BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESA PAKRAMAN KERAMAS DAN KESADARAN HUKUM. undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESA PAKRAMAN KERAMAS DAN KESADARAN HUKUM. undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan"

Transkripsi

1 1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESA PAKRAMAN KERAMAS DAN KESADARAN HUKUM 1.1. Deskripsi Desa Pakraman Keramas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab IV Pasal 18 mengamanatkan bahwa Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerahdaerah yang bersifat istimewa. Dalam suatu pemerintahan daerah dikenal adanya desa. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa memberikan definisi Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Desa Dinas dan Desa Adat. Desa dinas adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah

2 2 penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum, termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah camat, dan berhak melaksanakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa dinas dikepalai seorang kepala desa. Desa dinas biasanya terdiri dari beberapa banjar atau sekarang dikenal dengan dusun. Desa Adat dapat ditemukan dalam Peraturan Daerah No 6 Tahun 1986 Pada Pasal 1 huruf (e) yang menyatakan Desa Adat sebagai Desa Dresta adalah Kesatuan masyarakat Hukum Adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. 1 Sebelum penjajahan Belanda, di Bali telah dikenal beberapa istilah yang mempunyai hubungan dengan suatu desa adat, yaitu : Sima, Dresta, Lekita, Paswara, Awig-awig, Karaman atau karma dan Thani. Sima pada mulanya berarti patok atas batas suatu wilayah yang tidak tertulis dan berlaku dalam suatu masyarakat. Dresta pada mulanya berarti pandangan masyarakat mengenai suatu tatakrama pergaulan hidup. Lekita berarti catatan atau peringatan mengenai sesuatu kejadian di masyarakat. Paswara berarti suatu keputusan atau perintah raja mengenai suatu masalah dalam 1 I Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Di Propinsi Bali, PT. Upada Sastra, Denpasar, hal.18.

3 3 masyarakat. Karaman yang kemudian berubah menjadi Krama yang mulanya berarti kumpulan orang-orang tua (orang yang telah berumah tangga) dan berkembang menjadi kumpulan masyarakat, Thani berarti wilayah suatu desa. 2 Istilah tersebut terdapat pula dalam prasasti Bali Kuno dan dalam kesusastraan di Bali, dan yang paling dekat pengertiannya dengan desa adalah Sima dan Karaman atau Krama, oleh karena itu desa adat di Bali sebelumnya bernama desa-krama sedangkan anggota masyarakatnya disebut krama-desa yang sampai saat ini masih hidup dalam masyarakat Hindu di Bali. Dalam perkembangannya, istilah desa berkembang menjadi desa adat, sehingga pengertian adat dan Pakraman menjadi kabur. Selanjutnya dalam era reformasi di tahun 2003, istilah desa pakraman dikembalikan eksistensinya dan kembali lagi ke konsep aslinya, sehingga desa adat, pakraman dan dresta itu adalah satu dengan istilah yang berbeda. Desa adat merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat yang diikat oleh adat istiadat atau hukum yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat setempat. Disamping itu, desa adat diikat pula oleh tradisi dan tata krama. Tradisi merupakan kebiasaan luhur dari leluhur yang diwariskan secara turun temurun, sedangkan tata krama adalah etika pergaulan yang juga merupakan norma dalam kehidupan bermasyarakat. hal I Wayan Surpha, 2002, Seputar Desa Pakraman Dan Adat Bali, PT. OffsetBP, Denpasar,

4 4 Kesatuan masyarakat hukum telah diakui keberadaannya sejak dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 6 tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali, Peraturan Daerah tersebut telah diganti dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman, selanjutnya Perda tersebut diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2003 tentang Revisi Atas Perda Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman. Pasal 1 ayat (4) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman, menyatakan bahwa : Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata kraman pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terdapat beberapa unsur dari desa pakraman, antara lain : a. desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu dalam ikatan kahyangan tiga. b. desa pakraman memiliki wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. c. desa pakraman berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

5 5 Secara etimologis, desa pakraman berasal dari kata desa dan pakraman. Desa berasal dari kata dis yang artinya patokan atau petunjuk rohani. Sedangkan Pakraman berasal dari kata grama yang artinya Desa Jadi desa pakraman adalah suatu panguyuban umat Hindu ditingkat desa sebagai wadah bersama untuk mengamalkan ajaran agama Hindu yang dianutnya. Paguyuban yang disebut desa pakraman ini tidak memiliki hubungan struktural formal dengan sistem pemerintahan negara baik dari pemerintahan jaman kerajaan sampai pada jaman kemerdekaan ini. Desa pakraman adalah desa yang dilandasi oleh nilai-nilai religius. Tradisi di Bali mengakui Mpu Kuturan adalah arsitek desa pakraman kirakira abad ke 10 masehi. Desa pakraman ada dan berlanjut di atas nilai-nilai religius disamping nilai-nilai sosial kemasyarakatan, budaya dan ekonomi. Nilai-nilai religius tersebut bersumber pada ajaran agama Hindu Bali, yang telah mempunyai ciri dan identitas budaya itu sendiri. Ajaran yang abstrak tersebut dibumikan dalam bentuk desa pakraman. Ajaran agama Hindu isinya, desa pakraman wadahnya, agama Hindu mendapat nilai-nilai kongkrit didalam desa pakraman. Desa Pakraman mencakup unsur manusia (Pawongan), wilayah Desa (Palemahan) dan wilayah suci (Parahyangan). Desa pakraman sering juga disebut desa adat, jadi apa yang disebut desa adat dewasa ini sesungguhnya adalah desa pakraman. Desa Pakraman itu pada hahikatnya adalah pengejawantahan ajaran agama Hindu menata umatnya dalam suatu wilayah desa.

