitraan yang dirumuskan di sana serta hasil akhir yang dicapai? Ya, searah dengan bergulirnya era deregulasi dan debirokratisasi di Indonesia, pemerintah kemudian mencabut Keppres No. 50 tahun 1981 dan menggantikannya dengan Keppres No. 22 tahun 1990. Prinsip dasar dari Keppres No.22 tahun 1990 tersebut adalah: (1) Perusahaan peternakan di perbolehkan kembali memasuki usaha budidaya ayam ras asalkan bekerja sama dengan peternak rakyat; (2) Skala budidaya diperbesar. Bentukoperasional dari kerjasama perusahaan peternakan dengan peternak rakyat tertuang dalam SK Mentan No, 362/Kpts/TO. 102

120/5/1990, dalam bentuk Pola Kawasan Industri Peternakan (KINAK) yaitu: (1) KINAK-PRA (KINAK Peternakan Rakyat Agribisnis), (2) KINAK-PIR (KINAK Peternakan Inti Rakyat), dan (3) KINAK SUPER (KINAK Sentra Usaha Peternakan Ekspor). Dengan bergulirnya era kemitraan dalam perekonomian nasional, pola kemitraan ayam ras pun diatur dalam SK Mentan NO.472/Kpts/Tn.330/6/ 1996, dengan memperkenalkan Pola PIR, Pola Penghela dan Pola Pengelola, Namun demikian, hasil evaluasi yang dilakukan oleh FSP-IPB bekerjasama dengan Ditjen Peternakan menunjukkan bahwa pola kemitraan yang ada belum menunjukkan keberhasilan yang diharapkan, kalaupun ada yang berhasil dalam jangka pendek, sulit diharapkan menjadi solusi jangka panjang bagi agribisnis ayam ras terutama menghadapi perdagangan bebas. Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa berbagai upaya sudah ditempuh dengan menerapkan sejurnlah model kemitraan, belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Mengapa pola kemitraan tidak mampu mengatasi kernelut perunggasan? Sebelum membahas pertanyaan diatas, ada baiknya kita tetapkan terlebih dahulu indikator-indikator pengelolaan agribisnis ayam ras yang berhasil. Menurut saya, paling sedikit ada 4 (empat) indikator yang harus digunakan untuk mengukur keberhasilan pengelolaan agribisnis ayam ras, yaitu: Pertama, pengeloiaan agribisnis ayam ras harus mampu memberikan keuntungan atau pendapatan riil yang memadai bagi pelaku ekonomi terutama peternak rakyat yang sampai saat ini masih tergolong rendah pendapatannya. Kedua, pengelola agribisnis ayam ras harus mampu mewujudkan stabilitas penyediaan daging/telur ayam ras bagi kebutuhan konsumen. Ketiga, pengelolaan agribisnis ayam ras harus mampu mencapai daya saing yang tinggi terutama menghadapi perdagangan bebas yang segera dimasuki Dan keempat, pengelolaan agribisnis ayam ras 103

harus mampu melakukan penyesuaian terhadap perubahan pasar. Menurut saya pola kemitraan ayam ras selama ini, yang menempatkan peternak rakyat hanya pada usaha budidaya (on-farm) ayam ras, tidak akan mungkin dapat meningkatkan pendapatan riil peternak apalagi mengembangkan usahanya agar lebih modern. Dalam jangka pendek mungkin saja (misalnya karena kebaikan Inti), tapi dalam jangka panjang sulit diharapkan. Sebabnya adalah karena dalam sistem agribisnis ayam ras, nilai tambah (added value) yang terkecil berada pada subsistem budidaya ayam ras. Nilai tambah yang terbesar berada pada subsistem agribisnis hulu ayam ras (industri pembibitan, industri pakan, industri obat-obatan, beserta perdagangannya) serta pada subsistem agribisnis hilir ayam ras (industripemotongan ayam, industri pengolahan daging/telor ayam ras, beserta kegiatan perdagangannya). Sehingga mereka yang