BAB II KERANGKA TEORI. Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. terakhir ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat beragam di berbagai negara atau kawasan,

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi:

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon...

Sri Yuliani FISIP UNS

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sektor yang paling strategis dalam. memberdayakan manusia menuju pembangunan adalah pendidikan.

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

Tahap penyusunan agenda Tahap formulasi kebijakan Tahap adopsi kebijakan Tahap implementasi kebijakan Tahap evaluasi kebijakan

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA. a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2014

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA PEKANBARU NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

C KONSEP PENGURUSUTAMAAN/ MAINSTREAMING GENDER

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. maksud dan tujuan pembangunan. Tidaklah mudah untuk mengadakan perubahan

PERATURAN BUPATI TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN MALANG. BAB I KETENTUAN UMUM

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BUPATI BULUNGAN TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BULUNGAN.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER KABUPATEN SINJAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI,

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sofware dalam hidup dan kehidupan manusia darinya manusia hidup, tumbuh

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 1 SERI E

WALIKOTA PEKALONGAN, PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DIDAERAH

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 118 TAHUN 2015

manusia sehingga dapat mengoptimalkan implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dapat berjalan dengan maksimal.

BAB I PENDAHULUAN. kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Hal ini tercantum dalam Rencana. Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar

BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

B A B I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 10 TAHUN 2005 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA,

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN KOTABARU

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA

PENGARUSUTAMAAN GENDER DI INDONESIA

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 Tambahan Le

PERANAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN. Ir. Suyatno, MKes

BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan.

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

TINJAUAN PUSTAKA. keputusan atau usulan-usulan dari para pembuat kebijakan. Para ahli administrasi

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DAN BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebijakan Publik dan Implementasi Kebijakan Publik. kegiatan tertentu. Istilah kebijakan dalam bahasa Inggris policy yang

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PPdan PA. Perencanaan. Penganggaran. Responsif Gender.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 26 Tahun 2016 Seri E Nomor 18 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

WALIKOTA PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta penegasan istilah. Bab ini ini akan

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI. yang penting. Teori adalah konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi hasil

BAB I PENDAHULUAN. Penghapusan diskriminasi gender dan pencapaian keadilan gender merupakan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Against Women (CEDAW) dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Alat utama kebijakan fiskal adalah anggaran. Deddi et al. (2007)

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (INPRES) NOMOR 9 TAHUN 2000 (9/2000)

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga

Artikel Perencanaan Pembangunan Daerah Karya : Said Zainal Abidin BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 47 TAHUN 2011 TENTANG

Model van Horn & van Metter dan Marlee S. Grindle

RKPD Tahun 2015 Pendahuluan I -1

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 119 TAHUN 2015 TENTANG

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA KABUPATEN TULANG BAWANG

SKRIPSI PUTRI C. MARPAUNG diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar S-1

BAB II KAJIAN TEORI. hipotesis untuk membimbing peneliti mencari jawaban-jawaban, membuat

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK DAN KEMENTERIAN PERTANIAN

Transkripsi:

BAB II KERANGKA TEORI II.1 Kerangka Teori Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau memecahkan permasalahan perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah tersebut disoroti. Selanjutnya teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, dan konstruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep (Singarimbun, 1995 : 37). Berdasarkan rumusan diatas, maka dalam bab ini penulis akan mengemukakan teori, pendapat, gagasan yang akan dijadikan titik tolak landasan berfikir dalam penelitian ini. II.1.1 Implementasi Kebijakan II.1.1.1 Pengertian Implementasi Kebijakan Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar, yaitu tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara untuk mencapai sasaran tersebut. Komponen yang ketiga yaitu cara, merupakan komponen yang berfungsi untuk mewujudkan dua komponen yang pertama. Cara inilah yang disebut dengan implementasi (Wibawa, 1994:15). 14

Implementasi merupakan sebuah penempatan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, ketrampilan maupun nilai dan sikap. Dalam oxford advance leaner dictionary dikemukakan bahwa implementasi adalah put something into effect yang artinya adalah penerapan sesuatu yang memberikan efek atau dampak ( Susilo, 2007:174) Implementasi kebijakan dalam arti yang luas dipandang sebagai alat administrasi hukum dimana berbagai sistem, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, keluaran maupun sebagai hasil (Winarno, 2002:101). Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak dan tujuan yang diinginkan. Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elite, jika program tersebut tidak pernah diimplementasikan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya meraih tujuan-tujuan kebijakan dan program-program (Nugroho, 2006:31). 15