6 6 Dalam lontar Mpu Kuturan disebutkan bahwa Mpu Kuturan menyampaikan Raja Bali, berpegang teguh pada agama dalam menata kehidupan kerajaan. Dalam lontar Mpu Kuturan itu disebutkan pula bahwa Atas kehendak Sang Catur Warna mendirikan tempat pemujaan seperti Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem di desa Pakraman. Sebagaimana disebutkan dalam lontar Mpu Kuturan yang mendirikan desa pakraman adalah sang Catur Warna, ini berarti desa pakraman adalah wadah untuk mengembangkan empat profesi dan fungsi dalam rangka mewujudkan empat tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama, dan moksa. Desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang berhak mengurus atau mengelola rumah tangganya sendiri mempunyai konsekuensi untuk menetapkan seperangkat aturan atau ketentuan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan tentang praktek pengelolaan desa pakraman Letak Geografis Desa Pakraman Keramas Desa pakraman umumnya memiliki fungsi untuk menata dan mengatur kehidupan paguyuban dari warga desanya dalam hubungan dengan unsur-unsur yang menjadikan desa tersebut sebagai suatu desa adat, yaitu unsur warganya yang dinamakan Pawongan, unsur wilayah desanya yang dinamakan Palemahan dan unsur tempat-tempat pemujaan bagi warga desanya yang dinamakan Parhyangan, atau secara popular dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.

7 7 Desa Pakraman Keramas merupakan salah satu bagian dari wilayah kecamatan Blahbatuh kabupaten Gianyar, dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 kurang lebih dari 7979 jiwa, umumnya penduduk Desa Pakraman Keramas adalah bersifat homogen karena dari jumlah penduduknya ampir 95 % beragama hindu, dengan mata pencaharian sebagian besar bekerja pada sektor pertanian, yang memiliki luas wilayah 472 Ha, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : a. Sebelah utara : Desa Adat Pasdalem, Desa Adat Tedung b. Sebelah timur : Desa Adat Medahan c. Sebelah selatan : Segara d. Sebelah barat : Desa Adat Sema dan Patolan Luas wilayah Desa Pakraman Keramas adalah 472 Km2, yang terdiri dari 1 Desa Pakraman dan 6 Banjar Dinas (Monografi Desa Keramas Tahun 2010) Nama nama Banjar Dinas yaitu : 1. Banjar Dinas Biya 2. Banjar Dinas Gelgel 3. Banjar Dinas Palak 4. Banjar Dinas Lodpeken 5. Banjar Dinas Lebah Banjar Dinas Maspait. (Monografi Desa Keramas Tahun 2010).

8 Struktur Pemerintahan Desa Pakraman Keramas Peranan dan fungsi Desa Pakraman Keramas sangatlah penting terhadap taraf hidup warga masyarakatnya hal ini dapat dilihat pada apa yang sudah disediakan oleh desa pakraman kepada masyarakatnya seperti sarana dan prasarana LPD (lembaga Perkreditan Desa), Pasar dan semua itu tidak terlepas dari ketentuan Awig-awig Desa Pakraman Keramas. Desa Pakraman Keramas terdiri dari 6 (enam) banjar yaitu Banjar Maspait, Banjar Lebah, Banjar Lodpeken, Banjar Palak, Banjar Gelgel dan Banjar Bia. Desa Pakraman Keramas sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam ikatan Kahyangan tiga, maka dapat digambarkan bahwa Desa Pakraman Keramas memiliki pura kahyangan tiga yaitu Pura Puseh, Pura Desa dan 4 (empat) Pura Dalem, antara lain Pura Dalem Koripan, Pura Dalem Bia, Pura Dalem Agung, dan Pura Dalem Sakti. Struktur kelembagaan di Desa Pakraman Keramas disamping kelembagaan administratif pemerintahan desa dan kelembagaan dari desa adat atau pakraman, juga kelembagaan yang muncul atau yang didorong keberadaannya dari motif ekonomi, budaya, kesehatan, pendidikan dan sosial politik. Kelembagaan dari pemerintahan desa antara lain, Pemerintah Desa, BPD, LPM, PKK desa, PKK dusun dari pendidikan seperti, komite sekolah, dan sebagainya. Susunan Desa Pakraman Keramas dapat digolongkan kedalam susunan desa pakraman yang jenisnya bertingkat disebabkan bahwa di Desa Pakraman Keramas terdapat terdiri dari enam banjar dan pada masing-

9 9 masing banjar terdapat tempekan tiga sampai lima tempekan, di Desa Pakraman Keramas, tempekan tersebut diistilahkan dengan sebutan subak banjar. Keenam banjar tersebut jumlah tempekannya adalah banjar Maspait terdiri dari empat tempekan (subak banjar), banjar lebah terdiri dari tiga subak banjar, banjar Lodpeken terdiri dari tiga, subak banjar banjar Palak terdiri dari empat subak banjar, banjar Gelgel terdiri dari lima subak banjar, banjar Bia terdiri dari empat subak banjar. Dari masing-masing subak banjar jumlah angotanya kurang lebih dari 40 sampai 50 orang setiap subak banjar. Salah satu unsur penting terbentuknya masyarakat hukum adat menurut Barend Ter Haar adalah kelompok masyarakat hukum adat yang bertindak sebagai satu kesatuan kedalam maupun keluar. Kelompok masyarakat atau kelompok orang dalam desa pakraman inilah yang disebut unsur pawongan. Kelompok orang yang merupakan satu kesatuan dalam wadah desa pakraman itu disebut pakraman. Pakraman kata dasarnya adalah krama. Krama berasal dari rama yang artinya orang tua (orang yang sudah berkeluarga). Anggota desa pakraman adalah orang-orang yang sudah berkeluarga. 3 Anggota desa pakraman inilah yang lazim disebut dengan krama desa. Sistem pakraman di Bali sangatlah beraneka ragam, tetapi dalam garis besarnya dapat di kelompokan dalam dua gari besar, yaitu; a. Sistem pakraman berdasarkan ngemong karang ayahan; 3 I Ketut Sudantra, 2007, Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa Dalam Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa di Bali, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal.59-60

10 10 Sistem ini umumnya dianut pada desa pakraman yang masih yang sangat kuat pengaruh dari tanah adatnya. ngemong karang ayahan berati memegang atau menguasai tanah milik desa. Berdasarkan ini maka status keanggotaan desa pakraman akan di bedakan menjadi dua kelompok, yaitu; 1) Kelompok krama yang menguasai tanah milik desa sehingga dikenakan kewajiban (ayahan) penuh kepada desa. Kelompok krama ini disebut dengan krama pengarep atau dengan istilah lainnya sesuai dengan adat (dresta) setempat 2) Kelompok krama yang tidak menguasai tanah desa sehingga tidak di kenakan kewajiban penuh kepada desa. Kewajibankewajiban yang dikenakan terhadapa jenis ini bervariasi antara desa pakraman yang satu dengan desa pakraman yang lainnya sesuai dengan Awig-awig yang berlaku di desa tersebut. Kelompok krama ini disebut krama pengele, krama roban, krama sibakan, dan sebagainya. b. Sistem Pakraman berdasar mapikurenan Mapikurenan dapat diartikan sebagai berumah tangga. Berdasarkan sistem ini maka seseorang dapat dikatakan sudah masuk sebagai krama desa adalah apabila yang bersangkutan atau seseorang sudah berumah tangga (kawin) dalam sistem ini tidak ada perbedaan status krama desa seperti dalam sistem ngemong karang ayahan, sehingga semua krama desa