berada pada subsistem budidaya (peternak rakyat) akan memperoleh keuntungan/ pendapatan yang rendah pula. Sementara mereka yang berada pada agribisnis hulu dan hilir (pengusaha/pedagang) akan memperoleh keuntungan/pendapatan yang relatif tinggi, Itu sebabnya mengapa peternak rakyat dan petani ummnnya, meperoleh kehidupan dan pendapatan yang tetap rendah selama ini, sehingga menciptakan gejolak peternak rakyat. Selain itu, kebijakan yang menyekat-nyekat sistem agribisnis ayam ras (budidaya untuk peternak rakyat luar budidaya untuk non peternak rakyat) akan menciptakan masalah transmisi harga (pass through problems) dan masalah margin ganda (double marginalization). Masalah margin ganda terjadi bila terdapat banyak pasar produk antara mulai dari hulu hingga ke hilir, karena setiap tahapan produksi dikuasai oleh pengusahaan yang berada, sehingga setiap pengusaha mengambil sejumlah margin keuntungan- Dalarn sistem agribisnis ayam ras pedaging misalnya margin ganda terjadi mulai dari pasar DOC GGPS, pasar DOC GPS, pasar DOC PS, pasar DOC FS, pasar pakan, pasar obat-obatan, pasar ayam potong hidup, sampai pada pasar pengecer daging ayam. Margin ganda tersebut akan semakin 104

besar, manakala pada pasar produk antara tersebut terdapat kekuatan monopolisms sehingga markup yang ditimbulkannya makin besar. Adanya margin ganda ini menyebabkan harga pokok penjualan produk agribisnis ayam ras seperti daging ayam menjadi relatif tinggi, melalui efek bola salja sehingga tidak mampu bersaing dengan produk ayam ras yang dihasilkan negara lain Masalah transmisi harga dalam sistem agribisnis ayam ras terdapat dalam berbagai bentuk, Pertama, transmisi harga asimetris. Penurunan harga pada pasar daging ayam ras, dengan cepat dan sempurna ditransmisikan ke peternak rakyat yang berada pada budidaya, sedangkan kenaikan harga daging ayam ditransmisikan dengan lambat dan tidak sempurna. Sementara itu, pada pasar faktor produksi agribisnis ayam ras seperti pasar jagung dan pasar DOC berjalan sebaiknya. Kenaikan harga faktor produksi tersebut dengan cepat dan sempurna ditransmisikan ke peternak rakyat yang berada pada budidaya sedangkan setiap penurunan harga jagung ditransmisikan secara lambat dan tidak sempurna- Hal ini merupakan salah satu penyebab mengapa kenaikan harga daging ayam hanya sedikit dampaknya terhadap harga jual ayam potong peternak dan penurunan harga jagung langsung diikuti dengan penurunan harga pakan yang diterima peternak rakyat Sebaliknya, penurunan harga daging ayam ras dengan cepat sampai ke peternak rakyat dan kenaikan harga jagung langsung berdampak pada kenaikan harga pakan yang diterima peternak rakyat sehingga gejolak harga tetap melilit peternak rakyat. Kedua, informasi pasai seperti preferensi konsumen (misalnya berat ayam per ekor yang diminta konsumen) ditahan bahkan dijadikan alat untuk memperkuat posisi monopsonistik atau monopolistik. Berat ayam per ekor yang dihasilkan peternak rakyat yang tidak sesuai dengan permintaan konsumen dijadikan pedagang ayam untuk menekan harga ayam hidup di tingkat peternak rakyat. Ketiga, berkaitan dengan masalah marjin harga, skala produksi/usaha antar tahapan produksi satu dengan yang lainnya tidak ada sinkronisasi. Jumiah DOC yang dihasilkan 105

