BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. calon mahasiswa dari berbagai daerah Indonesia ingin melanjutkan pendidikan mereka ke

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dengan ditetapkannya wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan

BAB I PENDAHULUAN. sukunya mempunyai karakteristik yang berbeda. Perbedaan yang dimaksud antara

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang perilakunya diperoleh melalui

BAB I PENDAHULUAN. impian masa depan. Biasanya masyarakat di Indonesia mengikuti pendidikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pulau sebanyak pulau, masing-masing pulau memiliki pendidikan formal

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai suatu negara yang sedang berkembang, maka pendidikan

BAB II TELAAH PUSTAKA. Culture shock mengacu pada reaksi psikologis. yang dialami individu karena berada ditengah

Sugeng Pramono Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta

DIAN AMELIA F

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Culture Shock. Istilah "culture shock" pertama kali diperkenalkan oleh Oberg (1960)

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang penting di Indonesia. Semua warga

DAFTAR ISI v. KATA PENGANTAR.. i ABSTRAK iii ABSTRACT iv. DAFTAR TABEL viii DAFTAR BAGAN... ix DAFTAR LAMPIRAN. x

BAB I PENDAHULUAN. dengan baik di lingkungan tempat mereka berada. Demikian halnya ketika

BAB I PENDAHULUAN. dunia tanpa memiliki pemahaman apapun tentang apa yang harus dilakukan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejak lahir sampai meninggal seorang individu merupakan organisme

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan

HUBUNGAN ANTARA GEGAR BUDAYA DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA BERSUKU MINANG DI UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa orang lain dan

CULTURE SHOCK PADA MAHASISWA LUAR JAWA DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA DITINJAU DARI ETNIS DAN DUKUNGAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. Banyak kebijakan-kebijakan baru, salah satunya yaitu pertukaran pelajar antar negara pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Pada era globalisasi saat ini, pendidikan menjadi sesuatu yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, dalam hal ini teknik yang digunakan adalah dengan Assertif

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan lebih lanjut ke perguruan tinggi ( Perguruan tinggi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dimana awal kehidupan sebagai mahasiswa di perguruan tinggi, individu (remaja)

Lampiran 1 Hasil uji reliabilitas variabel kemandirian emosi, kemandirian perilaku, kemandirian nilai, kemandirian total, penyesuaian diri, dan

BAB I PENDAHULUAN. Menempuh pendidikan tinggi merupakan. impian banyak orang. Pandian, (2008) hasrat ini. didasari oleh sejumlah tujuan, mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

POLA KOMUNIKASI MAHASISWA ETNIS MINANGKABAU YANG MENGALAMI CULTURE SHOCK

BAB V HUBUNGAN MOTIVASI BERKOMUNIKASI DENGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR ETNIS

BAB I PENDAHULUAN. dapat ditunjukkan oleh manusia lain sebagai pelaku komunikasi. berupa ekspresi, gerak tubuh, maupun simbol simbol tertentu yang

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. berbeda budaya. Bahasa Indonesia bukanlah bahasa pidgin dan bukan juga bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki kepribadian atau sifat polos dan ada yang berbelit-belit, ada

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. suatu interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Proses interaksi salah satunya dengan adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan warga asing masuk ke perguruan tinggi Indonesia adalah untuk melanjutkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Atas (SMA) untuk melanjutkan studinya. Banyaknya jumlah perguruan tinggi di

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB IV PENUTUP. remaja etnis Jawa di Pasar Kliwon Solo, sejauh ini telah berjalan baik,

BAB III METODE PENELITIAN. A. Rancangan Penelitian Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Penelitian ini

BAB V PEMBAHASAN. Setiap mahasiswa wajar jika mengalami Culture Shock sebagai akibat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mencari pengalaman hidup serta ingin menuntut ilmu yang lebih tinggi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. orang lain. Sejak manusia dilahirkan, manusia sudah menjadi makhluk sosial karena

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. maupun swasta namun, peningkatan jumlah perguruan tinggi tersebut tidak dibarengi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia, tentang

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. untuk pertama kalinya belajar berinteraksi atau melakukan kontak sosial

BAB I PENDAHULUAN. berbeda-beda. Setiap kebudayaan memiliki kekhasannya masing-masing. tarian, logat bahasa, sikap, norma, dan sebagainya.