11 11 mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap desa. dalam sistem ini seseorang anak (laki-laki/sentana rajeg) yang telah kawin, secara otomatis menggantikan kedudukan orang tuanya sebagai krama desa. Apabila dalam satu keluarga jumlah anak laki-lakinya memiliki lebih dari satu orang anak laki-laki, maka yang secara otomatis menggantikan untuk meneruskan ayahan orang tuanya adalah anak yang terlebih dahulu menikahlah yang mengganti kewajiban orang tuanya., sedangkan anak lainnya yang belakangan kawin ngayahang ayahannya sendiri sebagai krama desa yang lahir secara otomatis setelah ia kawin. Pada umumnya desa pakraman di Bali, krama dianggap masuk sebagai anggota desa atau tedun ngayahin / tuun ngayah ketika krama tersebut melaksanakan kewajiban desa/banjar) apabila krama telah menikah. Namun waktunya diatur Awig-awig desa yang bersangkutan. Ada desa yang mengggunakan hitungan bulan (sasih) seperti 3 (tiga) atau 6 (enam) bulan setelah perkawinan dilangsungkan. Demikian pula dalam Awig-awig Desa Pakraman Keramas Pawos 8 Penemayan tedun dados karma desa atau banjar 6 (enam) bulan (nem sasih sesampun upacara pawidhi-widhana). System keanggotaan di Desa Pakraman Keramas, didasarkan pada sistem mapikuren, walaupun keberadaan tanah karang desa masih cukup kuat. Pawos 5 kaping (1) Awig-awig Desa Pakraman Keramas, krama desa inggih punika kula warga sane maagama hindu, ngamong karang desa, utawi kulawarga sane maagama hindu jumenek ngenahin karang gunakaya

12 12 wiadin medunungan ring sejoroning pelemahan desa adat keramas (karma desa merupakan keluarga yang beragama hindu yang menempati tanah desa atau tanah milik pribadi atau numpang dalam wilayah Desa Pakraman Keramas. Sistem pemerintahan Desa Pakraman Keramas menganut sistem pemerintahan tunggal, yaitu dipimpin oleh seorang bendesa, yang dibantu oleh petajuh, penyarikan, petengen, kasinoman, dan kelian-kelian banjar. Prajuru Desa Pakraman Keramas di pilih melalui paruman agung (rapat yang di hadiri oleh seluruh warga desa). Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman, tugas desa pakraman antara lain : 1. Membuat Awig-awig; 2. Mengatur krama desa; 3. Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa; 4. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan; 5. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan "paras-paros, sagilik-saguluk, salunglung-sabayantaka" (musyawarah mufakat); 6. Mengayomi krama desa.

13 13 Dalam Pasal 6 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman, menyebutkan wewenang desa pakraman antara lain : 1. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan Awig-awig dan adat kebiasaan setempat; 2. turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana; 3. melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman. Aturan tersebut berkembang dan hidup di dalam kehidupan masyarakat dan diterima dalam masyarakat sebagai suatu keharusan oleh anggota masyarakat. Mereka menganggap akan pentingnya suatu pembatasan, dikarenakan pada suatu kehidupan yang bebas tanpa batas tidak dikenal di dalam kehidupan bermasyarakat, maka masyarakat sangat dipandang perlu adanya pembatasan guna ketertiban kehidupannya dan terselenggaranya kepentingan anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya Awig-awig Desa Pakraman Keramas Desa Pakraman di Bali memiliki ciri-ciri yang bersifat khusus dan tidak dijumpai pada jenis masyarakat hukum adat lainnya. Ciri khusus tersebut berkaitkan dengan landasan filosifis ajaran agama hindu yang di

14 14 sebut dengan konsep Tri Hita Karana yang menjiwai kehidupan masyarakat hukum adat di Bali. Tri Hita Karana secara literlijk berarti tiga (tri) penyebab (karana) kebahagian (hita). Dalam keyakinan umat Hindu di Bali, kesejahteraan umat manusia di dunia ini akan dapat dicapai apabila terjadi keharmonisan hubungan antara unsur-unsur Tri Hita Karana tersebut, yakni: a. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa; b. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan sesama; c. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan dengan alam semesta. Hubungan tersebut secara kongkret dapat dilaksanakan dengan suasana tertib, aman dan damai (trepti, sukerta, sekala niskala), dan miliki perangkat aturan adat yang ada dalam masyarakat hukum adat di Bali disebut dengan Awig-awig. 4 Sama halnya didalam sebuah negara yang memiliki undang-undang atau hukum dasar yang mengatur kehidupan warganya dan sebuah organisasi yang memiliki anggaran dasar rumah tangga yang digunakan sebagai pedoman dalam menjalankan organisasinya, desa pakraman juga merupakan sebuah lembaga adat yang mempunyai anggaran dasar rumah tangga sendiri. Desa pakraman di Bali memiliki sebuah aturan adat yang digunakan sebagai aturan khusus untuk mengatur kehidupan masyarakat 4 I Ketut Sudantra, 2001, Pola Penyelesaian Persoalan-Persoalan Hukum Oleh Desa Adat Dinamika Kebudayaan III (1) Lembaga Penelitian Universitas Udayana, Denpasar, hal.2.