oleh industri pembibitan tidak sama (biasanya Iebih sedikit) dengan yang diminta oleh peternak rakyat. Industri hulu ayam ras merupakan suatu industri yang mengikuti pola biaya produksi yang Iebih rendah bila skala usaha ditingkatkan (decreasing cost industry), yaitu industri yang harus relatif besar agar efisien, sehingga membutuhkan daya serap pasar yang besar pula. Secara teoritis untuk memperbesar daya serap pasar DOC, perusahaan pembibit (inti) dapat memperbanyak jumlah plasma. Akan tetapi memperbesar jumiah plasma tidaklah mudah dan membutuhkan biaya, waktu, dan mengandung risiko. Alternatif yang ditempuh oleh perusahaan peternakan adalah melakukan budidaya sendiri dan melaksanakan kartel DOC untuk mengkompensasi berkurangnya keuntungan akibat pengurangan produksi. Hal inilah salah satu penjelasan mengapa kartel DOC tetap berlangsung dan mengapa ketika Keppres No.50 tahun 1981 yang memaksa pembibit keluar dari budidaya tidak operasional dan mengapa pembibit sampai saat ini tetap memiliki usaha budidaya. Akibatnya perusahaan pembibit (inti) tidak serius menangani pembinaan plasma. Selain itu, masuknya pembibit (inti) pada budidaya tersebut, dan tidak melakukan ekspor mengakibatkan sering terjadinya kelebihan penawaran di pasar daging ayam domestik. Keempat, dengan berbedanya pemilik budidaya dengan industri hulu dan atau hilir, maka tidak rangsangan untuk melakukan inovasi. Sebab industri hulu yang melakukan inovasi sadar bahwa manfaat inovasi tersebut bukan hanya dinikmati oleh industri hulu itu saja, tetapi juga dinikmati oleh mereka yang ada di hilir, padahal tidak ikut menanggung biaya inovasi. Tidak adanya rangsangan inovasi ini diperkuat pula oleh adanya kartel industri, Akibatnya inovasi teknologi pakan dan pembibitan tidak muncul Sehingga sampai saat ini ketergantungan teknologi bibit dan pakan terhadap impor masih tetap tinggi. Strain ayam ras hasil riset dalam negeri tidak muncul-muncul, Demikian juga norma gizi pakan ayam ras yang sesuai untuk Indonesia tidak muncul Kemudian pada agribisnis hilir ayam ras juga tidak ada rangsangan untuk memperluas ke pasar internasional. Sebab mereka yang di hilir tahu bahwa manfaat perluasan pasar 106

tersebut juga dinikmati oleh pelaku agribisnis hulu padahal tidak ikut menanggung biaya perluasan pasar tersebut.akibatnya, selain faktor penyebab yang telah dikemukakan sebelumnya, ekspor ayam ras berjalan lambat. Uraian diatas menunjukkan bahwa pola kemitraan seperti pola PIR-KINAK dan yang Iain-lain yang menempatkan peternak rakyat hanya pada budidaya ayam ras justru menempatkan peternak rakyat pada posisi yang sangat lemah di satu sisi dan menciptakan masalah transmisi harga {pass trough problems) dan margin ganda (double marginalization) pada agribisnis ayam ras di sisi lain, sehingga pola kemitraan seperti itu bukanlah solusi terbaik untuk mengatasi kemelut perunggasan. Bahkan cenderung memperpanjang kemelut pada agribisnis penmggasan itu sendiri. Bila kondisi diatas berlanjut terus maka peternak rakyat tetap lemah, daya saing agribisnis ayam ras akan rendah, sehingga harapan untuk menjadikan industri ayam ras menjadi salah satu andalan industri ekspor tidak akan terwujud. Bahkan agribisnis ayam ras dapat terancam kalah bersaing di pasar domestik pada era perdagangan bebas yang akan datang. Kalau begitu, bagaimana sebaiknya mengelola agribisnis ayam ras? Menurut saya cara mengelola agribisnis ayam