Pendahuluan Timor Timur berada di bawah penjajahan Portugal selama lebih dari empat abad sebelum akhirnya Revolusi Anyelir di tahun 1974 membuka jalan bagi kemerdekaan negaranegara koloninya. Setelah keluarnya Portugal dari Timor Timur, Frente Revolucionaria de Timor Independente (Fretilin), partai pro-kemerdekaan yang radikal, mendeklarasikan kemerdekaan Timor Timur pada 28 November 1975. Namun, dua hari kemudian, koalisi partai pro-integrasi menyatakan keinginan berintegrasi dengan Indonesia melalui Deklarasi Balibo. 1 Pemerintah Indonesia kemudian melakukan invasi pada tanggal 22 Desember 1975 serta menetapkan Undang Undang No. 7 tahun 1976 yang mengesahkan Timor Timur sebagai provinsi ke-27. 2 Pasca integrasi, Fretilin tetap berjuang secara gerilya dan berusaha mendapatkan simpati pihak internasional. Dunia internasional tetap mendukung kedaulatan Indonesia atas Timor Timur, hingga terjadinya peristiwa Santa Cruz tahun 1991. Peristiwa ini menjadi titik balik hubungan pemerintah Indonesia dan negara asing yang kemudian menuntut referendum bagi rakyat Timor Timur. Akhirnya Presiden Habibie menyetujui diadakannya referendum pada 30 Agustus 1999 yang menunjukkan bahwa 78,5% warga Timor Timur telah memilih untuk merdeka. 3 Disintegrasi Timor Timur menimbulkan kekecewaan masyarakat Indonesia. Sangat disayangkan, pemerintah telah mengeluarkan dana pembangunan untuk Timor Timur sebesar Rp200 milyar per tahun, meskipun provinsi ini hanya memiliki pendapatan asli daerah sebesar Rp10 milyar per tahun. 4 Syamsul Hadi, dkk. menyebutkan empat poin sebab-sebab Timor Timur lepas dari kedaulatan Republik Indonesia, yaitu legalitas kedaulatan Indonesia yang tidak sah menurut hukum internasional, perubahan konstelasi politik internasional pasca Perang Dingin, di mana negara-negara Barat mulai mengemukakan isu penegakan hak asasi manusia, pertimbangan pribadi Habibie, serta pendekatan penanganan krisis oleh negara yang didominasi kekuatan militer. 5 1 S. Hadi, dkk., Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, pp. 187-189. 2 Hadi, dkk., p. 189. 3 East Timor Referendum Result, Democracy Now (daring), 1999, <http://www.democracynow.org/1999/ 9/6/east_timor_referendum_results>, diakses pada 5 November 2014. 4 A. Kusaeni, Kerikil dalam Sepatu: Diplomasi Penyelesaian Kasus Timor Leste di PBB, Pustaka Antara Utama, Jakarta, 2000, p. 3. 5 Hadi, dkk., pp. 230-234. 1
Pada masa konflik pasca referendum, sekitar 250.000 warga Timor Timur diungsikan ke wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). 6 Antara tahun 1999-2001, sebagian besar pengungsi sudah kembali ke daerah asal mereka dan menjadi warga negara Timor Leste. Namun, setelah pemerintah menghilangkan status pengungsi pada tahun 2003, masih terdapat sekitar seratus ribu pengungsi yang menetap dengan status sebagai warga negara Indonesia. Kelompok yang kemudian disebut sebagai eks pengungsi Timor Timur ini terkonsentrasi di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur, salah satunya di wilayah Atambua, Kabupaten Belu. Kabupaten Belu memiliki daya dukung daerah yang sangat minim dan kondisi keamanan yang relatif kurang stabil, mengingat posisinya di wilayah perbatasan. Kehadiran kelompok eks pengungsi menjadi tantangan tersendiri, baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat, untuk mengintegrasikan warga eks pengungsi ini ke dalam masyarakat Atambua secara khusus dan ke dalam bangsa Indonesia secara umum. Oleh karena itu, proses integrasi yang dilakukan terhadap kelompok eks Timor Timur ini menjadi topik yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Pertanyan penelitian dan metodologi Skripsi ini hendak menjawab pertanyaan bagaimana proses integrasi nasional warga eks pengungsi Timor Timur di Atambua berlangsung. Penulis akan menggunakan beberapa landasan konseptual terkait definisi dan pola dari proses integrasi nasional untuk menjawab pertanyaan di atas. Integrasi nasional merupakan proses di mana masyarakat yang sebelumnya memiliki identitas yang berbeda disatukan oleh pembangunan ekonomi, sosial, dan politik. 