15 15 adat dalam wilayah kehidupan desa pakraman diluar kehidupan desa dinas yang berpedoman pada hukum nasional/negara. Awig-awig berasal dari kata wig yang artinya rusak sedangkan awig artinya tidak rusak atau baik. Jadi Awig-awig dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi baik. Secara harfiah Awig-awig memiliki arti suatu ketentuan yang mengatur tata krama pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang ajeg di masyarakat. 5 Kehidupan masyarakat di Bali tersusun dalam satu kesatuan desa adat (desa pakraman) yang mempunyai hukum sendiri yang disebut Awigawig. Setiap desa adat mempunyai Awig-awig, yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana (tiga dasar kebahagian) yakni Parhyangan, Palemahan, Pawongan. 6 Konsepsi inilah yang dituangkan kedalam aturan-aturan baik secara tertulis maupun tidak tertulis sehingga menimbulkan suatu pengertian, bahwa Awig-awig adalah peraturan-peraturan hidup bersama bagi krama di desa adatnya, untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib, dan sejahtera di desa adat. Awig-awig itu memuat aturan-aturan dasar yang menyangkut wilayah adat, krama desa adat, keagamaan serta sanksi. Awigawig desa adat, merupakan hukum adat yang mempunyai fungsi untuk 5 I Wayan Surpa, Op.cit., hal I Nyoman Sirtha, 2002, Paper Presentation : Socialization Program on Bali Cultural Heritage Awareness (Dialogue and Campaign : Temu wicara Kepedulian Pelestarian Warisan Budaya Bali), Bali Kuna, Denpasar, hal. 4.

16 16 mengatur dan mengendalikan prilaku warga masyarakat dalam pergaulan hidupnya guna mencapai ketertiban dan ketentraman masyarakat. Selain itu Awig-awig juga berfungsi untuk mengintegrasikan warga masyarakat dalam suatu persatuan dan kesatuan yang hidup bersama, sedangkan arti penting Awig-awig adalah merupakan pengikat persatuan dan kesatuan krama desa guna menjamin kekompakan dan keutuhan dalam manyatukan tujuan bersama mewujudkan kehidupan yang aman, tertib, dan sejahtera. Pasal 1 angka (11) Perda Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman menyatakan : Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar adat yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan Dharma Agama di desa pakraman atau banjar pakraman masingmasing. Berdasarkan pengertian Awig-awig tersebut di atas, terdapat karakteristik Awig-awig. Adapun karakteristik yang dapat ditemui dalam Awig-awig, adalah : 1. Bersifat Sosial Religious Untuk membuat sebuah Awig-awig harus menentukan hari baik, waktu, tempat dan orang suci yang akan membuatnya, hal ini dimaksudkan agar Awig-awig itu memiliki kharisma dan jiwa/taksu. Awig-awig yang ada di desa Pakraman tidak saja mengatur masalah Bhuwana Alit (kehidupan sosial) tapi juga mengatur Bhuwana Agung (kehidupan alam semesta). Hal inilah

17 17 yang mendorong masyarakat Bali sangat percaya dan yakin bahwa Awig-awig ataupun pararem tidak saja menimbulkan sanksi sekala (lahir) juga sanksi niskala (batin). 2. Bersifat Konkret Hukum adat mengandung prinsip yang serba konkret, nyata, jelas, dan bersifat luwes. Kaedah hukum adat dibangun berdasarkan asas pokok saja, sedangkan pengaturan yang bersifat detail diserahkan pada pengolahan asas-asas pokok itu dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat. Jadi dari sini akan muncul peraturan adat lain seperti pararem sebagai aturan tambahan yang berisi petunjuk pelaksana, aturan tambahan, dan juga bisa saja sanksi tambahan yang belum ada, sudah tidak efektif atau belum jelas pengaturannya dalam Awig-awig. 3. Bersifat Dinamis Hukum adat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Ketika masyarakat berubah karena perkembangan jaman, hukum adat ikut berkembang agar mampu mengayomi warga masyarakat dalam melakukan hubungan hukum dengan sesamanya. 4. Bersifat Kebersamaan atau Komunal Dalam Hukum Adat Bali tidak mengenal yang namanya hakim menang kalah, namun yang ada adalah hakim perdamaian. karena hukum adat Bali lebih mementingkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan. Setiap individu mempunyai arti penting di dalam

18 18 kehidupan bermasyarakat, yang diterima sebagai warga dalam lingkungan sosialnya. Dengan demikian, hukum adat menjaga keseimbangan kepentingan bersama dengan kepentingan pribadi. Dalam Awig-awig desa Pakraman menjaga keseimbangan tiga aspek kehidupan manusia merupakan hal terpenting serta inilah yang membedakan Awig-awig dengan hukum adat lainnya. Masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat yang memiliki sifat komunal dan kekeluargaan dalam kehidupan kesehariannya, artinya manusia menurut hukum adat setiap individu mempunyai arti penting di dalam kehidupan bermasyarakat mempunyai ikatan yang erat, rasa kebersamaan ini meliputi seluruh lapisan hukum adat. Karakteristik lainnya dari Awig-awig yakni tidak seperti hukum nasional atau hukum barat yang jarang mengakomodir dimensi sosiologis, hukum adat sebaliknya lebih mengakomodir dimensi sosiologis. Dengan demikian, dalam pembangunan hukum nasional, hukum adat menjadi bahanbahan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan lembaga-lembaga hukum adat seperti lembaga keamanan tradisional yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dapat digunakan dalam penegakan hukum. Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam

19 19 pelaksanaan Tri Hita Karana, sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama desa pakraman/banjar pakraman masing-masing. Awig-awig tertulis umumnya memuat hal-hal pokok saja. Ketentuan lebih lanjut sebagai penjabaran Awig-awig dituangkan dalam Perarem (keputusan rapat yang memiliki kekuatan hukum mengikat, baik yang merupakan penjabaran dari susbtansi Awig-awig yang sudah ada maupun aturan hukum baru yang belum diatur dalam Awig-awig). Dari definisi tersebut dapat ditegaskan bahwa desa pakraman dan Awig-awig merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Ada desa pakraman berarti ada Awig-awig. Awig-awig ini menjadi bagian dari hukum adat Bali yang bersumber serta dilandasi oleh ajaran-ajaran agama Hindu dan tradisi-tradisi yang hidup dalam masyarakat. Pasal 7 Perda No 6 Tahun 1986 mengatur : 1. Setiap desa adat agar memiliki Awig-awig tertulis, 2. Awig-awig desa adat tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Pasal 8 Pearuran daerah Nomor 6 Tahun 1986 mengatur : 1. Awig-awig desa adat dibuat dan disahkan oleh krama desa adat, 2. Awig-awig desa adat dicatatkan di Kantor Bupati/Walikota Madya Kepala DaerahTingkat II yang bersangkutan.