I. PENDAHULUAN. dasarnya, manusia berkembang dari masa oral, masa kanak-kanak, masa

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP DOSEN PEMBIMBING DENGAN TINGKAT STRESS DALAM MENULIS SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perguruan tinggi di Indonesia, khususnya yang berada di pulau Jawa,

PERBEDAAN PERILAKU ASERTIF ANTARA ETNIS JAWA DENGAN ETNIS DAYAK

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jaman, semakin bertambah juga tuntutan-tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. penduduk tersebutlah yang menjadi salah satu masalah bagi suatu kota besar.

BAB I PENDAHULUAN. Masa peralihan atau masa transisi di mana para remaja belum bisa sungguh-sungguh

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB I PENDAHULUAN. remaja yaitu, terkait dengan pemilihan jurusan kuliah di Perguruan Tinggi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia ke arah globalisasi yang pesat, telah menjadikan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan lainnya sehingga perlunya kemampuan dalam memahami

DAFTAR UANG KULIAH TUNGGAL (UKT) KATEGORI 5, 6, 7, dan 8 Jenjang S1 di UNESA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kurun waktu terdekat ini kemajuan disegala aspek kehidupan menuntut masyarakat untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga pendidikan telah bermunculan menawarkan berbagai pilihan kepada masyarakat. Tidak menutup kemungkinkan adanya mahasiswa yang datang dari budaya yang berbeda untuk belajar bersama-sama di tempat yang mereka datangi. Universitas X Bandung merupakan perguruan tinggi swasta yang banyak menjadi pilihan untuk menimba ilmu. Universitas X Bandung berada di wilayah yang mudah diakses dan merupakan tempat yang sangat strategis dengan berbagai fasilitas dan sarana angkutan umum yang memadai untuk menjangkau area rekreasi dan pusat perbelanjaan di kota Bandung. Faktor lain yang menjadikan universitas ini menjadi universitas yang banyak diminati ialah ketersediaan fasilitas fisik yang memadai guna mendukung proses pembelajaran efektif serta fasilitas teknologi yang memadai. Program studi yang ditawarkan pun beragam. Saat ini Universitas X Bandung telah memiliki berbagai fakultas, yaitu Fakultas Kedokteran (kedokteran umum dan kedokteran gigi), Psikologi, Teknik (teknik sipil, teknik industri, teknik elektro, dan teknik computer), Ekonomi (manajemen dan akuntansi), Sastra (sastra Cina, sastra Jepang, sastra Inggris, Bahasa Mandarin, dan Bahasa Inggris), Teknik Informatika (Sistem Informasi dan Dual Degree), Seni Rupa dan Desain (desain komunikasi visual, desain interior, dan seni rupa murni, serta Hukum dan Bisnis. Tidak hanya program 1

2 studi Strata satu (S1) tetapi juga program pasca sarjana (S2) dan program profesi tersedia Universitas X Bandung. (www.maranatha.edu). Mahasiswa-mahasiswa yang ada di universitas ini tidak hanya berasal dari Bandung, tetapi juga dari luar Bandung. Universitas X memiliki mahasiswa yang berasal dari berbagai budaya, suku yang berbeda diantaranya ialah suku Batak. Mahasiswa yang berasal dari budaya Batak dan saat kuliah di Universitas X akan tinggal di kota Bandung dalam jangka waktu tertentu, sehingga mereka akan bersosialisasi dengan budaya lain, termasuk budaya Sunda yang merupakan budaya di kota Bandung. Berdasarkan data yang di dapat dari BAA (Badan Administrasi Akademik) di Universitas X Bandung mahasiswa yang diterima pada tahun akademik 2016/2017 berjumlah 1700 orang. Dari 1700 mahasiswa yang ada di Universitas X Bandung terdapat 136 mahasiswa yang bersuku Batak. Dari 136 mahasiswa tersebut terdapat 48 mahasiswa bersuku Batak yang sudah lama tinggal di Bandung, sehingga terdapat 88 mahasiswa yang bersuku Batak merupakan mahasiswa yang baru datang ke Bandung saat mereka mulai kuliah. Mahasiswa beretnis Batak di Universitas X Bandung adalah mahasiswa yang dituntut untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat di kota Bandung yang pada umumnya berbudaya Sunda. Dengan latar belakang budaya yang sudah melekat pada diri mereka dan termasuk tata cara komunikasi, kemudian diharuskan memasuki suatu lingkungan baru dengan latar belakang budaya yang tentunya jauh berbeda seperti cara berkomunikasi, membuat mereka menjadi orang asing di lingkungan itu. Ketika individu memasuki suatu dunia baru dengan segala sesuatu yang terasa asing, maka berbagai kecemasan dan ketidaknyamanan pun akan terjadi seperti mulai merindukan rumah serta keluarga, perasaan takut diterima (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139).