7 Konsep ini sering dikaitkan dengan proses asimilasi, di mana pendatang biasanya menjadi pihak yang harus mengorbankan identitas mereka agar dapat diterima menjadi bagian dari masyarakat. Namun, The European Council on Refugees and Exiles (ECRE) memandang integrasi sebagai sebuah proses dua arah, di mana pendatang mengubah masyarakat dan di saat yang sama mereka mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat tersebut. 8 Dengan demikian terdapat hubungan horizontal yang seimbang antara warga asli dan warga pendatang. 6 G. Wuryandari (ed.), Keamanan di Perbatasan Indonesia-Timor Timur: Sumber Ancaman dan Kebijakan Pengelolaannya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, pp. 201-203. 7 A.H. Birch, Nationalism & National Integration, Unwin Hyman, London, 2003, p. 8 8 P. Watt, The Integration of Refugees and Asylum Seekers in Ireland, The Ireland Institute (daring), 1999, <http://theirelandinstitute.com/republic/01/pdf/watt001.pdf>, diakses pada 15 Oktober 2014. 2
Lebih lanjut, ECRE membangun definisi di atas dengan memasukkan tiga elemen utama integrasi, yaitu: 1. Dinamis dan dua arah: warga pendatang dan masyarakat penerima menjalin komunikasi yang baik dan secara aktif berusaha mencari penyelesaian bagi tuntutan-tuntutan mereka. 2. Jangka panjang: berjalan melampaui generasi pertama dari pengungsi. 3. Multidimensional: menghubungkan kondisi yang mendukung dan partisipasi nyata dalam segala aspek kehidupan ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik, serta rasa memiliki dan keanggotaan para pengungsi di masyarakat setempat. 9 Sementara itu, James Coleman dan Carl Rosberg menambahkan dimensi vertikal dari integrasi nasional. 10 Integrasi horizontal, menurut Coleman dan Rosberg, merupakan integrasi secara teritorial dengan tujuan mengurangi kesenjangan dan ketegangan kultur kedaerahan dalam rangka penciptaan suatu masyarakat politik yang homogen. Sedangkan integrasi vertikal mencakup masalah-masalah yang bertujuan untuk menjembatani celah perbedaan yang mungkin ada antara kaum elite dan massa dalam rangka pengembangan suatu proses politik terpadu dan masyarakat yang berpartisipasi. Dari kedua definisi di atas dapat dibentuk sebuah nexus yang menghubungkan tiga aktor utama dari integrasi nasional yang penulis kaji, yaitu pendatang eks Timor Timur, penduduk asli Atambua, dan pemerintah. Konsep integrasi sebagai proses dua arah serta definisi dari integrasi vertikal dan horizontal mengisyaratkan ruang lingkup dari integrasi nasional yang lebih luas dari pihak yang diintegrasikan, yang juga menyangkut pihak-pihak di luar kelompok yang dimaksud. Dengan demikian jalannya proses integrasi nasional juga bergantung kepada peran aktif aktor-aktor integrasi nasional yang sama besar, serta keseimbangan relasi yang terjalin di antara mereka. Dalam dimensi horizontal, integrasi ditunjukkan oleh interaksi yang terjalin antara warga eks Timor Timur dan masyarakat Atambua. Warga eks Timor Timur memiliki tanggung jawab dan peran untuk secara aktif mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat Atambua, misalnya melalui community engagement, yaitu keterlibatan dalam aktivitas masyarakat seperti kegiatan gotong royong. Dalam hubungannya dengan pemerintah, tindakan integratif yang dilakukan misalnya inisiatif untuk ikut terlibat dalam proses politik melalui setiap ruang yang disediakan, dan pengajuan tuntutan kepada pemerintah untuk mengakomodasi hak mereka sebagai warga negara dan bagian dari mayarakat. 9 Watt, p. 1. 10 J. Coleman & C. Rosberg, Political Parties and National Integration in Tropical Africa, University of California Press, Berkeley, 1964. 3
Di sisi lain, masyarakat Atambua juga memiliki andil dalam proses integrasi warga eks Timor Timur (lihat Gambar 1), Sebagai warga penerima, mereka perlu memberi ruang bagi warga pedatang untuk menjadi bagian dari masyarakat atau komunitas, menerima perubahanperubahan yang muncul akibat kedatangan warga eks Timor Timur, dan menjalin komunikasi yang baik dengan mereka tanpa prasangka dan stereotip. Secara vertikal, masyarakat penerima berperan untuk memastikan bahwa pemerintah mampu mengelola dampak yang timbul dari masuknya pendatang dan mengakomodasi kepentingan warga secara adil. Gambar 1. Proses Integrasi Nasional Multiarah Dalam skema ini, pemerintah sebagai instansi formal yang memiliki otoritas dan sumber daya memainkan peranan sentral dengan tanggung jawab yang besar untuk mengelola proses integrasi nasional. Saat masuk ke Atambua, pengungsi Timor Timur termasuk ke dalam golongan internally displaced persons, yaitu orang-orang yang meninggalkan tempat tinggal mereka atas alasan pelanggaran hak asasi manusia atau konflik dan mengungsi ke wilayah lain yang masih berada dalam batas negara. 11 Oleh karena itu, pemerintah bertanggung jawab memberikan fasilitas bagi warga eks Timor Timur untuk memulai kehidupan yang baru, seperti tempat tinggal, akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, lapangan pekerjaan, serta hak sipil dan politik yang setara dengan masyarakat pada umumnya. Pemerintah harus membina hubungan yang simetris terhadap baik pendatang maupun penduduk asli agar tidak muncul kecemburuan sosial atau diskriminasi. Sikap pemerintah ini turut mempengaruhi pola hubungan antarwarga. Pertanyaan penelitian dapat dijawab dengan menggunakan skema hubungan dan berdasarkan kedua definisi integrasi di atas. Penulis akan menjelaskan proses integrasi 2014. 11 The UN Refugee Agency, <http://www.unhcr.org/pages/49c3646c146.html>, diakses pada 15 Oktober 4
nasional yang berjalan di Atambua dalam segi sosial, ekonomi, politik dan budaya, dan kemudian mengidentifikasi peran dan tanggung jawab masing-masing aktor serta interaksi yang terjalin di antara ketiganya. Dari segi sosial, penilaian terhadap proses integrasi dilihat dari pola interaksi yang terjalin dalam masyarakat. Dari segi ekonomi, indikator utama adalah persamaan hak antara warga eks Timor Timur dan warga lokal dalam memperoleh pekerjaan, memiliki lahan, serta mendapatkan bantuan dari pemerintah. Dari segi politik, indikator utama adalah kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik serta memperoleh pelayanan publik. Dari segi budaya, perlu diidentifikasi bagaimana mereka saling menyesuaikan diri terhadap perbedaan yang ada dan bagimana mereka mampu memanfaatkan akar tradisi yang sama untuk menyelesaikan konflik di antara mereka. Argumen utama Dengan menggabungkan rumusan masalah dan landasan konseptual yang digunakan, penulis membangun argumen utama bahwa proses integrasi nasional di Atambua belum bisa dijalankan secara maksimal, baik secara vertikal maupun horizontal. Masyarakat Atambua memandang warga eks Timor Timur sebagai ancaman, sementara warga eks Timor Timur pun memiliki kecurigaan terhadap masyarakat Atambua yang