20 20 Pasal 9 mengatur Sanksi yang diatur dalam Awig-awig tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan rasa keadilan dalam masyarakat. Dalam penjelasan Pasal 8 disebutkan prosedur pembuatan Awig-awig desa adat. Awig-awig desa adat digarap oleh desa adat yang bersangkutan sampai terbentuk rancangan. Rancangan Awig-awig tersebut kemudian disampaikan kepada Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan untuk mendapatkan persetujuan. Setelah mendapat persetujuan Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan barulah Awig-awig desa adat tersebut disahkan oleh krama adat. Penjelasan Pasal 9, dalam melaksanakan sanksi Awig-awig supaya dilaksanakan secara bertahap, bersifat mendidik, dan tetap menjaga kesucian wilayah desa adat yang bersangkutan. Pengaturan tentang Awig-awig ditemukan di Pasal 11 yang mengatur (1) Setiap desa Pakraman menyuratkan Awig-awignya. (2) Awig-awig desa Pakraman tidak boleh bertentangan dengan agama, Pancasila, UUD 1945, dan hak asasi manusia. Pasal 12 mengatur (1) Awig-awig desa Pakraman dibuat dan disahkan oleh krama desa pakraman melalui paruman desa Pakraman. (2) Awig-awig desa pakraman dicatatkan di kantor Bupati/Wali Kota masing-masing.

21 21 Awig-awig dibuat dan ditetapkan oleh krama desa berdasarkan kesepakatan bersama dan ditaati oleh krama desa itu sendiri. Yang terpenting dari Awig-awig ini merupakan pengikat persatuan dan kesatuan krama desa guna menjamin kekompakan dan keutuhan dalam menyatukan tujuan bersama, mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib, dan sejahtera demi kedamaian desa. Awig-awig merupakan aturan pokok yang mengatur pergaulan warganya dalam menciptakan suasana aman, damai dan rukun. Awig-awig Desa Pakraman Keramas terdiri dari 8 sarga (bab) dan 88 pawos (pasal), yang dapat dirinci sebagai berikut : a. Sarga I indik Aran Lan Wawidangan Desa, terdiri atas 2 pawos b. Sarga II indik Patitis Lan Pamikukuh, terdiri atas 2 pawos c. Sarga III indik Sukerta Tata Krama, terdiri atas 6 palet dan 32 pawos d. Sarga IV indik Sukerta Tata Agama, terdiri atas 5 palet dan 25 pawos e. Sarga V indik Sukerta Tata Pawongan, terdiri atas 4 palet dan 21 pawos f. Sarga VI indik Wicara Lan Pamidana, terdiri atas 2 palet dan 3 pawos g. Sarga VII indik Nguwah Nguwuhin Awig-awig, terdiri atas 2 pawos h. Sarga VIII indik Pamuput, terdiri atas 1 pawos

22 22 Bentuk-bentuk pelanggaran adat yang terdapat dalam Awig-awig Desa Pakraman Keramas tersebar dalam pawos-pawos pada setiap bab yaitu bab (sarga) mengenai sukerta tata Pakraman/pawongan, palemahan, dan parhyangan Deskripsi Kesadaran Hukum Masyarakat Definisi Kesadaran Hukum Secara harfiah kata kesadaran berasal dari kata sadar, yang berarti insyaf, merasa, tahu dan mengerti. Jadi, kesadaran adalah keinsyafan atau merasa mengerti atau memahami segala sesuatu. Kesadaran berarti tidak akan terlepas dari masalah psikis. Psikis merupakan totalitas segala peristiwa kejiwaan baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Kesadaran berkaitan pula dengan manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. Dengan kesadaran yang dimiliki oleh setiap individu, maka ia dapat mengendalikan diri atau menyesuaikan diri pada setiap kesempatan serta dapat menempatkan dirinya sebagai individu dan anggota masyarakat. Sebagai individu ia akan mengetahui dan memperhatikan dirinya sendiri, sedangkan sebagai anggota masyarakat, ia akan mengadakan kontak dengan orang lain sehingga timbul interaksi diantara mereka. Berdasarkan pengertian tersebut, maka kesadaran merupakan sikap/perilaku mengetahui atau mengerti dan taat pada aturan serta

23 23 ketentuan perundang-undangan yang ada. Selain itu juga, kesadaran dapat diartikan sebagai sikap/perilaku mengetahui atau mengerti dan taat pada adat istiadat serta kebiasaan hidup dalam masyarakat. Dengan demikian kesadaran adalah suatu proses kesiapan diri untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, menanggapi hal tertentu dengan didasari atas pengertian, pemahaman, penghayatan dan pertimbangan-pertimbangan nalar dan moral disertai kebebasan sehingga dapat dipertanggunmgjawabkan secara sadar. Sementara itu, untuk merumuskan pengertian hukum tidaklah mudah, karena hukum itu meliputi banyak segi dan bentuk sehingga satu pengertian tidak mungkin mencakup keseluruhan segi dan bentuk hukum. Selain itu, setiap orang atau ahli akan memberikan arti yang berlainan sesuai dengan sudut pandang masing-masing yang akan menonjolkan segi-segi tertentu dari hukum. Utrecht merumuskan pengertian hukum sebagai himpunan peraturanperaturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati. Affandi mengatakan bahwa hukum adalah kumpulan peraturan yang harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat, apabila mengabaikan peraturan tersebut maka kepada pelanggar harus dijatuhi hukuman. Berdasarkan kedua pendapat di atas, penulis memandang bahwa hukum itu memuat aturan mengenai hal yang layak dan tidak layak untuk

24 24 dilakukan menurut pendapat umum yang seharusnya ditaati dan dipatuhi.selain itu juga, hukum mengatur segala tingkah laku manusia di dalam pergaulannya di masyarakat. Berdasarkan pengertian hukum tersebut di atas, pada dasarnya terdapat titik persamaannya yaitu bahwa di dalam hukum terdapat beberapa unsur, diantaranya : a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat; b. Peraturan itu dibuat dan ditetapkan oleh badan-badan resmi yang berwajib; c. Peraturan itu bersifat memaksa; d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas. Hukum berlaku di masyarakat dan ditaati oleh masyarakat karena hukum memiliki sifat memaksa dan mengatur. Hukum dapat memaksa seseorang untuk menaati tata tertib yang berlaku di dalam masyarakat dan terhadap orang yang tidak menaatinya diberikan sanksi yang tegas. Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum atau efektivitas hukum. Dengan kata lain kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Agar terjadi suatu keserasian yang profesional antara hukum yang diterapkan dengan kesadaran hukum dari masyarakat, maka peraturan itu sendiri harus rasional dan dilaksanakan dengan prosedur yang