ras, juga agribisnis pada umumnya, adalah dengan sistem pengelolaan integrasi vertikal. Artinya, mulai dari hulu sampai ke hilir berada dalam satu keputusan manajemen. Ini yang saya maksudkan dengan pembangunan pertanian dengan pendekatan sistem agribisnis. Pengelolaan integrasi vertikal mempunyai pembenaran secara teoritis maupun secara empiris/fakta. Secara teoritis dapat dibuktikan bahwa pengelolaan agribisnis ayam ras secara integrasi vertikal kondusif untuk mencapai daya saing. Penjelasannya 107

adalah sebagai berikut. Pertama, bila agribisnis hulu, budidaya dan agribisnis hilir ayam ras berada dalam satu sistem manajemen maka dengan sendirinya akan menghapus pasar produk antara sehingga margin ganda mulai dari hulu hingga ke hilir menjadi hilang, Hal ini berarti harga pokok penjualan produk akhir (daging ayam) merupakan penjumlahan harga pokok penjualan dari: DOC, pakan, obat-obatan, budidaya, pemotongan, pengangkutan, dan pemasaran. Hilangnya margin ganda ini memiliki konsekuensi pada berbagai hal berikut, yaitu: (1) Harga daging ayam yang dihasilkan menjadi lebih rendah, sehingga menguntungkan konsumen. Selain itu, dengan harga pokok penjualan produk akhir yang lebih rendah tersebut, berarti agribisnis ayam ras makin mampu bersaiitg bukan hanya di pasar domestik tapi juga di pasar intemasional; (2) Sinkronisasi skala usaha/produk secara vertikal akan tercapai, dan setiap tahapan produksi mulai dari hulu hingga ke hilir mampu mewujudkan skalaekonomi (skala produksi dan biaya rata-rata terendah). Hal ini mendukung efisiensi (daya saing), volume produk akhir yang dihasilkan juga makin besar, dan stabilitas penyediaan daging dapat dicapai. Dengan harga yang relatif rendah dan volume produksi yang relatif besar, akan memungkinkan untuk memperluas pasar baik di dalam negeri maupun ekspor, dan (3) Makin rendahnya harga pokok penjualan dan makin besarnya volume produk akhir yang dihasilkan (pada harga pasar tertentu) akan meningkatkan keuntungan. Ini berarti pendapatan yang diterima oleh mereka yang terlibat dalam agribisnis ayam ras dapat meningkat. Kedua, dengan integrasi vertikal, dengan sendirinya masalah transmisi juga akan hilang/diminimumkan, melalui mekanisme sebagai berikut: (1) Transmisi harga akan berjalan secara simetris dan sempurna, sehingga agribisnis ayam ras memiliki kemampuan penyesuaian yang tinggi terhadap perubahanperubahan lingkungan ekonomi baik yang bersifat nasional maupun internasional; (2) Informasi pasar khususnya preferensi konsumen akan mudah ditransmisikan dan diimplementasikan ke seluruh komponen agribisnis ayam ras mulai dari hulu hingga 108

ke hilir. Dengan demikian setiap perubahan preferensi konsumen dapat segera dijawab oleh agribisnis ayam ras. Bila konsumen meminta daging ayam ras dengan kadar lemajc yang rendah, maka tuntutan konsumen tersebut dengan mudah diterjemahkan mulai dari industri pembibitan, industri pakan dan komponen kegiatan agribisnis ayam ras lain yang mempengaruhi kadar lemak daging ayam ras; (3) Ada insentif untuk melakukan inovasi pada setiap kegiatan agribisnis, karena manfaat inovasi tersebut akan dinikmati secara bersama-sama dan dibiayai secara bersama-sama. Inovasi teknologi, manajemen, dan pemasaran akan dimungkinkan karena dana untuk melakukan peneiitian dan pengembangan telah tersedia dari pemupukan keuntungan