3 Memasuki dunia perguruan tinggi membuat Mahasiswa beretnis Batak di Universitas X Bandung memiliki kesempatan untuk menggali gaya hidup dan nilai-nilai yang berbeda dan menjalani kehidupan yang lebih mandiri. Dalam perkuliahan, Mahasiswa beretnis Batak di Universitas X Bandung menghadapi sistem akademik yang berbeda dibandingkan saat SMA. Bagi mahasiswa baru yang berasal dari luar daerah Jawa Barat, perbedaan tidak hanya seputar masalah akademik. Mahasiswa-mahasiswa ini juga dihadapkan pada kenyataan bahwa banyak hal atau kebiasaan-kebiasaan baru yang mungkin tidak familiar dan tidak ditemukan di daerah asalnya. Culture shock merupakan fenomena yang dialami oleh setiap orang yang melintasi dari suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan orang-orang yang berbeda pakaian, rasa, nilai, bahkan bahasa dengan yang dipunyai oleh orang tersebut (Oberg (1960) dalam buku The Psychological of Culture Shock). Dalam jurnal yang ditulisnya, menyatakan bahwa culture shock merupakan fenomena yang wajar ketika individu bertamu atau mengunjungi budaya yang baru. Individu yang mengalami culture shock berada dalam kondisi tidak nyaman baik secara fisik maupun emosional. Culture shock merupakan suatu reaksi emosional sebagai akibat dari hilangnya penguatan yang selama ini diperoleh dari kultur yang lama, diganti dengan stimulus dari kultur baru yang terasa tak memiliki arti, dan karena adanya kesalahpahaman pada pengalaman baru (menurut Oberg (1960) dalam buku The Psychological of Culture Shock). Perasaan yang muncul meliputi rasa tak berdaya, mudah tersinggung, perasaan takut bahwa orang lain akan berbuat curang padanya karena ketidaktahuannya, perasaan terluka dan perasaan diabaikan oleh orang lain (repository.usu.ac.id).

4 Fenomena yang sering terjadi juga bahwa Mahasiswa Beretnis Batak di Universitas X Bandung yang mengalami culture shock dapat merasakan ketegangan karena adanya usaha beradaptasi secara psikis. Perasaan kesepian, kehilangan dukungan keluarga, dialami oleh setiap orang yang hendak berkuliah di luar kota, karena situasi yang dihadapi saat sekarang berbeda dengan situasi di rumah. Perasaan tidak berdaya serta tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dikarenakan banyak diantara individu yang minder terlebih dahulu melihat situasi lingkungannya sehingga tidak berani untuk mencoba dan merasa tidak berdaya. Tidak memahami adanya perbedaan bahasa yakni seseorang yang biasanya sering berbahasa daerah asalnya dan ketika berada pada kota yang baru ia akan merasa asing dan tidak mengerti dengan bahasa yang sering digunakan dalam kota tersebut, kebiasaan, nilai/norma, dan sopan santun. Dalam usaha individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, terkadang menjadi suatu proses yang tidak mudah bagi beberapa orang. Beberapa orang mungkin saja merasa kesulitan untuk menyesuaikan dirinya di tempat yang baru, menyesuaikan dengan kebudayaan, dan perbedaan-perbedaan dari tempat asal. Keadaan yang kurang nyaman, menimbulkan ketegangan akibat penyesuaian diri yang dilakukan terhadap budaya baru dapat disebut sebagai culture shock. Culture shock pada umumnya dialami oleh seseorang selama 6 bulan sampai 1 tahun 6 bulan (Ward, Bochner, Furnham, 2001). Berdasarkan survei awal yang dilakukan terhadap sepuluh responden yang beretnis Batak di Universitas X Bandung, mahasiswa yang berkuliah di luar kota dengan alasan yang beragam. Survey akan dikategorikan berdasarkan komponen culture shock, yaitu: Affective, sebanyak enam responden (60%) merasakan ketegangan karena adanya usaha untuk berdapatasi secara psikis, dan merasa kehilangan keluarga dan teman. Responden

