BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara tropis dan subtropis. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus, family Flaviviridae (Martina, 2009; Brook, 2010). DBD merupakan penyakit yang ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes aegypti (vektor primer) dan Aedes albopictus (vektor sekunder) (Banu, 2015). Virus dengue merupakan penyebab demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD) dan dengue shock syndrome (DSS). Virus dengue mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 (Nasronudin, 2007; Martina, 2009). Insiden penyakit DBD telah meningkat secara dramatis didunia dalam beberapa dekade terakhir. Lebih dari 2,5 miliar orang atau lebih dari 40 % dari populasi dunia berisiko demam berdarah. Pada awalnya DBD banyak menyerang anak-anak, tetapi pada saat ini kasus DBD terbanyak adalah kelompok umur >=15 tahun (Kemenkes, 2010; Nasronudin, 2007; Hidayatullaili, 2015). Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita DBD terbanyak di Asia Tenggara. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan desember tercatat penderita demam berdarah dengue (DBD) di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71,668 orang dan 641 diantaranya meninggal dunia. Sumatera Barat termasuk kedalam 10 daerah terbanyak kasus DBD tahun 2009. Banyaknya kematian atau keparahan disebabkan sulitnya mendeteksi akan terjadinya keparahan penyakit. Maka perlu dicari solusi untuk
memprediksi keparahan. (WHO, 2015; Brook, 2010; Seng, 2015; Kemenkes, 2010; Nasronudin, 2007; Aditama, 2015). Klasifikasi baru DBD dari organisasi kesehatan dunia (WHO) mengklasifikasikan presentasi klinis DBD menjadi tiga nilai keparahan (1) without warning sign (DD), (2) dengue with warning sign (DBD) dan (3) severe dengue (DS/DSS) (WHO, 2015; Elzinandes, 2015). Penderita dengue without warning sign, dengue with warning sign dan dengue severe memiliki gejala yang sama pada awal penyakit pada hari ke-2 dan ke-3 dan sangat sulit dibedakan. Perbedaannya dengan jelas diketahui baru pada hari ke-5 dimana pada dengue with warning sign dan dengue severe terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan kerusakan endotel. Kerusakan sel endotel vaskular hampir diseluruh pembuluh darah kecil ataupun pembuluh darah besar. Hal ini ditandai dengan perembesan plasma, nyeri perut, muntah berkepanjangan, terdapat akumulasi cairan, perdarahan mukosa, syok dan penurunan jumlah trombosit bahkan dibawah 100000/mm 3 melalui agregasi dan adhesi yang menyebabkan pemakaian berlebihan untuk membentuk sumbat trombosit. Hal ini sesuai dengan penelitian Yacoub (2014) yang menyatakan kalau korelasi lemah antara jumlah trombosit dengan perdarahan namun terdapat hubungan sangat kuat penurunan jumlah trombosit dengan kerusakan endotel. Disamping itu banyaknya endotel yang rusak menyebabkan dua hal bersamaan yaitu banyaknya pembentukan trombus dan perdarahan akibat trombosit yang terus terpakai hal ini diiringi dengan peningkatan hematokrit. Hal sebaliknya yang terjadi pada dengue without warning sign yang mana justru mengalami perbaikan atau penyembuhan pada hari ke-5 atau ke-6 (Rajepakse, 2011; Nasronudin, 2009; Yacoub, 2014).
