Perlindungan Anak Palestina dari Kekerasan Oleh: Adzkar Ahsinin Pendahuluan Umm Fadi, seorang Ibu dari 3 orang anak perempuan dan 1 anak laki-laki yang tinggal di Tal al-sultan menyatakan sulit untuk menjelaskan politik kepada anak-anak, namun anak-anaknya mendengar dari anak-anak tetangga, Israel membom Gaza lagi. Dengan terjadinya penyerangan itu tetap saja sang Ibu tidak bisa memberikan jawaban kepada anak-anaknya mengapa Israel melakukan pengeboman lagi (Kantor Berita Al Jazeera, 10/7/2014). Permasalahan Palestina memang tidak terlepas dari status hukum internasional yang disandangnya sejak 1967 hingga sampai saat ini sebagai wilayah pendudukan (Occupied Palestinian Territory). Sejak pendudukan tersebut, rakyat Palestina hidup di bawah hukum militer yang represif dan blokade. Selain itu, rakyat Palestina juga harus hidup di tengah kebijakan Pemerintah Israel melakukan penyitaan lahan untuk pembangunan permukiman. Meskipun melanggar hukum internasional, sampai tahun 2013 diperkirakan jumlah pemukim Israel yang tinggal di Tepi Barat, termasuk Jerusalem timur antara 500.000 sampai 550.000 (Defence for Children International Palestine, 2014). Terlepas pembangunan permukiman tersebut dimotivasi oleh ideologi, agama atau tujuan politik, pembangunan tersebut telah melanggar hak-hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan berdiri sebagai negara yang berdaulat. Lebih jauh kehadiran militer dan pemukim Israel telah menciptakan lingkungan tidak aman bagi semua rakyat Palestina, khususnya anak-anak. Dampak Serangan Isreal Anak-anak merupakan salah satu kelompok yang paling rentan terkena dampak konflik bersenjata. Selain direkrut sebagai kombatan, anak-anak seringkali juga menjadi target serangan secara langsung maupun tidak langsung. Situasi ini terlihat pada beberapa peristiwa
penyerangan Israel terhadap Palestina mengakibatkan anak-anak menjadi korban. Operasi militer Israel terbaru di Gaza, Operation Protective Edge sejak 7 Juli menurut data United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs telah menyebabkan 1.999 rakyat Palestina terbunuh, termasuk 1.434 warga sipil, 467 anak dan 244 perempuan. Operasi militer sebelumnya, menurut data Defence for Children International Palestine, seperti Pillar of Defense November 2012 menewaskan 34 anak, Cast Lead Desember 2008-Januari 2009 menewaskan 352 anak, Warm Winter Februari-Maret 2008 menewaskan 33 anak, Autumn Clouds November 2006 menewaskan 85 anak, dan Summer Rains Juni-September 2006 menewaskan 58 anak. Jihad Shomaly (2004) mengatakan setiap anak dalam merespon dampak konflik bersenjata akan berbeda dengan orang dewasa karena keterbatasan kapasitas dan ketidakmatangan emosional serta fisik mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan yang tengah berkonflik, termasuk memahami alasan politik yang melatarbelakangi konflik tersebut. Bahkan pengalaman merasakan konflik berbeda antara setiap anak, antara anak perempuan dengan anak laki-laki, dan anak sebagai individu maupun sebagai kolektif. Laporan Richard Goldstone (2009) mengenai Pelanggaran HAM di Palestina dalam konflik Gaza pada 2009 menyatakan banyak anak-anak dan perempuan terbunuh akibat serangan yang disengaja atau tidak disengaja. Anak-anak juga banyak yang menderita depresi, insomnia, dan seringkali mengompol. Anak-anak juga mengalami trauma karena menyaksikan penggeledahan atau pendudukan paksa oleh tentara Israel, dan saat terjadi penembakan anggota keluarga mereka. Dampak konflik terhadap anak juga digambarkan Graca Machel (1996) dalam studi mengenai Impact of Armed Conflict on Children bahwa perang melanggar setiap hak anak, seperti hak hidup, hak bersama keluarga dan masyarakat, hak kesehatan, hak perkembangan pribadi serta hak diasuh dan dilindungi. Dampak langsung yang dialami anak dalam situasi konflik bersenjata seperti rekrutmen anak menjadi tentara, kekerasan berbasis gender, terbunuh atau menjadi cacat, berpisah