25 25 teratur dan wajar. Kesadaran hukum merupakan interdepedensi mental dan moral yang masing-masing tergantung pada egonya manusia. Kesadaran hukum merupakan keadaan dimana tidak terdapatnya benturan-benturan hidup dalam masyarakat. Masyarakat dalam kehidupan seimbang, serasi dan selaras. Kesadaran hukum diterima sebagai kesadaran bukan diterima sebagai paksaan, walaupun ada pengekangan dari luar diri manusia atau masyarakat sendiri dalam bentuk perundang-undangan. Di samping itu juga, Purbacaraka dan Sorjono Soekanto mengartikan kesadaran hukum sebagai keyakinan/kesadaran akan kedamaian pergaulan hidup yang menjadi landasan regel mating (keajegan) maupun beslissigen (keputusan) itu dapat dikatakan sebagai wadahnya jalinan hukum yang mengendap dalam sanubari manusia. Kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu, apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan dengan membedakan antara hukum dengan tidak hukum, antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak dilakukan. Kesadaran terhadap suatu aturan yang lahir dan hidup serta mengikat pada kehidupan masyarakat adalah merupakan suatu syarat dalam menciptakan suatu hubungan kehidupan masyarakat yang tertib, aman, dan tentram, hal ini mengingat masyarakat merupakan suatu proses kehidupan yang berkembang sehingga aturan-atuaran itu hidup dan di harapkan dapat menyesuaikan terhadap perkembangan masyarakat itu sendiri.

26 26 Soerjono Soekanto menyatakan kesadaran hukum adalah sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan. 7 Sudikno Mertokusumo juga mempunyai pendapat tentang pengertian kesadaran hukum, yaitu kesadaran tentang apa yang seyogyanya \ lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum masingmasing terhadap orang lain. 8 Paul Scholten juga mempunyai pendapat tentang arti kesadaran hukum yaitu kesadaran hukum diartikan sebagai kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan dimana membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak dilakukan. 9 7 Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Edisi Pertama, CV. Rajawali, Jakarta, hal, Sudikno Mertokusumo, 1981, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, Cetakan Pertama, Edisi Pertama, Liberty, Yogyakarta, hal. 3 9 Paul Scholten: Algemeen Deen, Hlm. 166 N.V. Uitgeversmaatschappij W.E.J Tjeenk Willink 1954, Kutipan diambil dari buku Sudikno Mertokusumo, 1981, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, Cetakan Pertama, Edisi Pertama, Liberty, Yogyakarta, hal. 2

27 27 Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, jelas bahwa kesadaran hukum mempunyai peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat Indikator Kesadaran Hukum Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat terdapat empat indikator yang dijadikan tolok ukur yaitu : 1. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness) 2. Pemahaman Hukum (law acquaintance) 3. Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (legal attitude) 4. Pola-pola perikelakuan hukum (legal behaviour). 10 Setiap indikator tersebut menunjukkan tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. Indikatorindikator dari kesadaran hukum hanyalah dapat terungkapkan apabila seseorang mengadakan penelitian secara seksama terhadap gejala tersebut. Indikator-indikator tersebut sebenarnya merupakan petunjuk-petunjuk yang relatif nyata tentang adanya taraf kesadaran hukum tertentu. Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut erat kaitannya dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Disamping itu pula, pengetahuan hukum juga berkaitan dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah diundangkan. 10 Ibid., hal. 140.

28 28 Pemahaman hukum diartikan sebagai sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan kata lain, pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan suatu peraturan dalam hukum tertentu serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Dalam hal pemahaman hukum, tidak disyaratkan seseorang harus terlebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan tertulis yang mengatur suatu hal. Akan tetapi yang dilihat disini adalah bagaimana persepsi mereka dalam menghadapi berbagai hal yang ada kaitannya dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Pemahaman ini biasanya diwujudkan melalui sikap mereka terhadap tingkah laku sehari-hari. Sikap hukum diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan masyarakat terhadap hukum yang sesuai nilai-nilai yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya. Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena di sini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum.

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Subak sebagai bagian dari budaya Bali merupakan organisasi

Lebih terperinci

PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI

PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI Oleh : Pande Putu Indra Wirajaya I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari I Gusti Ngurah Dharma Laksana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

Lebih terperinci

OLEH Dr. NI NYOMAN SUKERTI, SH.,MH. BAGIAN HUKUM & MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM

OLEH Dr. NI NYOMAN SUKERTI, SH.,MH. BAGIAN HUKUM & MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM OM SWASTI ASTU OLEH Dr. NI NYOMAN SUKERTI, SH.,MH. BAGIAN HUKUM & MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA BH Primer 1. Norma atau kaedah dasar yakni Pembukaan UUD 1945. 2. Peraturan dasar (BT UUD

Lebih terperinci

EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI

EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI Oleh : Agus Purbathin Hadi Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA) Kelembagaan Desa di Bali Bentuk Desa di Bali terutama

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 97 Peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK

KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK 1 KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK oleh Ni Putu Ika Nopitasari Suatra Putrawan Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Tri Hita Karana is a basic concept that have been

Lebih terperinci

TEMBARAN DAERAH NOMOR:3 TAHUN:1988 SERI:DNO'3 PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI TENTANG

TEMBARAN DAERAH NOMOR:3 TAHUN:1988 SERI:DNO'3 PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI TENTANG TEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR:3 TAHUN:1988 SERI:DNO'3 PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 06 TAHUN 1986 TENTANG KEDUDUKAN, FUNGSI DAN PERANAN DESA ADAT SEBAGAI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA, SUMBER PENDAPATAN DESA, KERJA SAMA DESA, LEMBAGA ADAT, LEMBAGA KEMASAYARATAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa penting, yaitu lahir, menikah dan meninggal dunia yang kemudian akan menimbulkan akibat hukum tertentu.