Kerusakan endotel dan jumlah trombosit merupakan kriteria penting digunakan dalam penentuan dengue without warning sign dan dengue with warning sign atau indikator potensi keparahan oleh WHO. Dalam pedoman terbaru WHO, yang dikutip dari Elzinandes tahun 2015 dan Jayashree pada tahun 2015 yang menyatakan jumlah trombosit dan kerusakan endotel merupakan parameter kondisi klinis DBD tetapi sangat sulit untuk memprediksi dan menilai hal tersebut (Jayashree, 2011; Rajapakse, 2011; Elzinandes, 2015). Jumlah trombosit pada dengue with warning sign menunjukkan penurunan yang signifikan pada hari ke-5 atau hari ke-6 penyakit. Penurunan trombosit ini terutama diakibatkan oleh agregasi dan adhesi (teori agregasi dan adhesi sekunder) serta diiringi peningkatan perembesan plasma dan peningkatan hematokrik. Hal yang sangat erat kaitannya antara kerusakan dan aktivasi endotel dengan penurunan jumlah trombosit akibat peningkatan agregasi dan adhesi pada demam hari ke-5 penderita DBD yaitu peningkatan tissue factor (TF). (Nasronudin, 2007; Azin, 2012; Sauza, 2009; Yacoub, 2014). Oleh karena itu berbagai faktor aktivasi endotel seperti ekspresi molekul adhesi, agregasi dan reseptor juga dapat berfungsi sebagai biomarker memprediksi penyakit demam berdarah yang parah (Daisy, 2015) Pada DBD, tissue factor dihasilkan atau ditranskripsikan tinggi oleh sel endotel, monosit dan trombosit (masih perdebatan) setelah adanya interaksi antar sel salah satunya dalam proses menanggapi banyaknya agregasi dan adhesi trombosit dalam membentuk sumbat platelet pada jaringan yang rusak. Pada DBD, adhesi dan agregasi trombosit selain membentuk trombus juga merusak
endotel yaitu trombosit yang terdapat antigen yang justru akan meningkatkan kembali merusak endotel dan kemudian endotel mengekspresikan kembali tissue factor. Pada gelombang agregasi dan adhesi sekunder trombosit; tissue factor kembali dengan ekspresi yang lebih tinggi dari sebelumnya (pada gelombang agregasi primer) untuk membentuk trombus agar kuat dan mencegah kebocoran endotel yang berisiko untuk terjadinya perdarahan. Dalam mekanisme pembentukan trombus juga menghasilkan trombin. Trombin dapat mengaktifasi faktor agregasi dan adhesi yang berujung pada pemakaian trombosit dan aktifasi tissue factor yang lebih banyak. Mekanisme pembentukan bekuan abnormal akibat kerusakan seluruh endotel pembuluh darah dengan penggunaan trombosit yang berlebihan menyebabkan jumlah trombosit menurun drastis yang berakibat lanjut dapat menimbulkan DIC (Sherwood, 2014; Mackow, 2015). Signal peptide-cub-egf domain-containing protein 1 (SCUBE-1) merupakan suatu protein permukaan sel yang diekspresikan. Signal peptide-cub- EGF domain-containing protein 1 (SCUBE-1) diidentifikasi terdapat dalam pembuluh darah dan secara selektif diekspresikan oleh sel endotel dan trombosit yang teraktivasi. Signal peptide-cub-egf domain-containing protein 1 (SCUBE-1) diekspresikan pada saat terjadi inflamasi, hipoksia, dan trauma. Menurut penelitian Yang (2006) dan Verdiana 2012 SCUBE-1 yang tersimpan di dalam α-granul teraktivasi oleh trombin yang mempromotori adhesi dan agregasi trombosit ke endotel (Yang, 2006; Verdiana, 2012) Ekspresi SCUBE-1 dianggap sebagai penanda diagnostik dan prediktor untuk penyakit yang berdampak pada sel endotel dan trombosit yang berhubungan dengan pembentukan trombus. Signal peptide-cub-egf domain-containing
