ABSTRACT The Position Switch Religion of Krama Villager who Staying In the Village area at Katung Village Territory, Kintamani, Bangli Pakraman village is a traditional law community unit which has a whole tradition and manners of social life community of Hindus were hereditary in bonds of Khayangan Tiga, has a certain area and own property, and is entitled to manage his own household, Pakraman village can set rules made itself which is named awig awig. Preparation of awig-awig village comes from the philosophy of Tri Hita Karana, namely the harmonious relationship between man and God Almighty, The relationship between man and his fellow man, and the relationship between humans and nature. Relating description of the background of the problems that can be formulated is How Land Regulation of Krama Villager in Pakraman Katung Village, Kintamani, Bangli and How to Position Switch Krama Desa Religion Against Soil Village area. The method which was used in this study was a research study Law Empirical, because the approach was used such problems Sociology of Law approach, case approach particularly in the field of problem solving yard land of the village, in relation to the village manners were turning religious and customary law approaches. The background and the problems that exist and by using the results of this study were Krama village occupies a land of village area, have a strong position against the presence in the traditional village, good views of rights and obligations. and Krama village is no longer a Hindu, had no rights or lose the right to the land of village area in Pakraman Katung, Kintamani, Bangli, because it has no place can not perform its obligations as manners of another Hinduism villager, however, the villager because they could not do their obligations marvelously so that its right and its position in the Krama Villager has gone as well, including land occupied village area. Keywords: Manner villager, land of Village area and People of non-hindu
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Desa pakraman merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga, mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan kata lain, dalam penyelenggaraan pemerintahan, desa pakraman dapat menetapkan aturanaturan yang dibuat sendiri yang disebut awig-awig. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas,maka dapat dikemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana Pengaturan Tanah Karang Desa di Desa Pakraman Katung,Kintamani,Bangli? 2. Bagaimana Kedudukan Krama Desa Beralih Agama Terhadap Tanah Karang Desa? 3. Tujuan Penelitian 3.1 Tujuan Umum Adapaun yang menjadi tujuan umum penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk melatih diri dalam penulisan karya ilmiah. 2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam bidang penelitian yang di lakukan oleh mahasiswa. 3. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar.
3.2 Tujuan Khusus Adapula beberapa Tujuan Khusus dari Penelitian ini, adalah sebagai berikut: 1. Untuk Mengetahui Pengaturan Tanah Karang Desa di Desa Katung,Kintamani,Bangli. 2. Untuk mengetahui Kedudukan Krama Desa Beralih Agama Terhadap Tanah Karang Desa. 4. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hukum Empiris, karena pendekatan masalah yang digunakan berupa pendekatan Sosiologi Hukum, pendekatan kasus khususnya di bidang penyelesaian masalah tanah pekarangan desa, dalam kaitanya dengan krama desa yang beralih agama dan pendekatan hukum adat. PENGATURAN TANAH KARANG DESA DI DESA PAKRAMAN KATUNG, KINTAMANI, BANGLI. Tanah druwe desa terdiri dari : 1. Tanah desa, yaitu tanah yang dipunyai yang bisa didapat melalui usaha-usaha pembelian maupun usaha lainnya. 2. Tanah laba pura, yaitu tanah-tanah (yang dulunya milik desa adat dikuasai oleh desa) yang khusus dipergunakan untuk keperluan pura 3. Tanah pekarangan desa (PKD) atau sering juga disebut tanah karang desa, adalah merupakan tanah yang dikuasai oleh desa yang diberikan kepada krama desa untuk tempat mendirikan perumahan. 4. Tanah Ayahan Desa (tanah AYDS), adalah merupakan tanah-tanah dikuasai atau dimiliki oleh desa.