yang ditahan, Kegiatan peneiitian dan pengembangan ini sangat penting dalam menghadapi era perdagangan bebas. Keseluruhan uraian di atas menunjukkan bahwa integrasi vertikal agribisnis ayam ras akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik produsen maupun konsumen, meningkatkan daya saing agribisnis ayam ras dengan ciri: efisien, lincah, dan adaptif. Secara empiris/realita, kita dapat mengamati bahwa semua agribisnis yang modern dan cepat berkembang saat ini adalah agribisnis yang ter integrasi secara vertikal. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini Grup-7 pada industri perunggasan, yakni perusahaan yang terintegrasi secara vertikal dan menunjukkan keunggulan, baik dalam perkembangan maupun dalam mengatasi masalahnya sendiri. Pada perkebunan sawit misalnya terdapat Salim Grup, Sinar Mas Grup, Bakrie Grup, dan lain-lain yang merupakan perusahaan integrasi vertikal. Mereka semua ternyata menunjukkan kecepatan berkembang yang luar biasa. Menurut sepengetahuan saya, dalam sektor agribisnis belum ada agribisnis yang terintegrasi secara vertikal, gagalberkembang dan sebaliknya belum ada agribisnis komoditas yang tidak terintegrasi secara vertikal inenunjukkan perkembangan yang luar biasa. Jadi menurut saya, ide integrasi vertikal agribisnis yang dilontarkan oleh pihak GPPU baru-baru ini sungguh tepat dan 109

perlu didukung. Integrasi vertikal agribisnis ayam ras tampaknya merupakan pilihan terbaik untuk terdptanya ildim perunggasan yang tangguh dan memiliki daya saing tinggi. Bisa diberikan uraian mengenai ragam atau bentuk integrasi vertikal yang bisa diterapkan? Menurut saya, bentuk integrasi vertikal agribisnis ayam ras paling sedikit ada 3 (tiga) bentuk. Pertama: Integrasi vertikal dengan pemilikan tunggal/grup. Bentuk integrasi vertikal ini mulai dari hulu sampai ke hilir dimiliki oleh satu perusahaan/ grup perusahaan. Bentuk integrasi vertikal seperti ini sudah operasional dalam agribisnis ayam ras yang dikenal sebagai Grup-7. Bentuk ini perlu dilanjutkan dan harapan kita bentuk ini menjadi pelopor dalam merebut peluang pasar internasional. Namun perlu dicatat bahwa integrasi vertikal yang saya maksudkan, masing-masing melakukan integrasi vertikal dan saling bersaing, bukan disertai dengan pembentukan integrasi horisontal (kartel) seperti GPPU atau GPMT. Saya tidak melihat pentingnya kehadiran GPPU dan GPMT, karena akan mendorong terjadinya kartel. Kalau tujuannya untuk stabilitas, bukan integrasi horisontal seperti itu yang menjadi solusi terbaik, tapi integrasi vertikal. Kalau khawatir terjadi kelebihan penawaran DOC dan selanjutnya pada pasar daging ayam, solusinya adalah ekspor bukan pengontrolan produksi DOC secara bersama-sama. Menurut saya, lambatnya perkembangan ekspor daging ayam ras selama ini disebabkan oleh adanya kartel agribisnis hulu ayam ras ini, sehingga tidak terjadi persaingan antar perusahaan yang terintegrasi secara vertikal. Kedua. Bentuk integrasi vertikal agribisnis ayam ras dengan pemilikan saham bersama/usaha patungan. Pada bentuk ini 110