protein 1 (SCUBE-1) dapat dihubungkan dengan pembentukan trombus melalui agregasi dan adhesi sebagai respon gangguan vaskuler namun menurut penelitian Topcu 2015 mekanisme biologis SCUBE-1 pada pembentukan trombus masih belum diketahui dengan jelas (Topcu, 2015). Pada penelitian case control oleh Mentese pada tahun 2011 yang dilakukan pada penderita CCHF (Crimean congo hemoraghic fever) mengatakan bahwa tingkat SCUBE-1 pasien dengan perdarahan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa perdarahan (p=0,0001 ) dan berkorelasi dengan jumlah trombosit. Kemudian pasien yang meninggal tingkat SCUBE-1 lebih tinggi dari pada kontrol dan merupakan prediktor untuk kematian. Laporan dari Dai menyatakan kalau tingkat SCUBE-1 merupakan prognostik dari acute coronary syndromes dan acute ischemic stroke (Dai, 2008; Yang, 2014; Mentese, 2013). Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada hubungan salah satu molekul promotor adhesi dan agregasi trombosit yaitu ekspresi SCUBE-1 pada fase awal (pada hari ke-2 atau hari ke-3) penyakit DBD dengan ekspresi tissue factor pada hari ke-5 atau ke-6 penyakit sebagai penanda peningkatan kerusakan endotel yang memicu pemakaian trombosit melalui agregasi dan adhesi dalam membentuk banyaknya trombus bahkan DIC. Hal ini nantinya diharapkan bisa dijadikan marker untuk membedakan antara dengue without warning sign and dengue with warning sign pada awal penyakit tanpa harus menunggu hari berikutnya. Hal ini sesuai dengan temuan pada saat studi awal rata-rata pasien datang ke Puskesmas pada hari kedua atau ketiga dengan diagnosis DBD kemudian diberi obat kemudian pulang. Diantara pasien yang pulang ada yang mengalami perbaikan, tetapi jika parah atau bertambah buruk
kembali ke petugas medis yang mengobati tersebut dan atau kemudian dirujuk ke rumah sakit. Hal ini tidak perlu terjadi jika SCUBE-1 dapat dijadikan sebagai prediktor sehingga pasien yang datang ke Puskesmas pada fase awal (2-3 hari demam) dan belum jatuh kepada status parah dengan SCUBE-1 tinggi dapat langsung dirujuk. 1.2 Rumasan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas 1. Apakah terdapat perbedaan ekspresi SCUBE-1 pada penderita DBD dengan kontrol 2. Apakah terdapat Perbedaan ekspresi tissue factor pada penderita DBD. 3. Apakah terdapat hubungan ekspresi SCUBE-1 dengan tissue factor pada penderita demam berdarah dengue (DBD). 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum 1. Membuktikan hubungan ekspresi SCUBE-1 dengan tissue factor pada penderita demam berdarah dengue (DBD). 2. Membuktikan perbedaan ekspresi SCUBE-1 pada penderita DBD dengan kontrol 3. Membuktikan perbedaan ekspresi tissue factor pada penderita DBD 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui ekspresi SCUBE-1 pada penderita DBD dan pada kontrol
2. Mengetahui ekspresi tissue factor pada penderita DBD dan pada kontrol 3. Mengetahui perbedaan ekspresi SCUBE-1 pada penderita DBD dengan kontrol 4. Mengetahui perbedaan ekspresi tissue factor pada penderita DBD 5. Mengetahui hubungan ekspresi SCUBE-1 dengan tissue factor pada penderita demam berdarah dengue (DBD). 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Untuk Perkembangan Ilmu Pengetahuan 1. Penelitian ini merupakan penelitian awal dan diharapkan dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya tentang SCUBE-1 untuk prediksi potensi keparahan pada DBD. 2. Hasil penelitian ini dapat menambah informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan tentang peranan SCUBE-1 terhadap tingkat tissue factor dalam kerusakan endotel dan penurunan jumlah trombosit akibat agregasi dan adhesi pada penderita demam berdarah dengue (DBD). 3. Penelitian ini menggunakan Realtime PCR yang hasil pemeriksaan dengan keakuratan yang tinggi sehingga mempermudah untuk penelitian berikutnya tentang hubungan SCUBE-1 dengan tissue factor atau dengan berbagai variabel koagulasi lainnya dengan metode pemeriksaan yang lebih murah dan sederhana