5 mengatakan bahwa ketika pertama kali masuk kuliah terdapat beberapa kendala seperti sulit untuk mencari teman. Ketika memasuki Universitas X merasa bahwa sulit mencari teman, karena banyak yang sudah mempunyai kelompok sendiri, yakni ada yang sesama teman SMA menjadi berkelompok atau dari kota yang sama telah berkelompok, sehingga untuk mencoba berkenalan cukup sulit dan merasa takut diterima. Responden merasakan kerinduan terhadap rumah, keluarga dan teman di kota asal. Behavioral, sebanyak tujuh responden (70%) merasakan penolakan terhadap orang-orang di lingkungannya, dan tidak menerima adanya perbedaan peran, harapan terhadap peran tersebut, nilai yang dianut, perasaan, dan identitas diri. Responden mengatakan bahwa merasa lebih nyaman berteman dengan orang yang berasal dari latar belakang budaya yang sama yaitu Batak, serta berasal dari kota yang sama. Pada awal perpindahan, mereka merasa kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kegiatan belajar di kampus, merasa prestasi mereka tidak semaksimal sebelumnya. Kesehatan mereka sempat terganggu ketika mengalami perpindahan ke kota Bandung, seperti saat makanan yang mereka makan kurang cocok dengan merekan dan mereka memutuskan untuk tidak makan sehingga membuat kesehatan mereka dapat terganggu. Cognitive, sebanyak tiga responden (30%) merasa tidak memahami adanya perbedan bahasa, kebiasaan, nilai/norma, sopan santun. Responden merasa sulit untuk memahami perbedaan Bahasa, merasa tidak senang tinggal di Bandung, dan merasa bahwa responden tersebut tidak bisa survive di Bandung apabila sendirian. Berdasarkan fenomena-fenomena ini, dapat dilihat bahwa perbedaan yang dihadapi oleh mahasiswa saat berpindah ke Bandung dapat memunculkan ketidaknyamanan yang berpengaruh terhadap kehidupan sosialnya, sehingga peneliti melihat adanya masalah yang

6 muncul saat mahasiswa Mahasiswa beretnis Batak di Universitas X Bandung harus memasuki lingkungan masyarakat Bandung. Oleh karena itu maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai derajat culture shock yang dialami oleh Mahasiswa beretnis Batak di Universitas X Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui derajat culture shock yang dialami oleh Mahasiswa Beretnis Batak di Universitas X Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Memperoleh gambaran mengenai culture shock yang dialami oleh mahasiswa beretnis Batak di Universitas X Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Memperoleh data mengenai affective, behavioral, dan cognitive yang merupakan komponen dari culture shock yang dialami oleh Mahasiswa Beretnis Batak di Universitas X Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis Memberikan masukan bagi ilmu Psikologi Lintas Budaya mengenai culture shock khususnya pada mahasiswa Batak. Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai culture shock.

7 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberikan informasi kepada Universitas X Bandung mengenai derajat culture shock yang dialami oleh mahasiswa beretnis Batak yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat program orientasi yang bermanfaat bagi mahasiswa untuk lebih mengenal dan menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat Bandung. Memberikan informasi kepada Mahasiswa beretnis Batak di Universitas X Bandung mengenai derajat culture shock yang dialami dengan harapan mereka dapat mempersiapkan diri saat menghadapi lingkungan yang baru serta menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut. 1.5 Kerangka Pemikiran Individu yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia melakukan perpindahan tempat studi dari daerah asal ke kota Bandung untuk meneruskan studi ke jenjang Pendidikan yang lebih tinggi (Bochner, 1982, dalam Ward, Bochner, dan Furnham, 2001). Perpindahan tempat studi tersebut menciptakan bertemunya dua atau lebih budaya di tempat yang baru tersebut. Beberapa individu memutuskan untuk berkuliah di luar kota untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi dan salah satu kota yang dituju adalah kota Bandung. Berpindahnya seseorang ke kota lain membuat seseorang harus menyesuaikan diri dengan suatu budaya yang ada di tempat tersebut, individu tersebut juga akan mengalami kontak dengan budaya baru. Budaya asal yang mereka miliki mungkin saja berbeda dengan budaya yang baru tersebut sehingga mereka harus mampu menyesuaikan dirinya, namun transisi tersebut dapat menimbulkan hal negatif jika individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan

