BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada diantara dua samudera

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Kejadian bencana yang datang silih berganti menimbulkan trauma pada

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dari uraian yang telah disampaikan dari Bab I sampai Bab IV, maka dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. aspek fisik, psikis, dan psikososial (Dariyo, 2004). Jika dilihat dari

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mengenang kembali peristiwa erupsi Gunung Merapi hampir dua tahun lalu

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang besar. Bencana yang datang dapat disebabkan oleh faktor alam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN. Bencana alam merupakan salah satu hal yang dapat datang kapan saja dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. antara keduanya yang terjadi secara tiba-tiba sehingga menimbulkan dampak

BAB I PENDAHULUAN. dan kapan saja, yang dapat menimbulkan kerugian materiel dan imateriel bagi

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Sementara rekomendasi hasil penelitian difokuskan pada upaya sosialisasi hasil

Kebijakan Kesehatan Jiwa Paska Bencana: Terapi Pemberdayaan Diri Secara Kelompok Sebagai Sebuah Alternatif

BAB I PENDAHULUAN. termasuk wilayah pacific ring of fire (deretan Gunung berapi Pasifik), juga

BAB I PENDAHULUAN. (Ring of fire) dan diapit oleh pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang jiwa. Banyaknya jumlah bencana alam di Indonesia menjadikan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, khususnya di

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Tsunami berasal dari bahasa Jepang, terbentuk dari kata tsu yang berarti. longsoran yang terjadi di dasar laut (BMKG, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. di lingkungan sekitar kita, seperti gempa bumi yang melanda Yogyakarta,

Makalah Analisis Kasus : Bencana Merapi. Disusun oleh : Carissa Erani

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa mendambakan kehidupan yang harmonis, tentram,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 2004). Hospitalisasi

BAB I PENDAHULUAN. dan memasuki tahap epidemis dengan beberapa sub-populasi beresiko

DUKUNGAN SOSIAL DAN POST-TRAUMATIC STRESS DISORDER PADA REMAJA PENYINTAS GUNUNG MERAPI

Dampak. terhadap anak-anak Reaksi anak-anak terhadap situasi darurat

BAB 1 PENDAHULUAN. peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba (bereksperimen) untuk mendapatkan rasa senang. Hal ini terjadi karena

Mengenal Gangguan Stress Pasca Trauma

MANAJEMEN STRES PADA INDIVIDU YANG SELAMAT (SURVIVOR) DARI BENCANA ALAM. Kartika Adhyati Ningdiah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kematian ibu menjadi 102 per kelahiran hidup. Pembangunan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

OLEH : Letkol Laut ( K/W) Drg. R Bonasari L Tobing, M.Si INTERVENSI PSIKOSOSIAL PADA BENCANA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terkena bencana. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dari Tuhan. Selain itu, orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. kecelakaan lalu lintas yang cukup parah, bisa mengakibatkan cedera

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejumlah bencana alam yang terjadi di Indonesia memberikan dampak yang

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, pengertian kejahatan dan kekerasan memiliki banyak definisi

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Nurul Fahmi,2014 EFEKTIVITAS PERMAINAN KELOMPOK UNTUK MENGEMBANGKAN PENYESUAIAN SOSIAL SISWA

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang cenderung pernah merasakan kecemasan pada saat-saat

BAB I PENDAHULUAN. Permukaan Bumi mempunyai beberapa bentuk yaitu datar, berbukit. atau bergelombang sampai bergunung. Proses pembentukan bumi melalui

BAB I PENDAHULUAN. dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik),

BAB I PENDAHULUAN pulau, terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan di antara dua

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA TENTANG SINDROM TRAUMA DAN COGNITIVE-BEHAVIOR THERAPY

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana dilihat dari beberapa sumber memiliki definisi yang cukup luas.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari konsep kesejahteraan subjektif yang mencakup aspek afektif dan kognitif

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

BAB I PENDAHULUAN. Bencana lahar di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah telah

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Tekanan (Stress) merupakan suatu tanggapan adaptif, diperantarai oleh

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan gangguan yang disebut dengan enuresis (Nevid, 2005).

