BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Amputasi adalah menghilangkan satu atau lebih bagian tubuh dan belum pernah terjadi sebelumnya yang bisa sebabkan oleh malapetaka atau bencana alam seperti kecelakaan, gempa, terorisme dan perang, atau dilakukan karena alasan medis dengan motif untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup pasien. Pada pasien kanker amputasi dilakukan sebagai prosedur menyelamatkan jiwa untuk melindungi mereka dari keganasan lebih lanjut dari bagian tubuh yang satu ke bagian tubuh lainnya. Pada pasien kusta dan gangren ekstremitas, amputasi dilakukan untuk menghentikan kemajuan penyakit atau penyebaran penyakit. (Demet, 2003). Menurut Crenshaw (2002) di Amerika Serikat terjadi 43.000 kasus pertahun dari jumlah penduduk 280.562.489 jiwa atau sekitar 0,02 % sedangkan menurut Raichle et al. (2009) disebutkan bahwa terjadi kasus amputasi sekitar 158.000 per tahun dari jumlah penduduk 307.212.123 atau sekitar 0,05 % dan terjadi kenaikan baik secara jumlah maupun secara persentase dari jumlah penduduk. Amputasi yang paling sering dilakukan adalah amputasi pada ekstremitas bawah mencapai 85 % sampai 90 % dari seluruh amputasi. Menurut Vitriana (2002) angka kejadian pasti kasus amputasi di Indonesia tidak dapat diketahui. Berdasarkan data surveilens terpadu penyakit (STP) tahun 2009, kasus Diabetes Melitus di Provinsi Sumatera Utara mencapai 108 pasien
yang dirawat dan 934 pasien dirawat di puskesmas selama Januari hingga Juni 2009, (Supriadi, et al, 2009) Study epidemiologi memperkirakan 2,5 % pasien diabetes menjadi diabetic foot (DF) ulcers, dan setiap tahunnya 15 % menjadi diabetic foot ulcers seumur hidup. Diabetic foot adalah penyebab dari amputasi ekstremitas bawah lebih dari 85 % kasus. Masalah ekstremitas bawah lebih sering mengalami komplikasi termasuk penurunan sensasi, yang memperberat terjadinya amputasi ekstremitas bawah pada seseorang dengan Diabetes Melitus (Cristina, 2007). Trauma dan kanker adalah penyebab utama kejadian amputasi, namun di dunia barat penyakit pembuluh darah perifer menyumbang 80-90 % dari semua kasus amputasi dan usia rata-rata diatas 70 tahun. Di Amerika Serikat masalah pembuluh darah menyumbang 82 % dari semua kasus amputasi. Di negara-negara berkembang trauma merupakan penyebab utama amputasi dan di negara-negara yang memiliki ranjau darat juga menjadi penyebab terjadinya amputasi ekstremitas bawah (Barmparas, 2010). Amputasi membawa perubahan yang signifikan dan drastis dalam kehidupan seseorang, dimulai dengan syok, kemudian mengakui dan akhirnya menerima dengan berat. Amputasi disebut sebagai tiga penghinaan karena membawa kerugian fungsi, hilangnya sensasi dan kehilangan atau perubahan citra tubuh. Perubahan dramatis ini memiliki efek pada kualitas hidup individu karena keterbatasan aktivitas fisik segera setelah amputasi serta memiliki implikasi jangka panjang dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini juga mempengaruhi individu pada tingkat psiko-sosial dan memiliki implikasi ekonomi jangka
panjang dan berpengaruh pada kontribusi individu kepada masyarakat (Demet, 2003). Peneliti menemukan bahwa peserta yang telah menjalani amputasi mengalami isolasi sosial, dan memiliki kebutuhan yang tak terpenuhi dalam kaitannya dengan keuangan, pekerjaan dan kegiatan sosial, sementara Livneh, Antonak, dan Gerhardt (1999) melaporkan bahwa usia yg lebih muda dan durasi yang lebih rentan mengalami depresi, kualitas hidup pada umumnya lebih rendah bagi mereka yang mengalami amputasi dibandingkan dengan klien yang tidak mengalami amputasi, (Livingtone, 2011). Amputasi juga sering terjadi pada orang dewasa muda dan kelompok usia produktif sehingga amputasi tungkai menyebabkan krisis ekonomi yang serius bagi keluarga terutama bila klien tidak mampu membeli alat prosthesis yang baik yang sesuai dengan kebutuhan (Chalya, Mabula, 2012). Menurut laporan, angka kematian pada tahun pertama setelah amputasi adalah 13-40 %, di tahun ketiga, 35-65 % dan pada tahun kelima adalah 39-80 %, dimana angka yang sebanding dengan tingkat kematian pada keganasan. Selain itu, kehilangan pekerjaan dan kebutuhan medis dan perawatan, pengurangan dalam interaksi sosial dan keluarga, dan perubahan gaya hidup merupakan masalah utama yang mempengaruhi keluarga dan status sosial ekonomi pasien serta tidak adanya kaki dan tungkai bawah dapat sangat bermasalah bagi pasien dan mengerahkan terlalu banyak energi untuk berjalan, oleh karena itu, amputasi anggota badan yang lebih tinggi atau pengembangan ulkus dapat terjadi, pada