KEDUDUKAN KRAMA DESA BERALIH AGAMA YANG MENEMPATI TANAH KARANG DESA DI DESA PAKRAMAN KATUNG, KINTAMANI,BANGLI Kedudukan krama desa beralih agama yaitu dalam lingkup desa pakraman katung Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara penulis dengan Benesa adat Katung sebagai berikut: Apabila ada tanah Karang Desa ditempati oleh Krama Desa beralih agama dari agama Hindu ke agama Lain ( Kristen ), maka pada dasarnya dia tidak boleh lagi tinggal di tanah karang desa tersebut karena tidak bisa menjalankan hak dan kewajiban sebagai krama desa, itu berarti tanah karang desa yang ditempati sudah dikembalikan ke desa Pakraman Katung dan tanah tersebut sepenuhnya dikuasai oleh Desa Pakraman Katung, sehingga desa pakraman Katung berhak untuk tanah tersebut, siapapun yang mau tinggal di tanah karang desa tersebut dia wajib menjadi anggota desa pakraman katung dan memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan awig-awig di desa pakraman Katung. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas maka penulis dapat menarik suatu simpulan sebagai berikut: Pengaturan Tanah karang desa yang ada di Desa Katung,Kintamani,Bangli sesuai dengan Awig-awig desa pakraman Katung yaitu sebagai berikut: 1. Palet 5 Indik Tanah Karang Desa pawos 28 Sane kabaos tanah karang desa utawi tanah druwen desa inggih punika sekadi tanah desa, tanah laba pura, tanah pekarangan desa, tanah ayahan desa
2. Kedudukan krama desa beralih agama dari agama Hindu ke agama lain (kristen), Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara penulis dengan Bendesa adat Katung sebagai berikut: Apabila ada tanah Karang Desa ditempati oleh Krama Desa beralih agama dari agama Hindu ke agama Lain ( Kristen ), maka pada dasarnya dia tidak boleh lagi tinggal di tanah karang desa tersebut karena tidak bisa menjalankan hak dan kewajiban sebagai krama desa, itu berarti tanah karang desa yang ditempati sudah dikembalikan ke desa Pakraman Katung dan tanah tersebut sepenuhnya dikuasai oleh Desa Pakraman Katung, sehingga desa pakraman Katung berhak untuk tanah tersebut, siapapun yang mau tinggal di tanah karang desa tersebut dia wajib menjadi anggota desa pakraman katung dan memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan awig-awig di desa pakraman Katung. 2. Saran 1. Tanah druwe desa yang antara lain meliputi tanah karang desa hendaknya tetap bisa dilestarikan dengan mengacu pada awig-awig sesuai dengan keberadaannya di masing-masing desa pakraman. 2. Hak untuk memilih agama atau keyakinan merupakan hak asasi manusia akan tetapi hendaknya juga dipahami sebagai krama desa Pakraman jika beralih agama dari agama hindu akan membawa konsekwensi kehilangan hak tertentu di desa pakraman.
DAFTAR PUSTAKA Bushar Muhamad, 1983, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita,Jakarta Dherana,Tjokorda Raka,1984, Desa Adat dan Awig-awig dalam Struktur Pemerintahan Bali Denpasar, Upada Sastra G. sebastianus dan Beny. K. Harman, 4 Maret 1996, Masalah Pertahanan Kapan berakhir,bali Post Gusti Sutha, 2001, Peranan Desa Adat dan Fungsi Masyarakat di Bali Denpasar I Ketut Artai dlm Gd Pudja, 1975, Perkawinan Menurut Hukum Hindu, Maya Sari Jakarta I Gusti Ngurah Tata Wiguna, 2009, Hak-hak atas tanah pada masa bali kuno, Udayana University Press, Denpasar Koesnoe,H.Moh.1992. Hukum Adat sebagai suatu model hukum,bandung, Bandar maju Mahadi, 1991, Uraian singkat tentang hukum adat, Bandung,Alumni Miall, 2002, Kedudukan,Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Raja Grafindo Sirtha I Nyoman, 8 Juli 2008, Dalam Konflik Adat di Bali, Udayana University Press,Denpasar, Bali Soehadi R., 2001, Penyelesaian sengketa tentang Tanah Sesudah Berlakunya UUPA, Usaha Nasional, Surabaya Soetardjo Kartohadikoesoemo, 2001, Desa Adat, university Suasthawa Dharmayuda I Made, prinsip-prinsip dasar dalam Penyelesaian Kasus adat, Bali Post, 21 Agustus 1996