BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah gizi kurang pada balita masih cukup tinggi, salah satunya karena kualitas makanan sebagian besar masyarakat Indonesia terutama pada anak balita yang masih belum bergizi-seimbang. Hasil Riskesdas (2007) anak balita yang mengalami gizi buruk dan kurang adalah 18,4%, tahun (2010) ditemukan anak balita yang menderita gizi kurang dan buruk sebanyak 17,9% yang terdiri dari gizi buruk 4,9% dan gizi kurang 13%. Sedangkan hasil Riskesdas (2013) anak balita yang mengalami gizi buruk dan kurang adalah 19,6% yang terdiri dari 5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Bila dibandingkan dengan target pencapaian MDGs tahun 2015 yaitu 15,5% maka prevalensi gizi buruk dan gizi kurang secara nasional harus diturunkan minimal sebesar 4,1% dalam periode 2011-2015. Diperkirakan masih terdapat sekitar 1,7 juta balita terancam gizi buruk yang keberadaannya tersebar di pelosok-pelosok Indonesia. Jumlah balita di Indonesia menurut data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tahun 2007 mencapai 17,2% dengan laju pertumbuhan penduduk 2,7% per tahun. United Nations Children s Fund (UNICEF) melaporkan Indonesia berada di peringkat kelima dunia untuk negara dengan jumlah anak yang terhambat pertumbuhannya paling besar dengan perkiraan sebanyak 7,7 juta balita. Masalah gizi yang sering terjadi pada balita antara lain adalah masalah gizi kurang (BB/U). 1
Masalah gizi di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh masalah gizi kurang. Gizi buruk diderita semua kelompok usia. Bahkan masalah gizi pada kelompok umur tertentu mempengaruhi status gizi pada periode siklus kehidupan berikutnya (intergenerational impact). Anak balita merupakan kelompok yang paling rentan mengalami kekurangan energi protein (KEP). KEP adalah suatu kondisi kurang gizi disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari yang berlangsung menahun sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (Supariasa, 2002). Salah satu penyebab munculnya kekurangan gizi di masyarakat adalah akibat rendahnya asupan energi dan protein dari makanan sehari-hari. Kondisi ini muncul akibat tidak tersedianya makanan sumber energi dan protein yang mencukupi dalam keluarga, sehingga kebutuhan anggota keluarga akan energi dan protein tidak terpenuhi. Secara nasional rata-rata konsumsi energi perorang perhari 2150 kkal dan protein 46,2 gram, hal ini sudah mendekati kecukupan yang dianjurkan. Akan tetapi dari survei ini juga ditemukan 30-50% rumah tangga mengonsumsi energi dan protein kurang dari 70% KGA (WKNPG, 2000). Secara nasional Indonesia pernah melakukan survei konsumsi dari tahun 1995-1998. Hasil survei ini menunjukkan rerata rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi energi perkapita perhari adalah 1999 kkal tahun 1995, 1969 kkal tahun 1996, 2051 kkal tahun 1997 dan 1990 kkal tahun 1998. Sedangkan protein secara berturut 46 gr, 49,6 gr, 49,9 gr dan 49,1 gr perkapita perhari. Jumlah keluarga
yang mengalami defisit energi berkisar antara 45-52% dan defisit protein antara 25-35% (Latif, et.al, 2000). Kecukupan energi dan protein memang perlu mendapatkan perhatian, mengingat pada tahun 2009 di Indonesia telah terjadi penurunan konsumsi energi yaitu menjadi 1928 kkal perkapita dibandingkan tahun 2008 yang telah mencapai 2038 kkal perkapita. Sedangkan konsumsi protein pada tahun 2009 adalah 54,4 gram perhari yang menunjukkan bahwa konsumsi protein sudah mencukupi (Bappenas, 2011). Lebih dari setengah kematian anak balita terjadi karena keadaan gizi yang jelek. Resiko meninggal bagi anak balita yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian anak balita didasari oleh keadaan gizi yang jelek. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2010 secara konsisten menunjukkan bahwa rata-rata asupan energi dan protein anak balita masih dibawah angka kecukupan gizi (AKG) (Aritonang, 2012). Menurut Marice (2008), pengetahuan gizi ibu berpengaruh terhadap tersedianya bahan makanan sumber energi dan protein dalam rumah tangga khususnya pada anak balita, pengetahuan juga berpengaruh terhadap perilaku kesehatan, selanjutnya perilaku kesehatan akan berpengaruh terhadap meningkatnya indikator kesehatan masyarakat. Didalam sebuah keluarga, biasanya ibu berperan sebagai pengatur makanan keluarga. Oleh karena itu, ibu adalah sasaran utama dalam pendidikan gizi untuk meningkatkan pengetahuan gizi.