Lebih terperinci

PROFIL DESA PAKRAMAN BULIAN. Oleh: I Wayan Rai, dkk Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja

PROFIL DESA PAKRAMAN BULIAN. Oleh: I Wayan Rai, dkk Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja PROFIL DESA PAKRAMAN BULIAN Oleh: I Wayan Rai, dkk Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja Abstrak Program IPTEKSS bagi Masyrakat (IbM) di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten

Lebih terperinci

KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI

KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI Oleh: A.A Gede Raka Putra Adnyana I Nyoman Bagiastra Bagian Hukum Dan Masyarakat ABSTRACT The

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI KARTANEGARA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER Oleh : Drs. I Ketut Rindawan, SH.,MH. ketut.rindawan@gmail.com Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra Abstrak

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Perkreditan Desa diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dan perpindahan lokasi kerja dari satu tempat ke tempat lain (Sears dalam

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dan perpindahan lokasi kerja dari satu tempat ke tempat lain (Sears dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu pekerjaan dengan tingkat tekanan yang tinggi adalah auditor internal. Pekerjaan ini memiliki beban kerja yang berat, batas waktu pekerjaan yang

Lebih terperinci

PERATURAN DESA NITA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA NITA,

PERATURAN DESA NITA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA NITA, PERATURAN DESA NITA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA NITA, Menimbang : a. bahwa untuk melestarikan nilai adat-istiadat tumbuh, berkembang serta dipelihara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 24 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DALAM WILAYAH

Lebih terperinci

JUAL-BELI TANAH PEKARANGAN DESA (PKD) (STUDI KASUS DI DESA PEKRAMAN PENESTANAN, KECAMATAN UBUD, KABUPATEN GIANYAR)

JUAL-BELI TANAH PEKARANGAN DESA (PKD) (STUDI KASUS DI DESA PEKRAMAN PENESTANAN, KECAMATAN UBUD, KABUPATEN GIANYAR) JUAL-BELI TANAH PEKARANGAN DESA (PKD) (STUDI KASUS DI DESA PEKRAMAN PENESTANAN, KECAMATAN UBUD, KABUPATEN GIANYAR) Oleh Made Adi Berry Kesuma Putra A.A. Gde Oka Parwata A.A. Istri Ari Atu Dewi Bagian Hukum

Lebih terperinci

- 1 - MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

- 1 - MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA - 1 - SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2018 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN LEMBAGA ADAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2007

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2007 BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD. 7 2008 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB IV PENERAPAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA. Undang-Undang Dasar 1945 mengakui keberadaan Masyarakat Hukum

BAB IV PENERAPAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA. Undang-Undang Dasar 1945 mengakui keberadaan Masyarakat Hukum BAB IV PENERAPAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Penerapan Hak Masyarakat Hukum Adat Undang-Undang Dasar 1945 mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan menjamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan dapat merubah status kehidupan manusia dari belum dewasa menjadi dewasa atau anak muda

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2007 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2007 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2007 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN, PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 54 TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 54 TAHUN 2008 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 54 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I BALI, Menimbang : a. bahwa kepariwisataan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 3 LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 3 LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 3 TAHUN 2007 Menimbang : TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KERINCI,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG NOMOR 26 TAHUN 2006 T E N T A N G PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PERUBAHAN STATUS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PERUBAHAN STATUS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PERUBAHAN STATUS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG, Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB II SEJARAH PEMERINTAHAN DESA DI BALI

BAB II SEJARAH PEMERINTAHAN DESA DI BALI BAB II SEJARAH PEMERINTAHAN DESA DI BALI 2.1. Sejarah Pemerintahan Desa Adat di Bali Secara etimologis kata desa berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu deça, seperti Dusun, Desi, Negara, Negeri, Nagaro,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI KLUNGKUNG, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2006 NOMOR 18

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2006 NOMOR 18 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2006 NOMOR 18 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 18 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SELAYAR NOMOR 11 TAHUN 2006 T E N T A N G SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SELAYAR NOMOR 11 TAHUN 2006 T E N T A N G SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SELAYAR NOMOR 11 TAHUN 2006 T E N T A N G SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SELAYAR, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

2.4 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia,

2.4 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia, 2.4 Uraian Materi 2.4.1 Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila berarti konsepsi dasar tentang kehidupan yang

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN ADAT ISTIADAT SERTA LEMBAGA ADAT

Lebih terperinci

KEPALA DESA DEMPET KECAMATAN DEMPET KABUPATEN DEMAK PERATURAN DESA DEMPET NOMOR 06 TAHUN 2O16 TENTANG

KEPALA DESA DEMPET KECAMATAN DEMPET KABUPATEN DEMAK PERATURAN DESA DEMPET NOMOR 06 TAHUN 2O16 TENTANG KEPALA DESA DEMPET KECAMATAN DEMPET KABUPATEN DEMAK PERATURAN DESA DEMPET NOMOR 06 TAHUN 2O16 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DEMPET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 14 TAHUN 2007 SERI D ===============================================================

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 14 TAHUN 2007 SERI D =============================================================== LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 14 TAHUN 2007 SERI D =============================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN

Lebih terperinci

Abstract. Balinese society are bound by two village system, they are village

Abstract. Balinese society are bound by two village system, they are village MENINGKATNYA INTENSITAS KONFLIK DESA PAKRAMAN DI BALI Anak Agung Istri Ngurah Dyah Prami Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana 1021005005 E-mail: dyahprami@yahoo.co.id

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang : a. bahwa adat istiadat dan Lembaga Adat

Lebih terperinci

KEPUTUSAN RAPAT ANGGOTA BANJAR DHARMA AGUNG KUPANG NOMOR : 1/KEP/R.ANGG/2013 TENTANG ANGGARAN DASAR BANJAR DHARMA AGUNG KUPANG

KEPUTUSAN RAPAT ANGGOTA BANJAR DHARMA AGUNG KUPANG NOMOR : 1/KEP/R.ANGG/2013 TENTANG ANGGARAN DASAR BANJAR DHARMA AGUNG KUPANG KEPUTUSAN RAPAT ANGGOTA BANJAR DHARMA AGUNG KUPANG NOMOR : 1/KEP/R.ANGG/2013 TENTANG ANGGARAN DASAR BANJAR DHARMA AGUNG KUPANG RAPAT ANGGOTA BANJAR DHARMA AGUNG KUPANG, Menimbang : a. Bahwa sadar akan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Pemerintahan Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hukum tentu saja dianggap melanggar hukum sehingga mendapat ancaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hukum tentu saja dianggap melanggar hukum sehingga mendapat ancaman 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum berisi perintah dan larangan. Hukum memberitahukan kepada kita perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang bila dilakukan akan mendapat ancaman berupa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASIR NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASIR NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASIR NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASIR Mengingat