8 lingkungan baru tersebut. Ketika transisi tersebut menimbulkan hal yang negatif maka hal tersebut dapat membuat seseorang mengalami culture shock. Dalam penelitian ini, culture shock merupakan suatu keadaan negatif yang menimbulkan suatu reaksi bagi Mahasiswa Beretnis Batak di Universitas X Bandung ketika mengalami perpindahan ke kota Bandung. Culture shock pada umumnya dialami oleh seseorang selama 6 bulan sampai 1 tahun 6 bulan (Ward, Bochner, Furnham, 2001). Penyebab dari culture shock cukup beragam diantaranya makanan yang dikonsumsi, pakaian yang dikenakan, bahasa yang digunakan, topik pembicaraan yang ;oseharusnya tidak dibicarakan dalam percakapan normal, maksud baik yang dianggap salah oleh orang lain. Menurut Oberg (1960), culture shock dapat ditinjau dari tiga aspek yaitu Affective meliputi kecemasan, disorientasi, kecurigaan, dan kebingungan saat berada di tempat yang baru. Keadaan emosi individu yang muncul ketika berhadapan dengan budaya asing atau tidak familiar. Mahasiswa Beretnis Batak di Universitas X Bandung merasakan kebingungan saat berada di lingkungan yang baru. Dari sisi affective individu yang mengalami culture shock yang tinggi akan merasa cemas, disorientasi, kecurigaan, dan kebingungan saat berada di tempat yang baru sedangkan jika individu mengalami culture shock yang rendah maka individu tersebut tidak akan merasa cemas atau disorientasi. Behavioral berhubungan dengan konsep pembelajaran budaya dan pengembangan keterampilan sosial. Culture shock muncul akibat kurang pengetahuan dan keterampilan sosial yang sesuai dengan budaya baru. Mahasiswa Beretnis Batak pada Organisasi Y di Universitas X Bandung yang mengalami culture shock antara lain sering berkumpul dengan individu lain yang memiliki budaya sama, kesulitan menjalin hubungan harmonis, bertingkah laku tidak tepat secara budaya sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan berperilaku

9 bingung pada budaya baru. Dari sisi behavioral individu yang mengalami culture shock yang tinggi akan sering berkumpul dengan individu lain yang memiliki budaya sama, kesulitan menjalin hubungan harmonis, bertingkah laku tidak tepat secara budaya sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan berperilaku bingung pada budaya baru sedangkan jika individu yang mengalami culture shock yang rendah maka akan cenderung berusaha mencari teman yang berbeda budaya dengannya agar memiliki banyak teman dari berbagai budaya. Cognitive adalah pengetahuan yang diperoleh dari proses berpikir sehingga mempengaruhi affective (afeksi) dan behavioral (perilaku) individu. Mahasiswa Beretnis Batak di Universitas X Bandung mengalami perubahan persepsi, identifikasi budaya, dan nilai-nilai dihasilkan oleh kognisi mahasiswa yang mengalami culture shock. Dari sisi cognitive individu yang mengalami culture shock yang tinggi akan muncul keraguan dalam mengambil keputusan dipengaruhi individu lain, dan muncul persepsi berbeda terhadap diri sendiri dan individu lain sedangkan individu yang mengalami culture shock yang rendah tidak ada rasa keraguan dalam mengambil keputusan. Semakin lama, semakin sering mahasiswa berinteraksi dengan orang-orang yang berada di tempat yang baru maka semakin kecil kemungkinan individu tersebut untuk mengalami culture shock. Mahasiswa tersebut juga akan semakin mengenali, memahami dan menyesuaikan diri dengan budaya yang ada di kota Bandung. Faktor yang mempengaruhi munculnya culture shock adalah perbedaan makanan, pengaturan waktu, serta pergaulan dan cara bicara, lamanya kontak budaya, frekuensi kontak budaya, dukungan sosial, identitas budaya, dan tahapan. Hal ini menjelaskan bagaimana mahasiswa baru yang beretnis Batak di Universitas X Bandung mengatur pola makannya setelah berada di budaya setempat, bagaimana mereka mengekspresikan perilakunya ketika

