BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu penyakit infeksi menular seksual yang bersifat kronis. Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan RI (2014), sejak tahun 1987 sampai bulan Juni 2014 jumlah total penderita HIV di Indonesia mencapai 142.950 orang dan AIDS sebanyak 56.623 orang. Jumlah penderita HIV di Bali pada tahun 2014 mencapai 9.051 orang dan menempati peringkat ke-5 setelah Papua, Jawa Timur, Jawa Barat dan Jakarta. Bali merupakan provinsi peringkat ketiga dengan nilai prevalensi tertinggi setelah Papua dan Papua Barat yaitu sebesar 109,52 per 100.000 jumlah penduduk. Wilayah Denpasar merupakan Kota dengan jumlah penderita HIV paling banyak di Bali pada tahun 2014 yaitu mencapai 39,9% (4.264 orang) (Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar, 2015). Penderita HIV atau AIDS di wilayah Denpasar sebagain besar melakukan dampingan di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar. Yayasan ini berdiri sejak tahun 2001 yang memiliki fokus dan konsentrasi terhadap gerakan penanggulangan HIV dan AIDS di Bali dengan melakukan pemberdayaan terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) untuk melakukan aktivitas sebagai bagian dari komunitas. Yayasan ini mendampingi ODHA yang berada di Seluruh 1
2 Kabupaten di Bali. Dari tahun 2002 hingga 2014 jumlah dampingan ODHA mencapai 2.500 orang dengan pemberian dukungan berupa dukungan psikologis melalui konseling, dukungan informasi tentang infeksi oportunistik, kepatuhan terapi antiretroviral (ARV), pemberian dukungan sosial dan pendidikan pada anak-anak yang orang tuanya terinfeksi HIV/AIDS. Setiap harinya, terdapat dua hingga tiga pasien dengan ODHA melakukan konsultasi di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar (Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar, 2015) HIV selain menyebabkan gangguan fisik, juga dapat menyebabkan gangguan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pasien. Stigma negatif dan diskriminatif yang beredar di masyarakat tentang HIV sebagai penyakit yang memalukan dan kotor akan menghambat proses penanganan penyakit HIV dan penyebaran epidemik HIV/AIDS. Stigma tersebut secara tidak langsung dapat menurunkan kualitas hidup seorang pasien dengan HIV (Malcolm et al. 1998 dalam Brown, Trujillo, & Macintyre, 2001). Menurut Maisarah (dalam Monks dan Andini, 2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa mayoritas kualitas hidup pasien HIV tergolong buruk sebanyak 70,58% dan baik sebanyak 29,42%. Rendahnya kualitas hidup pasien HIV akan mempengaruhi kesehatan dari pasien itu sendiri. Peningkatan kualitas hidup tidak hanya dapat dilakukan melalui proses penyembuhan secara fisik, hal yang paling utama adalah meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakitnya dan merubah orientasi pemikiran pasien dari kesembuhan menjadi kearah penyerahan diri kepada Tuhan dan hubungan dengan orang lain (hubungan sosial).
3 Salah satu pendekatan yang sering digunakan dalam pendampingan pasien yang telah lama mengidap HIV/AIDS adalah melalui terapi spiritual. Terapi spiritual yang dilakukan secara tidak langsung dapat meningkatkan makna spiritualitas pasien tentang penyakitnya. Spiritualitas merupakan bagian dari kualitas hidup berada dalam domain kapasitas diri atau being yang terdiri dari nilai-nilai personal, standar personal dan kepercayaan (Univesity of Toronto, 2010). Penelitian tentang pentingnya spiritualitas pada penyakit kronis termasuk HIV/AIDS telah banyak dilakukan diantaranya Nokes et al. (1995 dalam Tuck & Thinganjana, 2001) mengatakan bahwa 100% dari sampel sebanyak 145 orang dengan penyakit HIV menyatakan nyaman dengan terapi komplementer yang dilakukan yang didalamnya terdapat komponen rohani. Pasien melaporkan bahwa praktek-praktek spiritual membantu meringankan gejala/symptom dan dalam beberapa kasus dapat merubah prognosis penyakit. Terdapat empat hal yang diakui sebagai kebutuhan spiritual yaitu proses mencari makna baru dalam kehidupan, pengampunan, kebutuhan untuk dicintai, dan pengharapan (Fish & Shelly dalam Potter & Perry, 2005). Penemuan makna baru dalam kehidupan ini akan memfasilitasi pasien HIV/AIDS untuk pengampunan terhadap dirinya sendiri. Pemenuhan kebutuhan spiritual bisa merupakan hal yang sangat sulit pada pasien-pasien HIV/AIDS oleh karena itu perawat dapat mengambil peran penting. Penelitian lain yang dilakukan oleh Tuck, McCain & Elswick (2001) bahwa pengukuran spiritualitas dengan menggunakan EWB (existensial well being)
4 memberikan gambaran yang positif terhadap social support, strategi koping yang efektif dan mempunyai hubungan negatif terhadap stress, ketidakpastian, stress psikologi dan koping emosional. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Dalmida, Holdstad, Dilorio & Laderman (2009) yang menyatakan semakin tinggi spiritual well being (SWB) didalamnya ada dua komponen yaitu existensial well-being (EWB) dan religious well-being (RWB) maka semakin rendah depresi yang dialami oleh responden, hasil lainnya adalah semakin tinggi komponen EWB maka akan semakin tinggi pula nilai CD4 pada pasien HIV/AIDS yang menandakan status imunnya dalam keadaan baik. Berdasarkan studi pendahuluan terhadap sepuluh orang responden yang berkunjung ke Yayasan Spirit Paramacitta diperoleh bahwa tingkat spiritualitas pasien HIV/AIDS sebagian besar sedang yaitu sebanyak enam orang dan tiga orang memiliki tingkat spiritualitas yang rendah, dilihat dari kualitas hidup sebagian besar pasien memiliki kualitas hidup yang sedang sebanyak lima orang dan tiga orang memiliki kualitas hidup yang rendah. Masih terdapat pasien orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang memiliki kualitas hidup yang rendah dan tingkat spiritualitas yang rendah. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara tingkat spiritualitas dengan tingkat kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar.
5 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan suatu masalah penelitian yaitu : Adakah hubungan antara tingkat spiritualitas dengan tingkat kualitas hidup pada pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Diketahuinya hubungan antara tingkat spiritualitas dengan tingkat kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi karakteristik responden HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar b. Mengidentifikasi tingkat spiritualitas pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar. c. Mengidentifikasi tingkat kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar. d. Menganalisis hubungan antara tingkat spiritualitas dengan tingkat kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar.
6 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis a. Penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan referensi dalam peningkatan kualitas hidup pada pasien dengan HIV/AIDS. b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar acuan dalam memberikan pembinaan dan himbauan bagi petugas kesehatan akan pentingnya pendidikan spiritual dan kebutuhan spiritual bagi pasien dengan HIV/AIDS c. Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam membuat penelitian lanjutan yang lebih spesifik mengenai makna spiritualitas dari masyarakat dengan budaya khusus yang mengalami HIV/AIDS (misalnya masyarakat Bali dengan kebudayaan Balinya). 1.4.2 Manfaat Praktis a. Bagi Tenaga Kesehatan Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan edukasi yang mendukung dalam upaya meningkatkan kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS melalui pendidikan spiritual yang efektif dan berkesinambungan. b. Bagi ODHA Penelitian ini dapat mengetahui hubungan antara tingkat spiritual dengan kualitas hidup, maka dapat dilakukan intervensi khusus dalam upaya meningkatkan kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS