BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi bakteri. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri berubah dalam merespon pemberian obat-obatan ini. Bakteri yang resisten dapat menginfeksi manusia dan hewan, dan menyebabkan pengobatan yang lebih sulit daripada infeksi oleh bakteri yang belum resisten. Resistensi antibiotik menyebabkan biaya pengobatan yang lebih tinggi, perawatan di rumah sakit yang berkepanjangan, dan peningkatan mortalitas (WHO, 2016). Pemberi pelayanan kesehatan perlu segera mengubah cara mengatur dan menggunakan antibiotik. Tanpa adanya perubahan tersebut, resistensi antibiotik akan tetap menjadi ancaman utama walaupun obat baru dikembangkan. Perubahan perilaku juga harus mencakup tindakan untuk mengurangi penyebaran infeksi melalui vaksinasi, cuci tangan, mempraktekkan seks yang lebih aman, dan kebersihan makanan yang baik (WHO, 2016). Di Indonesia, peresepan antibiotik yang cukup tinggi dan kurang bijak akan meningkatkan kejadian resistensi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa telah muncul mikroba yang resisten antara lain Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA), resistensi multi obat pada penyakit tuberkulosis (MDR TB) dan lain-lain. Dampak resistensi terhadap antibiotik adalah meningkatnya morbiditas, mortalitas dan biaya kesehatan (Kementrian Kesehatan RI, 2011a). 1
Hasil studi fase awal dari AMRIN study (September 2000- September 2002) yang dilaksanakan di RS Dr Soetomo, RS Kariadi Semarang, Puskesmas Pucung, Puskesmas Mojo, dan Puskesmas Mijen membuktikan bahwa saat ini kita menghadapi masalah yang serius yang berkaitan dengan penggunaan antibiotik yang tidak tepat, munculnya mikroorganisme yang multiresisten terhadap antimikroba, dan penyebaran mikoorganisme yang resisten terhadap antimikroba pada beberapa bagian dari rumah sakit (AMRIN, 2005). Dalam penelitian yang sama, ditemukan pemberian antibiotik dalam terapi tanpa indikasi di Surabaya sebanyak 45-76%, sedangkan di Semarang 56-76%. Di samping itu pemberian antibiotik profilaksis tanpa indikasi di Surabaya sebanyak 13-55%, dan di Semarang sebanyak 43-76% (AMRIN, 2005). Pada penelitian lain, tercatat sebanyak 84% pasien di Rumah sakit mendapatkan satu atau lebih antibiotik, sebagian besar antibiotik aminopenisilin (54%) dan sefalosforin (17%). Setelah dilakukan analisa oleh ahli, hanya 21% pemberian antibiotik tersebut sesuai, 15 % tidak sesuai karena pemilihan agen antibiotik yang tidak tepat, dosis dan durasi pemberian. Penemuan lain yang cukup ekstrim adalah tedapat 42% peresepan antibiotik yang diberikan untuk profilaksis dan demam yang tidak disertai dengan indikasi terjadinya infeksi (Lestari dan Severin, 2009). Di samping itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Katarnida dkk (2016) dilaporkan bahwa terdapat penggunaan antibiotik secara tepat 338 (40,9%), tidak tepat 362 (43,8%) dan tidak berdasarkan indikasi 119 (14,4%). 2
Di rumah sakit, penggunaan antibiotik yang tidak perlu atau berlebihan mendorong berkembangnya resistensi dan multipel resisten terhadap bakteri tertentu yang akan menyebar melalui infeksi silang. Terdapat hubungan antara penggunaan (atau kesalahan penggunaan) antibiotik dengan timbulnya resistensi bakteri penyebab infeksi nosokomial. Resistensi tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat diperlambat melalui penggunaan antibiotik yang bijak. Hal tersebut membutuhkan kebijakan dan program pengendalian antibiotik yang efektif (Kementrian Kesehatan RI, 2011a). Komite Farmasi Rumah Sakit (KFT), Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (KPPI-RS), Tim Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) merupakan kepanitiaan di rumah sakit yang berperan dalam menentapkan kebijakan penggunaan antibiotik, pencegahan dan penyebaran bakteri yang resisten serta pengendalian resistensi bakteri terhadap antibiotik. Penggunaan antibiotik yang terkendali dapat mencegah munculnya resistensi antimikroba dan menghemat penggunaan antibiotik yang pada akhirnya akan mengurangi beban biaya perawatan pasien, mempersingkat lama perawatan, penghematan bagi rumah sakit sera meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit (Kementrian Kesehatan RI, 2011a). Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wonosari sebagai satu satunya rumah sakit pemerintah di Kabupaten Gunungkidul juga berfungsi sebagai rumah sakit rujukan di wilayah kabupaten Gunungkidul, sehingga dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Instalasi Farmasi sebagai salah 3
satu instalasi penunjang yang bertanggung jawab dalam menjalankan pelayanan kefarmasian mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan fungsinya sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian yang telah ditetapkan (Anonim, 2015). Menurut laporan persediaan Instalasi Farmasi RSUD Wonosari periode Januari sampai dengan Juni 2016, 5 antibiotik parenteral terbanyak yang dipergunakan adalah Seftriakson 1 gram injeksi (9549 vial), cefotaxin 1 gr injeksi (1849 vial), ampicillin 1 gr injeksi (1774 vial), metronidazole 500 mg injeksi (1611 botol), dan gentamisin 80 mg injeksi (1274 ampul) (Anonim, 2016). Namun demikian pemakaian ini belum diketahui rasionalitasnya. Diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik di RSUD Wonosari sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas pemberian obat kepada pasien di rumah sakit. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan penggunaan antibiotik di RS maka dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pola penggunaan antibiotik di bangsal penyakit dalam RSUD Wonosari? 2. Bagaimana hasil analisa kualitatif penggunaan antibiotik berdasarkan dengan metode Gyssens? 3. Apakah ada hubungan antara ketepatan pengunaan antibiotik berdasarkan metode Gyssens dengan outcome terapi pada pasien? 4
C. Keaslian Penelitian Tabel 1. Keaslian Penelitian Nama Peneliti Judul Metode Hasil Penelitian (Harlina, 2015) Evaluasi penggunaan Deskriptif, prospektif Antibiotik pada pasien Sepsis di Ruang ICU RSUD Serang (Dewi, 2015) Evaluasi Kualitatif Penggunaan Antibiotik dengan Metode Gyssens di Ruang Rawat Intensive Care Unit (ICU) RSUD Dr. Moewardi, Surakarta (Wulandari, 2016) Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik terhadap Outcome Klinik pada Pasien Catheter Associated Urinary Tract Infection (CAUTI) di Bangsal Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Deskriptif, Cross Sectional, Retrospektif Cohort Retrospektif Penggunaan antibiotik tepat/bijak 6,9 % ; kategori IIA tidak tepat dosis 13,8% ; Kategori IIIA antibiotik terlalu lama 3,4% ; Kategori IIIB antibiotik terlalu singkat 10,4% ; kategori IV A 65,5%. Parameter luaran klinik 51,7 % baik, 48,3% buruk. Pemakaian antibiotik yang kurang tepat (kategori I-V); adalah pemakaian antibiotik tanpa adanya indikasi, kategori V sebesar 18,75% ; ada antibiotik lain yang lebih efektif, kategori IVa sebesar 38,24%; durasi antibiotik terlalu singkat, kategori IIb sebesar 3,31% ; dosis antibiotik yang kurang tepat, kategori IIa sebesar 1,84%. Sedangkan pemakaian antibiotik yang sudah tepat sesuai kriteria Gyssens sebanyak 11,40% Penggunaan antibiotik yang rasional (kategori 0) 77,77%, dan 22,22 % tidak rasional meliputi 11,11 % kategori IIIB, 6,35 % kategoi IIB, 3,17 % kategori I dan 1,59% kategori IIA. Penggunaan antibiotik yang rasional memberikan outcome klinik lebih baik dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan antibiotik tidak rasional (P<0,05; RR= 1,76; 95% CI 1,03-2,99) 5
