KARAKTERISTIK FISIK DAN ORGANOLEPTIK KEJU MARKISA DENGAN PEMBERIAN LEVEL STARTER (Lactococcus lactis Subsp. LACTIS 527) DENGAN LAMA PEMERAMAN YANG BERBEDA (Physical and Organoleptic Characteristics of Markisa Cheese at Various Levels of Starter and Storage Time) RATMAWATI MALAKA¹ dan SULMIYATI² 1 Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan km 10 Talanrea, Makassar 2 Program Pascasarjana Sistem-Sistem Pertanian Universitas Hasanuddin ABSTRACT Marquise cheese is fresh cheese made by marquise juice clotting. The objective of this study was to know the effect of lactic acid bacteria (Lactococcus lactis subsp. lactis 527) and ripening time on physical properties quality and organoleptic of marquiza juice. This study was formed by complete random design with treatment of level of starter (0.5; 1.0 and 1.5%) and ripening time (1; 2; 3 and 4 week). The dependent variable detected was hardness, ph and organoleptic. The results indicated that the best cheese was cheese with 1.5% of starter added and 4 week of ripening. Key Words: Cheese, Marquiza, Lactococcus lactis subsp. lactis 527, Ripening ABSTRAK Keju Markisa adalah keju segar yang dibuat dengan cara penggumpalan dengan sari buah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan bakteri asam laktat (Lactococcus lactis subsp. lactis 527) dan lama pemeraman terhadap kualitas fisik dan organoleptik keju. Penelitian ini disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan adalah level starter (0,5%; 1% dan 1,5%) dan lama pemeraman 1; 2; 3; dan 4 minggu. Parameter yang diukur adalah kekerasan, ph dan organoleptik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keju yang terbaik adalah keju yang ditambahkan starter dengan level 1,5% dengan 4 minggu pemeraman. Kata Kunci: Keju, Markisa, Lactococcus lactis subsp. lactis 527, Pemeraman PENDAHULUAN Keju merupakan makanan yang dibuat dari dadih susu yang dipisahkan dengan whey, diperoleh dengan penggumpalan kasein dari susu penuh (whole milk) atau dari susu skim (skim milk) melalui proses penggumpalan. Proses penggumpalan umumnya dapat menggunakan asam (asam laktat, asam khlorida, asam sitrat), panas, radiasi, alkohol, atau dengan menambahkan enzim protease misalnya rennet, mucor rennin atau dengan meningkatkan keasaman susu melalui fermentasi asam laktat atau dengan kombinasi teknik tersebut (SUSILORINI dan SAWITRI, 2006). Markisa merupakan komoditi khas Sulawesi Selatan dan sentra produksi terutama di daerah Gowa, Tana Toraja, Sinjai, Enrekang dan Polewali-Mamasa. Pemanfaatan buah dalam bentuk sari buah pada produk keju didasarkan bahwa sari buah memiliki keasaman yang tinggi karena mengandung asam sitrat sekitar 2,4 4,8% yang mempunyai ph antara 2,6 3,2. Kandungan asam tersebut menyebabkan sari buah dalam pengolahan keju dapat digunakan sebagai bahan penggumpal akan tetapi keju yang dihasilkan masih terasa hambar dan lunak. Oleh karena itu, dilakukan penambahan bakteri asam laktat (Lactococcus lactis subsp. lactis 527), diharapkan aktivitas 825