dengan keluarga, korban perdagangan orang, dan penahanan ilegal. Di sisi yang lain, dampak tidak langsung dari konflik bersenjata adalah terputusnya layanan dasar, peningkatana angka kemiskinan, malnutrisi, dan mudah terserang penyakit. Sepuluh tahun kemudian, laporan ini ditinjau kembali melalui Machel Study 10-Year Strategic Review: Children and Conflict in a Changing World. Tinjauan ini menyimpulkan bahwa seiring perubahan sifat konflik bersenjata dalam dua dekade terakhir, tenyata turut mengubah karakter dan taktik para pihak yang berkonflik. Hal ini ditandai ketiadaan medan perang yang jelas, meningkatnya jumlah dan keragaman pihak yang berkonflik. Perubahan lain misalnya lingkungan yang secara tradisional aman bagi anak-anak seperti sekolah dan rumah sakit kini juga menjadi sasaran. Selain itu, meningkatnya kegiatan teroris dan kontrateroris kadang-kadang mengaburkan batas antara apa yang sah dan apa yang tidak dalam mengatasi ancaman keamanan. Perubahan ini telah menciptakan ancaman baru bagi anak-anak juga terhadap warga sipil lainnya (Katey Grusovin, et.al., 2009). Dalam situasi konflik bersenjata mengacu hasil identifikasi Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi 1612 terdapat enam pelanggaran berat yang berpotensi terjadi dan dialami oleh setiap anak, yaitu: (i) membunuh dan membuat cacat; (ii) perekrutan atau penggunaan sebagai tentara; (iii) kekerasan seksual; (iv) serangan terhadap sekolah atau rumah sakit; (v) penolakan akses kemanusiaan, dan (vi) penculikan. Standar Universal Perlindungan Anak Perlindungan hukum bagi anak-anak dalam situasi konflik bersenjata tercakup dalam dua rumpun hukum internasional, yaitu Hukum Humaniter Internasional yang hanya berlaku selama perang atau konflik bersenjata. Sementara itu, Hukum HAM Internasional berlaku sebelum, selama dan setelah perang atau konflik bersenjata (Jaap Doek, 2011). Hukum Humaniter Internasional merupakan kerangka normatif jus in bello yang mengatur tata cara berperang oleh para pihak yang berkonflik. Tujuan utamanya memberikan perlindungan sesuai dengan kategorisasi personal dan obyek-obyek
tertentu yang tidak boleh dijadikan target serangan selama konflik bersenjata berlangsung. Instrumen Hukum Humaniter Internasional terpenting yakni Konvensi Jenewa IV dan dua Protokol Tambahan tahun 1977 mengenai konflik internasional maupun konflik non-internasional mengatur mengenai kategori orang maupun obyek yang dilindungi selama berlangsungnya konflik bersenjata, seperti anak-anak, sekolah, dan rumah sakit. Selain itu, anak juga harus dijamin hak untuk mendapatkan pendidikan, perawatan kesehatan, reintegrasi dengan keluarga, dipindahkan dari daerah konflik ke daerah yang lebih aman, serta dilindungi dari perekrutan yang tidak sah untuk berpartisipasi dalam konflik bersenjata. Pengaturan serupa juga ditemukan dalam instrument Hukum HAM internasional, baik dalam Konvensi Hak Anak (Pasal 38 dan 39) maupun Protokol Opsional KHA tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata tahun. Pengaturan ini diperkuat kembali melalui Statuta Roma yang mendasari pembentukan Mahkamah Pidana Internasional dengan menetapkan penargetan serangan terhadap anak dan fasilitas pendidikan, serta mengerahkan anak di bawah usia 15 tahun berpartisipasi dalam konflik sebagai kejahatan perang. Instrumen lain yang penting adalah Prinsip dan Pedoman Anak Terkait dengan Angkatan Bersenjata dan Kelompok Bersenjata (2007) yang mengatur pencegahan perekrutan tidak sah atau penggunaan anak-anak dalam konflik bersenjata, reintegrasi dan rehabilitasi anak yang terlibat dalam konflik bersenjata. Kewajiban Memberikan Perlindungan Selama konflik bersenjata berlangsung, baik Israel maupun Hamas, termasuk semua kelompok bersenjata Palestina, harus mematuhi norma-norma yang berlaku, baik hukum humaniter internasional dan hukum HAM internasional, untuk melindungi hak hidup warga sipil, termasuk anakanak dan sarana yang biasanya menjadi zona aman bagi anak seperti sekolah atau rumah sakit. Terdapat dua prinsip dalam Hukum Humaniter Internasional yang harus diperhatikan kedua belah pihak, yakni prinsip perbedaan (distinction) dan prinsip proporsionalitas (proportionality). Prinsip perbedaan menyaratkankan para pihak untuk membedakan target serangan antara warga sipil dan