Lebih terperinci

LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEKADAU,

LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEKADAU, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEKADAU NOMOR 10 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEKADAU, Menimbang : a. bahwa dalam upaya peningkatan

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG KODE ETIK DAN KODE PERILAKU PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERANAN AWIG-AWIG DALAM MELESTARIKAN ADAT DAN BUDAYA DI BALI

PERANAN AWIG-AWIG DALAM MELESTARIKAN ADAT DAN BUDAYA DI BALI PERANAN AWIG-AWIG DALAM MELESTARIKAN ADAT DAN BUDAYA DI BALI Oleh : I Ketut Rindawan ketut.rindawan@gmail.com Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univesitas Dwijendra Abstrak Bali sebagai daerah pariwisata

Lebih terperinci

PENGARUH UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP OTONOMI DESA ADAT DI BALI

PENGARUH UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP OTONOMI DESA ADAT DI BALI PENGARUH UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP OTONOMI DESA ADAT DI BALI Oleh : Drs. I Ketut Rindawan, SH., MH ketut.rindawan@gmail.com Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun

Lebih terperinci

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 64 TAHUN 2016 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 64 TAHUN 2016 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 64 TAHUN 2016 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang :

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NO. : 12, 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BUPATI KEPAHIANG PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPAHIANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI KEPAHIANG PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPAHIANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI KEPAHIANG PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPAHIANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERLAKUAN DAN PENERAPAN HUKUM ADAT REJANG KEPAHIANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 127 ayat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA BATU

PEMERINTAH KOTA BATU PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang : bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DISIPLIN ITU INDAH

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DISIPLIN ITU INDAH JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DISIPLIN ITU INDAH Makna Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Apa informasi yang kalian peroleh

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN

PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN S A L I N A N PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PONOROGO, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG BADAN PERWAKILAN DESA (BPD) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG BADAN PERWAKILAN DESA (BPD) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG BADAN PERWAKILAN DESA (BPD) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS, Menimbang : a. bahwa dengan telah ditetapkannya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat

Lebih terperinci

PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Setelah mempelajari, menelaah, dan mempertimbangkan

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, - 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN KABUPATEN DAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN KABUPATEN DAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN KABUPATEN DAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa memperhatikan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir,

BAB I PENDAHULUAN. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan

Lebih terperinci

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 13 TAHUN 2000 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA ADAT DAN/ATAU KEMASYARAKATAN DI DESA

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 13 TAHUN 2000 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA ADAT DAN/ATAU KEMASYARAKATAN DI DESA BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 13 TAHUN 2000 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA ADAT DAN/ATAU KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG K E L U R A H A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH

PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH AN GANPERATURAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI DAN TATA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SUNGAI PENUH,

Lebih terperinci

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000)

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000) AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000) Perubahan kedua terhadap pasal-pasal UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Perubahan tahap kedua ini ini dilakukan terhadap beberapa

Lebih terperinci

P E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I

P E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I S A L I N A N P E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

BUPATI BANYUMAS PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BANYUMAS PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TI BAN SALINAN BUPATI BANYUMAS PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO NOMOR TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JENEPONTO,

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT Menimbang : PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA / KELURAHAN DALAM KABUPATEN TANJUNG JABUNG

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kualitatif penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

BAB V PENUTUP. kualitatif penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 82 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan dan dipadukan dengan data yang diperoleh dari kepustakaan, kemudian dianalisis dengan cara kualitatif penulis dapat mengambil

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA ADAT MELAYU JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa adat istiadat dan Lembaga

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA ~ 1 ~ SALINAN BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAYONG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG, PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PELESTARIAN ADAT ISTIADAT DAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA ADAT MELAYU KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 29 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 29 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 29 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang WALIKOTA BANJAR, : a. bahwa dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan kualitas

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Restu Rahayu Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan Raman Utara, Kabupaten Lampung Timur. Wilayah Kecamatan Raman Utara memiliki

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 39 Tahun : 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 39 Tahun : 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 39 Tahun : 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 26 TAHUN 2006 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 26 TAHUN 2006 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 26 TAHUN 2006 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 127 ayat (1) Undang-

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/PER/M.KOMINFO/12/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/PER/M.KOMINFO/12/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/PER/M.KOMINFO/12/2011 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

Lebih terperinci

PENGATURAN KEARIFAN LOKAL DALAM PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KEPARIWISATAAN BUDAYA BALI

PENGATURAN KEARIFAN LOKAL DALAM PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KEPARIWISATAAN BUDAYA BALI PENGATURAN KEARIFAN LOKAL DALAM PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KEPARIWISATAAN BUDAYA BALI Oleh I Nyoman Yatna Dwipayana Genta I Made Sarjana Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas

Lebih terperinci

ABSTRACT The Position Switch Religion of Krama Villager who Staying In the Village area at Katung Village Territory, Kintamani, Bangli

ABSTRACT The Position Switch Religion of Krama Villager who Staying In the Village area at Katung Village Territory, Kintamani, Bangli ABSTRACT The Position Switch Religion of Krama Villager who Staying In the Village area at Katung Village Territory, Kintamani, Bangli Pakraman village is a traditional law community unit which has a whole

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Meninbang : a. bahwa Negara mengakui

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO KUALA NOMOR 8 TAHUN 2007 T E N T A N G PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DAN KELURAHAN BUPATI BARITO KUALA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO KUALA NOMOR 8 TAHUN 2007 T E N T A N G PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DAN KELURAHAN BUPATI BARITO KUALA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO KUALA NOMOR 8 TAHUN 2007 T E N T A N G PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DAN KELURAHAN BUPATI BARITO KUALA, Menimbang : Mengingat : a. b. 1. 2. 3. 4. 5. bahwa

Lebih terperinci

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN SUSUNAN ORGANISASI PEMERINTAHAN DESA

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN SUSUNAN ORGANISASI PEMERINTAHAN DESA WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN SUSUNAN ORGANISASI PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DENPASAR, Menimbang : a. bahwa pemerintahan

Lebih terperinci

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 Membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan

Lebih terperinci