Implementasi atau pelaksanaan merupakan kegiatan yang penting dari keseluruhan proses perencanaan program/kebijakan. Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik bersifat individual maupun kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makers untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran (Subarsono, 2005:87). Patton dan Sawicki dalam Tangkilisan (2003:9) meyatakan bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukug pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan. II.1.1.2 Model-Model Implementasi Kebijakan Untuk menjalankan kegiatan dalam tahap implementasi, para ahli merumuskan beberapa model yang dapat digunakan demi lancarnya implementasi 16

suatu kebijakan. Berikut akan dibahas beberapa model implementasi yang dikemukakan para ahli. a. Model top-down oleh Sabatier dan Mazmanian Model yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian dalam Putra (2003:86) ini, meninjau dari kerangka analisisnya. Modelnya ini dikenal dan dianggap sebagai salah satu model top down yang paling maju. Karena mereka telah mencoba mensintesiskan ide-ide dari pencetus teori model top-down dan bottom up. Posisi model top-down yang diambil oleh Sabatier dan Mazmanian ini terpusat pada hubungan antara keputusan-keputusan dengan pencapaiannya, formulasi dengan implementasinya, dan potensi hierarki dengan batas-batasnya, serta kesungguhan implementor untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut. Model Top-down yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazamanian akan memberikan skor yang tinggi pada kesederhanaan dan keterpaduan, karena modelnya memaksimalkan perilaku berdasarkan pemikiran tentang sebab akibat, dengan tanggung jawab yang bersifat single atau penuh. Penekanannya terpusat pada koordinasi, kompliansi dan kontrol yang efektif yang mengabaikan manusia sebagai target group dan juga peran dari sistem lain. b. Model Bottom - Up oleh Smith Model yang dikemukakan oleh Smith (dalam Putra, 2003:90) ini memandang implementasi sebagai proses atau alur, yang melihat proses 17

kebijakan dari perspektif perubahan sosial politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran. Smith menyatakan bahwa ada 4 (empat) variabel yang perlu diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan yaitu : 1. Idealized policy, yaitu suatu pola interaksi yang diidealisasikan oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya. 2. Target group, yaitu bagian dari policy stakeholders yang diharapkan dapat mengadopsi polapola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena mereka ini banyak mendapat pengaruh dari kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakunya dengan kebijakan yang dirumuskannya. 3. Implementing organization, yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan. 4. Environmental factor, yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik). Keempat variabel tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan berinteraksi secara timbal balik, oleh karena itu sering menimbulkan tekanan (tension) bagi terjadinya transaksi atau tawar-menawar antara formulator dan implementor kebijakan. 18

Model pendekatan bottom-up yang dikemukakan oleh Smith ini memberikan skor tinggi pada realisme dan kemampuan pelaksana, karena modelnya memandang bahwa implementasi kebijakan tidak berjalan secara linier atau mekanistis, tetapi membuka peluang terjadinya transaksi melalui proses negoisasi, atau bargaining untuk menghasilkan kompromi terhadap implementasi kebijakan yang berdimensi target group. c. Model Van Meter dan Van Horn Model proses implementasi yang diperkenalkan Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program. Perlu diperhatikan bahwa pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif (Winarno, 2002: 103) Model yang ditawarkan Van Meter dan Van Horn ini mempunyai 6 (enam) variabel yang membentuk ikatan (lingkage) antara kebijakan dan pencapaian (performance). Variabel-variabel tersebut adalah : (Winarno, 2002: 110-119) 1. Ukuran-Ukuran Dasar dan Tujuan Kebijakan 19

Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap sistemsistem yang menentukan pencapaian kebijakan. Pencapaian ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan telah direalisasikan. Ukuran ukuran dasar dan tujuan kebijakan berguna dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Disamping itu, ukuran ukuran dasar dan tujuan kebijakan merupakan bukti itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam beberapa kasus. 2. Sumber-Sumber Kebijakan Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. 3. Komunikasi Antar Organisasi dan Kegiatan-Kegiatan Pelaksanaan Komunikasi di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan ke dalam suatu oraganisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lainnya, para komunikator dapat menyimpannya atau menyebarluaskannya, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Lebih dari itu, jika sumber-sumber informasi yang berbeda memberikan interpretasi-interpretasi yang tidak konsisten terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan atau jika sumber-sumber yang sama memberikan interpretasi-interpretasi yang bertentangan, para 20

pelaksana akan mengahdapi kesulitan yang lebih besar untuk melaksanakan maksud-maksud kebijakan. 4. Karakteristik Badan-Badan Pelaksana Van Meter dan Van Horn mengetengahkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan: a. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan b. Tingkat pengawasan hierarkis terhdap keputusan-keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan-badan pelaksana c. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggota-anggota legislatif dan eksekutif) d. Vitalisasi suatu organisasi e. Tingkat komunikasi-komunikasi terbuka, yang didefenisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horizontaldan vertikal secara bebas, serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi f. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat keputusan atau pelaksana keputusan. 5. Kondisi-Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik Sekalipun dampak dari sistem-sistem ini pada implementasi keputusan-keputusan kebijakan mendapat perhatian yang kecil, namun menurut Van Meter dan Van Horn, sistem-sistem ini mungkin 21

mempunyai efek yang mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana. 6. Kecenderungan pelaksana(implementors) Van Meter dan Van Horn mengidentifikasikan tiga unsur tanggapan pelaksana yang mungkin mempengaruhi kemampuan dan keinginan mereka untuk melaksanakan kebijakan, yakni: kognisi (komprehensi, pemahaman) tentang kebijakan, macam tanggapan terhadapnya (penerimaan, netralitas, penolakan) dan intensitas tanggapan itu. Gambar II.1 Model Kebijakan Van Meter dan Van Horn Ukuran-ukuran Dasar dan tujuan-tujuan Kebijaksanaan Komunikasi antar organisasi dan kegiatankegiatan pelaksanaan Karakteristik badan-badan pelaksana Kecender ungan pelaksana Pencapaian Sumber-sumber Kondisi ekonomi, sosial dan politik Sumber: Winarno, 2002:111 22

d. Model George C. Edwards III Model implementasi dalam pandangan George C.Edwards ini lebih melihat dari sisi administrasinya.dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu: a. Komunikasi Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran. b. Sumberdaya Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi bila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan dengan efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal diatas kertasdan menjadi dokumen saja. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial serta fasilitas-fasilitas. c. Disposisi Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti kejujuran, komitmen, dan sifat demokratis. 23

Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. d. Struktur Birokrasi Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standart operating procedures atau SOP). Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. (Subarsono, 2005:94). II.1.2 Kinerja Implementasi Kebijakan Pada dasarnya kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi (Mahsun, 2006:25). Maka dari pengertian tersebut, dapat diambil pokok pemikiran yang penting, yaitu bahwa untuk mengetahui suatu kinerja, caranya bukan hanya dengan mengukur, tetapi juga dapat dilakukan dengan cara menggambarkan; dan kinerja tidak terbatas pada ruang lingkup manajemen 24

perusahaan saja. Hal ini dikatakan karena pada umumnya ketika kita ingin mengetahui kinerja suatu hal, kita akan selalu menggunakan kata mengukur. Sehingga istilah-istilah tersebut menjadi mengukur kinerja pegawai ataupun mengukur kinerja keuangan yang memiliki ruang lingkup hanya pada manajemen perusahaan saja. Ketika kata kinerja ini kita sandingkan dengan implementasi kebijakan publik, maka fokus kita adalah untuk menggambarkan sudah sejauh mana kebijakan yang telah dirumuskan tersebut berhasil dijalankan/diimplementasikan, bukan dalam tahap evaluasi. Karena sebelum sampai pada tahap evaluasi kebijakan, model implementasi yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn pun telah menjabarkan hal yang sama. Winarno mengemukakan bahwa model proses implementasi yang diperkenalkan Van Meter dan Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif (Winarno dalam Marpaung 2008:23). Dari pendapat Winarno di atas, dapat disimpulkan bahwa mengetahui kinerja dari implementasi suatu kebijakan menjadi suatu tahap yang penting, karena melalui proses tersebut dapat diketahui apa yang menjadi penyebab gagalnya suatu kebijakan tidak menghasilkan dampak yang substansial. 25

