1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia melewati beberapa fase dalam siklus kehidupannya. Fase kedua dari siklus kehidupan manusia adalah terbentuknya pasangan baru (new couple), di mana dua individu dari dua keluarga yang berbeda bersatu untuk membentuk satu sistem keluarga yang baru (Santrock, 2003). Fase bersatunya pasangan baru tersebut disahkan dalam sebuah hubungan yang dinamakan pernikahan. Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Wantjik, 1982). Pada umumnya setiap orang pasti akan melewati fase pernikahan. Pernikahan seakan-akan menjadi fase yang wajib untuk dilakukan setiap orang di dunia sebagai tanda curahan rasa kasih dan sayang kepada pasangannya. Hampir seluruh agama yang dianut oleh umat manusia juga menyerukan untuk menikah, sama halnya dengan agama Islam. Dalam Islam menikah merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab suci Al- Qur an: Artinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-Ruum: 21) Berdasarkan paparan Q.S Ar-Ruum ayat 21 Allah SWT menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tenteram terhadap yang lain.
2 Keluarga yang tenang dan tenteram disebut juga sebagai kelarga sakinah mawaddah warahmah. Sebuah keluarga bahagia, sejahtera lahir dan batin, hidup cintamencintai dan kasih-mengasihi, di mana suami bisa membahagiakan istri dan istri bisa membahagiakan suami, mampu mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah, yaitu anak-anak yang berbakti kepada orang tua, agama, masyarakat, dan bangsanya, serta mampu menjalin persaudaraan yang harmonis dengan sanak famili dan hidup rukun dalam bertetangga, bermasyarakat dan bernegara. (Atabik, 2015) Suami maupun istri yang telah memasuki kehidupan perkawinan pasti akan mendambakan kehidupan perkawinan yang bahagia dan memuaskan. Widyarini (2006) mengungkapkan bahwa alasan seseorang menikah dapat bermacam-macam, seperti faktor ekonomi, demi mendapatkan keturunan, demi status sosial, demi cinta, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, tujuan seseorang menikah adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan dari hubungan perkawinan tersebut (dalam Altaira dan Nashori, 2008). Ketepatan seseorang dalam memilih calon pendamping hidup akan sangat mempengaruhi nasibnya di dunia dan kelak di akhirat. Jika pilihannya tepat, maka Insya Allah pendamping hidup yang didapat akan membantu dalam ketaatan kepada Allah SWT, serta dalam menegakkan nilai-nilai Islam dalam rumah tangga, tetapi jika pilihannya salah, maka pendamping hidup yang didapat akan merusak agama serta akhirat pasangannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam: Artinya: Dari Abi Hurairah ra bahwasanya Nabi saw bersabda: Wanita dinikahi karena empat perkara. Pertama hartanya, kedua kedudukan
3 statusnya, ketiga karena kecantikannya dan keempat karena agamanya. Maka carilah wanita yang beragama (Islam) engkau akan beruntung. (HR. Bukhari- Muslim dalam Nailul Authar no. 3420) Berdasarkan hadits di atas dapat diketahui bahwa pemilihan pasangan pernikahan pada umumnya tiap individu memiliki pertimbangan utama yang berbeda-beda. Ada yang menikahi pasangan karena fisik, harta, pendidikan, status sosial, ataupun agama. Pertimbangan dalam Islampun ada harta, kecantikan, keturunan, dan agama merupakan kriteria yang harus ada dalam menentukan pasangan, namun Islam mengarahkan umatnya supaya menjadikan agama sebagai kriteria utama dalam memilih dan menentukan pasangan dengan tanpa meninggalkan ketiga kriteria lainnya. Selaras dengan penelitian Wahyuningsih (2014) yang menyebutkan bahwa pernikahan yang berkualitas tinggi adalah pernikahan yang terus berkembang karena mengejar tujuan pokok dan tujuan bersama. Kualitas pernikahan yang tinggi dapat dicapai dengan kebajikan/virtue, dimana faktor religiusitas dalam model psikologis kualitas pernikahan menjadi master of virtue yang mampu mengintegrasikan virtue yang lain (komitmen pernikahan dan pengorbanan) untuk mengejar kualitas pernikahan yang tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor kualitas pernikahan yang utama adalah religiusitas. Saat individu memutuskan berada dalam kondisi menjelang maupun setelah perkawinan, maka individu akan mulai menemui beberapa kondisi yang rumit dan komplek. Dalam kondisi tersebut individu membutuhkan suatu kemampuan untuk beradaptasi dan mampu menghadapinya dengan baik. Fincham, Stanley dan Beach