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. aktif di dunia, yang memiliki siklus letusan 4 tahun sekali dan terakhir kali

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB1 PENDAHULUAN. Krakatau diperkirakan memiliki kekuatan setara 200 megaton TNT, kira-kira

BAB I PENDAHULUAN. selesaikan oleh individu untuk kemudian di lanjutkan ketahapan berikutnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya pada

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TIM CMHN BENCANA DAN INTERVENSI KRISIS

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. keluarga telah mencapai resiliensi sebagaimana dilihat dari proses sejak

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

TESIS Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

PENERAPAN KERANGKA KERJA BERSAMA SEKOLAH AMAN ASEAN UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. berkembang semakin pesat. Hal ini membuat setiap individu dituntut untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki masa pensiun merupakan salah satu peristiwa di kehidupan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB. V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman remaja dalam berhubungan dengan orang lain. Dasar dari konsep diri

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT -

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana,

Sekolah Petra (Penanganan Trauma) Bagi Anak Korban Bencana Alam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Goals (MDGs) dengan indikator menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ela Nurlaela Sari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana merupakan suatu kejadian traumatis (McFarlane, 2005). Salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Eem Munawaroh, 2014

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada diantara dua samudera dan dilewati dua sirkum gunung berapi. Kondisi tersebut menjadikan Indonesia negara yang rawan terkena bencana alam. Bencana seperti gempa tektonik maupun vulkanik, potensial terjadi di Indonesia dari skala kecil sampai skala besar. Bencana tersebut bisa disusul bencana lainnya seperti tsunami ataupun longsor. Baru-baru ini Indonesia ditimpa berbagai macam bencana alam mengerikan dalam rentang waktu yang berdekatan, seperti terjadinya banjir bandang di Wasior, terjangan Tsunami di Mentawai, dan meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta. Berbagai bencana alam lainnya juga setiap tahun terjadi, seperti banjir dan tanah longsor. Kejadian bencana alam yang datang silih berganti tentu menimbulkan kerugian materil yang sangat besar, seperti kehilangan harta benda dan kerusakan infrastruktur. Reaksi yang muncul dari masyarakat segera setelah bencana alam yang besar terjadi, umumnya shock dan terguncang yang kemudian berkembang menjadi beragam penghayatan psikologis yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Reaksi shock dan terguncang yang muncul setelah terjadinya bencana merupakan hal yang wajar, karena dalam waktu sekejap seseorang kehilangan begitu banyak sumber daya bernilai baginya. Sumampouw (2010) menyatakan reaksi-reaksi psikologis dalam durasi sampai kurang lebih 1 2 bulan 1

2 pasca bencana dahsyat merupakan reaksi yang wajar terjadi dan dengan natural coping mechanism seseorang dapat kembali pulih, akan tetapi tidak menutup kemungkinan ada yang terjebak pada kelemahan psikologis dengan munculnya trauma. Pandangan tersebut sejalan dengan Green (Rusmana, 2008) yang menyatakan kegagalan coping dan adaptasi terhadap pengalaman traumatik akan menimbulkan efek bola salju yang luas dan mendalam, berjangka panjang dan mungkin tidak dapat diubah (irrevensbile). Kegagalan berdamai dengan tekanan dan adaptasi terhadap pengalaman traumatik karena bencana alam yang mengerikan, menjadi penyebab munculnya gangguan trauma. Trauma merupakan rasa kecemasan dan kesakitan yang sangat mendalam akibat dari keadaan merugikan yang terus menerus menimpa manusia (Nurihsan. 2005: 82). Trauma muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan. Kondisi traumatis yang berlangsung pasca terjadinya bencana alam mengerikan yang tidak tertangani dapat menyisakan gangguan psikologis seperti gangguan kecemasan pascatrauma, walaupun prevalensinya masih belum diketahui dengan pasti. Gangguan kecemasan pascatrauma adalah reaksi maladaftif berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis. Suatu studi yang dilakukan North terhadap 255 korban selamat dari peristiwa pemboman di Oklahoma pada tahun 1995 menunjukan prevalensi sebesar 34% untuk gangguan kecemasan pascatrauma (Nevid, Rathus & Greene, 2005). Kerentanan terhadap gangguan kecemasan pascatrauma bergantung pada faktor-faktor seperti resiliensi dan kerentanan terhadap efek trauma, riwayat penganiayaan seksual pada masa