industri pembibit, industri pakan, industri obat-obatan, usaha budidaya ayam ras, pengusaha nimah potong ayam, dan Iainlain yang terpisah selama ini membentuk perusahaan vertikal milik bersama dan dikelola secara profesional Pembagian keuntungan didasarkan pada pangsa biaya masing-masing unsur dalam agribisnis vetikal tersebut Bentuk ini memiliki kekuatan dan kelemahan yang perlu diwaspadai. Kekuatannya adalah bahwa masing-masing unsur/pihak yang ikut akan bersedia meningkatkan produktivitas kaiena setiap unsur mengetahui bahwa cara seperti itu akan meningkatkan keuntungan bersama, Selain itu, petemak rakyat yang ada pada budidaya yang selama ini tidak pernah menikmati nilai tambah pada kegiatan di luar budidaya, denganbentuk seperti ini ikut menikmatinya. Kelemahan atau ancamannya adalah kemungkinan muncul penikmat bebas (free rider) dan masalah perhitungan pangsa biaya masing-masing pihak yang terkait. Kesepakatan pangsa biaya masing-masing pihak ini perlu, karena akan menentukan besarnya pembagian keuntungan yang diterimanya. Ketiga, Bentuk integrasi vertikal agribisnis ayam ras dengan koperasi agribisnis ayam ras. Dalam bentuk ini para peternak rakyat yang melakukan budidaya ayam ras membentuk koperasi agribisnis. Selanjutnya koperasi agribisnis akan mengembangkan perusahaan pakan, pembibitan, obat-obatan, pemotongan ayam maupun pemasaran ayam. Dalam hal ini wakil kelompok peternak rakyat duduk sebagai dewan komisaris, sedangkan koperasi agribisnis itu sendiri termasuk unit-unit perusahaannya dikelola oleh orang-orang yang profesional (bukan dari anggota koperasi). Tentunya, untuk mewujudkan bentuk seperti ini butuh bantuan permodalan dan dukungan pemerintah dan sudah selayaknya menjadi perhatian utama pemerintah dalam rangka pemberdayaan ekonomi peternak rakyat. Dengan ketiga bentuk integrasi vertikal agribisnis ayam ras tersebut, berarti akan ada banyak perusahaan agribisnis ayam ras yang terintegrasi secara vertikal Misalnya saja kalau saat ini ada 100 industri pembibitan yang menghasilkan DOC final stock dan masing-masing membentuk perusahaan integrasi vertikal maka 111

akan ada 100 perusahaan integrasi vertikal pemilik tunggal/grup, ada sekian banyak perusahaan integrasi vertikal usaha bersama, dan ada sekian banyak koperasi agribisnis vertikal di Indonesia. Masing-masing perusahaan vertikal tersebut saling bersaing sehingga saling berlomba untuk mencapai daya saing yang tinggi, sehingga pada gilirannya juga bersaing untuk memasuki pasar internasional. Bila bentuk-bentuk integrasi vertikal di atas dapat diwujudkan maka tidak perlu ada pembatasan produksi, pembatasan impor GPS, kontrak harga dan bentuk-bentuk intervensi langsung pemerintah. Karena semuanya akan diselesaikan oleh mekanisme pasar. Tugas pemerintah adalah menciptakan iklim yang kondusif agar perkembangannya sesuai dengan tujuan pembangunan nasional. Misalnya untuk mempercepat atau merangsang ekspor ayam, pemerintah dapat memberi keringanan pajak bagi perusahaan yang menunjukkan kinerja ekspor yang menggembirakan. Dari tiga bentuk integrasi vertikal dalam agribisnis ayam ras tersebut barangkalt ada yang dtgarisbawahi sebagai model atau bentuk integrasi vertikal paling ideal, khususnya dihubungkan dengan upaya pemberdayaan peternakan rakyat, dan oleh sebab itu tentunya menjadi favorit Anda untuk diprioritaskan pengembangannya. Bentuk integrasi vertikal yang mana itu? Kalau harus dipilih bentuk atau model integrasi vertikal paling ideal dalam bisnis ayam ras, maka dia adalah bentuk integrasi vertikal dalam wujud koperasi agribisnis ayam ras. Mengapa koperasi, karena dalam prospek pengembangannya ke depan peternak tidak lagi hanya akan berkutat di subsistem budidaya saja, melainkan juga dapat memiliki sendiri pabrik pakan, industri bibit dan bahkan rumah pemotongan ayam. Ini dimungkinkan apabila oleh perkembangannya yang pesat, koperasi perunggasan pada akhirnya mampu memberikan pelayanan kepada anggotanya secara terpadu, dari hulu hingga hilir. 112