dari starter selama pemeraman dapat meningkatkan kualitas fisik dan organoleptik keju yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan starter Lactococcus lactis subsp. lactis 527 dengan level starter dan lama pemeraman yang berbeda terhadap produksi curd, persentase whey, tingkat kekerasan, nilai ph serta penampilan secara organoleptik atas warna, bau serta rasa keju yang dihasilkan. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Pertanian Pusat Kegiatan Penelitian Universitas Hasanuddin Makassar. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah susu rekonstitusi 10% sebagai penggganti dari susu segar, Lactococcus lactis subsp. lactis 527, sari buah, garam, dan aquades. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah waterbath, inkubator, gelas ukur 1000 dan 100 ml, tabung reaksi, gelas erlenmeyer, autoklaf, timbangan analitik, ph-meter, alat suntik, pipetman, tube shaker, CD-Shear Force Modification, termometer, cetakan keju beserta alat pengepres dan penyaring, plastik klip, kertas label dan aluminium foil. Rancangan penelitian yang digunakan terdiri atas dua rancangan yaitu Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan adalah level starter (A1: 0,5%; A2: 1%, dan A3: 1,5%) dengan 3 kali ulangan untuk parameter produksi curd dan persentase whey dan Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial 3 x 4 dengan 3 kali ulangan, dengan perlakuan level starter sebagai faktor A (A1: 0,5%; A2: 1%, dan A3: 1,5%) dan lama pemeraman sebagai faktor B (1, 2, 3, 4 minggu) untuk parameter tingkat kekerasan, nilai ph dan hasil uji organoleptik (warna, bau serta rasa keju). Penelitian ini melalui beberapa tahap yaitu pembuatan susu rekonstitusi 10%. Starter yang digunakan dalam penelitian yaitu starter Lactococcus lactis subsp. lactis 527. Starter ditumbuhkan dalam medium susu rekonstitusi 10% yang telah disterilkan dengan autoklaf suhu 121 C selama 15 menit. Selama penelitian tiap 2 minggu sekali dilakukan pembaharuan medium (propagasi). Pembuatan keju melalui beberapa tahap yaitu susu rekonstitusi 10 % dipasteurisasi pada suhu 72 C selama 15 detik (metode HTST), kemudian didinginkan hingga mencapai suhu 37 C, setelah itu ditambahkan starter kultur untuk masing-masing perlakuan 0,5; 1; dan 1,5% dan diinkubasi pada suhu 30 C selama 30 menit dan selanjutnya ditambahkan bahan penggumpal (sari buah ) masing-masing 10%. Curd yang terbentuk dipotong kemudian dipanaskan pada suhu 40 C selama 30 menit selanjutnya disaring dan ditaburi garam sekitar 1% kemudian di cetak dan dipres dan keju muda yang terbentuk kemudian dibungkus dengan aluminium foil dan diperan pada suhu 10 C selama 1, 2, 3, dan 4 minggu. Parameter yang diukur adalah produksi curd, persentase whey. Disamping itu, tiap minggunya akan diukur tingkat kekerasan, ph dan akan dilakukan uji organoleptik atas warna, bau serta rasa. Pengukuran produksi curd, persentase whey dan kekerasan keju masing-masing diukur menggunakan persamaan 1, 2 dan 3. Produksi curd (%) = Berat curd Volume susu awal 100%..Pers (1) % whey = Volume awal susu volume curd Volume susu awal 100%..Pers (2) Kekerasan (kg/cm 2 ) = Beban tarikan (kg/cm 2 ) Luas penampang (1,27cm 2 )..Pers (3) 826
HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi curd dan persentase whey Produksi curd merupakan parameter untuk mengukur banyaknya curd yang terbentuk setelah kasein susu digumpalkan dan telah dipisah dengan whey. Produksi curd yang tinggi dan persentase whey yang rendah menunjukkan banyaknya curd yang terbentuk. Nilai rata-rata produksi curd dan persentase whey dapat dilihat pada Gambar 1. Level starter menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P < 0,01) terhadap produksi curd dan persentase whey. Peningkatan produksi curd sejalan dengan peningkatan pemberian level starter dan berbanding terbalik dengan persentase whey. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penambahan starter membantu dalam penurunan keasaman susu hingga mencapai titik isoelektrik yang dapat menggumpalkan susu sehingga curd yang terbentuk jauh lebih banyak dan volume whey yang keluar akan sedikit. Hal ini sejalan dengan HIDAYAT et al. (2006), menyatakan bahwa dalam membantu pembentukan curd dilakukan proses pengasaman, dimana pengasaman dapat dilakukan dengan penambahan kultur starter atau dengan menambahkan asam sebelum dilakukan penambahan bahan penggumpal. Nilai ph Pengaruh penambahan starter dan lama pemeraman terhadap nilai ph keju yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 1. Penambahan starter dan lama pemeraman berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap nilai ph keju, namun interaksi dari keduanya tidak berpengaruh nyata (P > 0,05). Tabel 1 memperlihatkan rata-rata nilai ph keju semakin menurun sejalan dengan meningkatnya level starter yang ditambahkan. Hal ini Tabel 1. nilai ph keju dengan penambahan level starter Lc. lactis subsp. lactis 527 dan lama pemeraman yang berbeda Level starter (A) 1 2 3 4 0,5% 4,86 4,69 4,52 4,22 4,57 a 1% 4,82 4,68 4,45 4,10 4,51 a 1,5% 4,67 4,52 4,39 3,97 4,39 b 4,78 a 4,63 b 4,45 c 4,09 d Angka dengan huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05) 100 prod. curd dan persentase whey (%) 75 50 25 0 0,50% 1% 1,50% Produksi curd 14,11 16,15 18,59 % whey 86,26 83,45 81,41 Level starter (%) Gambar 1. produksi curd dan persentase Whey dengan level starter Lactococcus lactis subsp. lactis 527 827
menunjukkan semakin meningkatnya asam laktat yang terbentuk yaitu hasil dari penguraian laktosa dari proses fermentasi serta adanya kandungan asam dari sari buah dalam bentuk asam sitrat dan asam askorbat. Penurunan nilai ph pada penelitian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan BUCHANAN dan GIBBONS (1975), bahwa Lactococcus lactis merupakan bakteri yang melakukan metabolism glukosa menjadi asam laktat, dimana ph akhir yang terbentuk dalam glukosa broth dapat mencapai 4,0 4,5. Sejalan dari itu BUCKLE et al. (1987), bahwa susu segar mempunyai ph berkisar 6,6 6,7 dan bila terjadi cukup banyak pengasaman oleh bakteri maka angka-angka ini akan menurun secara nyata. Selama pemeraman terjadi penurunan ph keju dari 4,78 dari pemeraman 1 minggu hingga mencapai 4,09 pada pemeraman 4 minggu. Penurunan ph tersebut disebabkan karena semakin banyaknya asam laktat yang terbentuk dari hasil metabolisme dari Lactococcus lactis subsp. lactis 527 yang ditandai dengan adanya penurunan ph. Hasil ini sesuai dengan pendapat HIDAYAT et al. (2006), selama pemeraman atau pematangan akan terjadi proses biokimia akibat adanya aktivitas bakteri sehingga akan terbentuk asam laktat sebagai hasil dari proses fermentasi yang terjadi yang ditandai dengan adanya penurunan ph. Kekerasan Pengaruh penambahan starter dan lama pemeraman terhadap nilai kekerasan keju yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2. Level starter dan lama pemeraman berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap tingkat kekerasan keju, namun interaksi dari keduanya tidak berpengaruh nyata (P > 0,05). Tabel 2 memperlihatkan bahwa rata-rata kekerasan keju (kg/cm 2 ) semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya level starter yang ditambahkan. Hal ini ada hubungannya dengan penurunan ph keju, dimana dalam suasana asam menyebabkan ikatan antara molekul air dan molekul protein menjadi tidak stabil sehingga molekul air yang tidak terikat