3 kanak-kanak, keparahan trauma, derajat pemaparan, ketersediaan dukungan sosial, penggunaan respon coping aktif dalam menghadapi stresor traumatis dan perasaan malu (Nevid, Rathus & Greene, 2005). Kondisi gangguan trauma (traumatic disorder) yang berkembang menjadi gangguan kecemasan pascatrauma, memungkinkan seseorang untuk membentuk ingatan-ingatan yang intrusif, mimpi-mimpi menggangu yang berulang-ulang, dan perasaan bahwa peristiwa tersebut memang terulang. Pada kasus bencana alam erupsi gunung merapi, gangguan tersebut muncul dan menyebabkan puluhan masyarakat mengalami masalah kejiwaan (Kompas, 2010). Hal tersebut mengindikasikan dampak besar yang terjadi pasca bencana letusan gunung merapi terhadap kondisi kejiwaan masyarakat yang menjadi korban. Gangguan yang muncul pada korban bencana letusan gunung merapi antara lain rasa takut terhadap gempa, takut melihat gunung, takut terhadap suara gemuruh dan hal lainnya yang dapat mengingatkan mereka pada peristiwa letusan gunung merapi. Kondisi tersebut dijelaskan Litzz (Nevid, Rathus & Greene, 2005) di mana kecenderungan orang-orang dengan reaksi stres traumatis akan menghindari stimuli yang membangkitkan ingatan terhadap trauma. Kemudian kecenderungan lainnya dari orang-orang dengan reaksi stres traumatis, seperti merasa terasing atau terpisah dari orang lain, menunjukan sikap kurang responsif terhadap dunia luar, kehilangan kemampuan menikmati aktivitas yang dahulu disukai atau kehilangan perasaan mengasihi. Gangguan kecemasan pascatrauma bukan hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi dapat juga terjadi pada anak-anak, seperti pendapat Silva (Nevid, Rathus &

4 Greene, 2005) gangguan kecemasan pascatrauma dapat terjadi pada anak-anak yang mendapatkan pemaparan terhadap pengalaman-pengalaman traumatis. Anakanak yang mempunyai pengalaman traumatis merupakan salah satu populasi yang paling rentan mengalami gangguan kecemasan pascatrauma, karena perubahan pada sistem kerja otak mereka yang masih bersifat permanen dan keterampilan coping mereka yang belum cukup dibangun untuk mengatasi kejadian bencana (Baggerly and Exum, 2008). Gangguan kecemasan pascatrauma pada anak dan remaja, akan mengakibatkan suatu perasaan tertekan dan akan memberikan pengaruh yang buruk bagi perkembangan mereka jika dibiarkan begitu saja. Pandangan tersebut dijelaskan Wilson (Schiraldi, 2000) yang mengungkapkan gangguan kecemasan pascatrauma berpengaruh pada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan seseorang (termasuk kapasitas keintiman, cinta dan seksualitas). Selanjutnya Rusmana (2008) mengungkapkan dampak yang lebih parah dari gangguan kecemasan pascatrauma apabila tidak tertangani, seperti munculnya gangguan pada aspek fisik (physical fatigue), emosi (emotional fatigue), mental (mental fatigue), perilaku (behavioral fatigue), dan spiritual (spiritual fatigue). Anda (dalam Bararah, 2009) dalam studi adverse childhood experiences menemukan fakta bahwa anak dan remaja yang mengalami peristiwa traumatis cenderung mengambil faktor risiko yang bisa memperburuk kesehatan seperti merokok, mengkonsumsi narkoba, obesitas atau kurang melakukan aktivitas fisik karena stres yang mereka alami secara terus menerus yang akan terakumulasi dalam kehidupan mereka, sehingga mempengaruhi proses

5 perkembangan, berpikir dan mengontrol emosi. Pandangan tersebut diperkuat oleh pernyataan Baggerly & Exum (2008) yang menyatakan; After natural disasters, most children exhibit typical symptoms, which can be mitigated when parents and teachers provide emotional support and facilitate adaptive coping strategies. However, some children may experience clinical symptoms, which require professional counseling. Dampak luar biasa yang muncul pasca bencana, menjadi sebuah pertimbangan urgensi penanggulangan trauma, terutama penanganan bagi anak dan remaja yang mengalami langsung peristiwa traumatis. Hal ini perlu dilakukan mengingat dampak yang akan muncul pasca bencana dan pengaruhnya terhadap kehidupan anak dan remaja dimasa yang akan datang. Bryson (Rusmana, 2008) berpendapat bahwa pendekatan yang paling tepat untuk menangani anak-anak berpengalaman traumatis adalah: (1) Cognitif Behavioral Therapy, (2) Exposure Therapy, (3) Brief Psychodinamic Psikoterapy; (4) Eye Movement Decensitization and Reprocessing; (4) Family Therapy; (5) Self-Help or Support Group Therapy. Selanjutnya Rusmana (2008) menyatakan dari banyak teknik yang digunakan dalam menangani anak-anak berpengalaman traumatis, support group therapy sebagai group treatment merupakan model paling ideal karena dalam teknik ini terdapat kesempatan bagi anak untuk berbagi rasa empati, kohesi, dan rasa aman. Dewasa ini sudah banyak dikembangkan teknik-teknik yang termasuk group treatment, salah satunya adalah konseling berbasis petualangan. Kegiatan ini dapat menciptakan suasana ceria karena dirancang untuk dapat dinikmati anak dan remaja sebagai kegiatan yang penuh kesenangan dan humor. Hal tersebut akan sangat membantu mereka untuk bangkit dari dukanya setelah bencana yang merugikan terjadi. Secara konseptual Glass & Myers (2001) memandang