4 (2007) menyatakan bahwa dalam hubungan suatu rumah tangga di dalamnya tidak selalu membuahkan hubungan yang selaras dan serasi (dalam Fitroh, 2011). Menurut Landis & Landis, religiusitas memiliki peranan penting dalam pernikahan karena tingkat religiusitas seseorang dapat mempengaruhi pola pikir dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam menjalani kehidupan pernikahan (dalam Soraya, 2007). Ryff (2014) mengemukakan bahwa pengalaman hidup tertentu dapat mempengaruhi kondisi kesejahteraan psikologis seorang individu. Menurut Wantjik (1982), adanya suatu pernikahan akan menimbulkan berbagai masalah, ada tiga masalah penting yaitu: (1) Masalah hubungan suami istri (meliputi hak dan kedudukan yang seimbang dan pembinaan dalam rumah tangga, serta pergaulan dalam masyarakat); (2) Masalah hubungan orang tua dengan anak (meliputi hak dan kewajiban antara orang tua dan anak); (3) Masalah harta benda. Berdasarkan hasil wawancara awal yang dilakukan peneliti kepada responden istri (SDH/33) pada tanggal 16 September 2015 di rumahnya, diketahui bahwa terdapat masalah dalam rumah tangga yang dialami responden, seperti masalah pengasuhan anak, keuangan dan penyesuaian diri dalam rumah tangga yang dirasa harus dipecahkan. hidup di masyarakat kan ada yang seneng ada yang nggak, terkadang ehem kalau kita ngelakuin kesalahan dikit kan itu diomong-omongke kita butuh uang, kita membesarkan anak, kita iki lho kita harus punya uang, buat apa, ya kehidupan makan saya pengen bisa mbesarke anak, pengen nyekolahken anak-anak sampai yaa lebih tinggi dari saya ya Ya kita habis sholat maghrib kita baca Quran nanti, habis, pokoke di rutinlah, habis maghrib kita baca Quran nanti biar apa anak-anak itu nanti bisa meniru.
5 Ryff (2014) menambahkan, kesejahteraan psikologis merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Masalah adalah ujian dari Allah, sabar dan shalat merupakan anjuran Islam ketika seseorang sedang menghadapi masalah, karena Allah yang mengetahui jalan keluar dari setiap permasalahan. Sebagaimana firman Allah: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al baqarah; 153) Untuk mengetahui bagaimana responden mengungkapkan perasaannya atas masalah yang dialaminya dan mendapatkan jawaban yang dapat dipertanggung jawabkan secara obyektif, maka perlu dilakukan pengkajian secara ilmiah, oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kesejahteraan psikologis yang dialami oleh pasangan pernikahan berorientasi nilai-nilai Islam. Berdasarkan permasalahan tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Kesejahteraan Psikologis Pada Pasangan Pernikahan Berorientasi Nilai- Nilai Islam. B. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam kondisi kesejahteraan psikologis pada pasangan pernikahan berorientasi nilai-nilai Islam.
6 C. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Bidang Keilmuan Psikologi dan Pendidikan, dapat menjadi referensi dan memperkaya khasanah keilmuan psikologi khususnya psikologi keluarga. 2. Bagi Subjek, membantu subjek dalam mengimplementasikan dan menyelaraskan nilai-nilai pernikahan dalam kehidupan rumah tangga. 3. Bagi Peneliti Lain, dapat dijadikan referensi untuk mengadakan penelitian sejenis dan mengembangkan lagi penelitian ini sehingga menambah khasanah keilmuan baik Psikologi maupun Islam.