Pada masyarakat Jawa Barat masih terdapat pantangan bahan makanan, yang sebenarnya bahan makanan tersebut mengandung nilai gizi yang tinggi. Seperti contohnya anak balita dilarang makan ikan dengan anggapan akan cacingan, dan juga dilarang makan telur karena akan timbul bisulan. Tabu yang demikian tidak rasional, namun anggapan demikian diwariskan dari generasi-generasi secara turun temurun. Di Aceh, air susu ibu dianggap kurang memadai sebagai makanan bayi sehingga biasanya bayi diberi makan pisang wak yang telah dilumatkan kemudian disulang ke mulut bayi. Setelah berumur tiga bulan, bayi diberi pisang ditambah dengan nasi yang telah digiling halus diatas piring yang terbuat dari tanah liat kemudian disulangkan kepada bayi sambil dibaringkan diatas lonjoran kaki pengasuh. Setelah umur delapan bulan bayi diberi makanan yang sama jenisnya dengan makanan orang dewasa (Arber, 2013). Tingkat pendapatan keluarga menentukan jumlah dan kualitas makanan, terutama makanan sumber energi dan protein. Kenaikan pendapatan menyebabkan kenaikan variasi konsumsi makanan (Suhardjo, 2005). Tidak disangkal lagi bahwa penghasilan keluarga turut menentukan hidangan yang disajikan untuk sehari-hari baik mutu maupun jumlah makanannya, demikian juga adanya anggapan bahwa makanan yang memenuhi syarat gizi hanya mungkin disajikan dilingkungan keluarga yang berpenghasilan cukup saja. Di samping itu pemanfaatan sumber daya keluarga memungkinkan keluarga yang berpenghasilan terbatas pun mampu menyediakan makanan yang cukup memenuhi syarat bagi anggota keluarganya (Moehji, 1986).
Prevalensi gizi kurang dan buruk di Provinsi Aceh (Riskesdas, 2007) adalah 26,5% yang terdiri dari gizi buruk 10,7% dan gizi kurang 15,8% sehingga belum mencapai target nasional perbaikan gizi tahun 2015 (20%) dan MDGs 2015 (18,5%). Dari 21 kabupaten/kota hanya 5 kabupaten yang sudah mencapai target nasional, yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, Banda Aceh, dan Sabang. Bila dibandingkan dengan target MDGs 2015 maka hanya ada 4 kabupaten/kota yang sudah mencapai target yaitu: Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Banda Aceh dan Kota Sabang. Sedangkan hasil Riskesdas (2010) prevalensi gizi kurang dan buruk di Provinsi Aceh adalah 23,7% yang terdiri dari gizi buruk adalah 7,1% dan gizi kurang adalah 16,6%. Di Kabupaten Pidie prevalensi gizi buruk dan kurang (Riskesdas, 2007) adalah 23,7% yang terdiri dari gizi buruk 6,4% dan gizi kurang 17,3%, hasil (Riskesdas, 2010) gizi buruk dan kurang adalah 23,6%. Sedangkan di Kecamatan Muara Tiga prevalensi gizi buruk dan kurang adalah 23,9% (Basement data antropometri puskesmas, 2013). Informasi awal yang didapat dari petugas penyuluh gizi (TPG) puskesmas Muara Tiga Kabupaten Pidie, masih tingginya masalah gizi buruk dan kurang pada anak balita disebabkan karena masih rendahnya tingkat pendapatan masyarakat diwilayah tersebut. Tingkat pendapatan masyarakat masih dibawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Dari latar belakang masalah diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh tingkat pengetahuan gizi ibu, pendapatan keluarga dan kebiasaan makan
keluarga terhadap kecukupan energi dan protein pada anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie. 1.2. Permasalahan Bagaimana pengaruh tingkat pengetahuan gizi ibu, pendapatan keluarga dan kebiasaan makan keluarga terhadap kecukupan energi dan protein pada anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie. 1.3. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pengaruh tingkat pengetahuan gizi ibu, pendapatan keluarga dan kebiasaan makan keluarga terhadap kecukupan energi dan protein pada anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie. 1.4. Hipotesis Penelitian 1. Ada pengaruh tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap kecukupan energi pada anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie Tahun 2014. 2. Ada pengaruh pendapatan keluarga terhadap kecukupan energi pada anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie Tahun 2014. 3. Ada pengaruh kebiasaan makan keluarga terhadap kecukupan energi pada anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie Tahun 2014. 4. Ada pengaruh tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap kecukupan protein pada anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie Tahun 2014.
5. Ada pengaruh pendapatan keluarga terhadap kecukupan protein pada anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie Tahun 2014. 6. Ada pengaruh kebiasaan makan keluarga terhadap kecukupan protein pada anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie Tahun 2014. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam penyusunan perencanaan kegiatan maupun penyusunan kebijakan dimasa mendatang bagi para pengambil keputusan (Bupati, Ketua DPRD dan Kepala Bappeda). 2. Sebagai bahan masukan atau informasi untuk Dinas Kesehatan kabupaten Pidie (kepala dinas kesehatan dan kabid perencanaan) dalam upaya peningkatan status gizi masyarakat. 3. Sebagai bahan masukan kepada masyarakat kabupaten Pidie khususnya masyarakat kecamatan Muara Tiga tentang pentingnya mengkonsumsi makanan sumber energi dan protein.