10 berada di budaya yang berbeda dengan daerah asalnya, bagaimana cara mereka bergaul dan melakukan komunikasi dengan individu yang memiliki budaya yang berbeda dengan daerah asalnya. Pada saat berada di kota Bandung, mahasiswa baru yang beretnis Batak di Universitas X Bandung akan melakukan kontak dengan budaya setempat. Hal yang mempengaruhi mahasiswa baru yang beretnis Batak di Universitas X Bandung ketika melakukan kontak dengan budaya setempat adalah lamanya mahasiswa tersebut tinggal, lamanya kontak dengan budaya setempat, frekuensi kontak sosial, dan dukungan sosial. Selain itu, tahapan emosi culture shock yang dialami oleh masing-masing individu ketika berada di kota Bandung, semakin besar perbedaan antara budaya Batak dengan budaya setempat, maka akan semakin sulit bagi mahasiswa baru yang beretnis Batak di Universitas X Bandung untuk melakukan penyesuaian diri. Faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan culture shock pada mahasiswa baru yang berasal dari daerah asal dan berada dalam lingkungan yang baru. Pada saat seseorang memasuki kultur yang baru, ada beberapa tahap yang biasanya dialami individu tersebut sehubungan dengan culture shock: Tahap honeymoon, merupakan saat pertama kali individu datang ke tempat yang baru, biasanya berlangsung sekitar beberapa hari sampai beberapa bulan. Pada masa ini individu masih terpesona dengan segala sesuatu yang baru. Periode ini ditandai dengan perasaan bersemangat, antusias, terhadap kultur baru dan orang-orangnya. Pada masa ini perbedaanperbedaan budaya masih dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan menyenangkan. Hal ini bisa dikatakan sebagai masa pengalaman menjadi turis. Biasanya turis akan pulang sebelum masa honeymoon selesai, sehingga yang tersisa dalam kenangannya adalah berbagai hal menyenangkan yang ia temui di tempat barunya. Namun bila seseorang tinggal di tempat ini lebih lama, bisa jadi keadaan ini akan diikuti dengan menurunnya suasana hati ketika individu

11 sudah mulai mengalami persoalan-persoalan yang muncul karena adanya keberbedaan budaya. Begitu juga dengan hal yang telah dialami oleh Mahasiswa Beretnis Batak di Universitas X Bandung, pada awalnya mereka merasa antusias saat mulai memasuki budaya yang baru. Mahasiswa tersebut memiliki banyak ekspektasi bagaimana nanti ia akan tinggal di lingkungan yang baru tersebut. Mahasiswa juga sangat mengagumi berbagai hal yang ada di lingkungan tersebut. Tahap crisis, pada tahap ini individu seringkali dihadapkan pada berbagai macam perbedaan budaya yang ternyata dapat memicu persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapinya sebelumnya. Persoalan-persoalan yang nyata ini biasanya menimbulkan perasaan agresif, marah pada kultur barunya karena dianggapnya aneh, tidak masuk akal. Biasanya individu-individu akan berpaling kepada teman-teman sesuku dengannya, yang dianggap lebih bisa diajak bicara dengan cara pandang yang sama karena memiliki budaya yang sama. Seringkali muncul persepsi tersendiri mengenai budaya asal, menganggap bahwa budaya asalnya merupakan budaya yang paling baik, dan mengkritik budaya barunya sebagai budaya yang tidak masuk akal, tidak menyenangkan dan aneh. Kondisi mengkritik budaya baru ini bisa termanifestasi dalam kebencian terhadap budaya baru. Mahasiswa menjadi menolak untuk mempelajari bahasanya, menolak untuk terlibat dengan orang-orang di budaya baru tersebut. Oberg mengatakan bahwa tahap ini sebagai masa krisis yang akan menentukan apakah individu akan tinggal atau meninggalkan tempat barunya. Pada masa ini pula bisa muncul keinginan regresi, keinginan-keinginan untuk pulang ke rumah, rindu dengan kondisi-kondisi yang ada di budaya atau tempat asalnya serta mendapatkan perlindungan dari orang-orang yang memiliki budaya yang sama.