akhirnya, pasien dengan kaki diamputasi perlu rawat inap jangka panjang, rehabilitasi, perawatan rumah dan dukungan sosial (Shojaiefard, 2008). Kehilangan anggota tubuh ditandai oleh serangkaian respon psikologis yang kompleks. Meskipun banyak orang berhasil menggunakan respon tersebut untuk menyesuaikan diri dengan amputasi namun sebanyak 50 % gejala kejiwaan dari semua kasus amputasi memerlukan beberapa intervensi psikologis, dan depresi adalah reaksi psikologis yang paling umum diantara pasien dengan amputasi (Cansever, 2003) Klien pasca amputasi tungkai bawah melaporkan ketidaknyamanan sosial yang terkait dengan perubahan citra tubuh, body esteem negatif, kurangnya dukungan sosial dan meningkatnya depresi dan gangguan stres pasca-trauma. Orang-orang dengan amputasi biasanya melaporkan kemarahan, kesedihan, tidak berdaya, frustasi, kecemasan dan rasa bersalah, serta kekhawatiran tentang keluarga, pekerjaan, hubungan sosial dan seksual (Davidson et al. 2002. Rybarczyk et al. 1995, Gallagher & MacLachlan 2001, Taleporos & McCabe, 2005, Williams et al. 2004, Phelps et al. 2008). Gangguan stres pasca trauma (PTSD) adalah gangguan kejiwaan yang dapat muncul setelah seseorang terkena suatu peristiwa yang melibatkan cedera serius, ancaman yang serius untuk diri sendiri atau orang lain yang menyebabkan respon rasa takut, tidak berdaya, atau menakutkan. Memahami gejala sisa psikiatri dan emosional amputasi bisa sangat meningkatkan jenis intervensi dan tingkat intervensi psikologis ketika amputasi dan pasca amputasi (Cavanagh, 2006).
Adaptasi merupakan hasil akhir dari upaya koping. Beradaptasi berarti mendapatkan persepsi, perilaku dan lingkungan yang berubah sehingga tercapai keseimbangan. Setiap individu secara terus-menerus akan menghadapi perubahan fisik, psikis, dan sosial baik dari dalam maupun dari lingkungan luar. Jika hal tersebut tidak dapat dihadapi dengan seimbang maka tingkat stres akan meningkat. Dalam upaya beradaptasi terhadap perubahan tersebut, individu berespon melalui suatu mekanisme koping (Keliat, 1999). Mekanisme koping adalah segenap upaya yang mengarah kepada manajemen stres. Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon terhadap situasi yang mengancam (Stuart, 2009). Menurut Lazarus dan Folkman (1984) koping sebagai upaya perubahan kognitif dan prilaku secara konstan untuk mengatasi secara khusus tuntutan internal dan eksternal yang dinilai melebihi kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu. 1.2. Rumusan Permasalahan Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi fenomena mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah di kota Medan. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah di kota Medan. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi:
1.4.1. Profesi keperawatan Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan kepada perawat terutama tentang mekanisme koping klien pasca amputasi dan sebagai masukan dalam memberikan pendidikan kesehatan kepada klien pasca amputasi tungkai bawah. 1.4.2. Pelayanan rumah sakit Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam pelayanan rumah sakit terutama untuk perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan untuk mempersiapkan pasien pulang dan kunjungan ke rumah secara berkala untuk memantau perkembangan klien sehingga klien bisa beradaptasi dengan masalah yang dialaminya. 1.4.3. Peneliti sendiri Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam melakukan pengkajian dan wawancara pada klien pasca amputasi tungkai bawah dan dapat melakukan praktek langsung penelitian yang telah diterima peneliti di bangku kuliah. 1.4.4. Peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu rujukan untuk penelitian selanjutnya terkait adaptasi klien dan menjadi rujukan terhadap penanganan klien yang mall adaptif.