Tapi arah ke sana tentunya harus diperjuangkan sejak sekarang. Caranya, peternakan harus didorong untuk mengorganisasikan dirinya dalam wadahkoperasi. Nah, langkah awal ini tentunya menjadi tugas kita bersama terutama di sini pemerintah untuk tidak jemu-jemunya melakukan pembinaan dan memberikan dukungan fasilitas bagi terwujudnya koperasi peternakan ayam yang kelak dapat ditingkatkan kualitasnya menjadi koperasi agribisnis ayam ras yang menerapkan integrasi vertikal secara penuh. Bahwa ini merupakan pekerjaan yang tidak mud ah, memang benar. Tetapi daripada repot-repot ikut mengurusi kerjasama kemitraan yang sudah ditangani oleh perusahaan peternakan besar, pemerintah sebaiknya 1 kan membantu 1 mengurusi peternak untuk bisa memperbaiki nasibnya dengan membentuk koperasi. Sebab dengan menjadikan koperasi peternak nantinya menjadi besar dan mampu menerapkan integrasi secara vertikal / ia nantinya akan mampu bersaing dengan perusahaan peternakan yang juga bersifat terintegrasi vertikal. Keterangan lainnya mengapa saya melihat bentuk integrasi vertikal agribisnis ayam ras dengan koperasi agribisnis ayam ras sebagai bentuk paling ideal adalah karena inilah yang paling memungkinkan peternak rakyat melalui lembaga koperasinya dapat memiliki industri hulu dan industri hilirnya secara penuh. Sedang apabila peternak terikat dalam kemitraan dalam bentuk integrasi vertikal dengan pemilikan bersama maupun pemilikan tunggal, maka peternak akan selalu diposisikan hanya mengurus kegiatan di subsistem budidaya saja. Padahal, seperti kita tahu, subsistem budidaya adalah merupakan sektor yang tingkat keuntungannya paling kecil, sementara risiko yang ditanggung di sana sangat besar. Jadi kesimpulannya, dengan terus mendorong pengembangan kemitraan dalam bentuk integrasi vertikal agribisnis ayam ras dengan pemilikan tunggal/grup dan integrasi vertikal dengan pemilikan saham bersama, titik berat kewajiban pemerintah adalah melakukan pembinaan lebih intensif guna terwujudnya 113

bentuk integrasi vertikal dalam wadah koperasi agribisnis ayam ras. Artinya di sini, kita semua dan terutama pemerintah tidak perlu ragu untuk melakukan pembinaan dan member ikan dukungan bagi pembentukan dan pengembangan koperasi perunggasan. Kita percaya, kalau koperasi unggas memiliki potensi cukup besar untuk maju dan berkembang. Soalnya peternak ayam kita sekarang ini kan umumnya sudah berperilaku sebagai pengusaha, bukan lagi peternak gurem yang memelihara ayam di bawah skala ekonomis. Nah, dari sisi ini saja kita yakin bahwa mereka merupakan tiang penyangga yang sangat baik untuk tegaknya bangunan koperasi seperti yang kita harapkan. Nah, tetapi sekali lagi, pada tahap awal ini mereka masih harus dibantu dan diberi dukungan. Saya kira itulah. Dan kalau hal-hal yang demikian itu dapat dicapai, maka agribisnis ayam ras nasionai akan mampu bersaing dalam perdagangan bebas. Dan peternak rakyat juga dapat ikut menikmatinya. Terimakasih! 114