kombatan, termasuk obyek sipil dan obyek militer. Prinsip proporsionalitas merupakan batas-batas bagi para pihak dalam konflik untuk memilih cara dan metode perang untuk meminimalkan korban dan kerusakan obyek sipil yang berlebihan. Peringatan-peringatan yang seringkali dinyatakan telah dilakukan oleh pejabat Israel sebelum melakukan penyerangan seperti panggilan telepon, siaran radio atau pengetukan atap (roof-knocking), terbukti menyebabkan kematian warga sipil, termasuk anak-anak. Artinya peringatan yang dilakukan tersebut tidak memenuhi persyaratan hukum internasional seperti efektif, jelas, kredibel, dan memberikan waktu yang cukup bagi warga sipil untuk keluar dari situasi yang berbahaya. Serangan Israel ditanggapi Dewan HAM PBB dengan mengeluarkan resolusi S-21/1 pada 24 Juli untuk meminta pertanggungjawabannya karena telah menyerang secara membabi buta dan berlebihan baik melalui udara, darat dan laut dengan target warga sipil dan obyek sipil, termasuk tenaga medis dan pekerja kemanusiaan. Selain itu, resolusi ini juga meminta para pelaku pelanggaran berat HAM yang teridentifikasi bertanggung jawab sehingga impunitas para pelaku dapat dihindari dan diakhiri. Berdasarkan resolusi ini pula, Presiden Dewan HAM, Duta Besar Baudelaire Ndong Ella asal Gabon, membentuk komisi penyelidikan independen yang beranggota Amal Alamuddin, Doudou Diena dan William Schabas, untuk menyelidiki semua pelanggaran hukum humaniter internasional dan hukum HAM internasional di wilayah pendudukan, termasuk Yerusalem Timur, khususnya di Jalur Gaza, dalam konteks operasi militer yang dilakukan sejak 13 Juni 2014. Dalam konteks upaya perlindungan terhadap anak-anak Palestina, penting untuk memperhatikan pandangan Eglantyne Jebb, salah seorang pembentuk Deklarasi Hak Anak dan pelopor KHA, sebagai landasasan filosofis dan perlindungan anak-anak Palestina. Pertama, bahwa perlindungan anak harus melampaui semua pertimbangan berdasarkan kepentingan nasional. Kedua, tindakan perlindungan dipusatkan untuk mengatasi penyebab ancaman bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan anakanak. Ketiga, perlindungan anak ditujukan dalam rangka untuk menangani penyebab, bukan hanya
dampak. Keempat, perlindungan anak perlu didukung dengan mobilisasi opini publik. Dengan kata, lain perlindungan anak-anak Palestina melalui keterlibatan politik melalui peran negara menjadi keniscayaan (Jason Hart dan Claudia Lo Forte, 2010). Lebih jauh, apabila mempergunakan model ekologi sosial perlindungan anak, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Internasional juga memiliki tanggung jawab memberikan perlindungan terhadap anak-anak Palestina dan keluarganya melalui bantuan kemanusian. Di sisi lain, Indonesia juga perlu meningkatkan upaya diplomasi melalui mekanisme PBB. Upaya diplomasi ini sangat strategis karena akar kekerasan politik yang mengancam segala upaya perlindungan terhadap anak tidak terlepas dari status wilayah pendudukan yang disandang Palestina. Kedua, kekerasan terhadap anak juga tidak terlepas dari adanya dua faksi di tubuh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yakni Hamas dan Fatah, yang memiliki garis perjuangan yang berbeda untuk memerdekakan Palestina (Jason Hart dan Claudia Lo Forte, 2010). Janji politik, Jokowi-JK, sebagai presiden terpilih, dalam debat untuk memerdekan dan membuka Kedutaan Besar di Palestina perlu segera ditindaklanjuti karena upaya ini merupakan langkah strategis untuk melindungi anak Palestina dari kekejaman konflik bersenjata (Nawa Cita ke-1). Hal ini juga sesuai dengan rasionalitas keberadaan Indonesia yang dideklarasikan melalui Pembukaan UUD 1945 yakni berpartisipasi aktif melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.