dianggap memperlakukan mereka dengan tidak adil. Sikap semacam ini menghambat terjadinya proses integrasi secara horizontal dalam masyarakat. Di sisi lain, pemerintah kurang memberikan perhatian terhadap situasi yang terjadi dalam masyarakat. Tidak ada upaya khusus yang dilakukan untuk mendorong integrasi kelompok eks Timor Timur. Warga eks Timor Timur yang hidup dalam keterbatasan tanpa bantuan dari pemerintah akan merasa bahwa mereka menjadi kelompok yang terpinggirkan, dan hal ini menjadi salah satu masalah utama dalam proses integrasi nasional. Secara vertikal, baik masyarakat Atambua maupun warga eks Timor Timur sudah banyak menyuarakan kepentingan-kepentingan mereka kepada pemerintah, tetapi aspirasi ini lebih bersifat eksklusif akan kepentingan bagi kelompok mereka sendiri. Metode dan sistematika penulisan Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif yang menggambarkan interaksi sosial masyarakat yang bersifat dinamis. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terhadap warga eks Timor Timur, masyarakat Atambua, dan pemerintah daerah, untuk memperoleh gambaran akan persepsi dan perilaku masing-masing pihak dalam proses integrasi nasional. Penelitian dilakukan 5
terhadap tiga kelurahan, yaitu kelurahan Manumutin sebagai sampel utama, serta kelurahan Fatukbot dan Raibasin sebagai sampel pembanding untuk mendapat gambaran mengenai proses integrasi di berbagai kondisi dan lokasi yang berbeda. Kelurahan Manumutin menjadi pusat lokasi pengungsian pada tahun 1999 dan masih banyak warga eks Timor Timur yang mendiami wilayah ini, termasuk di lokasi kamp pengungsian. Kelurahan Fatukbot merupakan salah satu lokasi penempatan bagi warga eks Timor Timur, sedangkan wilayah Raibasin merupakan lokasi pemukiman warga eks Timor yang dibeli bersama oleh sekelompok masyarakat yang sebelumnya menempati kamp pengungsian di Manumutin. Skripsi ini akan dibagi ke dalam lima bagian. Setelah bagian ini, bagian kedua akan mendeskripsikan proses relokasi warga eks Timor Timur ke Atambua. Termasuk dalam bagian ini adalah pembahasan mengenai faktor pendorong, aktor yang terlibat, serta kondisi selama pengungsian. Bagian ketiga akan menjelaskan proses integrasi yang berlangsung dari segi sosial, ekonomi, politik, dan budaya, sedangkan peran dari ketiga aktor utama integrasi nasional akan dijelaskan pada bagian keempat. Skripsi akan ditutup dengan bagian kelima, yang memuat kesimpulan dan inferens dari hasil temuan penelitian. Relokasi Warga Timor Timur Selama sejarah bangsa Timor terdapat empat kali pengungsian besar yang dilakukan warga Timor Timur ke wilayah Timor Barat. 12 Pengungsian pertama terjadi pada tahun 1912 ketika terjadi perang adat antara salah satu suku dengan bangsa Portugis. Arus eksodus kedua terjadi pada saat perang antara Portugis dengan Jepang pada tahun 1942, dan periode ketiga terjadi ketika pasukan militer Indonesia menginvasi Timor Timur pada tahun 1975. Seperti pengungsian sebelumnya, sebagian warga menetap dan sebagian kembali ke Timor Timur. Pengungsian warga Timor Timur yang terbesar sampai hari ini terjadi pada tahun 1999 pasca referendum. Proses Evakuasi Warga Timor Timur Pasca Referendum Pada tanggal 4 September 1999, Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mengumumkan hasil referendum Timor Timur. Beberapa warga Dili, terutama keluarga dari para birokrat, sudah meninggalkan rumah mereka beberapa hari sebelumnya, karena ketakutan akan konflik yang mungkin muncul sebagai reaksi terhadap hasil referendum. Pasca referendum, 12 Hasil wawancara dengan aktivis CIS Timor, Deonato Moreira, pada tanggal 27 Januari 2015 di Atambua. 6