lagi akan termobilisasi sehingga terjadi penurunan kadar air. Sejalan dari itu HIDAYAT et al. (2006), menyatakan bahwa penambahan kultur bakteri biasanya bakteri asam laktat akan membantu proses pembentukan curd dan juga menentukan tekstur dan kadar air keju. Lama pemeraman memperlihatkan kenaikan tingkat kekerasan keju. Hal ini disebabkan karena pemeraman dapat membantu pengeluaran air, dimana semakin rendah kadar air maka semakin keras keju yang dihasilkan. Warna Warna merupakan salah satu parameter yang diukur dalam penilaian mutu dan tingkat penerimaan konsumen atas produk tersebut. Hasil pengamatan warna keju yang diujikan oleh 10 orang panelis dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan level starter memberikan pengaruh yang nyata (P < 0,05) dan lama pemeraman memberikan pengaruh yang sangat nyata (P < 0,01), namun interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata (P > 0,05). Tabel 3 memperlihatkan bahwa hasil dari uji Tabel 2. nilai kekerasan keju (kg/cm 2 ) dengan penambahan level starter Lc. lactis subsp. lactis 527 dan lama pemeraman yang berbeda Level starter (A) 1 2 3 4 0,5% 0,63 1,05 1,23 1,47 1,10a 1% 0,97 1,44 1,67 1,97 1,51b 1,5% 1,52 1,89 2,05 2,26 1,93c 1,04a 1,46b 1,65c 1,90d Angka dengan huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01). 828
Tabel 3. hasil pengamatan warna keju dengan penambahan level starter (Lc. lactis subsp. lactis 527) dan lama pemeraman yang berbeda Level starter 1 2 3 4 0,5% 2,97 1% 3,20 1,5% 3,30 3,15 2,67 3,00 2,82 2,57 2,60 2,63 2,60 2,40 agak kuning 2,57 2,37 agak kuning 2,44 agak kuning 2,65 2,79 2,83 Nilai skor warna keju: 1) kuning; 2) agak kuning; 3) ; 4) agak putih; 5) putih organoleptik menunjukkan warna keju berwarna pada setiap level starter namun tingkat proporsi warna yang dihasilkan pada setiap level saling berbeda. Warna kuning berasal dari pigmen karotenoid yang ada pada sari buah dan susu. Lama pemeraman memperlihatkan terjadinya perubahan warna dari warna putih kekuningan hingga berwarna agak kuning pada pemeraman 4 minggu. Hasil ini memperlihatkan pemeraman 4 minggu memberikan warna keju yang lebih baik dibandingkan pemeraman 1 sampai 3 minggu. Hal ini disebabkan karena semakin lama keju diperam ternyata butiran pigmen karotenoid menyebar merata secara osmosis dan difusi. RAHMAN et al. (1992), menyatakan bahwa pemeraman pada suhu rendah memungkinkan akan terjadinya penguraian lemak, protein dan zat-zat organik sehingga akan memberikan pengaruh terhadap karakteristik fisik dan kimia keju yang dihasilkan. Bau Hasil pengamatan bau keju yang diujikan oleh 10 orang panelis dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. hasil pengamatan bau keju dengan penambahan level starter (Lc. lactis subsp. lactis 527) dan lama pemeraman yang berbeda Level starter (A) 0,5% 2,40 agak berbau 1% 2,57 1,5% 2,67 2,54 1 2 3 4 2,57 2,60 2,73 2,63 2,70 2,73 2,74 3,03 2,88 2,62 2,68 2,81 Nilai skor bau keju: 1) berbau ; 2) agak berbau ; 3) ; 4) agak berbau susu; 5) berbau susu 829