6 konseling berbasis petualangan sebagai kegiatan menyenangkan atau menggembirakan yang terstruktur dan berorientasikan kelompok. Selanjutnya Golins (Herbert, 1996) mengungkapkan adanya games atmosphere dari konseling berbasis petualangan yang akan mempertinggi pemahaman dan memperlancar proses konseling. Herbert (1996) juga mengungkapkan salah satu karakteristik dari konseling berbasis petualangan, yaitu adanya tantangan yang akan mendorong anak dan remaja untuk keluar dari zona nyamanya dan mengekespresikan perasaannya, sehingga diharapkan mereka dapat melakukan katarsis dan mengembangkan toleransi frustasi yang cukup. Daftar riwayat pengimplementasian konseling berbasis petualangan yang disusun Herbert (1996) dari experiential education dan therapeutic recreation literature, sebenarnya menunjukan telah banyaknya penggunaan teknik ini dalam menangani berbagai kasus, seperti penanganan terhadap orang yang ketergantungan alkohol dan narkoba, orang berkebutuhan khusus yang memiliki konsep diri buruk, dan orang yang sakit mental berkepanjangan. Dalam kasus orang berpengalaman traumatis, konseling berbasis petualangan secara efektif telah digunakan oleh Levine (Hebert, 1996) untuk menangani orang-orang yang pernah mengalami kekerasan seksual. Oleh karena itu, konseling berbasis petualangan dapat menjadi alternatif pilihan teknik untuk menangani masalah gangguan psikologis bagi mereka yang menjadi korban bencana. Elemen kunci dalam konseling berbasis petualangan seperti humor/fun, challenge, dan peak experience, dipandang Schoel (1989) dapat meningkatkan antusiasme dan keterampilan menghadapi tekanan, sehingga dapat membantu anak dan remaja yang

7 mengidap gangguan kecemasan pascatrauma untuk mengembangkan effective coping yang akan sangat berguna dalam proses penyembuhan. Mempertimbangkan dampak yang begitu besar karena bencana erupsi Gunung Merapi terutama gangguan psikologis pada anak dan remaja pasca bencana, maka penanganan perlulah dilakukan. Penanganan yang dilakukan tidak hanya nonintrussive tetapi harus lebih diarahkan pada pemberian rasa aman dan penyediaan suasana yang ceria serta menyenangkan. Berdasarkan pertimbangan bahwa konseling berbasis petualangan dapat menciptakan suasana ceria, dapat dinikmati sebagai kegiatan yang penuh kesenangan dan humor, serta dapat menjadi media katarsis yang diperlukan anak dan remaja yang menjadi korban bencana. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh konseling berbasis petualangan dapat mereduksi gangguan kecemasan pascatrauma pada anak dan remaja korban bencana alam erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah dalam penelitian mengenai efektivitas konseling berbasis petualangan dalam mereduksi gangguan kecemasan pascatrauma dijabarkan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah gambaran gangguan kecemasan pascatrauma siswa kelas VIII SMP Sunan Kalijogo yang menjadi korban bencana alam erupsi Gunung Merapi?

8 2. Bagaimanakah rumusan konseling berbasis petualangan dalam mereduksi gangguan kecemasan pascatrauma siswa kelas VIII SMP Sunan Kalijogo yang menjadi korban bencana alam erupsi Gunung Merapi? 3. Bagaimana efektivitas konseling berbasis petualangan dalam mereduksi gangguan kecemasan pascatrauma siswa kelas VIII SMP Sunan Kalijogo yang menjadi korban bencana alam erupsi Gunung Merapi? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian mengenai efektivitas konseling berbasis petualangan dalam mereduksi gangguan kecemasan pascatrauma adalah memperoleh: 1. Gambaran gangguan kecemasan pascatrauma siswa kelas VIII SMP Sunan Kalijogo yang menjadi korban bencana alam erupsi Gunung Merapi. 2. Rumusan konseling berbasis petualangan dalam mereduksi gangguan kecemasan pascatrauma siswa kelas VIII SMP Sunan Kalijogo yang menjadi korban bencana alam erupsi Gunung Merapi 3. Gambaran tentang efektivitas penggunaan konseling berbasis petualangan dalam mereduksi gangguan kecemasan pascatrauma siswa kelas VIII SMP Sunan Kalijogo yang menjadi korban bencana alam erupsi Gunung Merapi. D. Manfaat Penelitian Secara teoretis penelitian mengenai efektivitas konseling berbasis petualangan dalam mereduksi gangguan kecemasan pascatrauma diharapkan dapat