II.1.3 Pengarusutamaan Gender Kesamaan hak perempuan dan laki-laki dimulai dengan adanya emansipasi pada tahun 1950 dan 1960-an, serta diperkuat pula dengan adanya deklarasi yang merupakan hasil dari konferensi PBB pada tahun 1975 yang memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan. Berkaitan dengan itu, dikembangkanlah berbagai program pemberdayaan perempuan, yaitu mulai diperkenalkannya tema World In Development (WID) atau Perempuan dalam Pembangunan (Departemen Kehutanan, dalam Marpaung, 2008:26). Mulai dikenalnya konsep WID dilanjutkan dengan dirumuskannya konvensi penghapusan segala tindak diskriminasi terhadap perempuan (Convention for Eliminating Discrimination Againts Women atau CEDAW). World In Development (WID) atau Perempuan dalam Pembangunan, bermaksud mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan. WID didasarkan pada suatu pemikiran mengenai perlunya kemandirian bagi perempuan agar pembangunan dapat dinikmati oleh semua pihak. Timbulnya pemikiran perempuan dalam pembangunan (WID) menjadi sangat menarik karena disadari bahwa perempuan merupakan sumber daya manusia yang sangat berharga sehingga perempuan yang posisinya acap sekali termarjinalkan perlu diikutsertakan ke dalam pembangunan. Istilah WID ini pertama sekali dicetuskan oleh Women s Committee of the Washington D.C Chapter of the Society for International Development pada awal tahun 1970-an. Mulai pada saat itulah WID ini dipakai sebagai pendekatan terhadap isu-isu perempuan dan pembangunan 26

dimana sebagian besar ide, konsep dan solusinya didasarkan dari paradigma modernisasi (Nugroho, 2008:138). Dalam pelaksanaannya akhirnya terlihat bahwa konsep WID gagal menghapus masalah diskriminasi terhadap perempuan. Masih banyak terlihat kasus-kasus diskriminasi terhadap kaum perempuan. Sebagai respon dari gagalnya konsep WID tersebut maka muncul konsep baru yang dikenal dengan konsep Gender dan Pembangunan (Gender And Development/GAD). Konsep ini lebih didasarkan kepada suatu pendekatan mengenai pentingnya keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam proses-prose pembangunan. Pendekatan ini juga lebih memusatkan pada isu gender dan tidak melihat pada masalah perempuan saja (Nugroho, 2008: 140). Kata gender selalu diidentikkan dengan jenis kelamin, padahal makna yang sesungguhnya tidaklah demikian. Gender adalah pembagian peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya. Peran dan tanggungjawab itu dapat dipertukarkan atau berganti sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan, diperlukan strategi. Gender mainstreaming (GMS) atau pengarusutamaan gender (PUG) merupakan suatu strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dalam kebijakan dan program pembangunan nasional untuk mengembangkan kapasitas kelembagaan dalam rangka menciptakan kesetaraan gender, mulai dari proses 27

pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, sampai dengan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, sehingga dapat mencapai hasil dan dampak kesetaraan gender dalam pengelolaan dan pembangunan sektoral. Konsep pengarusutamaan gender pertama sekali muncul saat Konferensi PBB untuk perempuan ke IV di Beijing tahun 1995. PUG didesakkan sebagai strategi yang harus diadopsi oleh PBB, pemerintah dan organisasi yang relevan untuk memewujudkan kesetaraan gender. (Komnas Perempuan diakses pada tanggal 18 Maret 2015) sebagai: Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) mendefenisikan PUG Strategi agar kebutuhan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi bagian tak terpisahkan dari desain, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan program dalam seluruh lingkup politik, ekonomi dan sosial, sehingga perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan keuntungan dan ketidakadilan tidak ada lagi. Definisi PUG yang saat ini banyak diadopsi oleh negara dan lembagalembaga pembangunan adalah versi United Nations Economic and Social Council (1997) dalam Sinta (2006:13), yaitu : Mengarusutamakan perspektif gender adalah proses memeriksa pengaruh terhadap perempuan dan laki-laki setelah dilaksanakannya sebuah rencana, termasuk legislasi dan program-program, dalam berbagai bidang dalam semua tingkat. Ia sebuah strategi untuk membuat masalah dan pengalaman perempuan maupun laki-laki menjadi bagian yang menyatu dengan rencana, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian kebijakan dan program dalam semua aspek politik, ekonomi, dan sosial, supaya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan manfaatnya dan ketidaksetaraan (inequality) tidak berlanjut. Tujuan akhirnya adalah kesetaraan gender. 28