Level starter berpengaruh nyata terhadap bau keju yang dihasilkan (P < 0,05) dan lama pemeraman berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) tetapi interaksi keduanya tidak menunjukkan pengaruh (P > 0,05). Hasil ratarata pengamatan bau keju (Tabel 4) menghasilkan bau keju pada setiap level starter dan lama pemeraman. Hasil ini menunjukkan bahwa bau keju yang dihasilkan tidak memberikan selisih perbedaan yang jauh berbeda sehingga memiliki hasil uji bau yang hampir sama akan tetapi hasil uji BNT menunjukkan perbedaan pada setiap perlakuan. BUCKLE et al. (1987), menyatakan selama pemeraman menyebabkan keju akan mengalami perubahan yang merubah flavor dan kadang-kadang bau, perubahan ini disebabkan karena fermentasi laktosa, sitrat dan senyawa organik lainnya menjadi bermacam-macam asam, ester, alkohol dan senyawa pembentuk flavor dan aroma yang mudah menguap. Rasa Rasa merupakan faktor terpenting terhadap akseptabilitas selain warna dan bau. Hasil pengamatan rasa keju yang diujikan oleh 10 orang panelis dapat dilihat pada Tabel 5. Level starter berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap rasa keju yang dihasilkan sedang lama pemeraman serta interaksi keduanya memberikan pengaruh nyata (P < 0,05) terhadap rasa keju. Tabel 5 memperlihatkan bahwa rasa keju yang dihasilkan pada setiap level starter masingmasing 2,53 (rasa ); 2,18 (rasa ); 1,94 (rasa dan rasa susu). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa penambahan starter memberikan flavor atau rasa keju yang khas. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas starter Lactococcus lactis akan terjadi penguraian laktosa menjadi asam laktat sehingga akan menghasilkan rasa yang khas. Hal ini sejalan dengan pendapat RAHMAN et al. (1992), bahwa pemeraman dapat mengkatalisa produksi bahan-bahan yang larut dalam air, komponen flavor, peptida, asam amino, asam lemak, karbonil dalam komposisi tertentu sehingga dapat dihasilkan flavor yang proporsional yang memberikan rasa khas pada keju. Selama pemeraman menunjukkan perubahan rasa keju yang dihasilkan dimana pada pemeraman 1 minggu sekitar (rasa ) hingga mencapai 1,43 (rasa asam dan ). Perubahan rasa tersebut menunjukkan terjadinya aktivitas starter yang ditambahkan untuk menghasilkan asam laktat serta kandungan asam dari sari buah menyebabkan pada pemeraman 4 minggu memiliki rasa sedikit asam dan. Tabel 5. hasil pengamatan rasa keju dengan penambahan level starter (Lc. lactis subsp. lactis 527) dan lama pemeraman yang berbeda Level starter (A) 1 2 3 4 0,5% 3,03 rasa 1% 2,77 rasa 1,5% 2,60 rasa rasa 2,67 rasa 2,53 rasa 2,33 rasa 2,51 rasa 2,50 rasa 2,23 rasa 1,63 rasa 2,12 rasa 1,90 rasa 1,20 rasa asam dan 1,20 rasa asam dan 1,43 rasa asam dan 2,53 rasa 2,18 rasa dan rasa susu 1,94 rasa dan rasa susu Nilai skor rasa keju: 1) rasa asam dan ; 2) rasa ; 3) rasa ; 4) rasa susu 830
KESIMPULAN Penambahan starter dengan level 1,5% dengan lama pemeraman 4 minggu dapat meningkatkan kualitas fisik seperti produksi curd, persentase whey, kekerasan keju dan hasil uji organoleptik semakin bagus tetapi nilai ph yang dihasilkan semakin menurun. Untuk penelitian selanjutnya dapat dicoba keju yang diperam lebih dari 4 minggu untuk melihat kualitas yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA BUCHANAN, R.E. and N.E. GIBBONS. 1975. Bergey s Manual of Determinative Bacteriology. The William and Wilkins Company Baltimore, Amerika. BUCKLE, K.A., R.A. EDWARDS, G.H. FLEET dan M. WOOTTON. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah: PURNOMO, H. dan ADIONO. UIP, Jakarta. HIDAYAT, N., M.C. PADAGA dan S. SUHARTINI. 2006 Mikrobiologi Industri. CV Andi Offset, Yogyakarta. RAHMAN, A., S. FARDIAZ, W.P. RAHAYU dan C.C. NURWITRI. 1992. Teknologi Fermentasi Susu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian, Bogor. SUSILORINI, T.E. dan E.M. SAWITRI. 2006. Produk Olahan Susu. Penebar Swadaya, Jakarta. 831