9 memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu bimbingan dan konseling. Penemuan jawaban-jawaban terhadap hipotesis dan asumsi dalam penelitian, akan menghasilkan data empirik penelitian yang dapat memperkaya temuan tentang pemberian layanan bimbingan dan konseling pada ranah gangguan kecemasan pascatrauma dan penggunaan konseling berbasis petualangan. Selain itu, secara praktis penelitian mengenai efektivitas konseling berbasis petualangan dalam mereduksi gangguan kecemasan pascatrauma diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Bagi siswa kelas VIII SMP Sunan Kalijogo yang menjadi korban bencana alam erupsi Gunung Merapi. Penelitian ini diharapkan dapat membantu mereka dalam menangani permasalahan gangguan kecemasan pascatrauma, sehingga mereka bisa berkembang dengan baik dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan serta mencapai kesuksesan. 2. Bagi konselor, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan menjadi masukan dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling, sehingga pelayanan bimbingan dan konseling menjadi lebih professional terutama dalam membantu korban bencana alam. 3. Bagi jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, hasil dari penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi konseptual tentang efektivitas konseling berbasis petualangan dalam mereduksi gangguan kecemasan pascatrauma.

10 E. Asumsi Penelitian Asumsi penelitian mengenai efektivitas konseling berbasis petualangan dalam mereduksi gangguan kecemasan pascatrauma, adalah sebagai berikut : 1. Salah satu aspek terpenting dalam perkembangan anak melibatkan kemampuan untuk menanggulangi ketakutan masa kecil. (Hurlock, 1994) 2. Saat terjadinya bencana alam dahsyat, anak dan remaja merupakan salah satu populasi yang paling rentan karena perubahan pada sistem kerja otak mereka yang masih bersifat permanen dan keterampilan coping mereka yang belum cukup dibangun untuk mengatasi kejadian bencana (Baggerly and Exum, 2008) 3. Gangguan kecemasan pascatrauma dapat terjadi pada anak dan remaja yang mendapatkan pemaparan terhadap pengalaman-pengalaman traumatis (Silvia dalam Nevid, Rathus & Greene, 2005) 4. Setelah bencana alam, kebanyakan anak dan remaja menunjukkan gejala khas, yang dapat dikurangi ketika orang tua dan guru memberikan dukungan emosional dan memfasilitasi strategi penanggulangan adaptif. Namun, beberapa diantaranya mungkin mengalami gejala klinis, yang membutuhkan konseling profesional. (Bagggerly and Exum, 2008) 5. Anak dan remaja yang mengalami trauma cenderung mengambil faktor risiko yang bisa memperburuk kesehatan seperti merokok, mengkonsumsi narkoba, obesitas atau kurang melakukan aktivitas fisik (Anda dalam Bararah, 2009). 6. Jiwa anak seringkali diluar kontrol mereka dan seringkali terjadi penolakan dari anak terutama ketika berada dalam kondisi trauma, sehingga penanganan

11 yang dilakukan tidak hanya nonintrussive tetapi harus lebih diarahkan pada pemberian rasa aman (Sweeney dan Homeyer dalam Rusmana, 2008). 7. Untuk mereduksi gangguan kecemasan pascatrauma diperlukan layanan bimbingan dan konseling yang tepat sesuai dengan karakteristik gangguan psikologis yang dialami oleh remaja korban bencana erupsi Gunung Merapi. Untuk itu maka diperlukan pengujian efektivitas konseling berbasis petualangan dalam menangani remaja yang mengalami gangguan kecemasan pascatrauma. F. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran dan asumsi-asumsi tersebut, hipotesis yang akan diuji pada penelitian mengenai efektivitas konseling berbasis petualangan dalam mereduksi gangguan kecemasan pascatrauma adalah sebagai berikut: Konseling berbasis petualangan efektif untuk mereduksi gangguan kecemasan pascatrauma G. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatf yang digunakan secara bersama-sama. Pendekatan kuantitatif, yaitu pendekatan penelitian yang dirancang untuk menjawab pertanyaan penelitian atau hipotesis secara spesifik dengan penggunaan statistik. Melalui pendekatan ini diharapkan diperoleh data empirik mengenai gangguan kecemasan pascatrauma yang dialami siswa kelas VIII SMP Sunan Kalijogo yang menjadi korban bencana alam