Untuk menjadikan kepentingan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian kebijakan-kebijakan dalam program pembangunan dan upaya-upaya untuk mencapai Keseteraan dan Keadilan Gender (KKG), maka pemerintah Indonesia menyatakan bahwa Pengarusutamaan Gender merupakan kebijakan nasional yang harus diemban oleh lembaga yang mampu mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). Meskipun begitu, usaha untuk mencapai KKG ternyata masih mengalami hambatan dan masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat pada umumnya, dan khususnya oleh perempuan. Program pengarusutamaan gender di Indonesia belum berjalan secara optimal. Karena selain dimensi permasalahannya yang sangat beragam, persepsi dan pemahaman masyarakat tentang gender masih sering berbeda dan rancu, mengingat istilah itu bukan berasal dari bahasa Indonesia. Di Indonesia, secara resmi PUG diadopsi menjadi strategi pembangunan bidang pemberdayaaan perempuan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Dalam panduan pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 2000, disebutkan bahwa tujuan PUG ini, antara lain: membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program yang responsif gender; memberikan perhatian khusus kepada kelompokkelompok yang mengalami marjinalisasi, sebagai dampak dan bias gender; dan meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak, baik pemerintah maupun non pemerintah, sehingga mau melakukan tindakan yang sensitif gender di bidang masing-masing. 29

Adapun pengertian Pengarusutamaan Gender ini menurut Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan, dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan dengan kegiatan melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa PUG sebagai suatu strategi untuk menciptakan kondisi kesetaraan dan keadilan gender, harus dapat dibuktikan bahwa aspek gender benar-benar tercermin dan terpadu dalam 4 (empat) fungsi utama manajemen program setiap instansi, lembaga maupun organisasi, yaitu: a. Perencanaan: menyusun pernyataan atau tujuan yang jelas bagi perempuan dan laki-laki. b. Pelaksanaan: memastikan bahwa strategi-strategi yang dijelaskan mempunyai dampak, baik pada perempuan maupun laki-laki. c. Pemantauan: mengukur kemajuan dalam pelaksanaan program, dalam hal partisipasi dan manfaat bagi perempuan dan laki-laki. d. Penilaian: memastikan bahwa status perempuan maupun laki-laki sudah menjadi lebih baik sebagai hasil prakarsa tersebut. Melalui PUG, pemerintah diharapkan dapat bekerja lebih efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsif gender untuk perempuan dan laki-laki. Kebijakan dan pelayanan publik serta program dan perundang-undangan yang adil dan responsif gender akan membuahkan manfaat yang adil bagi mereka. Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) menghendaki bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan 30

yang sama untuk ikut serta dalam proses pembangunan, akses yang sama terhadap pelayanan serta memiliki status sosial dan ekonomi yang seimbang. Sasaran utama dari PUG seperti yang tertuang dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah lembaga pemerintah dengan kewenangan yang dimiliki. Sumber daya manusia yang tersedia mulai dari tingkat pusat sampai dengan lini lapangan berperan dalam membuat kebijakan, program dan kegiatan, dan perencanaan program mutlak harus mengarusutamakan gender dalam setiap langkahnya. II.2 Defenisi Konsep Konsep adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial, sehingga dengan konsep maka peneliti dapat memahami unsur-unsur yang ada dalam penelitian baik variabel, indikator, parameter maupun skala pengukuran yang dikehendaki di dalam penelitian (Singarimbun, 1995). Defenisi konsep memberikan batasan terhadap pembahasan dari permasalahan yang ditentukan oleh peneliti. Adapun defenisi konsep dari penelitian ini, yaitu: a. Kinerja Implementasi Kinerja Implementasi adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian serangkaian kegiatan yang harus dilakukan setelah suatu kebijakan dirumuskan agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 31

b. Pengarusutamaan Gender Pengarusutamaan Gender adalah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan, dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan dengan kegiatan melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. c. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana adalah unsur pendukung tugas Kepala Daerah. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana yang bersifat spesifik. 32