Nama Peneliti Judul Metode Hasil Penelitian (Rahmawati, Evaluasi rasionalitas Cross-sectional Berdasarkan kriteria Gyssens antibiotik rasional 44,63%, 2016) penggunaan antibiotik analitik, tidak rasional 55,37%. Jenis ketidakrasionalan : kategori pada pasien anak di RS Panti rapih yogyakarta retrospektif IVA 4,13%; IVD 28,10%; IIA 4,13% dan IIB 4,13%. Hasil analisis luaran terapi diperoleh hasil terapi sembuh dan membaik pada penggunaan antibiotik yang rasional maupun yang tidak rasional. (Ningsih, 2013) (Pamela, 2012) Audit Peresepan Antibiotik di Bangsal Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP DR. Sardjito Periode Desember 2011 - Februari 2012 Evaluasi Kualitatif Penggunaan Antibiotik dengan metode Gyssens di Ruang Kelas 3 Infeksi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Secara Prospektif Desktriptif observasional, dengan rancangan crosssectional, secara prospektif. Deskriptif, Prospektif Hasil audit kualitatif berdasarkan kesepakatan ketiga reviewer : terapi empiris 30 kasus rasional dan 27 kasus tidak rasional. Terapi definitive antibiotik sebanyak 46 kasus rasional dan 19 kasus tidak rasional. Audit kuantitatif rasionalitas antibiotik menunjukkan seftriakson dan metronidazol memiliki nilai PDD sama dengan DDD. Hasil analisis menunjukkan reliabilitas yang baik dengan nilai rata-rata koefisien kappa anatara 0,61 0,81. Penggunaan antibiotik 78,82%, sefotaksim, kloramfenikol dan ampisilin merupakan 3 antibiotik terbanyak. Berdasar metode Gyssens 60,4% rasional. Jumlah obat, antibiotik, lama rawat, dan asal ruangan berpengaruh terhadap penggunaan antibiotik. Terdapat perbedaan kualitas penggunaan antibiotik setelah dilakukan intervensi apoteker Kualitas penggunaan antibiotik berpengaruh terhadap outcome terapi, namun tidak demikian dengan kualitas pengobatan yang tidak rasional. 6
Nama Peneliti Judul Metode Hasil Penelitian (Katarnida Evaluasi Penggunaan Deskriptif, Di antara 619 (41,7%) subjek penelitian yang mendapat dkk., 2016) Antibiotik Secara Retrospektif antibiotik, terbanyak kelompok bayi umur 1 bulan-1 tahun Kualitatif di RS 234 (37, 8%). Penggunaan antibiotik secara tepat 338 Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta (40,9%), tidak tepat 362 (43,8%) dan tidak berdasarkan indikasi 119 (14,4%). Penggunaan antibiotik secara empirik 821 (99,4%), terapi definitif 4 (0,5%) dan terapi profilaksis 1 (0,1%). Antibiotik yang paling banyak digunakan sefotaksim 308 (37,3%), seftriakson 189 (22,9%) dan kloramfenikol 131 (15,9%). Sefotaksim digunakan secara tepat 106 (34,4%), tidak tepat 144 (46,8%) dan tanpa indikasi 55 (17,9%). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah : 1. Populasi dalam penelitian ini tidak dibatasi pada penyakit tertentu, namun seluruh pasien bangsal penyakit dalam yang mendapatkan antibiotik diamasukkan dalam populasi. 2. Memasukkan Indeks Charlson sebagai salah satu faktor yang dinilai untuk melihat karakteristik pasien. 3. Periode dan tempat penelitian. 7
D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan gambaran tentang pola penggunaan antibiotik di bangsal Penyakit Dalam RSUD Wonosari. 2. Memberikan data dalam menentukan kebijakan RSUD Wonosari dalam penggunaan antibiotik. 3. Meningkatkan rasionalitas penggunaan antibiotik di RSUD Wonosari dalam upaya memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien. E. Tujuan penelitian 1. Mengetahui pola penggunaan antibiotik di bangsal penyakit dalam RSUD Wonosari. 2. Mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik berdasarkan dengan metode Gyssens. 3. Mengetahui hubungan antara ketepatan penggunaan antibiotik berdasarkan metode Gyssens dengan outcome terapi pada pasien. 8