BAB V PENUTUP V.1 KESIMPULAN Dari uraian dan pembahasan yang telah dilakukan, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam melakukan penafsiran dalam klausul PSC tentang tarif Branch Profit Tax (BPT), bagi hasil dan kewajiban perpajakan, harus dilihat secara satu kesatuan, bukan diartikan secara parsial, dan juga harus dianalisa mengenai maksud dan tujuan dalam klausul tersebut. Konsepsi dasar bagi hasil penerimaan migas adalah penerimaan neto (pajak dan bukan pajak) untuk kontraktor. Akan tetapi, untuk mengakomodir keinginan kontraktor untuk mendapatkan tax credit, kemudian dikenal prinsip bagi hasil bruto yaitu atas bagian kontraktor dihitung dengan formula menentukan bagi hasil neto nya terlebih dahulu kemudian menambahkan pajak-pajak yang menjadi kewajibannya kepada bagian neto tersebut sehingga diperoleh suatu angka bagi hasil bruto. Terkait dengan perubahan metode bagi hasil/penerimaan neto menjadi bagi hasil/penerimaan bruto, Pemerintah Republik Indonesia tetap menjaga agar bagi hasil bruto tetap sejalan dengan proporsi bagi hasil setelah pajak (bagi hasil neto) yaitu 85% untuk pemerintah dan 15% untuk Kontraktor, maka perhitungan bagi hasil menambahkan nilai PPh 116
Badan dan PPh Pasal 26 ayat 4 (Branch Profit Tax), di mana tarif pajak Branch Profit Tax yang diterapkan adalah sebesar 20% (tidak menggunakan tarif pajak berdasarkan tax treaty). Metode yang dilakukan untuk menambahkan Pajak tersebut dikenal dengan metode gross-up. Metode gross-up ini tidak secara jelas tercantum dalam PSC, sehingga Kontraktor migas asing beranggapan bahwa perhitungan Branch Profit Tax dapat menggunakan tarif berdasarkan tax treaty. 2. Sengketa atas penerapan tarif Branch Profit Tax di mana kontraktor migas asing tidak dapat menggunakan tarif tax treaty/p3b menimbulkan permasalahan dari sisi aspek hukum perjanjian internasional. Kedudukan dari Tax Treaty /P3B merupakan suatu perangkat hukum berlaku khusus (lex-spesialis) yang artinya ketentuan dalam UU PPh tidak berlaku apabila di dalam perjanjian perpajakan diatur lain. Oleh karena itu, penerapan P3B/tax treaty harus dihormati dan tidak dapat dibatasi oleh peraturan perpajakan di Indonesia. Para pihak dalam perjanjian internasional terikat untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Oleh karena itu, bagi Negara Indonesia yang telah sepakat untuk mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B/Tax Treaty), maka Negara Indonesia telah berjanji untuk melaksanakan hak dan kewajiban yang telah terutang dalam tax treaty tersebut. Negara Indonesia seharusnya melaksanakan aturan-aturan dalam tax treaty tersebut 117
dengan itikad baik dan seharusnya juga menyetujui perusahaan migas asing untuk menerapkan tarif PPh Pasal 26 ayat 4 berdasarkan tax treaty. Pelarangan penerapan tarif tax treaty bagi perusahaan migas tersebut, merupakan pelanggaran atas asas-asas yang tercantum dalam perjanjian internasional sebagaimana dinyatakan dalam Konvensi Wina dan UU Perjanjian Internasional. 3. Terdapat 2 (dua) solusi untuk menyelesaikan sengketa atas penerapan tax treaty dalam PSC yaitu melalui amandemen PSC dan/atau amandemen tax treaty. Amandemen PSC dilakukan dengan jalan menambahkan klausul untuk memperjelas maksud prosentase bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor sehingga berbunyi: Of the Crude Oil remaining after deducting Operating Costs: For Crude Oil production of the Contract, PERTAMINA and CONTRACTOR shall be entitled to take and receive each Year, respectively seventy three point two one four three percent (73.2143%) for PERTAMINA and twenty six five seven percent (26.7857%) for CONTRACTOR. Contractor's entitlement above include shall be subject to an assumption that corporate tax of thirty percent (30%) and branch profit tax of twenty percent (20%), according to the Indonesia Income Tax Law. Klausul tambahan tersebut memberikan penjelasan bahwa nilai tersebut telah memasukkan unsur Pajak Perseroan (PPh Badan) sebesar 30% dan PPh Pasal 26 ayat 4 (Branch Profit Tax) sebesar 20%. Nilai bagi hasil tersebut menggunakan asumsi bahwa Undang-Undang yang berlaku adalah Undang-Undang Pajak Penghasilan pada saat kontrak tersebut 118
ditandatangani. Kontrak PSC Blok X ditandatangani di tahun 1999, sehingga Undang-Undang Pajak Penghasilan yang berlaku adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan. Penulis juga mengusulkan agar amandemen PSC ditambahkan klausul stabilisasi sebagaimana dibawah ini. SKK Migas and Contractor agree that all of the percentages appearing in Section (Profit Sharing Clause) of this Contract have been determined on the assumption that CONTRACTOR is subject to final tax on profits after tax deduction under Article 26 (4) of the Indonesia Income Tax Law and is not sheltered by any tax treaty to which the Government of the Republic of Indonesia has become a party. In the event that, subsequently, any portion of Contractor's participating interest in this Contract becomes subject to a tax treaty, all of the percentages appearing in Section (Profit Sharing Clause) of this Contract as applicable to the portions of Contractor and SKK MIGAS so affected by a tax treaty shall be revised in order to maintain the same net income after-tax for all Contractor's participating interest in this Contract. Klausul di atas memberikan ruang bagi kontraktor untuk menggunakan PPh Pasal 26 ayat 4 dengan menggunakan tax treaty, tetapi dengan catatan bahwa nilai bagi hasil perlu dihitung ulang agar penerimaan pemerintah tidak berkurang. Penulis berpendapat bahwa solusi untuk amandemen PSC dapat dijadikan solusi prioritas mengingat amandemen PSC dapat dilakukan dengan cepat karena hanya melibatkan Kontraktor Migas Asing dan 119
Pemerintah Republik Indonesia, yang dapat diwakili oleh Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Direktorat Jenderal Pajak. Sementara itu, proses negosiasi ulang/amandemen tax treaty dengan Negara mitra akan membutuhkan waktu yang cukup panjang, karena melibatkan proses negosiasi antar Negara. Dalam hal ini, Pemerintah Republik Indonesia harus melakukan negosiasi dengan dua puluh enam (26) Negara Mitra di mana dalam tax treaty tidak mencantumkan pengecualian terhadap sektor hulu migas. V.2 SARAN Dari uraian dan pembahasan yang telah dilakukan, penulis memberikan saran sebagai berikut: 1. Dalam melakukan amandemen PSC, Penulis menyarankan agar terjadinya perundingan terlebih dahulu dari pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam industri hulu migas yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), dan Direktorat Jenderal Pajak, dengan perwakilan/pihak management dari kontraktor migas asing. Perundingan ini perlu dilakukan untuk menyatukan persepsi atas kontrak yang akan diamandemen dan juga menentukan langkah- 120
langkah yang ditempuh setelah proses amandemen kontrak ini dibuat. Perundingan ini bertujuan agar pelaksanaan amandemen kontrak dalam PSC bisa menjadi lebih lancar dan sukses karena hal-hal yang berkaitan dengan amandemen kontrak telah dibahas pada fase perundingan. 2. Penulis memberikan rekomendasi solusi alternatif atas sengketa ini yaitu dengan melakukan negosiasi ulang dalam perumusan ulang kebijakan tax treaty dengan Negara mitra dan melakukan amandemen tax treaty dengan Negara Mitra. Salah satu penerimaan terbesar Negara ini berasal dari penerimaan migas dan migas masih menjadi industri terdepan dalam mendapatkan pendapatan Negara. Oleh karena itu, Pemerintah Republik Indonesia, melalui koordinasi antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, SKK Migas dan Direktorat Jenderal Pajak seharusnya merumuskan kebijakan pembuatan tax treaty yang melindungi kepentingan penerimaan Negara dalam migas dengan memberikan pengecualian penerapan tax treaty untuk industri migas. Proses negosiasi ulang dengan Negara mitra memang akan membutuhkan waktu yang cukup panjang, sehingga diperlukan tim khusus dari Direktorat Jenderal Pajak yang bertugas melakukan negosiasi ulang terhadap Negara Mitra tersebut. 121