12 Tahap recovery, bila individu bertahan di dalam krisis, maka individu akan masuk pada tahap ketiga. Tahap ini terjadi apabila individu mulai bersedia untuk belajar budaya baru. Pada periode ini, individu mulai memahami berbagai perbedaan norma dan nilai-nilai antara budaya aslinya dan budaya baru yang saat ini dimasukinya. Ia mungkin mulai menemukan makanan yang lebih cocok dengan lidah dan perutnya, serta mengatasi iklim yang berbeda dll. Ia mulai menemukan arah untuk perilakunya, dan bisa memandang peristiwa-peristiwa di tempat barunya dengan rasa humor. Adler (1975) mengelaborasi konsep ini seperti dikembangkan dalam Furnham dan Bochner (1986), bahwa pertama-tama individu mengalami perasaan terisolasi dari kulturnya yang lama. Dan proses disintegrasi terjadi saat individu semakin sadar adanya berbagai perbedaan antara kultur lama dan kultur baru yang diikuti dengan penolakan terhadap kultur baru. Namun demikian, hal ini akan diikuti oleh integrasi dari kultur baru dan saat ia mulai menguasai bahasa setempat, ia semakin mampu menegosiasikan kebutuhannya sehingga tumbuh perasaan otonomi dalam dirinya. Dan akhirnya ia mencapai tahap kemandirian, dimana ia mampu menciptakan makna dari berbagai situasinya, dan perbedaan yang ada akhirnya bisa dinikmati dan diterima. Tahap adjustment, periode berikutnya terjadi apabila individu mulai menyadari bahwa kultur barunya punya hal yang baik maupun hal yang buruk, dimana ia harus menyikapi dengan tepat. Pada masa ini akan terjadi proses integrasi dari hal-hal baru yang telah dipelajarinya dari kultur baru, dengan hal-hal lama yang selama ini dia miliki, sehingga muncul perasaan memiliki. Ini memungkinkan munculnya definisi baru mengenai dirinya sendiri. Masing-masing tahap bukan berarti selalu dijalani secara urut ke jenjang berikutnya. Sangat mungkin bahwa individu yang telah memasuki jenjang berikutnya masih kembali

13 mengalami jenjang sebelumnya ketika dihadapkan pada persoalan baru dalam penyesuaian dirinya. Gejala culture shock yang dialami Mahasiswa Beretnis Batak di Universitas X Bandung dapat berbeda-beda derajatnya, pada beberapa mahasiswa mungkin derajat yang dialaminya cukup tinggi, namun bisa pula mengalami derajat culture shock yang termasuk rendah. Mahasiswa yang mengalami derajat culture shock yang tinggi adalah individu yang kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, mahasiswa tersebut juga menampilkan gejala culture shock dibandingkan mahasiswa lainnya. Apabila mahasiswa yang mengalami culture shock dalam derajat rendah adalah mahasiswa yang mengalami gejala culture shock, namun hal tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap kehidupannya dan tidak menjadi distress yang signifikan dalam kehidupannya.

Faktor yang mempengaruhi: - Perbedaan makanan - Pengaturan waktu - Pergaulan - Cara bicara - Lamanya kontak budaya - Frekuensi kontak budaya - Dukungan sosial - Identitas budaya - Tahapan 14 Tinggi Mahasiswa yang Beretnis Batak di Universitas X Bandung Culture Shock Sedang Rendah Komponen Culture Shock: - Affective - Behavioral - Cognitive Bagan 1.1 Kerangka Pikir

15 1.6 Asumsi Penelitian Perbedaan kebiasaan dengan daerah asal yang dihadapi mahasiswa beretnis Batak di Universitas X Bandung saat berada Bandung dapat menyebabkan culture shock bagi mahasiswa tersebut. Mahasiswa beretnis Batak di Universitas X Bandung mengalami culture shock yang mencakup tiga komponen yaitu komponen affective, behavioral, dan cognitive. Mahasiswa beretnis Batak di Universitas X Bandung mengalami derajat culture shock yang berbeda-beda.