12 erupsi Gunung Merapi, serta data empirik tingkat efektivitas konseling berbasis petualangan untuk mereduksi gangguan kecemasan pascatrauma. Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk melakukan kajian terhadap daya dukung lapangan dan observasi proses konseling. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu metode pra eksperimen. Penggunaan metode ini bertujuan untuk memperoleh data dinamika perubahan kondisi gangguan kecemasan pascatrauma siswa yang menjadi sampel penelitian, sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Data yang diperoleh akan digunakan untuk menggambarkan efektifitas konseling konseling berbasis petualangan dalam mereduksi gangguan kecemasan pascatrauma siswa kelas VIII SMP Sunan Kalijogo yang menjadi korban bencana alam letusan Gunung Merapi. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu tahap pertama kaji kepustakaan dan pengkajian kondisi lapangan, tahap kedua pengembangan program intervensi dan tahap ketiga implementasi. Pengkajian kepustakaan dilakukan untuk membekali peneliti dengan konsep gangguan kecemasan pascatrauma dan konseling berbasis petualangan, sehingga peneliti dapat merancang penelitian yang baik secara konseptual. Pengkajian kondisi lapangan dilakukan untuk mengidentifikasi kondisi masyarakat di tempat penelitian, budaya yang ada di daerah tersebut, perizinan penelitian sampai pada penyelenggaraan pre-test (pengukuran awal). Pada tahapan kedua dilakukan pengembangan program intervensi, yaitu penyusunan program konseling berbasis petualangan yang sudah disesuaikan dengan kedalaman masalah dari sampel penelitian. Tahapan terakhir adalah implementasi program yang telah disusun. Selama

13 pengimplementasian program, dilakukan pula observasi selama proses konseling berlangsung dan pada sesi terakhir dilakukan post test (pengukuran akhir). Instrumen yang digunakan dalam penelitian antara lain instrumen daftar cek masalah, instrumen deteksi gangguan kecemasan pascatrauma dan jurnal kegiatan harian. H. Populasi dan Sampel Penelitian Bencana erupsi Gunung Merapi merupakan bencana yang terjadi pada akhir tahun 2010. Bencana erupsi Gunung Merapi menelan puluhan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur. Banyak orang yang kehilangan tempat tinggal, hewan peliharaan, mata pencaharian, dan sanak famili. Berdasarkan fenomena tersebut, anggota populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII yang menjadi korban bencana letusan gunung merapi di SMP Sunan Kalijogo, Dusun Gayam, Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. tahun pelajaran 2010/2011. SMP Sunan Kalijogo merupakan salah satu sekolah yang sebagian besar siswanya berasal dari Desa Umbulharjo, Desa Glagaharjo, Desa Argomulyo, dan Desa Balerante yang terkena dampak paling parah pasca terjadinya erupsi Gunung Merapi. Banyak siswa yang mengalami langsung kejadian erupsi Gunung Merapi, kehilangan orang tua dan sanak famili bahkan banyak pula diantaranya yang kehilangan tempat tinggal. Pasca terjadinya erupsi, banyak dari siswa tersebut yang tinggal di barak pengungsian tanpa melakukan kegiatan seperti yang biasa mereka lakukan. Diperkirakan dengan keadaan seperti ini para korban erupsi Gunung Merapi di

14 SMP tersebut memiliki trauma dan menyisakan gangguan kecemasan pasca trauma setelah lebih dari dua bulan pasca kejadian traumatik. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampel, yaitu pengambilan sampel dengan cara mengambil subjek atas dasar tujuan tertentu, dengan arti anggota populasi ditentukan berdasarkan tingkat gangguan kecemasan pascatrauma yang dialami. Identifikasi tersebut dilakukan melalui studi pendahuluan mengenai karakteristik gangguan kecemasan pascatrauma (Arikunto, 1997). Teknik sampling ini dilakukan karena pertimbangan. 1. Keterbatasan waktu, tenaga dan dana. 2. Penggunaannya dapat menciptakan penelitian yang terwakili populasi yang ditelitinya.